Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Syubhat Hawla Al-Qur’an II Dr.H. Masyhuri Putra, Lc., M. Ag

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP PERBEDAAN QIRA’AT AL-QUR’AN

Oleh:
Kelompok 8

Robbil Fikri Kholidi (11930211160)


Dian Pratama (11930210850)
Rahmad Assidiki (11930213352)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU


2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah Syubhat Hawla Al-Qur’an II yang
berjudul “Kritik Orientalis Terhadap Perbedaan Qira’at Al-Qur’an”. Tidak lupa pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh lagi agar isi
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis yakin masih banyak kekurangan dalam penulisan dan penyusunan
dalam makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 13 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an ............................................................................. 3
B. Pandangan Orientalis Terhadap Perbedaan Qira’at Dalam Al-Qur’an .............. 4
C. Bantahan Terhadap Pandangan Orientalis Tentang Qira’at Al-Qur’an ............. 8
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur`an merupakan kitab suci yang bersifat mu`jiz, tidak hanya dari
segi kandungannya, akan tetapi juga dari segi keindahan bahasa yang
digunakan dan kefasihan tata bahasanya.
Al-Qur`an memberikan tantangan kepada orang-orang yang masih
meragukannya untuk membuat surat semisal yang ada dalam al-Qur`an. Sejak
masa nabi Muhammad saw. Sudah ada kelompok yang memiliki kedengkian
dan tidak menerima atas kesucian al-Qur`an.
Dewasa ini, kalangan non muslim kembali mencoba mencari kelemahan
dan kesalahan dalam al-Qur`an, salah satunya yang mereka tuduhkan adalah
perbedaan qira’at dalam al-Qur’an. Tuduhan ini nantinya dijadikan sebagai
argumentasi mereka yang menyatakan bahwa al-Qur`an bukanlah kitab suci
yang ma`shum (terjaga dari kesalahan), ia bukan wahyu, namun semata hasil
kreasi dari nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, penulis akan
menjawab tuduhan-tuduhan kesalahan pada aspek bahasa yang dialamatkan
pada kitab suci al-Qur`an terkhusus tentang tudingan terhadap perbedaan
qira’at dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan qira’at al-Qur’an?
2. Bagaimanakah pandangan orientalis terhadap perbedaan qira’at al-Qur’an?
3. Bagaimana bantahan terhadap pandangan orientalis tentang qira’at al-
Qur’an?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian qira’at al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui pandangan orientalis terhadap perbedaan qira’at al-
Qur’an.
3. Untuk mengetahui bantahan terhadap pandangan orientalis tentang qira’at
al-Qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an


Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu al-Quran, tetapi tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya
kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya
adalah ilmu ini tidak berhubungan lansung dengan kehidupan dan muamalah
manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya, yang
dapat dikatakan berhubungan lansung dengan kehidupan manusia. Hal ini karena
ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara lansung
dengan halal atau haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.1
Qira’at adalah jama dari qira’ah, yang berarti “bacaan” dan ia adalah
masdar (verbal noun) dari qara’ah. Menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah
satu mazhab (aliran) pengucapan Quran yang dipilih oleh salah seorang imam
qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. Qira’at ini di
tetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra’
(ahli atau imam qira’at) yang mengajarkan bacaan Quran kepada orang-orang
menurut cara mereka adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di
antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubai, Ali, Zaid bin
Sabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah
sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at, mereka itu
semua bersandar kepada Rasulullah2.
Az-Zarkashi mengemukakan bahwa perbedaan qira’at itu meliputi
perbedaan lafadh-lafadh tashdid dan lain-lainnya. Menurutnya, qira’at harus

1
Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran; Ilmu untuk Memahami Wahyu, cet 1, (Bandung: Des 2011),
133
2
Manna' Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an, (Litera AntarNusa : Bogor., 2016). Hlm.
247

3
melalui talaqqi dan mushafahah, karena dalam qira’at banyak hal yang tidak bisa
dibaca kecuali dengan mendengar lansung dari seorang guru dan bertatap muka.3

