Anda di halaman 1dari 10

FAWĀṢIL AL-AYYI

Oleh : Amellia Nur Febriyanti, Khoirun Nisa’. Elya Retno Oktari, Elva Fitrotul Amalia, Noer
Zahira Natsya, Sofi Naziyatul Iffah, Syafira Emhayana

A. Pendahuluan
Al-Qur`an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
melalui perantara malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya serta membacanya bernilai
ibadah. Al-Qur`an juga merupakan sumber hukum utama umat Islam yang berfungsi
sebagai petunjuk dan pedoman hidup. Ayat-ayat al-Qur`an diturunkan secara berangsur-
angsur dalam kurun waktu kurang lebih dua puluh tiga tahun
Al-Qur`an sebagai sumber utama pegangan umat Islam memiliki banyak
keistimewaan. Keistimewaan-keistimewaan tersebut yang membuktikan atas keontetikan
al-Qur`an yang kekal sepanjang zaman. Salah satu bentuk keistimewaan dalam al-Quran
yaitu dengan adanya metode Fawashil. Dimana tersebut terletak diakhir kalimat.
Fashilah merupakan pembicaraan yang terisah dari kalam setelahnya.
B. Pengertian Fawāṣil al-Ayyi,
Fawāṣil merupakan bentuk bahasa Arab dari kata al-Fāṣilah yang bermakna
kalam atau pembicaraan yang terpisah dari kalam yang setelahnya.1 Para ulama
mengatakan bahwasanya setiap ujung ayat merupakan al- Fāṣilah, akan tetapi tidak
semua al- Fāṣilah berada di ujung ayat. Oleh karena itu, al- Fāṣilah merupakan gabungan
antara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya tanda pemisah antara satu ayat dengan ayat
yang lain yang berada pada ujung ayat setelahnya atau yang disebut ru’ūs al-ayyi.
Sedangkan al-Qadhi Abu Bakar mengatakan bahwa yang dimaksud Fawaṣil adalah
huruf-huruf yang serupa pada setiap potongan yang berfungsi untuk membantu
memahami makna.2
Jika diserupakan dengan perkataan manusia atau syi’ir, maka al- Fāṣilah bisa
disebut sebagai sajak (ilmu Badi’ atau salah satu ilmu dalam memahami sastra Arab).
Akan tetapi mayoritas ulama tidak menyamakan pensifatan manusia ini dengan al-
Qur`an, karena al-Qur`an lebih mulia dibandingkan ungkapan para sastrawan yang
menggunakan gaya bahasa seindah apapun. Jika al-Qur`an mengandung sajak, maka

