Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Ad-Dakhil Fii Al Tafsir Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH., Ph.D

AD-DAKHIL MELALUI RIWAYAT HADIS MAUDHU’

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

ISTIANA SUKMA ARUM (11930221111)

JUNIA NOSA NOFIANTI (11930220887)

KUN NAJIIHAH (11930225345)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIMRIAU

TA. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang syafa’atnya selalu kita nantikan di akhirat kelak.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ad-Dakhil Fii Al Tafsir
di program studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir kelas B semester 6 oleh dosen
pengampu Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH., Ph.D dengan pokok bahasan “AD-
DAKHIL MELALUI RIWAYAT HADIS MAUDHU’ ”.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan maupun isinya. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun atau
memperbaiki demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 12 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ …...1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... …...1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... …...1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Maudhu’…………………………………………….. ……..3
B. Contoh Ad-Dakhil melalui hadis maudhu..........................................................3
C. Kritik Terhadap Tafsir Yang Bersumber Dari Hadits Maudhu’………………6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................. …...9
B. Saran ............................................................................................................ ….10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an telah di
sepakati oleh ulama dan tokoh-tokoh umat Islam. Setiap gerak dan
aktivitas umat, harus berdasarkan petunjuk yang ada dalam al-Qur’an dan
hadits. Begitu pula jika ada permasalahan yang muncul di tengah
masyarakat, tentu haruslah diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya.
Cara penyelesaian dan jalan keluar yang terbaik adalah dengan
berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits.
Namun sangat disayangkan keberadaan hadits yang benar-benar
berasal dari Rasulullah Saw, dinodai oleh munculnya hadits-hadits
maudhu’ (palsu) yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang tertentu
dengan tujuan dan motif yang beragam, dan disebarkan di tengah-tengah
masyarakat oleh sebagian orang dengan tujuan yang berbeda-beda.
Meyakini dan mengamalkan hadits maudhu’ merupakan suatu
kekeliruan yang besar, karena meskipun ada hadits yang maudhu’ yang
isinya baik, tetapi kebanyakan hadits palsu itu bertentangan dengan al-
Qur’an dan Sunnah, serta pembuatan hadits maudhu’ itu sendiri termasuk
perbuatan dusta kepada Nabi Muhammad Saw. Maka dalam hal ini,
penulis membahas tentang “Al-Dakhil Melalui Riwayat Hadits Maudhu”
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hadis Maudhu’?
2. Apa saja contoh Ad-Dakhil melalui riwayat Hadis Maudhu’?
3. Bagaimana kritik Terhadap Tafsir Yang Bersumber Dari Hadits
Maudhu’?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Hadis Maudhu’.
2. Untuk mengetahui apa saja contoh Ad-Dakhil melalui riwayat Hadis
Maudhu’.

1
3. Untuk mengetahui kritik terhadap tafsir yang bersumber dari hadits
Maudhu’

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Maudhu’
Maudhu’ menurut Bahasa artinya sesuatu yang diletakkan.
Sedangkan menurut istilah : “Sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu
dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara dusta.”1
Dapat diberikan kesimpulan bahwa Hadits maudhu’ ialah sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik dalam hal tindakan
atau perbuatan, perkataan, ketetapan. Tepatnya para ulama hadits
mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tidak pernah keluar dari Nabi
Muhammad Saw. Baik dalam hal perkataan, perbuatan atau ketetpan,
tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja.2
B. Contoh Ad-Dakhil melalui riwayat Hadis Maudhu’
Ad-Dakhil melalui riwayat hadits maudhu’ yaitu menafsirkan al-Qur’an
dengan hadits yang tidak layak dijadikan hujjah. Seperti menafsirkan al-Qur’an
dengan hadits dha’if dan hadits palsu. Apalagi jika sebab ke-dha’ifan hadits
tersebut sesuatu yang tidak mungkin direhabilitas seperti unsur ‘adalah atau
integrasi rawi.3
Tema al-wadh’ dalam hadits diartikan sebagai kebohongan semata
kepada Rasulullah SAW. Kata al-wadh’ juga bermakna sebagai praktek yang
amat luas dalam rangka memasukkan berbagai kebohongan dalam hadits Nabi
SAW.

