Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Karakteristik dan Metode Penulisan Kitab Garāibu al-Qurān wa


Ragāibu al-Furqān

Kitab Garāibu al-Qurān wa Ragāibu al-Furqān (‫غَ َرائِ ُب الْ ُق ْر ٰان َو َرغَائِ ُب‬
‫ )الْ ُف ْرقَان‬merupakan salah satu kitab tafsir sufi isyari yang ditulis oleh Niẓām ad-
Dīn al-Naisābūrī. Kata Garāib ‫ ))غرائب‬merupakan bentuk jamak dari kata Garīb (

‫ )غريب‬yang berarti asing, aneh, ganjil, tidak biasa, tidak umum, atau luar biasa.
Dalam kajian Alquran, kata ini mengacu pada istilah-istilah asing yang terdapat

dalam Alquran. Sedangkan kata Ragāib (‫ )رغ ائب‬merupakan bentuk jamak dari
kata Ragaba (‫ )رغب‬yang berarti pengharapan.

Tafsir Garāibu al-Qur’ān wa Ragāibu al-Furqān merupakan sebuah


kitab tafsir yang dinukil dari beberapa kitab tafsir yang masyhur, di antaranya
adalah Tafsir Al-Kasyf. Bahkan kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Tafsir
Mafātiḥ al-Gaib karya Fakhruddin ar-Razi dan syarah dari kitab Miftāḥ al-‘Ulūm
karya As-Sakaki.1

Adapun karakteristik yang paling menonjol dari kitab ini adalah


banyaknya takwil yang tidak ditemukan dalam kitab tafsir para sahabat Nabi.

Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab ini kebanyakan bersumber


dari kitab Jāmi’ al-Uṣūl dan Al-Maṣābiḥ. Kemudian dalam pembahasan asbabun
nuzul, kitab tafsir ini banyak merujuk kepada kitab Jāmi’ al-Uṣūl dan Tafsir al-
1
Achmad Rifai, Skripsi: “Kematian dalam Pandangan Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī
dalam Kitab Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), hlm. 29.

1
Wāḥidi. Sedangkan corak bahasanya banyak diambil dari kitab Ṣahah al-Jauhari.
Adapun untuk kajian sastranya diambil dari kitab tafsir Mafātiḥ al-Gaib. Dan
untuk permasalahan mengenai hukum-hukum fiqih banyak dinukil dari kitab
Syarḥ al-Wajīz.

Metodologi yang dipakai oleh Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam


menuliskan kitab ini adalah dengan mencatat ayat, kemudian membahas jenis-
jenis qiraat, menyebutkan asbāb an-Nuzūl, serta menjelaskan makna mufradat
serta makna secara global beserta aspek i’rabnya. Setelah itu ia melakukan takwil
dan secara jelas memaksudkan tafsirnya dengan takwil tafsir sufi isyari yang jauh
dari makna zhahir ayat.

Dalam kitab ini dikumpulkan pula hadits-hadits dari kitab-kitab hadits


yang terpercaya dan dipilihlah riwayat yang dipercaya pula dengan sanad-sanad
maupun khabar. Al-Naisābūrī berusaha untuk memilah hadits tersebut. Ia
mengatakan, “Aku tidak mengambil riwayat kasysyaf dalam hadits-hadits yang
menyebutkan tentang kelebihan surat-surat Alquran. Karena kebanyakan
syadz.”2

Dalam tafsirnya, Al-Naisābūrī berpegang kepada waqaf. Ada bab


tertentu yang menjelaskan tentang waqaf agar para ulama’ dan fuqaha’ (ahli
Fiqih) berpegang teguh perihal waqaf ini. Banyak sekali makna Alquran yang
terkunci dan samar, serta tidak ditemukan karena tidak baik dalam aspek waqaf
ini. Al-Naisābūrī telah menjelaskan dalam kitabnya perihal waqaf beserta
hukumnya dalam setiap surat.

Al-Naisābūrī juga berpegang teguh pada asbāb an-Nuzūl. Ia pun


merujuk kepada kitab-kitab terdahulu, para ulama’ yang cenderung pada asbāb
an-Nuzūl juga, sebagaimana ia berpegang teguh pada aspek bahasa dan makna-
makna mufradat. Di samping itu ada pula penjelasan mengenai Garīb al-Qurān.