B. Pandangan Orientalis Terhadap Perbedaan Qira’at Dalam Al-Qur’an


Tombak utama hasil kajian para sarjana Barat dalam mengkaji ketimuran
khususnya Islam akan tertuju pada motif misionarisme. Misi ini dinilai selalu
menyudutkan Islam, mereka akan menentang doktrin-doktrin dan menjatuhkan
rujukan utamanya, yakni al-Qur`an dan Hadis. 4Motif ini juga disandang Ignaz
Goldziher dalam kajiannya tentang Qirā’āt al-Qur`an.
Qirā’āt yang dikenal para Ulama berbanding terbalik dengan Qirā’āt yang
dipaparkan Goldziher. Ulama muslim menjadikan riwayat sebagai acuan dasar
keabsahan Qirā’āt, sedanglan Goldziher berpendapat, upaya klasifikasi Qirā’āt
yang mutawatīr dari yang shādhz merupakan ijtihad manusiawi. Menurutnya,
belum tentu yang dianggap shādhz itu benar-benar shādhz atau sebaliknya, yang
mutawatīrpun demikian. Apalagi menurut pandangan Ignaz apabila yang
dianggap shādhz itu diriwayatkan dari ahli Qirā’āt terkemuka yang belajar
langsung dari Rasulullah. Goldziher memberi contoh Qirā’āt yang diriwayatkan
Ibnu Mas‟ūd, yang ditenggari mendapatkan ijazah langsung dari Nabi
Muhammad. Sementara Qirā’āt nya yang berbeda dianggap shādhz oleh para
Qurra‟ yang lain, yang notabene tidak memiliki otoritas sebagaimana Ibnu
Mas‟ūd. Goldziher menambahkan, ketidak terlibatan Ibnu Mas‟ῡd dalam proses
kodifikasi adalah sebuah kesalahan besar bagi Sayyidīna „Uthmān, karena telah
mendiskualifikasi seorang yang punya otoritas dalam menetapkan atau menolak
sebuah Qirā’āt.
Anggapan di atas disarikan dari penelitan Goldziher tentang Qirā’āt.
Namun demikian sampel yang digunakan adalah Qirā’āt yang yang shādh

3
MKD IAIN, Studi al-Qur’an, mengutip dari az-Zarqani, Manahil al-Irfan, 192-193.
4
Muhammad Bahar Akkase Teng, “Orientalis dan Orientalisme Dalam Prespektif Sejarah”,
Jurnal Ilmu Budayai¸Vol. 4, No. 1 (Juni 2016), hlm. 48-49.

4
bahkan tidak jelas asal usulnya, ketiadaan konsep Isnād juga merancukan
penelitiannya karena campur aduknya Qirā’āt yang mutawatīr dengan yang
dha’īf atau yang shādh. Di sisi lain Goldziger terlalu mendewakan teks (baca:
teks), menganggap manuskrip sebagai neraca dan acuan dalam meneliti Qirā’āt,
sehingga suatu bacaan menurut teorinya mesti disesuaikan dengan mengikuti
teks, terlepas apakah Qirā’āt tersebut masyhur atau tidak.5 Sikap Goldziher
tersebut tentunya menafikan sikap kesungguhan dan kehati-hatian para sahabat
dalam proses univikasi Qirā’āt demi untuk menjaga validitas al-Qur`an. Ada dua
pokok utama pemikiran Goldziher tentang Qirā’āt.
1. Kekacauan dan inkonsistensi teks al-Qur`an
Dalam karyanya yang diterjemahkan oleh Abd Halīm al-Najjār ke
dalam bahasa Arab dengan judul Mażāhib at-Tafsīr al-Islāmī, Goldziher
berpendapat bahwa variasi bacaan al-Qur`an menunjukkan adanya kekacauan
dan inkonsistensi teks al-Qur`an. Selain itu, Ignaz juga menganggap bahwa
kecenderungan untuk menyeragamkan teks al-Qur`an beserta Qirā’āt nya
belum pernah berhasil diwujudkan kecuali sangat sedikit sekali. Berikut
ungkapan Ignaz Goldziher pada buku tersebut:
“Tidak ada kitab syari‟at (tasyrī„) yang diakui oleh kelompok
keagamaan dengan pengakuan teologis bahwa ia adalah teks yang diturunkan
atau diwahyukan, jika pada masa awal peredaran (transmisi) nya saja, ia
datang dalam bentuk yang kacau dan tidak pasti, sebagaimana yang kita
temukan dalam Al-Qur`an”. Dan dalam seluruh rangkaian sejarah Islam masa
lalu, tidak ada kecenderungan untuk menyeragamkan teks Al-Qur`an kecuali
hanya sedikit sekali”.6
Singkatnya, Goldziher memandang Qirā’āt dan Sab’atu Aḥrūf

5
Aris Hilmi Hulaimi, “Qira‟at dalam Perspektif Ignaz Goldziher: (Studi Kritik Pemikiran
Orientalis)” Jurnal Studia Quranika: Jurnal Studi Qur’an, Vol. 14, No. 1 (Maret 2016), hlm6-7.
6
Ignaz Goldziher, Mażāhib at-Tafsīr al-Islāmī, terj. „Abdul Halīm an-Najjār (Kairo: Maktabah
al-Khanji, 1955), hlm. 8-9., hlm. 4-5.

5
adalahbukti kekacauan al-Qur`an. Hal ini karena al-Qur`an seakan-akan tidak
konsisten dalam pencantuman ayatnya yang bisa dibaca dengan berbagai
macam logat, dan banyak yang tidak diketahui ke ṣoḥīhan bacaan tersebut,
serta teks al-Qur`an muncul dengan bacaan atau tulisan yang berbeda-beda
dan bahkan saling bertentangan, di antaranya bahkan tidak diketahui
kesahihannya, serta inkonsistensi pada al-Qur`an sama seperti yang terjadi
pada Injil.
Pada kesempatan lain Goldziher berpendapat bahwa umat terdahulu
tidak memiliki keinginan untuk me-nyeragamkan bacaan al-Qur`an kecuali
hanya segelintir orang saja yang melakukannya. Hal ini menandakan tidak
adanya kata sepakat dari umat terdahulu untuk menyeragamkan Qirā’āt. Dari
hasil analisisnya ini Goldziher meletidakan skeptisispe pada ke-mutawātir-an
dan orisinalitas al-Qur`an, seraya menyamakan al-Qur`an dengan teks Bible.7