1. Hadits maudhu’ yang membicarakan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang
terangkum dalam surat al-maidah ayat ke 55 .

َّ ‫صلكنة ككرويوؤ ْ تونَك‬


‫رٱلز كِنة ككرو وره ْم ك‬
‫رَٰ عُِونَكر‬ ۟ ‫ۥروٱلَّذعينك ر كءا كمنو‬
َّ ‫نارٱلَّذعينك ريو عقي ومنَك رٱل‬ ‫سنلوهو ك‬
‫رو كَٰ و‬ َّ ‫ارو عليُّ وك وم‬
‫رٱَّللو ك‬ ‫إعنَّ كم ك‬

1
Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm.145
2
M. Ilham Tanzizullah, “Deligitimasi Hukum Islam: Studi Terhadap Hadits Maudhu’”. Journal
Of Law and Family Studies. Vol,1 No,2. (2019). Hal.231
3
Mohamad Syasi, Ashil dan Ad-Dakhil Dalam Tafsir Bi al-Ma’tsur, karya imam al-suyuthi

3
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah allah, Rasul nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada allah).

Ayat tersebut turun kepada Ali bin Abi Thalib waktu dalam posisi shalat
dan hala tersebut banyak disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam penafsirannya
melalui jalan dan hukum yang banyak dan dari setiap jalur terdapat kelemahan
pada perawinya atau palsu seperti halnya hadits yang datang dari jalur Al-Kalbi.4

2. QS. Al-Mu’minun : 71

‫رو كمنر كفبع عه َّنر كب ْلرأكتك ْينكا وه ْمر‬


‫ض ك‬‫عرواأل ك َْٰ و‬
‫س كم كاوات ك‬ ‫كولك عناتَّبك كعرال كح ُّقرأ ك ْه كنا كء وه ْمرلك كف ك‬
َّ ‫سدكتعرال‬
‫بع عذ ِْ عر عه ْمرفك وه ْمر كع ْنر عذ ِْ عر عه ْمر ُّم ُْ عر و‬
‫ض ْنَكر‬

‫ الحق‬dalam ayat di atas ditafsirkan sebagai ke-wilayah-an Amirul


Mukminin, yakni Ali ibn Abi Thalib. Penafsiran ini sebagaimana hadits
yang dinukil oleh al-Tabataba’i berikut ini :

‫ر( كو كل عنات َّ كب كعرال كح ُّقرأ ك ْه كنا كء وه ْمرلكفك ك‬:‫ع ْنرأ ك عبير كج ُْفك كررفعيرقك ْن عل عهرت ك كُالكي‬
‫سدكتعر‬ ‫اَٰودر ك‬
‫ج ور‬‫رأ كعربيرال كر‬
‫سلَّ كمر‬
‫رو ك‬ ‫صلَّىرهللاور ك‬
‫علك ْي عه ك‬ ‫س ْنلورهللاعر ك‬ ‫رال كح ُّق ك‬:‫رو كمنرفك عب عه َّن)رقكا كل‬
‫رَٰ و‬ ‫ض ك‬‫عرواأل ك َْٰ و‬
‫س كم كاوات ك‬
َّ ‫ال‬
‫س ْرن ور‬
‫لر‬ ‫الر ور‬ ‫كرقكر ْرنرلو رهور(قكر ْردر كر‬
‫جا كرء ورِ ورمر َّر‬ ‫عكرلىر رذكاعرل كر‬
‫لر كر‬ ‫س كر‬
‫ل كرمر كروال ردَّعرل ْري ور‬ ‫كوأ ك عمي و ْررال ومؤ ْر عم عني ْنكرر كر‬
‫عكرل ْري عرهرال َّر‬
.‫ليكر عرةررأك عرم ْري ورررال ورمؤ ْر عرمعرن ْرين‬
‫نر كرَٰعرب ورك ْرم)رير ْرُنعريرعرب عرن ك ر‬
‫قر عرم ْر‬
‫ح عر‬
‫عربال كر‬

Diriwayatkan oleh Abi al-jarud, dari Abi ja’far terhadap firman Allah Swt
: ‘Dan seandianya kebenaran itu menurut keinginan mereka, pasti
binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada didalamnya.’ Ia berkata :
Kebenaran yang dimaksud adalah Rasulullah Saw dan Amirul Mukminin
as. Petunjuk tersebut berdasarkan firman Allah : ‘Sungguh! Telah datang
Rasul (Muhammad) kepadamu yang membawa kebenaran dari Tuhanmu.’
Kebenaran yakni ke-wilayah-an Amirul Mukminin.