2
Kangdidik, “Metode Kitab tafsir Gharaibul Quran wa Raghaibul Furqan Karya an-
Naisaburi”, diakses dari https://www.kangdidik.com/2018/11/metode-kitab-tafsir-raghaibul-quran-
wa.html?m=1, pada tanggal 26 April 2021 pukul 22.40.

2
Dalam hal ini ia merujuk kepada penjelasan para ulama’ ahli bahasa yang
mumpuni dari para ulama’ yang telah mendahuluinya.

Al-Naisābūrī tidak membiarkan hukum-hukum yang ditunjuk oleh


ayat, bahkan ia menjelaskannya. Dirinya tidak terhalangi untuk menguak makna
di balik ayat dengan istinbat atau takwil. Ia merujuk kepada istinbat para ulama’
yang telah dikenal dan wira’i dengan catatan kredibilitas yang baik.

Metode penulisan yang dilakukan dalam kitab ini adalah pertama-


tama menyebutkan satu atau beberapa ayat, kemudian menjelaskan segi-segi
perbedaan qiraat yang ada dalam ayat tersebut apabila terdapat perbedaan, lalu
menjelaskan segi wuquf atau tempat berhentinya. Setelah itu disebutkan pula
hukum yang mengarah kepadanya dengan rumus-rumus tertentu, lalu disebutkan
pula tafsir dari ayat-ayat dengan menyebutkan juga asbāb al-Nuzūl beserta
penjelasan kosakatanya. Selain itu, dijelaskan pula makna dan arti ijmal (global)-
nya beserta segi-segi i’rabnya. Setelah menjelaskan semua aspek di atas, lalu
disebutkan pula takwil dan maksud Alquran dengan takwil Sufi Isyari yang akan
dijelaskan makna yang jauh dari zhahirnya ayat.3

B. Biografi Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī


Nama lengkapnya adalah Niẓām al-Dīn al-Hasan bin Muhammad al-
Husain al-Qumi al-Khurasani al-Naisābūrī. Beliau dikenal juga dengan nama
Hasan bin Muhammad bin Hasan al-Khurasani, juga dikenal dengan nama Niẓām
al-A’raj Al-Naisābūrī. Beliau dan keluarganya berasal dari kota Qum sehingga
nama al-Qum dimasukkan pula dalam nama beliau.4

Beliau adalah seorang ulama yang sangat terkenal dengan


kecerdasannya, keahliannya dalam bahasa Arab, juga sangat terkenal dengan sifat
wara’, zuhud dan sifat tasawufnya. Al-Naisābūrī merupakan ulama’ pada abad ke
9 Hijriyah yang setingkat dengan Jalaludin al-Dawani dan Ibnu Hajar al-Asqalani.

3
Ibid
4
Achmad Rifai, op.cit hlm. 27.

3
Al-Naisābūrī merupakan salah satu ulama Syiah yang begitu kental
dengan ajaran syiah dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga ada ulama yang
mengatakan bahwa Al-Naisābūrī di bunuh karena ketaatannya pada Mazhab
Syiah.

Beberapa ulama’ berbeda pendapat mengenai tahun wafatnya Al-


Naisābūrī. Menurut Ismail Basa’ al-Bagdadi Al-Naisābūrī wafat pada tahun 728
H. Menurut al-Tohroni bahwa Al-Naisābūrī wafat pada akhir tahun 900 H.
Menurut Dr. Hasyim Toha Salas, Dr. Solah Mahdi al-Furtusi, Dr. Abdul Jalil
Husain Abid bahwa Al-Naisābūrī wafat pada tahun 710 H. Adapun pendapat yang
lebih unggul ialah pendapat yang diungkapkan oleh al-Tohroni dan Sayyid
Muhsin al-Ami yang mengatakan bahwa al-Naisābūrī wafat pada tahun 900 H.
Dikarenakan al-Naisābūrī wafat karena dibunuh maka tahun wafatnya belum
jelas.

Persamaan ulama-ulama yang berbeda pendapat mengenai tahun


wafat al-Naisābūrī, bahwa Al-Naisābūrī hidup dari abad ke 8 hingga abad ke 9 H.