2. Karakteristik Penulisan Bahasa Arab Kuno menyebabkan Perbedaan Qirā’āt


Selain berasumsi bahwa dalam al-Qur`an terdapat kekacauan dan
ketidak konsistenan, Goldziher dengan mengadopsi pandangan Theodor
Noldeke yang menuduh bahwa lahir dan munculnya perbedaan Qirā’āt dalam
al-Qur`an bersumber dari karakteristik penulisan bahasa Arab kuno yang tidak
memiliki titik dan harakat, sehingga berimplikasi pada bacaan yang tidak
sama. Tampaknya, pandangan Noldeke ini juga mempengaruhi pemikiran
banyak Orientalis setelahnya, termasuknya Goldziher. Ia menyimpulkan
bahwa teks kosong tanpa titik dan harakat menyebabkan variant reading.
Berikut ungkapan Goldziher terkait dengan pandangannya tersebut:
“Lahirnya sebagian besar perbedaan (Qirā’āt) bersumber pada
karakteristik tulisan Arab yang bentuk hurufnya dapat menghadirkan suara
(bunyi) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan letidak titik

7
Moh. Fathurrozi, Eksistensi Qirā’āt Al-Qur‟an, . Hlm. 128.

6
yang diletidakkan di atas bentuk huruf atau di bawahnya, serta berapa jumlah
titik tersebut. Demikian halnya pada ukuran-ukuran suara (vokal) pembacaan
yang dihasilkan. Perbedaan harakat-harakat (tanda baca) yang tidak
ditemukan batasannya dalam tulisan Arab yang asli memicu perbedaan posisi
i’rāb (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang menyebabkan lahirnya
perbedaan makna (dalālah). Dengan demikian, perbedaan karena tidak
adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi dan perbedaan karena
harakat yang dihasilkan, disatukan, dan bentuk dari huruf-huruf yang diam
(tidak terbaca atau mati), merupakan faktor utama lahirnya perbedaan Qirā’āt
dalam teks yang tidak mempunyai titik sama sekali atau tidak memiliki
harakat”8
Untuk memperkuat gagasannya, Goldziher mengajukan sejumlah
contoh yang dibagi menjadi dua bagian. Pertama, perbedaan Qirā’āt yang
disebabkan tidak adanya titik pada tulisan mushaf al-Qur`an. Contoh Surah
al-A’rāf 48:
َ ٰ‫الٰ يَ ْعرفونَه ْٰم بسي َماه ْمٰ َقالوا َما أ َ ْغ َنى‬
‫ع ْنك ْٰم َج ْمعك ْمٰ َو َما‬ ْ َ ‫َونَادَىٰ أ‬
ٰ ‫ص َحابٰ ْاْلَع َْر‬
ً ‫اف ر َج‬
ْ َ‫ك ْنت ْٰم ت‬
َٰ‫ستَكْبرون‬
Menurut Goldziher, sebagian ulama Qirā’āt membaca lafaz (ََ‫)ت َ ْستَ ْكبِ ُرون‬
yang tertulis dengan huruf ba’ (dengan satu titik) dengan bacaan (ََ‫)ت َ ْستَ ْكث ُِر ْون‬
yaitu dengan huruf tsa. Begitu pula dalam Surah al-A’rāf 57:
‫ح بُش ًْرا بَ ْينَ يَد َْي َر ْح َمتِ ِه‬
َ ‫الريَا‬ ِ ‫َوه َُو الَّذِي يُ ْر‬
ِ ‫س ُل‬
Kata (‫ )بُ ْش ًرا‬dibaca dengan huruf nun fathah sebagai ganti dari ba’
ḍammah, sehingga menjadi (‫)نَ ْش ًرا‬.9 Perbedaan Qirā’āt karena perbedaan
harakat. Perbedaan harakat ini menimbulkan perubahan yang mendasar, yaitu
perubahan makna, pengertian dan tujuan. Seperti dalam Surah al-Hijr 8:

8
Opcit., hlm, 8-9
Aris Hilmi Hulaimi, “Qirā‟āt dalam Perspektif Ignaz Goldziher”. 7-8.
9

7
ِ ‫َما نُنَ ِز ُل ا ْل َم ََلئِكَةَ إِ ََّّل بِا ْلح‬
َ ‫َق َو َما كَانُوا إِذًا ُم ْن‬
َ‫ظ ِرين‬
Pada lafaz (‫ )نُن َِز ُل‬ulama berbeda pendapat, sebagian ulama membaca
(‫ )نُن َِز ُل‬dan sebagian lain membaca (‫) َن ْن ِز ْل‬. Pada bacaan pertama, yaitu
memfathah kan huruf nūn dan mentasydīdkan huruf zay, berarti “kami
menurunkan malaikat” sementara pada bacaan yang kedua, yaitu
mensukunkan nun dan tidak mentasydīdkan zay, berarti “malaikat turun”.
Sebagaimana kasus di atas, perbedaan harakat memiliki andil yang
signifikan untuk aspek makna, seperti dalam Surah ar-Raʻd 43:
ِ ‫َو َم ْن ِع ْندَهُ ِع ْل ُم ا ْل ِكتَا‬
‫ب‬
Dalam potongan surat Ar-Ra’d kata ُ‫ ِع ْندَه‬dan ‫ ِع ْل ُم‬memiliki banyak bentuk
bacaan yang mempengaruhi arti. Dalam pandangan Ignaz Goldziher, Qirā’āt
tidak lain hanya merupakan pendapat dan pilihan para qari’, bukan tawqīfī
atau wahyu dari Allah yang memiliki sanad dan mata rantai yang jelas. Hingga
klimaksnya, pandangan Ignaz tersebut memberikan wacana bahwa Al-Qur`an
masih sangat problematik, karena terjadi ketidaksepahaman para ulama dalam
usaha penyeragaman bacaan Al-Qur`an. Munculnya variasi dan ragam bacaan
teks Al-Qur`an disebabkan tidak adanya titik dan harakat, sehingga sangat
memungkinkan bagi pembaca untuk melakukan improvisasi. Oleh karena itu,
menurut Ignaz, Qirā’āt tidak lain hanyalah karya manusia.10

C. Bantahan Terhadap Pandangan Orientalis Tentang Qira’at Al-Qur’an


Kritikan terhadap pemikiran Goldziher tentang Qirā’āt datang dari sarjana
muslim, M. M A’zami dan al-Qadi. Keduanya berusaha meruntuhkan pemikiran-
pemikiran Goldziher yang dinilai tidak rasional, karena cenderung mengabaikan
data-data sejarah.
1 Kritik Atas Pendapat Pertama

Abd al-Fattāḥ al-Qādī, al-Qirā’āt fi Naẓr al-Mustasyriqīn wa al-Mulḥidīn (Beirut: Dār al-Ilm
10

li al-Malāyiīn, 1993), hlm. 23.

8
Pada pemikiran pertama, A‟zami membantah dengan memberi argumen
bahwa antara teks al-Qur`an dan proses pembacaannya serta pewahyuannya
adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan Ilmu Qirā’āt yang benar (ilmu
seni baca al-Qur`an secara tepat) diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW
sendiri. Dan Qirā’āt juga adalah suatu praktik (Sunnah) yang menunjukkan tata
cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan al-
Qur`an. Teks al-Qur`an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan
mengumumkannya secara lisan pula, berarti Nabi Muhammad SAW secara
otomatis menyediakan teks dan cara pengucapan pada umatnya, kedua-duanya
haram untuk bercerai.11
A’zamī juga mengatidakan bahwa banyaknya ragam bacaan sangat
diperlukan untuk mempermudah bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Arab
dengan dialek Quraishī. Menurutnya, kesatuan dialek lazim Nabi SAW yang
digunakan sewaktu masih di Mekkah mulai sirna setibanya di Madinah. Dengan
meluasnya ekspansi Islam melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku
bangsa dan dialek baru, sehingga dialek kaum Quraisy sulit untuk
dipertahankan.12
Kritikan kedua datang dari al-Qāḍī dalam karyanya karyanya al-Qirā’āt fī
Naẓr al-Mustashriqīn wa al-Mulḥidīn mengatakan, bahwa yang dikemukakan
Ignaz sejatinya tidak memberikan pengaruh pada variasi bacaan yang telah lama
berkembang dan diyakini mutawātir oleh kalangan intelektual muslim. al-Qāḍī
mengkritisi pernyataan Ignaz tentang kekacauan dalam al-Qur`an. al-Qāḍī
berpendapat bahwa sangat mustahil jika di dalam al-Qur`an terdapat kekacauan.
Karena pengertian kekacauan dan inkonsistensi teks al-Qur`an, kalau seperti itu,
berarti al-Qur`an dibaca dengan pola dan bentuk yang berbeda-beda. Teks al-

11
Khaeruddin Yusuf, “Al-A‟ẓamī Dan Fenomena Qirā‟at Al-Quran: Antara Multiple Reading
Dengan Variant Reading”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 11, No. 1 (Juni 2014), hlm. 7.
12
M. Musṭafa. Al-A‟zamī, The History of The Quranic Text from Revelation to The
Compilation: A Comparative Studi with The Old and New Testaments, terj. Anis Malik Thaha dkk, Vol.
1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 169.