4
Jamal Musthafa, Ushul al-Dakhil fi Tafsiri ayi -Tanzil (cet. 1, 2001), hlm.182

4
Biografi dan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi :

Abu Ja’far adalah nama lain dari Muhammad ibn ‘Ali ibn al-
Husain ibn Ali ibn Abi Talib al-Quraishi al-Hashimi al-Madani. Ibn
Hibban menyebutnya dalam kitabnya. Ia adalah seorang tabi’in, ia juga
dikenal sebagai salah satu Imam 12 Syi’ah yang bergelar al-Baqir.

Abu al-Jarud adalah nama lain dari Ziyad ibn al-Munzir. Al-Jurjani
dan Ibn Sahin menghukuminya sebagai seorang pendusta (kazzab). Al-
Zahabi lebih ringan menilainya, yakni masih dalam tahap tertuduh
berdusta (muttaham bi al-Kazib), serta termasuk rafidah. Demikian juga
Ibn al-Jauzi menilainya.

Melihat penilaian ulama al-jarh tentang Abu al-Jarud diatas,


bahwa ia adalah seorang yang tertuduh berdusta atau bahkan ada yang
menilainya sebagai seorang pendusta, maka dapat disimpulkan bahwa
hadits yang diriwayatkannya masuk dalam kategori al-matruk. Hal ini
sebagaimana penilaian dari al-Nasa-i dan Abu Nu’aim al-Asbahani, bahwa
hadits yang diriwayatkan adalah hadits matruk.

3. QS. Al-Fatihah : 6

‫سرت كعرق ْري كمر‬ ‫ارالص كررا كر‬


‫طرال ورم ْر‬ ‫اعر ْره عردنك ع ر‬

Sebagaimana penjelasan al-Tabataba’i, yang dimaksud dengan al-


sirat al-mustaqim adalah Amirul Mukminin, yakni sahabat Ali bin Abi
Talib . riwayat ini dinukilnya dari Tafsir al-‘Ayyash karya al-Ayashi.
Redaksi hadisnya sebagai berikut:

‫كارالص كرا ك‬
‫طر‬ َّ ‫علك ْي عهرال‬
‫ر(إع ْه عدن ع‬:‫س كل كمرقكا كل‬ ‫ع ْنرأ ك عبير ك‬
‫ع ْبدعهللار ك‬ ‫ع ْنردك واودكرب ْنرفكرقكدر ك‬
‫ك‬
.‫ع كل ْي عه‬ ‫ال وم ْست ك عقي ك ْم)ر كي ُْ عنيرأ ك عمي و ْررال ومؤ ْ عم عني ْنك ر ك‬
‫صلك كناتو رهللار ك‬

5
“Dari Daud ibn Farqaq, dari Abi ‘Abdillah as., ia berkata:
Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan Amirul Mukminin (Ali ibn
Abi Talib)”.

Setelah dilakukan penelusuran, hadis diatas juga terdapat dalam


kitab tafsir al-Burhan karya al-Bahrani dan Tafsir al-Qummi karya
Qummi. Dalam Tafsir al-Burhan, hadis ini sama-sama diriwayatkan
melalui jalur Abu ‘Abdillah , hanya saja hadis yang ditampilkan oleh al-
Bahrani memiliki matan yang lebih lengkap.

Biografi dan al-Jarh wa al-Ta’dil Perawi :

Adapun terkait dengan perawi hadisnya, Abu ‘Abdillah adalah


nama lain dari cucu Rasulullah Saw., yakni Husain ibn ‘Ali ‘Ibn Abi
Talib. Beliau adalah seorang sahabat yang dijamin keadilannya, dalam
istilah hadis disebut dengan ‘adalah.