1
Kamāl al-Dīn ‘Abd Ghani al-Mursī, al-Fawaṣil al-Āyāt al-Qur`aniyyah, (Iskandaria: al-Jāmi’ī al-Hadīth, 1999), 9.
2
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Al-Itqān Fī Ulūm al-Qur`an, (Bairut: Risalah Publishers: 2008), 609.
kemukjizatan al-Qur`an akan diragukan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena setiap
orang mampu membuat sajak, khususnya bangsa Arab yang terkenal sebagai bangsa yang
memiliki nilai literatur sastra Arab yang tinggi.
Perbedaan antara al- Fāṣilah dan sajak juga terlihat bahwasanya al- Fāṣilah
dalam al-Qur`an hanya mengikuti makna-maknanya. Memperhatikan makna dan
keserasian wazn tanpa adanya unsur takalluf merupakan salah satu bentuk dari ilmu
Balaghah. Berbeda dengan sajak, sajak lebih menjaga kesinambungan suatu pola kalimat
tanpa memeperhatikan makna sehingga bersifat takalluf.
C. Perbedaan, Fashila, Qafiyah, Saja’ah
Fāṣilah adalah kata terakhir dalam sebuah ayat. Fasilah pada ayat itu adalah
seperti sajak pada karya sastra dan seperti qafiyah pada syair. Sajak atau aib yang
disebutkan pada qafiyah seperti perbedaan batasan, bacaan dengan panjang dan lainnya
bukan merupakan kekurangan pada fāṣilah. Fāṣilah boleh berpindah-pindah dari satu
macam ke macam yang lainnya, berbeda dengan syair atau qashidah. Fāṣilah ayat seperti
qarinah sajak dalam kalam natsr, qafiyah bait dalam syi’ir. Dinamakan fāṣilah karena
akhir ayat memisah antara ayat tersebut dengan setelahnya, dan tidak boleh menamakan
ujung ayat secara ijma’.
Adapun Qafiyah dalam syi’ir yaitu huruf-huruf yang dimulai dengan huruf yang
berharakat sebelum awal dua huruf mati dalam akhir bait syi’ir. 3 Tidak boleh menamakan
fāṣilah sebagai Qafiyah menurut Ijma’, karena menghilangkan al-Qur`an dari nama syi’ir.
Wajib mengilangkan qafiyah dari al-Qur`an begitu juga fashilah dalam syi’ir. Karena
fasilah merupakan sifat kitab Allah maka tidak boleh melampaui batas.
Saja’ah terjadi dalam sajak, seperti lafal dalam ucapan tukang sihir kepada
Rabi’ah Ibn Nashr raja Yaman dalam tafsiran mimpinya yaitu : ra’aitu humamah,
kharajtu min dhulmah, fa waqa’tu diardh tihamah fa akaltu minha kullun dzati
jumjumah. Maka kalimat-kalimat: humhumah, dhulmah, tuhimmah , jumjumah semua
termasuk sajak. Sajak disini berarti menggunakan dua fasilah dari kalam natsr atas satu
hurus dalam huruf lain.4
Adapun al-Qur`an itu disusun dari ucapan dari syiir, kebanyakan fawashil al-Ayyi serupa
dengan sajak. Perbedaan ulama antara memperbolehkan dan tidak memperbolehkan
3
Kamāl al-Dīn, Fawāṣil al-Ayāt al-Qur`aniyyah, 12.
4
Ibid., 13-14.
penamaan sajak dalan al-Qur`an. Tidak diperbolehkan menyebut fāṣilah sebagai qafiyah
menurut Ijma’, karena ketika Allah tidak menafikan penyebutannya sebagai syair maka
sebutan qafiyah juga harus ditiadakan. Sebagaimana penggunaan qafiyah itu dilarang
padanya maka pengggunaan fāṣilah juga dilarang pada syair. Karena fāṣilah merupakan
sifat dari kitab Allah maka tidak boleh digunakan pada lainnya.5
D. Macam-macam Fawāṣil al-Ayyi
Fāṣilah- fāṣilah (kata terakhir sebuah ayat) dalam al-Qur`an tidak keluar dari empat hal
yaitu al-Tamkin, at-tashdir, al-Tausyih, dan al-Ighal.6
1. Al-tamkin atau i’tilaful qafiyah (kelembutan akhiran) adalah orang yang
menyampaikan narasi memulai dengan qarinah, sedangkan penyair dengan qafiyah,
untuk memuluskan kata-kata tanpa ada yang ganjal.
2. Al-Tashdir atau raddul ajz ‘alash shadr (mengembalikan yang belakang kepada yang
depan) adalah sebuah kata yang dengan sendirinya telah disebutkan pada ayat
sebelumnya. Menurut Ibnul Mu’taz at-tashdir dibagi menjadi tiga macam yaitu
a. Jika akhir kata pada permulaan sesuai dengan akhir kata pada fāṣilah.
b. Jika fāṣilah sesuai dengan awal kata.
c. Jika fāṣilah sesuai dengan salah satu kata pada ayat tersebut.
3. Al-Tausyih adalah jika ada diantara yang terdapat pada awal perkataan yang
mengharuskan akhirannya.
4. Al-Ighal
Menurut ulama Ilmu Badi’ membagi fāṣilah - fāṣilah menjadi beberapa macam yaitu
mutharrif, mutawazi, murashsha’, mutawazin, dan mutamatsil.7
1. Mutharrif adalah kedua fashilah berbeda wazan dan sama pada huruf-hurufnya.