9
Qur`an dianggap memiliki pola, pengertian, sasaran dan tujuan yang berbeda-
beda sehingga tidak diketahui antara yang benar dan yang salah. Menurut al-
Qāḍī, pernyataan ini tertolak, karena perbedaan riwayat dan keragaman bacaan
dalam al-Qur`an tidak ada yang saling bertentangan dan berlawanan, namun
perbedaan tersebut saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.13
al-Qādī memperkuat kritikaknnya dengan mengajukan beberapa contoh
seraya mengatidakan, jika diteliti, pola Qirā’āt, baik yang mutawātir, masyhūr
dan ṣaḥīḥ, tidak ada yang keluar dari dua bentuk. Pertama, berbeda lafal tetapi
memiliki makna yang sama, dan ini hanya menyangkut persoalan bahasa saja.
َ ‫الص َرا‬
Seperti contoh lafaz ‫ط‬ َ ‫ الس َِرا‬dalam Surah al-
ِ yang bisa dibaca dengan ‫ط‬
Baqarah 2 : 6. Selain ayat di atas, terdapat beberapa ayat yang mempunyai kriteria
yang sama, yaitu lafaz ‫ مِ ْرفَقَا‬yang bisa dibaca ‫ َم ْرفِقَا‬.
dalam Surah al-Kahf 18 : 16. Dalam kajian ilmu Qirā’āt, hikmah
diturunkannya variasi Qirā’āt adalah untuk memudahkan orang-orang yang
berlainan bahasa dalam membaca Al-Qur`an. Di samping itu, membaca sebuah
kata dengan menggunakan beberapa variasi menunjukkan tingkat keindahan
bahasa tersebut.14
Selain itu, banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang perbedaan
Qirā’āt atau tentang al-Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf (Sab’atu al-Aḥrūf).
Hadis-hadis yang mengukuhkan bahwa al-Qur`an diturunkan dalam tujuh dialek
(Sab’atu al-Aḥrūf) sangatlah kuat kebenarannya, bahkan menurut Imam al-
Suyuṭī lebih dari dua puluh sahabat telah meriwatkan Hadis tentang itu.15 Salah
satu hadis yang mashhῡr dipakai sebagai dalil untuk pembenaran Sab’atu al-
Aḥrūf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslīm:
“Ubay bin Ka‟b melaporkan bahwa Nabi saw. berada dekat lokasi Banū

13
‘Abd al-Fattāḥ al-Qādī, al-Qirā’āt fi Naẓr al-Mustasyriqīn wa al-Mulḥidīn (Beirut: Dār al-
Ilm li al-Malāyiīn, 1993), hlm. 11.
14
Moh. Fathurrozi, Eksistensi Qirā’āt Al-Qur‟an, hlm. 133.
15
Khaeruddin Yusuf, “Al-A’ẓamī Dan Fenomena Qirā’at Al-Quran”, hlm.10

10
Ghifar, Malaikat Jibril datang dan berkata: “Allah telah menyuruh kamu
membaca Alquran kepada kaummu dalam satu dialek,” lalu Nabi bersabda:
“Saya mohon ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu” lalu Jibril datang
lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Allah telah menyuruhmu agar
membacakan Alquran pada kaummu dalam dua dialek”, Nabi Muhammad saw
lalu menjawab “Saya mohon ampunan Allah kaumku tidak akan mampu
melakukannya,” Jibril datang lagi ketiga kalinya dan berkata, “Allah telah
menyuruhmu untuk membacakan Alquran kepada kaummu dalam tiga dialek”
dan lagi-lagi Nabi Muhammad saw berkata ”saya mohon ampunan Allah kaumku
tidak akan mampu melakukannya” lalu Jibril datang kepadanya keempat kalinya
dan menyatidakan “Allah telah mengizinkanmu membacakan Alquran kepada
kaummu dalam tujuh dialek, dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, sah-sah
saja.”16
Hadis-hadis yang mengukuhkan bahwa al-Qur`an diturunkan dalam tujuh
dialek (Sab’tu Aḥrūf) sangatlah kuat kebenarannya. Selanjutnya Musṭafa A‟ẓamī
menguatkan bahwasannya ada empat puluh pendapat ilmuwan tentang makna
aḥrūf (secara literal: huruf-huruf). Beberapa kalangan mengartikan kata aḥrūf
begitu jauh. Tetapi kebanyakan dari mereka sepakat bahwa tujuan utamanya
adalah memberikan kemudahan membaca al-Qur`an bagi mereka yang tidak
terbiasa dengan dialek orang Quraisy. Konsesi diberikan melalui anugrah
Allah.17 Bukan malah menyusahkan, apalagi sebagai bentuk dari ketidak
konsitenan al-Qur`an.
Selanjutnya, tuduhan Goldziher bahwa umat terdahulu tidak memiliki
keinginan untuk me-nyeragamkan bacaan al-Qur`an kecuali hanya segelintir
orang saja yang melakukannya. Hal ini menandakan tidak adanya kata sepakat

16
Muslīm ibn Hajjaj, Musnād al-Ṣoḥīh al-Mukhtaṣo, Vol. 1 (Beirut: Dār Ihyā’al-Turoth al-
A’rābī, Tth), hlm. 562.
17
M. Musṭafa. Al-A‟zamī, The History of The Quranic Text from Revelation to The
Compilation: A Comparative Studi with The Old and New Testaments, terj. Anis Malik Thaha dkk, Vol.
1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 170.