Sementara Daud Ibn Farqaq, tidak ditemukan biografi tentangnya,


atau dalam hadis lazim disebut dengan perawi al-Majhul. Al-Majhul
adalah orang yang tidak diketahui jati dirinya atau sifat-sifatnya. Oleh
karena itu hadis yang diriwayatkannya ditolak oleh ulama hadis, sampai
namanya dapat diketahui dengan jelas. Demikian menurut Manna al-
Qattan dalam kitabnya.5

C. Kritik terhadap Tafsir yang Bersumber dari Hadits Maudhu’

Tafsir adalah lahan yang sangat subur bagi tumbuh dan


berkembangnya hadits maudu’ (palsu). Para pembuat hadits palsu
terkadang meletakkan hadits maudu’ bersanding dengan asbab nuzul ayat
untuk menjustifikasi pendapat mereka ada yang menjadikan hadits palsu
sebagai alat pembenar bagi keyakinan dan mazhab yang mereka anut.

5
Siar Ni’mah, Jurnal Al-Dakhil Dalam Tafsir, Vo. 9, No. 1, Tahun 2019, hlm.51-53

6
Penetrasi dan infiltrasi hadits palsu kedalam ranah al-Quran sudah
dimulai sejak dini. Bahkan diriwayatkan dari Ahmad ibn Hambal (w.241
H) bahwa ia berkata :”ada tiga hal tidak memiliki sumber yang valid (
laysa lahu asl ) yaitu :tafsir, al-malahim dan al-maghazi”. Dalam riwayat
lain dikatakan :” tiga kitab yang tidak memiliki sumber valid yaitu : al-
maghazi, al-malahim dan al-tafsir.

Terlepas dari sahih tidaknya riwayat diatas yang jelas, pertanyaan


Ahmad ibn Hambal tersebut mengindikasikan masifnya pelansiran hadits
palsu dalam kitab-kitab tafsir pada era dimana Imam Ahmad hidup. Jika
diabad ke 3 hijriyah saja intensitas periwayat hadits palsu sudah
sedemikian kuatnya, maka tidak menutupi kemungkinan bila di era-era
setelahnya akan sedemikian masif. Benar saja, kesimpukan ini pun
didukung Ibn Taymiyah melalui pernyataan bahwa kitab-kitab tafsir telah
banyak tersisi dengan hadits-hadits palsu yang tidak memiliki sumber
yang valid, seperti hadis-hadits yang dilansir oleh al-Sa’labi (w.427 H), al-
Wahidi (w. 468 H) dan al-Zamakhsyari (467-538 H) mengenai keutamaan
surah-surah Al-Quran.

Dari sisi sanad, kepalsuan hadits terindikasi dari hal-hal berikut :


pertama, perawi yang dikenal pembohong (al-kazib ) meriwayatkan suatu
hadits secara mandiri dan tidak didukung oleh riwayat lain dari perawi
yang siqad ( terpercaya). Kedua, pengakuan perawi sendiri bahwa ia telah
memalsukan hadits. Ketiga, perawi meriwayatkan sebuah hadits dari
seseorang yang dipastikan tidak pernah ditemuinya sebab sang guru sudah
meninggal dunia jauh sebelum si perawi itu dilahirkan. Keempat, dari sisi
psikologis diketahui bahwa si perawi berkata bohong dan mengada ada.
Hal ini disebabkan karena perawi sedang dalam kondisi marah atau senang
yang berlebihan. Sementara dari sisi matan dapat diketahui dari beberapa
indikator antara lain, pertama, terdapat ambiguitas dalam matan hadits,
baik dari sisi redaksi maupun makna. Kedua, isi hadits dan kesepakatan
mayoritas ulama. Ketiga, matan bertentangan dengan rasionalitas akal.