‫َمالَ ُك ْم اَل َت ْر ُج ْو َن لِلَّ ِه َوقَ ًارا َوقَ ْد َخلَ َق ُك ْم اَطْ َو ًارا‬


“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan
kamu dalam beberapa tingkat kejadian”
2. Mutawazi adalah keduanya sama wazan dan akhiranya, ayat pertama tidak berlawanan
dengan ayat kedua pada wazan dan akhirnya.

5
Imam Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum al-Qur`an terj Tim Editor Indiva, (Indiva Pustaka: Surakarta, 2009), 570.
6
Ibid., 584-600.
7
Ibid., 600-601.
ٌ‫ض ْو َعة‬ ِ
ُ ‫اب َم ْو‬
ٌ ‫اسُرٌر َم ْر ُف ْو َعةٌ َواَ ْك َو‬
ُ ‫فْي َه‬
“Di dalamnya ada tahta-tahta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya)”.
3. Murashsha’ adalah keduanya sama wazan, huruf akhir, dan ayat pertama berlawanan
denga ayat kedua.

‫اِ َّن اِلَْينَا اِيَ َاب ُه ْم مُثَّ اِ َّن َعلَْينَا ِح َس َاب ُه ْم‬
“Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah
menghisab mereka”.
4. Mutawazin adalah keduanya sama wazan.

ْ ‫َومَنَا ِر ُق َم‬
ٌ‫ص ُف ْوفَةٌ َو َز َريِب ُّ َمْب ُث ْوثَة‬
“Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar”.
5. Mutmatsil adalah keduanya wazannya sama, bukan huruf akhirnya, sedangkan ayat
yang kedua berlawanan dengan yang pertama.

‫االصَرا َط اْلْ ُم ْس ِتقْي َم‬


ِّ َ‫اب الْ ُم ْستَبِنْي َ َو َه َد ْينَامُه‬ ِ
َ َ‫َواََتْينَامُهَااْلكت‬
“Dan Kami berikan kepada keduanya kitab yang sangat jelas. Dan Kami tunuki keduanya ke jalan yang
lurus”.