11
dari umat terdahulu untuk menyeragamkan Qirā’āt, disikapi keras oleh al-Qādī,
tuduhan yang diutarakan Ignaz tersebut hanya sekadar prasangka yang tidak
didukung oleh fakta apa pun. Andai saja prasangka ini benar nyata, tentu kita
sekarang akan mendapati Qirā’āt yang seragam, tetapi buktinya sampai sakarang
tidak ada seorang muslim pun yang berhasil menyeragamkan Qirā’āt dan
menemukan teks al-Qur`an hanya dalam satu wajah Qirā’āt. Untuk memperkuat
kritikannya, al-Qādī mengungkap fakta sejarah tentang Sayyidīna „Uthmān dan
timnya dalam mengkodifikasi al-Qur`an dan mengirimkannya ke berbagai kota
besar, serta memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk
menjadikannya sebagai pedoman tunggal. Hal ini dilakukan bukan karena ada
motivasi ingin menyeragamkan bacaan al-Qur`an (Qirā’āt).18
Perintah Sayyidīna ,Uthmān kepada kaum muslimin untuk mengikuti al-
Qur`an yang telah terkodifikasi semata-mata karena keinginan yang luhur untuk
menyatukan kaum muslimin dalam bacaan (Qirā’āt) yang dijamin kebenarannya
dan keotentikannya dari Rasulullah SAW secara mutawātir, bukan bacaan yang
di nasakh dalam pemeriksaan Jibril yang terakhir sebelum Nabi wafat.31 al-Qādī
Abū Bakar mengatakan bahwa maksud dari kodifikasi yang dilakukan oleh
Sayyidīna „Uthmān tidaklah sama seperti yang dilakukan oleh Sayyidīna Abū
Bakar, yaitu mengumpulkan al-Qur`an lembaran demi lembaran. Maksud
kodifikasi yang dilakukan Sayyidīna „Uthmān adalah untuk mengumpulkan
bacaan Qirā’āt yang memiliki mata rantai sanad kepada Nabi dan membuang
bacaan yang tidak memiliki mata rantai sanad.
Menanggapi pendapat Goldziher yang selanjutnya bahwa ketidak
konsistenan al-Qur`an sama seperti yang terjadi pada Injil, maka akan dibahas
tentang sejarah Injil. Sebelum munculnya empat Injil32 yang diketahui sekarang,
para pengikut awal Yesus menyusun buku mereka masing-masing. Dalam hal ini
tidak ada hal yang dramatis tentang kehidupan Yesus, tidak ada riwayat-riwayat

18
Abd al-Fattāḥ al-Qādī, al-Qirā’āt fi Naẓr al-Mustasyriqīn, hlm. 17.

12
tentang pengorbanan dan penebusan spritual. Fokusnya hanya terbatas pada
ajaran-ajarannya, pemikiran-pemikirannya, dan tata cara prilaku yang ia
jelaskan, begitu juga pembaruan-pembaruan sosial yang ia canangkan. Karangan
ini sekarang dinamakan dengan Injil Q. Namun Injil Q bukanlah kitab yang
stabil. Mitos Yesus ini terus beredar baik pada masa hilangnya Injil Q, maupun
setelahnya, dan dari sekian banyaknya karya yang terinspirasikan ini hanya
empat yang berhasil mencuat dan menonjol adalah: adalah: Injil Matius, Injil
Lukas, Injil Markus, dan yang terakhir adalah Injil Yohanes.
Sebagai hasil produksi dari gereja primitif, Injil-injil itu merupakan
tradisi lisan dari lingkungannya, dan oleh karenanya masalah pengarang dan
tanggalnya akan selalu menjadi teka-teki bagi siapapun yang akan menelitinya.
Jika ketidak pastian pengarangnya sendiri itu gagal menunjukkan pentingnya
uraian-uraian yang ada dalam Injil, lalu bagaimana kita bisa beranggapan bahwa
Injil memang terbukti keotentikannya.19
Menurut Comfort, injil pertama kali diketahui dikalangan Kristen secara
oral sebelum berbentuk tulisan. Tidak ada dalam kitab Perjanjian Baru yang
masih selamat dalam tulisan asli pengarangnya, dan yang paling mendekati
adalah berupa sebuah fragmen (penggalan) yang bertanggal kurang lebih 100-
115 M dan mengandung hanya enam ayat dan satu ayat Yohanes, yaitu Yohanes
18.34 Dari sejarah singkat Injil di atas dapat diketahui bagaimana orang-orang
kristen telah banyak merubah isi dari kitab Injil. Bahkan sampai ada yang
membuat kitab Injil dengan versi berbeda-beda seperti yang tadi disebutkan
diatas. Sejauh ini saja, kita bisa melihat bahwa pendapat Ignaz yang menyamakan
Al-Qur`an dengan Injil sudah terbukti keliru. Betapa tidak, dalam sejarahnya
saja, Injil sudah beberapa kali berubah-ubah sesuai dengan penulisnya, bahkan
sampai banyak yang mengakui bahwasannya pengarang dan tanggalnya menjadi

19
M. Musṭafa. Al-A‟zamī, The History of The Quranic Text from Revelation to The
Compilation, hlm. 275-277.

13
teka-teki. Namun penulis akan tetap melakukan penambahan bukti guna
memperkuat argumen yang dipaparkan.