7
Keempat, terdapat kontradiksi antar matan dengan fakta sejarah. Kelima,
matan hadits terlalu hiperbolis dan membesar-besarkan persoalan yang
sejatinya sederhana. Keenam, matan hadits berisi tentang keutaman ahlul
bait sementara perawinya berasal dari kelompok Syi’ah Rafidah.6

6
Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir (Jakarta : QAF, 2019), hlm. 145-153

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Maudhu’ menurut Bahasa artinya sesuatu yang diletakkan.
Sedangkan menurut istilah : “Sesuatu yang diciptakan dan dibuat-
buat lalu dinisbatkan kepada Rasulullah Saw secara dusta.”
2. Ad-Dakhil melalui riwayat hadits maudhu’ yaitu menafsirkan al-
Qur’an dengan hadits yang tidak layak dijadikan hujah. Seperti
menafsirkan al-Quran dengan hadits dha’if dan hadits palsu. Apalagi
jika sebab ke-Dha’ifan hadits tersebut sesuatu yang tidak mungkin
direhabilitas seperti unsur ‘adalah atau integrasi rawi.
3. Tafsir adalah lahan yang sangat subur bagi tumbuh dan
berkembangnya hadits maudu’ (palsu).Para pembuat hadits palsu
terkadang meletakkan hadits maudu’ bersanding dengan asbab nuzul
ayat untuk menjustifikasi pendapat mereka ada yang menjadikan
hadits palsu sebagai alat pembenar bagi keyakinan dan mazhab yang
mereka anut.
4. Secara garis besar paramenter kritisisme hadits palsu dapat dilakukan
dari dua jalur yaitu sanad ( rangkai perawi ) dan matan hadits. Dari
sisi sanad, kepalsuan hadits teridikasi dari hal-hal berikut :pertama,
perawi yang dikenal pembohong (al-kazib ) meriwayatkan suatu
hadits secara mandiri dan tidak didukung oleh riwayat lain dari
perawi yang siqad ( terpercaya). Kedua, pengakuan perawi sendiri
bahwa ia telah memalsukan hadits. Ketiga, perawi meriwayatkan
sebuah hadits dari seseorang yang dipastikan tidak pernah
ditemuinya sebab sang guru sudah meninggal dunia jauh sebelum si
perawi itu dilahirkan. Keempat, dari sisi psikologis diketahui bahwa
si perawi berkata bohong dan mengada ada.Hal ini disebabkan
karena perawi sedang dalam kondisi marah atau senang yang
berlebihan.

9
5. Sementara dari sisi matan dapat diketahui dari beberapa indikator
antara lain, pertama, terdapat ambiguitas dalam matan hadits, baik
dari sisi redaksi maupun makna. Kedua, isi hadits dan kesepakatan
mayoritas ulama. Ketiga, matan bertentangan dengan rasionalitas
akal.Keempat, terdapat kontradiksi antar matan dengan fakta sejarah.
Kelima, matan hadits terlalu hiperbolis dan membesar-besarkan
persoalan yang sejatinya sederhana.Keenam, matan hadits berisi
tentang keutaman ahlul bait sementara perawinya berasal dari
kelompok Syi’ah Rafidah.
B. SARAN
Dengan tersajinya makalah ini, semoga dapat menjadi bahan
bacaan dan menambah wawasan serta pengetahuan pembaca. Penulis
sangat yakin bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam
makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya
dan menjadi lebih sempurna.

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,


2005.
Musthafa, Jamal, Ushul al-Dakhil fi Tafsiri ayi -Tanzil , 2001.

Ni’mah, Siar, Jurnal Al-Dakhil Dalam Tafsir, Vo. 9, No. 1, Tahun 2019.

Syasi, Mohamad, Ashil dan Ad-Dakhil Dalam Tafsir Bi al-Ma’tsur, karya imam
al-Suyuthi.
Tanzizullah, M. Ilham, Deligitimasi Hukum Islam: Studi Terhadap Hadits
Maudhu, Journal Of Law and Family Studies. Vol,1, No, 2, Tahun 2019.

Ulinnuha, Muhammad, Metode Kritik Ad-Dakhil Fit-Tafsir Jakarta : QAF, 2019.

11

Anda mungkin juga menyukai