Ada dua macam yang berhubungan mengenai fāṣilah yaitu:8

1. Al-Tasyri’. Ibnu Abil Ishba’ menamainya dengan at-tau’am, yaitu jika seorang penyair
membuat bait-bait syairnya dengan dua buah wazan dari wazan ‘arudh dan jika dibuat
salah satu bagian atau dua bagiannya maka yang tersisa menjadi sebuah bait dari wazan
yang lain.
2. Al-Iltizam. Pengharusan sesuatu, yaitu jika pada syair atau natsar itu diharuskan
disebutkannya satu atau dua huruf atau lebih sebelum huruf terakhir dengan syarat
tanpa dibuat-buat.
E. Cara Mengetahui Fawāṣil al-Ayyi
Imam Jalāluddīn al-Suyuthī menjelaskan dalam kitabnya al- Itqān fī ‘Ulūm al-
Qur`an, menurut Imam al-Ja’bari bahwasanya cara mengetahui Fawaṣil al-Ayyi yaitu
tauqīfī dan qiyāsī.9 Tauqīfī merupakan cara yang paling sahih karena bersumber langsung
8
Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur`an, 601-602.
9
Al-Suyūṭi, Al-Itqān, 609.
dari Rasulullah. Apabila Rasulullah membaca waqaf ayat al-Qur`an maka hal tersebut
termasuk fawaṣil. Sedangkan jika Rasulullah membaca ayat al-Qur`an dengan waṣal,
maka bukan termasuk fawaṣil. Namun jika ditemukan pembacaan ayat al-Qur`an waqaf,
akan tetapi diwaktu lain dibaca waṣal, maka terdapat dua kemungkinan mengenai
masalah tersebut. Pertama, boleh jadi hal tersebut menunjukkan fawaṣil dan yang kedua
menunjukkan waqaf tām untuk istirahat.
Adapun cara kedua yang dapat digunakan untuk mengetahui Fawaṣil al-Ayyi
yaitu qiyāsī. Cara qiyāsī yaitu menganalogikan sesuatu yang berdifat mungkin dengan hal
lain yang nasnya sudah disebutkan dengan tegas. Hal demikian tidak dilarang karena
tidak bertujuan untuk menambah atau mengurangi, melainkan untuk mengetahui tempat
berhentinya. Membaca al-Qur`an dengan waqaf pada setiap kalimatnya merupakan hal
yang diperbolehkan. Begitu pula membacanya waṣal secara keseluruhan. Qiyāsī
meembutuhkan jalan yang panjang untuk mengetahuinya. Sehingga menimbulkan banyak
perbedaan pendapat mengenai Fawaṣil al-Ayyi.10
F. Kedudukan dan Pengaruh Fawāṣil al-Ayyi dalam al-Qur’an
Fāṣilah menurut para ulama berarti setiap ujung ayat disebut fāṣilah namun tidak
setiap fāṣilah itu ujung ayat. Maka fāṣilah meliputi dan menggabungkan kedua hal
tersebut. Jadi fāṣilah disini bisa dinamakan sajak seperti yang dikenal dalam ilmu
Balaghah yakni ilmu Badi’. Kebanyakan ulama juga seperti al-Rumani, al-Qadhi al-
Baqilani tidak memberikan pensifatan ini pada al-Qur`an untuk memuliakannya di atas
perkataan para sastrawan, ungkapan dari Nabi dan gaya bhasa para pujangga.
Penggunaan sajak pada al-Qur`an itu masih diperselisihkan. Jumhur ulama
melarang karena asalnya diambil dari sajak burung. Kemuliaan al-Quran menolak diberi
istilah dari sesuatu yang asalnya tidak digunakan. Semua yang ada pada al-Qur`an
sebagai fāṣilah karena kecintaan dengan menyucikan al-Qur`an dari sifat yaang
dilekatkan kepada yang lainnya, yaitu suatu pembicaraan yang diriwayatkan dari para
tukang tenung, sihir, dan sebagiannya.
Ketika Fawāṣil dibedakan itu mengikuti makna-makana, dan bukan fāṣilah
sendiri yang dimaksud. Berbeda dengan sajak , sajak sendiri yang dimaksud baru
kemudian makna dari perkataan itu dialihkan kepadanya. Sebab hakikat sajak adalah