C. Contoh Penafsiran dalam Kitab Garāibu al-Qurān wa Ragāibu al-Furqān


Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menciptakan kematian sebagai akhir yang
pasti bagi kehidupan. Sebagaimana diketahui sejauh ini tidak ada seorangpun
yang mampu menghindari kematian. Tidak ada harta benda, kesehatan, jabatan
atau kawan yang dapat menjamin keselamatan seseorang dari maut. Setiap orang
pasti mati. Abu Hurairah mengingatkan untuk memperbanyak mengingat
kematian, karena Allah Subḥānahu wa Ta’ālā membuka hati orang yang banyak
mengingat mati dengan memudahkan kematian baginya. Hasan Basri berkata,
“Barangsiapa mengetahui bahwa kematian itu urat nadinya, kiamat itu hari
pertemuannya dan menghadap Allah Subḥānahu wa Ta’ālā itu tempat tinggalnya
maka yang harus ia lakukan adalah bersedia apabila hidup berlama-lama di
dunia.” Maksudnya adalah pikirannya terfokus pada kehidupan akhiratnya dan
tempat tinggalnya adalah di hadapan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.5

5
Ibid., hlm. 31.

4
ِ ّ ‫﴾ لُك ُّ ن َ ْف ٍس َذآئِ َق ُة الْ َم ْو ِتۗ َون َ ْبلُ ْومُك ْ اِب لرَّش‬٣٤﴿ ‫َو َما َج َعلْنَا ِلبَرَش ٍ ِّم ْن قَ ْبكِل َ الْ ُخدْل َ ۗ َافَا۟ئِ ْن ِّمتَّ فَه ُُم الْخٰدِل ُ ْو َن‬
٣٥﴿ ‫﴾ َوالْ َخرْي ِ ِف ْتنَ ًةۗ َو ِالَ ْينَا تُ ْر َج ُع ْو َن‬

Artinya: “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum
kamu (Muhammad); Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-
tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 34-35).

Surah al-Anbiyā’ menurut Manna al-Qathan tergolong dalam surah


Makkiyyah periode kedua atau pertengahan. Adapun ayat ini menjelaskan tentang
sebuah penegasan Allah Subḥānahu wa Ta’ālā terhadap eksistensi manusia atas
pertanyaan orang kafir apakah Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam itu
kekal sebagai manusia mengingat dia adalah Nabi akhir zaman. Sehingga turunlah
ayat ini, Niẓām al-Dīn al-Naisābūrī menjelaskan ayat ini dalam kitab tafsirnya
dengan menyajikan beberapa permasalahan, pertama pertanyaan orang kafir
akankah Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam itu kekal? kedua, jika
memang Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam mati, mereka akan
mengolok-olok keberadaan Nabi, mereka beranggapan apa keistimewaan Nabi
Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam sebagai nabi terakhir, padahal dia juga
mati seperti nabi-nabi terdahulu. Permasalahan yang ketiga, mengingat Nabi
Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi wa Sallam adalah Nabi terakhir dan sekaligus
pembawa Syari‛at kemudian mati, pastilah syari‛atnya pun akan terhenti pula.

Menanggapi pernyataan tersebut kemudian dijelaskan oleh Ar-Razi


pula pada kitab Asrār al- Tanzīl wa Anwār al-Tanwīl, menegaskan bahwa setiap
yang berjiwa pasti merasakan yang namanya kematian, tanpa terkecuali,
dijelaskan pula dalam ayat ini sesungguhnya ruh manusia itu mati, kematian itu
adalah dzauq, dalam artian sebuah penemuan, sebuah pencicipan indrawi yang
terjadi pada saat seseorang mengalami sakaratul maut. Namun sebelum itu
manusia akandiuji dengan ujian demi ujian, baik merupa kenikmatan ataupun

5
musibah, karena ujian bukan hanya digambarkan berupa musibah saja, karena
kenikmatan juga adalah sebuah ujian yang Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berikan
kepada hamba-Nya. Setelah ujian demi ujian diberikan, maka hanya kepada Nya-
lah semuanya akan kembali.6

6
Ibid., hlm. 32-33.

Anda mungkin juga menyukai