2. Kritik Atas Pendapat yang Kedua


Dalam pendapat yang kedua ini, Goldziher mengatakan dalam bukunya
bahwa Qirā’āt lahir karena tulisan Arab pada zaman dahulu tidak mempunyai
titik, dan tanda baca (harākat). Goldziher melihat bahwasannya. Untuk
membuktikan kebenaran argumen Goldziher yang ke dua ini, akan diulas
menggunakan metode yang dipakai Ignaz yaitu dengan menggunakan teori
filologi.
Putra tertua Nabi Ibrahim, lahir dari kalangan Suku Jurhum dan menikah
dua kali dari kalangan mereka. Suku ini berbicara bahasa Arab, dan demikian
pula tidak diragukan lagi bahwasannya putra tertua Nabi Ibrahim, yaitu Ismail
berbicara dengan bahasa Arab yang sama. Bahasa Arab suku Jurhum
kemungkinan kehilangan daya tariknya, lalu mereka memperindah bahasa
mereka dengan bahasa Arab Quraysh yang mendahuluinya dua ribu tahun. Ibnu
Uṣta mencatat pernyataan Ibnu „Abbas bahwa yang pertama-tama membuat
aturan grammar dan alfabet bahasa Arab tidak ada orang lain selain Nabi Isma‟īl.
Kemudian Allah menugaskan Nabi Isma‟īl sebagai Nabi dan Rasul, untuk
mengajak umatnya menyembah Allah, mendirikan ṣalat, dan membayar zakat
kepada orang-orang miskin. Oleh karena itu, Allah mengutus Rasul dalam
bahasanya kaumnya sendiri, maka Nabi Isma‟īl juga sudah pasti berdakwah
menggunakan bahasa kaumnya sendiri, yaitu bahasa Arab. Diakui bahwa Nabi
Isma‟īl dikarunia duabelas putra, diantara putranya ialah Nebajoth atau Nebat. Ia
dilahirkan dan dididik disekitar Jazirah Arab yang semestinya, mereka juga
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu.
Semenjak dua generasi setelah Nabat ini sudah berada dan hidup di Saudi
Arabia, yang sebelumnya mereka menetap di Palestina yang merupakan tempat
kelahiran Nabi Ibrahim, buyut mereka. Ketika Nabat hijrah ke arah utara, dia

14
semestinya membawa alfabet dan bahasa Arab juga tentunya. Dan akhirnya
keturunan inilah yang akhirnya mendirikan dinasti Nabatean. Untuk asal-usul
karakter bahasa Arab sifatnya masih spekulatif. Namun, untuk siapa yang
menyebar luaskan bahasa Arab, yaitu Nabi Isma‟īl, dan putranya yang bernama
Nebajoth atau Nabat. Seperti bahasa lain, tulisan dan ejaan bahasa Arab
(palaeography dan orthography) terus berkembang. Perluasan wilayah teritorial
Muslim menyebabkan perkembangan beberapa skrip Arab seperti Hejazī, Kῡfī
dan tulisan yang disambung, dengan karakteristiknya masing-masing. Tidak ada
satu skrip yang mendominasi lainnya, dan tidak terbatas pada suatu tempat.
Dengan beberapa contoh skrip Kῡfī yang diambil dari inskripsi abad pertama
hijrah, kita bisa membantah teori Mushaf Kῡfī yang hanya ditujukan pada abad
kedua dan ketiga hijrah. Dalam perkembangannya, bahasa Arab semakin meluas
dikarenakan ekspansi yang semakin melebar, jadi sekin banyak bahasa Arab
dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Begitupun Qirā’āt, atau bacaan
dalam al-Qur`an pun semakin beragam. Tapi, bukan berarti semakin banyak
varian baca dalam al-Qur`an malah membuat al-Qur`an semakin tidak konsisten.
Seperti yang sudah disinggung diatas bahwa tujuan utama dari banyaknya varian
bacaan dalam al-Qur`an adalah memberikan kemudahan membaca al-Qur`an
bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek orang Quraisy. Konsesi diberikan
melalui anugrah Allah. Bukan malah menyusahkan, apalagi sebagai bentuk dari
ketidak konsitenan al-Qur`an.
Dalam kajian ilmu Qirā’āt, perbedaan lafal memiliki dua kemungkinan.
Pertama, berbeda bacaan, tetapi memiliki makna yang sama. Kedua, berbeda
bacaan dan makna tetapi tidak mengubah substansi dan tidak menyebabkan
terjadinya kontradiksi, yaitu setiap perbedaan yang ada akan saling menguatkan
dan menunjukkan eksistensi kandungan al-Qur`an. Keberadaan variasi bacaan al-
Qur`an, sejatinya berdialektika dengan bahasa bangsa Arab yang beragam.
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan bacaan dari masing-masing
daerah, namun tentu dengan seleksi yang sangat ketat dan tidak melupakan