10
Ibid, 609.
menggandengkan suatu rangkaian ungkapan dalan satu pola. Al-Qadhi al-Baqilani
membatntah orang-orang yang menetapkan sajak dalam al-Qur`an dengan perkataan
beliau “Anggapan sajak dalam al-Qur`an itu tidak benar, seandainya al-Qur`an adalah
sajak maka tidak akan keluar dari gaya bahasanya. Kalau al-Qur`an dalam gaya bahasa
tentu hal itu tidak menjadikannya mukjizat. Seandainya boleh dikatakan “al-Qur`an
adalah sajak yang mengandung mukjizat”, maka mereka boleh mengatakan “ syair
mukjizat” karena sajak adalah yang dikenal oleh dukun dahulu. Penolakan keberadaan
sajak dalam al-Qur`an lebih pantas sebagai hujjah dibandingkan penolakan keberadaan
sya’ir karena perdukunan menyelisihi kenabian. 11
Anggapan fāṣilah dengan sajak karena bentuknya sama, tidak mengharuskan
kalau fāṣilah adalah sajak. Karena sajak dalam suatu kalimat, makna dalam kalimat
tersebut mengikuti lafal. Tidak demikian halnya dengan apa yang dikira sajak dalam al-
Qur`an karena lafal yang ada didalamnya mengikuti makna. Perbedaannya antara kalimat
yang tersusun dengan lafal-lafal yang mengungkapkan makna yang dimaksud dengan
menyusun makna namun lafalnya tidak.12
Jika yang dimaksud sajak adalah menjaga kesinambungan (keteraturan) suatu
kalimat di atas satu pola, tanpa memperhatikan makna, maka yang seperti ini adalah
takalluf (sesuatu yang dibuat-buat). Adapun jika yang diperhatikan adalah makna, dan
ada keserasian dengan wazan, tanpa ada unsur takalluf maka yang seperti ini adalah salah
satu bentuk dari ilmu balaghah (retorika), dan itu telah ada dalam alQur’an dan yang
lainnya (perkataan manusia). Dan hal tersebut dalam al-Qur’an dinamakan dengan
fawāṣil, bukan dengan sajak maka hal itu dalam rangka menghindari penamaan sajak
dalam al-Qur’an sesuai pengertian yang pertama.
Sebuah metode yang membedakan antara al-Qur`an dengan semua pembicaraan
yang lain salah satunya yaitu fāṣilah. Dimana fāṣilah dapat terjadi untuk beristirahat
sebentar agar pembicaraannya menjadi baik. Disebut Fawāṣil karena dua perkataan itu
terpisah, yaitu akhir ayat merupakan pemisah antara ayat itu dengan ayat sesudahnya.
Berdasarkan firman Allah QS. Hud ayat 1. Tidak diperbolehkan menyebut fāṣilah
sebagai qafiyah menurut Ijma’, karena ketika Allah tidak menafikan penyebutannya
sebagai syair maka sebutan qafiyah juga harus ditiadakan. Sebagaimana penggunaan
11
Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum al-Qur`an terj Tim Editor Indiva, 570.
12
Ibid., 572.
qafiyah itu dilarang padanya maka pengggunaan fāṣilah juga dilarang pada syair. Karena
fāṣilah merupakan sifat dari kitab Allah maka tidak boleh digunakan pada lainnya.13
Al-Qur`an turun dengan bahasa Arab dan berdasarkan kebiasaan serta adat
mereka. Apabila seorang yang fasih diantara mereka berbicara maka tidak semua
pembicaraannya bersajak karena justru akan tampak ada tanda-tanda pembcaran yang
dibuat-buat. Jika pembicaraan itu panjang maka tidak mengatakannya dengan sajak
keseluruhannya. Ini adalah kebiasaan mereka dalam berbicara yang tidak terlepas dari
sajak sebab sajak itu baik pada sebagian pembicaraan asal sesuai dengan sifat yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Ibnu Nafs berkata “Cukup untuk menyatkan kebaikan sajak itu dengan datangnya
al-Qur`an dengan sajak itu, tidak tercela jika ada beberapa ayat yang tidak bersajak,
karena kadang-kadang keadaan itu mengharuskan perpindahan kepda yang lebih baik
darinya”.
Al-Qur`an hanya turun dengan uslub-uslub yang fasih dari pemicaraan bangsa Arab maka
datanglah fāṣilah yang sepadan dengan sajak pada pembicaraan mereka. Al-Qur`an tidak
datang dengan satu gaya, karena tidak baik jika semua pembicaraan terus menerus datang
dengan satu bentuk saja, karena akan terkesan dibuat-buat, juga karena tabiat manusia
akan merasa bosan dan karena berpinda-pindah dari satu pada yang lainnya adalah lebih
tinggi nilainya daripada terus menerus menggunakan satu bentuk saja, karena itulah
sebagian al-Qur`an saling serupa akhirannya dan sebagian lain tidak.14
G. Manfaat Fawāṣil al-Ayyi
Sebuah metode yang membedakan antara al-Qur`an dengan semua pembicaraan
yang lain salah satunya yaitu fāṣilah. Adapun manfaat-manfaatnya antara lain:
1. Untuk beristirahat sebentar agar pembicaranya menjadi baik.
2. Keutamaan pembaca dan termasuk jinas-jinas yang menunjukkan kelebihan,
kefasihan, dan penjelasan.
3. Sebagai pengulangan satu kisah dengan kata-kata yang berbeda menuju makna yang
sama.
H. Pengaruh Fawāṣil al-Ayyi dalam Penafsiran.
13
Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum al-Qur`an terj Tim Editor Indiva, 570.
14
Wawan Ridwan AS, “Al-Fawasil (Pemisah Ayat) dan Ru’us Al-Ayy (Ujung Ayat)” dalam
https://wawanridwan0314.blogspot.com/2014/-4/al-fawasil-pemisah-ayat-dan -ruus-al.html (diakses pada 11
Oktober 2021).
Keistimewaan al-Quran sebagai mukjizat dari Allah mewajibkan seseorang
memahami dengan benar iomu-ilmu dalam al-Qur`an agar tidak terjadi kekeliruan dalam
penafsiran. Salah satu syarat bagi seorang penafsir yaitu memahami mendalam ilmu-ilmu
dalam al-Qur`an. Fawashil merupakan salah satu bagian dari ilmu al-Quran, sehingga
berpengaruh bagi penafsir diharuskan memahami fawasil untuk menafsirkan al-Qur`an.
Dimana berguna untuk mengetahui ilmu-ilmu al-Quran, termasuk keindahan bahasa al-
Qur`an atas keotentikannya. Pengetahuan mufassir terhadap fawashil menjadikan
penafsir faham dalam menyampaikan al-Quran dan menghindarkan umat manusia dalam
memahami ayat-ayat al-Qur`an , sehingga keotentikan al-Qur`n tidak diragukan sebagai
Mukjizat dan pedoman umat Islam.
I. Kesimpulan
Sebuah metode yang membedakan antara al-Qur`an dengan semua pembicaraan
yang lain salah satunya yaitu fāṣilah. Dimana fāṣilah dapat terjadi untuk beristirahat
sebentar agar pembicaraannya menjadi baik. Disebut Fawashil karena dua perkataan itu
terpisah padanya, yaitu bahwa akhir ayat merupakan pemisah antara ayat itu dengan ayat
sesudahnya.

Tambahan:
Ujung ayat pasti fawasil kalau fawasil tidak pasti di ujung ayat. Fawasil seperti
qafiyah tetapi tidak sama, qafiyah adalah huruf huruf di ujung bait syi’ir . Fasilah hampir
mirip dengan sajak, sajak biasanya hampir sama, qafiyah ada satu atau dua kata, berbeda
tidak semua sama, ada huruf qafiyah sendiri. Ketiga itu termasuk balaghah.
Macam ada 5, mudhtarib, mutawazan, murosho’, mutawatil,
Seperti waqara aqwara, wazan beda tapi hukum sama. Kalau sajak tidak harus
satu kalimat bisa sebagian.
Mutawazzi, wazan dan qafiyah sama marfuah maudhu’ah, tapi hukumnya beda
Murosho’,Sama wazan dan qafiyah, ayat pertma berlawanan dengan kedua,
fisabahumsama hum hum tapi arti beda
Mutawatil, Sama wazan berbeda di kalimat seperti wanumariqu masfufah,
ma’utsah
Mutawasil, sama wazan beda kata .
Manfaat : unt memahami makna, unt bisa tempat berhenti.
Kebanyakan fawasil di akhir ayat, meskipun ada yang ditengah. Mulai dari huruf
akhirnya yang sama, maknanya sambung,
DAFTAR PUSTAKA

Ghani, Kamāl al-Dīn ‘Abd. Al-Fawaṣil al-Āyāt al-Qur`aniyyah. Iskandaria: al-Jāmi’ī al-Hadīth,
1999.
Ridwan AS, Wawan. “Al-Fawasil (Pemisah Ayat) dan Ru’us Al-Ayy (Ujung Ayat)” dalam
https://wawanridwan0314.blogspot.com/2014/-4/al-fawasil-pemisah-ayat-dan -ruus-
al.html (diakses pada 11 Oktober 2021).
Suyūṭi (al) Jalāl al-Dīn. Al-Itqān Fī Ulūm al-Qur`an. Bairut: Risalah Publishers: 2008.
Suyuthi Imam. Al-Itqan Fi Ulum al-Qur`an terj Tim Editor Indiva. Indiva Pustaka: Surakarta,
2009.

Anda mungkin juga menyukai