15
substansi al-Qur`an. Selain berpendapat bahwa teks al-Qur`an tidak konsisten,
Goldziher juga menuduh bahwa umat muslim terdahulu berusaha untuk
menyeragamkan Qirā’āt, namun tidak terealisasi karena terhambat oleh
ketiadaan sistem pemberian tanda baca tulisan pada masa itu. Pendapat yang
dikemumukakan Goldziher tersebut dianggap lemah dan tidak beralasan, karena
fakta sejarah membuktikan bahwa pada masa tersebut, tidak ada sama sekali
usaha untuk menyeragamkan Qirā’āt, namun hanya sekadar mengakomodasi
variasi bacaan al-Qur`an dengan tujuan untuk mengetahui riwayat (transmisi)
yang ṣaḥīḥ. Karena dalam kajian ilmu Qirā’āt, hikmah diturunkannya variasi
Qirā’āt adalah untuk memudahkan orang-orang yang berlainan bahasa dalam
membaca al-Qur`an. Di samping itu, membaca sebuah kata dengan
menggunakan beberapa variasi menunjukkan tingkat keindahan bahasa tersebut.
Salah satu contoh terdapat pada Surah asy-Syuʻarā’ 26: 193, yang bisa dibaca
dengan dua cara, yaitu: yang pertama:
‫ح ْاْلَمِ ي ُن‬ ُّ ‫ نَ َز َل ِب ِه‬dengan dibaca dhommah pada lafaz ‫الرو ُح‬
ُ ‫الرو‬ ُّ sedangkan
yang satunya dibaca ‫ح ْاْلَمِ ي ُن‬ ُّ ‫ نَ َز َل ِب ِه‬fathah pada lafaz ‫الرو َح‬.
َ ‫الرو‬ ُّ Masih banyak
contoh lain yang membuktikan bahwasannya perbedaan bacaan dalam Qirā’āt
tidaklah bertentangan akan tetapi malah saling menguatkan.20

Abd al-Fattāḥ al-Qādī, al-Qirā’āt fi Naẓr al-Mustasyriqīn, hlm. 51.


20

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qira’at adalah jama dari qira’ah, yang berarti “bacaan” dan ia adalah
masdar (verbal noun) dari qara’ah. Menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah
satu mazhab (aliran) pengucapan Quran yang dipilih oleh salah seorang imam
qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. Qira’at ini di
tetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah.
Tombak utama hasil kajian para sarjana Barat dalam mengkaji ketimuran
khususnya Islam selalu menentang doktrin-doktrin dan menjatuhkan rujukan
utamanya, yakni al-Qur`an dan Hadis. Motif ini disandang oleh Ignaz Goldziher
yang menurutnya upaya klasifikasi Qirā’āt yang mutawatīr dari yang shādhz
merupakan ijtihad manusiawi
Kesalahan mendasar dari pemahaman Ignaz terhadap al-Qur`an dan
Qirā’āt adalah menjadi dasar kefatalan argumennya. Variasi bacaan al-Qur`an
menurutnya adalah suatu inkonsistensi yang tidak mempunyai akar sejarah yang
mapan sehingga menjadi celah sempurna untuk mengutak-atik al-Qur`an.
Menurutnya umat muslim terdahulu berusaha untuk menyeragamkan Qirā’āt,
namun tidak terealisasi karena terhambat oleh ketiadaan sistem pemberian tanda
baca tulisan pada masa itu argumen ini dibantah dan dikritik tegas oleh A’zami
dan al-Qadhi karena pemikirannya tidak sesuai dengan fakta sejarah yang ada.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis
harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

A’zamī, (al) M. Musṭafa. The History of The Quranic Text from Revelation to The
Compilation: A Comparative Studi with The Old and New Testaments, terj. Anis
Malik Thaha dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Fathurrozi, Moh. “Eksistensi Qirā’āt Al-Qur`an Studi Kritis atas Pemikiran Ignaz
Goldziher”, Ṣuḥuf, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.

Goldziher,Ignaz. Mażāhib at-Tafsīr al-Islāmī, terj. „Abdul Halīm an-Najjār. Kairo:


Maktabah al-Khanji, 1955.

Hermawan, Acep. ‘Ulumul Quran; Ilmu untuk Memahami Wahyu, cet 1, Bandung: Des
2011.

Hulaimi, Aris Hilmi. “Qira‟at dalam Perspektif Ignaz Goldziher: (Studi Kritik
Pemikiran Orientalis) ” Jurnal Studia Quranika: Jurnal Studi Qur’an, Vol. 14, No.
1, Maret 2016.

Manna' Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an, (Litera AntarNusa : Bogor., 2016).
Hlm. 247

Qādī, (al) Abd al-Fattā. al-Qirā’āt fi Naẓr al-Mustasyriqīn wa al-Mulḥidīn. Beirut: Dār
al-Ilm li al-Malāyiīn, 1993.

Muslīm ibn Hajjaj, Musnād al-Ṣoḥīh al-Mukhtaṣor/Ṣoḥīh Muslīm. Beirut: Dār Ihyā’al-
Turoth al-A’rābī, tth.

Teng, H. Muhammad Bahar Akkase. “Orientalis dan Orientalisme Dalam Prespektif


Sejarah”, Jurnal Ilmu Budayai¸Vol.4, No. 1, Juni 2016.

Yusuf, Khaeruddin. “Al-A‟ẓamī Dan Fenomena Qirā‟at Al-Qur`an: Antara Multiple


Reading Dengan Variant Reading”,Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol.11, No.
1, Juni 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai