Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MEMBAHAS KITAB TAFSIR KLASIK


“KITAB TAFSIR MA’ANIL QURAN (AL-FARRA)”
DOSEN PENGAMPU:
H. Husin Abdul Wahab, Lc. MA. Ph. D

Disusun Oleh
KELOMPOK 3 :
1. Ahmad Torik 301210008
2. Pajriatul Camelia 301210039
3. Reza Hadinata 301210040
Kelas : 4A/IAT

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TA. 2022/202
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan atas kehadirat allah swt yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya. Sehingga kita masih dalam keadaan
sehat wal afiat sekarang ini. Salawat serta salam tak lupa pula kita
sampaikan kepada Baginda Rasulullah SAW, yang telah membimbing
umatnya menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Dengan segenap kerendahan hati, kami sebagai penulis ingin


berbagi sedikit ilmu mengenai tugas makalah mata kuliah Membahas
Kitab Tafsir Klasik, yang mana membahas tentang Kitab Tafsir Ma’anil
Quran (Al-Farra).

Kami menyadari sepenuhnya di dalam penulisan makalah ini banyak


terdapat kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan
makalah ini. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan
khususnya bisa bermanfaat bagi penyusun, terlebih dalam menambah
wawasan kita dalam mempelajari mengenai berbagai pembahasan kitab-
kitab Tafsir Klasik lainnya.

Jambi, 27 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3

A. Biografi Al-Farra .................................................................................... 3


B. Kitab Tafsir Ma’anil Qur’an ................................................................... 4
C. Pandangan Tafsir Ma’anil Qur’an Terhadap Beberapa Ayat Al-Qur’an ... 8

BAB III PENUTUP ..........................................................................................14

A. Kesimpulan ............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, sebab
konteks sosio-geografis di mana Al-Qur’an turun adalah Arab, dan Nabi
Muhammad Saw sendiri sebagai penerima wahyu juga orang Arab. Pada
saat Al-Qur’an turun, orang-orang Arab secara umum dapat memahami
bahasa Al-Qur’an dengan baik, sebab mereka masih memiliki cita rasa
bahasa yang tinggi. Meski memang ada sebagian kata dalam Al-Qur’an
yang sulit dimengerti maksudnya oleh sebagian para sahabat.

Ketika Nabi Saw masih hidup, para sahabat dapat langsung bertanya
kepada Rasulullah, bila mereka tidak mengetahui maksud (pentafsiran)
suatu ayat dalam Al-Qur’an. Namun pasca wafatnya beliau, dan Islam mulai
tersebar ke luar jazirah Arab, problematika penafsiran semakin serius, sebab
para sahabat tidak lagi bisa bertanya langsung kepada Nabi Saw. Hingga
pada perkembangan-perkembangan selanjutnya, para ulama terutama mulai
era tabi’in dan pakar bahasaArab berusaha menyusun kitab tafsir Al-Qur’an
untuk memudahkan dalam memahami bahasa Al-Qur’an. Pasalnya, Al-
Qur’an memang memiliki dimensi sastra yang tinggi, sehingga diperlukan
pendekatan linguistik Arab dalam memahami hal-hal tersebut. Itulah
mengapa para ulama menegaskan bahwa salah satu prasyarat pokok, dalam
menafsirkan Al-Qur’an adalah memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
memadai.

Pemahaman terhadap Al-Qur`an secara benar juga dibutuhkan,


sebagai referensi utama ajaran Islam, sangatlah vital. Ia menempati
posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan
disiplin keilmuan islam, tetapi juga karena perannya yang merupakan
innovator sekaligus inspiratory bagi setiap gerakan umat selama ini. Tidak
dapat dipungkiri bahwa al-Quran telah diturunkan sejak berabad-abad
lamanya di zaman Rasulullah Saw dan menggambarkan tentang kejadian
masa itu dan sebelumnya sebagaimana yang terkandung dalam Qashash al-
Quran, namun ajaran-ajaran yang dikandung dalam al-Quran adalah ajaran
yang relevan yang dapat diterapkan di segala tempat dan zaman. Maka dari
itu, tak salah jika kejadian-kejadian masa turunnya al-Quran adalah
dianggap sebagai perjalanan sejarah umat manusia pada fase berikutnya.
Dan tidak heran jika penafsiran-penafsiran yang telah diusahakan oleh
ulama klasik perlu disesuaikan kembali dalam masa sekarang.

1
Dari sekian tokoh mufasir yang dikenal sebagai ahli bahasa adalah
Abu Zakariyya Yahya Ibn Ziyad Al-Farra (w. 207 H). Beliau memiliki salah
satu karya yang sangat monumental yaitu, Ma ’anil Qur’an. Kitab tafsir
tersebut dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir pertama kali yang
dikodifikasikan. Dari sekilas ulasan di atas, penulis menilai perlu
kiranya untuk mengelaborasi lebih mendalam, guna melihat corak
penafsiran al-Farra, terutama dari kitab Ma‘anil Qur’an beliau. Tujuannya
adalah agar mendapatkan segala informasi yang berkaitan dengan aspek
riwayat latar belakang kehidupan singkat al-Farrā`, serta aspek-aspek
dalam penulisan kitab tersebut, baik sistematika penyusunan, latar
belakang, dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Al-Farra sebagai penulis kitab Tafsir Ma’anil
Qur’an?
2. Apa latar belakang, dan sistematika penulisan kitab Tafsir Ma’anil
Qur’an milik Al-Farra?
3. Bagaimana pandangan kitab tafsir Ma’anil Qur’an terhadap
beberapa ayat Al-Quran, baik ayat-ayat mutasyabihat, dan ayat yang
berkaitan dengan ruang lingkup bahasan empat imam Madzhab
Fiqh?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi Al-Farra sebagai penulis kitab Tafsir
Ma’anil Qur’an
2. Untuk memahami latar belakang, dan sistematika penulisan kitab
Tafsir Ma’anil Qur’an milik Al-Farra
3. Untuk mendalami pandangan kitab tafsir Ma’anil Qur’an terhadap
beberapa ayat Al-Quran, baik ayat-ayat mutasyabihat, dan ayat yang
berkaitan dengan ruang lingkup bahasan empat imam Madzhab Fiqh

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farra
Nama lengkap Al-Farra adalah Abu Zakariya Yahya bin Ziyad
bin Abdullah bin Manzur bin Marwan Al-Aslami Al-Daylami Al-Kufi.
Beliau dilahirkan di Kota Kufah tahun 144 Hijriah dan wafat pada tahun
207 Hijriah. 1 Beliau disebut sebagai a’lam al-kuffiyyin ba’da al-kisa’i
(orang Kufah yang paling alim sesudah al-Kisa’i). Ayah dari Al-Farra
adalah Ziyad bin Aqta’ seorang ulama yang sangat cinta kepada
Rasulullah SAW. Gelar al-Farrā` yang disandangnya, merupakan bukti
atas kemampuan yang dikuasainya, terutama dalam dunia sistematika
berbicara dan tulisan. Dari penelusuran lain, al-Farrā` merupakan gelar
kehormatan yang disematkan kepada beliau sebagai apresiasi atas
kemampuan beliau dalam memecahkan permasalahan, dan
mengalahkan lawan pada suatu permasalah dalam perdebatan. Jika
ditinjau dari penyematan laqab al- Dailamiy, maka kata tersebut tidak
lain menunjukkan sebuah daerah yang terdapat di Persia. 2
Sejak kecil, Al-Farra sudah memperlihatkan minat terhadap ilmu
dan ketekunannya dalam belajar serta rajin menghadiri majelis
pengajian ulama, baik yang ada di Kufah, Basrah dan Baghdad. Beliau
aktif mengikuti halaqah para pakar hadis, ahli qira’at, ulama fikih,
perawi puisi arab, akhbar al-‘arab dan ayyam al-‘arab, yang
menjadikannya berilmu sangat luas tentang ilmu-ilmu bahasa arab,
keislaman, dan ilmu lain yang masuk ke negara arab. Karenanya al-
Farra dapat menuntut ilmu dari sekian banyak guru yang berkaliber
tinggi, beberapa guru beliau yang masih dapat dilacak, di antaranya:
Sufyān ibn ‘Uyainah, Abū Bakr ibn Mayyās, Qāis ibn Rabā’, Mandal
ibn ‘Alī, bahkan sekelas pujangga besar spesialis bahasa yaitu al-
Kissa’i.

Selama di Basrah, Al-Farra menunjukkan perhatian yang cukup


besar untuk menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu-ilmu Al-Qur’an,
qira’at dan tafsirnya. Sekembalinya dari Basrah, beliau melanjutkan lagi
pendidikannya ke Baghdad dan berguru kepada Al-Kisai, kepadanya ia

1
Najmuddin H. Abd. Safa, “Perbandingan Metode Nahwu Al-Akhfash Dan Al-Farra
Dalam Kitab Ma’ani Al-Qur’an”, Bahasa Dan seni, 36, No. 2 (2008), 3.
2
Moch. Kalam Mollah, “Pendidikan Kebahasaan Dalam Penafsiran Al-Qur`an Model Al-
Farā’,” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 7, no. 1 (June 30, 2017): 168, accessed
March 27, 2023, http://ejournal.kopertais4.or.id/susi/index.php/elbanat/article/view/2943.

3
Belajar tentang ilmu nahwu. Sedangkan ilmu fiqih dan hadis ia pelajari
dari Sufyan bin Uyainah, dan ilmu qira’at ia belajar dari Kisa’i dan
Muhammad bin Hafsh. Namun dari serangkaian ilmu yang dikuasai,
ilmu nahwu lah yang lebih dominan ia tekuni.
Perannya dalam dunia pendidikan tergambar dalam kepiawaian
dalam ilmu kebahasaan. Kemampuan ini telah memberikan andil besar
dalam perkembangan bahasa Arab hingga saat ini. Hal ini diakui oleh
Tha‘lab, ia memvisualisasikan keadaan bahasa Arab pada saat itu, yang
berada dalam kondisi yang menurutnya kritis. Ini disebabkan oleh
penggunaan istilah-istilah yang dibuat-buat sendiri oleh para sarjana,
untuk kemudian mereka klaim hal-hal tersebut sebagai istilah baku
dalam bahasa Arab.

Adapun terkait perbedaan para pakar terkait hal penentuan kapan


al-Farrā` wafat. Meskipun mayoritas menilai al-Farrā` wafat di usia 63
tahun dalam perjalanan ke Mekkah pada tahun 207 H, namun pakar
sejarah lain semisal Ansab al-Sam’āni menilai bahwa al-Farrā` dewasa
meninggal pada tahun 209 H.3 Terlepas dari perbedaan tersebut, selama
perjalanan hidupnya, al-Farrā` tercatat telah menulis sekitar 17 buku
yang lahir dari penanya. Di antara karyanya adalah Tafsīr Ma’ānīy al-
Qur`ān, Alat al-Kitāb, al-Ayyāmu wa al-Layālī, al-Bahā’, al-Jam’u wa
Tanbīh fī al-Qur`ān, dan al-Hudūd, serta beberapa karya lain yang berisi
tentang kaidah bahasa arab, seperti Hurūf al-Mu’jam, al-Fakhīr fī al-
Amthāl, fi’il wa Af’āl, al-Lughāt, dan banyak lainnya.

B. Kitab Tafsir Ma’anil Qur’an


1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Ma’anil Qur’an
Al-Farra menulis kitabnya Ma ani Al- Qur’an antara tahun
202-204 H. Beliau menulis bukunya itu sebelum wafat. Hal itu
menunjukkan bahwa beliau menulis kitabnya dalam puncak
kematangan ilmu dan pemikirannya. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan kalau Al-Ansari, mengatakan bahwa Ma’ anil Al-Qur’an
karya Al-Farra merupakan dairat al-ma’arif (ensiklopedia) yang
menghimpun berbagai cabang ilmu, seperti aliran nahwu dan
kebahasaannya, begitu juga aliran tafsir dan akidahnya yang
berdasarkan aliran salafiyan mutaharriran (salaf bebas), cenderung
kepada akidah mu’tazilah. Kitab itu merupakan tafsir yang
memfokuskan kajiannya pada aspek nahwu, balaghah, dan
kebahasaan. Di samping itu, juga dijelaskan asbab al-nuzul, rasm
usmani dan jenis-jenis qira’at dan i’rab dan perbedaannya. Di

3
Ibid., 169.

4
samping itu, juga dijelaskan terkait asbab al-nuzul, rasm usmani dan
jenis-jenis qira at serta perbedaannya.
Adapun latar belakang Al-Farra' menulis kitab Ma’anil Al-
Qur’an tidak lain dengan tujuan, antara lain untuk:
1) Menafsirkan Alquran, menjelaskan makna lafadz-lafadz gharib,
menguraikan qiraat yang bermacam-macam, memaparkan i’rab
ayat-ayat Alquran dan pendapat para tokoh nahwu secara umum
dan tokoh aliran Kufah pada khususnya,
2) Dihadiahkan kepada Khalifah Al-Ma’mun,
3) Memenuhi permintaan Umar bin Bakir yang merupakan
penasihat gubernur Al-Hasan bin Sahal.

2. Sistematika Penulisan tafsir Ma’anil Al-Qur’an


Sistematika penyajian kitab tafsir Ma’âni al-Qur`ân dapat
dikategorikan dalam sitem mushafi. Meskipun jika dilihat al-Farra`
tidak serta merta menafsirkan secara utuh ayat-ayat al-Qur`an, akan
tetapi al-Farra` lebih memilih menjelaskan ayat-ayat tertentu yang
ia anggap musykil. Contohnya penulis akan paparkan pada
pembahasan tentang corak tafsirnya. Adapun kitab Ma’âni al-
Qur`ân terdiri dari 3 jilid, yaitu:
1) Jilid pertama berisi surah al-Fatihah sampai surah Yûnus,
2) Jilid kedua berisi surat Hud sampai surat az-Zumar dan,
3) Jilid ketiga berisi surat al-Mu`min sampai surat an-Nâs.
Jika dilihat dari aspek metode yang digunakan al-Farra`
yakni metode tahlily (analisis), suatu metode tafsir yang menyoroti
ayat-ayat al-Qur`an dengan memaparkan segala makna dan aspek
yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam al-Qur`an
mushaf Utsmani. Meskipun pada kenyataanya al-Farra` tidak
menguraikan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Qur`an. Hal
ini tidak terlepas dari tujuan al-Farra` sendiri, dimana pada bagian
mukaddimah kitabnya dikatakan bahwa kitab tafsirnya hanya dalam
rangka memberikan uraian pemecahan problem I’râb al-Qur`ân di
samping pemaknaannya.

3. Metode Penafsiran Tafsir Ma’anil Qur’an


Adapun metode yang digunakan Al Farra dalam penulisan
kitab Tafsir Ma’anil Qur’an, adalah dengan menggunakan metode
tahlili, yakni menafsirkan ayat Al-Qur’an secara parsial melalui kata
per-kata dan ayat per ayat, sesuai dengan urutan mushaf (tartib
mushahafi). Metode tahlili memang merupakan metode
konvensional yang banyak dipakai oleh para mufasir klasik.
Sedangkan pendekatan yang dipakai jelas pendekatan linguistik,
terutama pada aspek sintaksis (Nahwu). Hal ini karena beliau

5
memang dikenal sebagai pakar Nahwu Kufah setelah Imam al-
Kisa’i. Bahkan pembahasan masalah Nahwu cenderung lebih luas
dan panjang lebar ketimbang ide-ide pokok dari ayat yang
ditafsirkan. Sedemikian luasnya pembahasan dan diskusi tentang
masalah nahwu, sehingga kitabnya disebut sebagai al-tafsir nahwiy,
yang digunakan alat untuk membela kepentingan madzab Nahwu
Kufah (lita’sil al-Nahwi wa da’mi al-mazhab al-Kufiintilaqan min
al-nass).4
Jika disimpulkan, maka metode tafsir Ma’anil Qur’an secara
garis besar adalah sebagaimana berikut:
1) Al-Farra menafsirkan ayat-ayat Alquran mengikuti urutannya
pada setiap surah, namun beliau hanya menafsirkan kata dan
ayat yang dianggap memerlukan penjelasan dan penafsiran saja,
seperti uraian beliau pada ayat 136 dari surah Al-Baqarah.
2) Al-Farra banyak menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, seperti
dalam menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 72, beliau
mendatangkan beberapa ayat lain seperti surah: Al-Baqarah ayat
51, 52, Al-A raf ayat 73, 86, Al-Anbiya ayat 76, 87, Al-Ankabut
ayat 16, Sad ayat 45 dan Al-Anfal ayat 26.
3) Beliau menjelaskan dan menisbahkan setiap qiraat yang terdapat
pada ayat yang ditafsirkan, seperti pada surah Al-Baqarah ayat
259.
4) Dalam mengemukakan suatu qiraat, beliau menjelaskan bersama
sanadnya, misalnya qiraat Sayyidina Ali pada surah Al-Ra d ayat
35.
5) Al-Farra menafsirkan ayat dengan Hadis Rasulullah saw, seperti
pada surah Al-Takathur ayat 8.
6) Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'-an, beliau menjadikan
kalam al- arab (perkataan orang Arab), baik yang berbentuk
prosa maupun syair sebagai rujukan dalam menjelaskan lafaz-
lafaz ayat Alquran.
7) Al-Farra berusaha dalam kitabnya itu mengkaji Alquran dari
belbagai aspek, namun yang paling menonjol kajian beliau dari
aspek nahwu, kebahasaan dan qira at.

4. Corak Tafsir Ma’ anil Qur’an


Corak tafsir Al-Farra` adalah bercorak linguistik. 5 secara
metodologi produk tafsir linguistik dalam menjelaskan makna
sebuah kata dalam Al-Qur’an, paling tidak menempuh tiga cara:

4
Abdul Mustaqim, “Tafsir Linguistik (Studi Atas Tafsir Ma’ anil Qur’an Karya Al-
Farra)”, QOF, 3, No. 1 (2019), 7
5
Rahmat Nurdin, “Penggunaan Qira’at Dalam Tafsir Ma’ anil Al-Qur’an Karya Al-Farra
(761-882)”, Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum, 3, No. 2 (2017), 152-153.

6
Pertama, menjelaskan makna sebuah kosa kata tanpa menjelaskan
argumentasinya, dari mana makna itu diperoleh, baik dari syair
maupun prosa Arab. Kedua, menjelaskan makna sebuah kata dengan
disertai argumentasinya, dari karya syair jahili maupun prosa yang
ada. Ketiga, dalam menafsirkan Al-Qur’an cenderung bersifat tahlili
(analitis). Artinya bahwa aspek-aspek linguistik yang ada dalam
sebuah ayat diuraikan sedemikian rinci untuk mendapatkan maksud
sebuah ayat.
Dari tiga point di atas, maka dalam kitab tafsir Al-Farra dapat
dilihat berapa contoh penafsirannya terhadap sebuah ayat yang
menjelaskan makna kosa kata yang terkandung dari ayat-ayat Al-
Qur’an. Misalnya penafsirannya terhadap QS. Al-Fatihah. Menurut
Al-Farra' pada kalimat ‫ الحمد‬terdapat beberapa macam versi yaitu:
1) Ahli qira’at bersepakat membaca rafa’ kata ُ‫ح ْمد‬ َ ‫ا َ ْل‬,
2) Sedangkan orang Badui (pedalaman arab) membaca nasab,
yakni ‫ الحمدُهلل‬golongan ini berpendapat bahwasanya kata ُ‫الحمد‬
bukanlah berbentuk isim (kata benda) melainkan mashdar.
Dalam hal ini boleh membaca dengan ُ ‫أحمد ُهللا‬. Lebih lanjut
golongan ini berargumen ketika kata tersebut cocok sebagai
mashdar maka diperbolehkan dengan membaca nasab di atas.

5. Karakteristik/Ciri-Ciri Tafsir Ma’anil Qur’an


Setelah menelaah kitab ma’ānīy al-Qur`an penulis
menemukan beberapa karakteristik dari metode penafsiran al-Farra.
Pertama, dalam kitab tersebut al-Farra tampak berusaha untuk
mengkaji al-Qur`an dari berbagai aspek keilmuan, namun yang
paling menonjol kajian beliau adalah aspek nahwu, atau kebahasaan
dan qirā`āt. Hal ini terlihat pada sebagian besar dari isi kandungan
kitab Ma’ani Al-Qur`an.
Secara umum al-Farrā` nampak menafsirkan bagian-bagian
tertentu atau cenderung menafsirkan ayat secara partial, atau tidak
keseluruhan dari ayat di beberapa bagian Al-Qur`an. Namun hal
berbeda terjadi pada surat-surat bagian akhir al-Qur`an. Pada bagian
akhir al-Qur`an, ia cenderung menafsirkannya secara lengkap. Sebut
saja surat al-‘Adiyat, yang terlihat ditafsirkan secara menyeluruh.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa al- Farrā’ menafsirkan ayat-ayat
al-Qur`an mengikuti urutannya pada setiap surat, namun beliau
hanya menafsirkan kata atau ayat yang dianggap memerlukan
penjelasan dan penafsiran saja, seperti uraian beliau pada ayat- ayat
di atas. Ia hanya menafsirkan sebagian kecil dari potongan ayat-ayat
tersebut yang ia anggap memerlukan penjelasan makna lebih detail
dan mendalam.

7
Sampai di sini al-Farrā` terlihat membawa tafsir Ma’anīy
Qur`ān-nya pada haluan tafsir yang lebih berfokus pada uraian aspek
leksikal dan ragam qira`āh. Dari pemaparan di atas nampak bahwa
al-Farrā` lebih condong kepada penggunaan metode penafsiran bi al-
ma’thūr. Walaupun dalam pelaksaannya, terlihat bahwa model
penafsiran ini didominasi oleh segi linguistik, atau penafsiran
dengan riwayat kebahasaan yang melebihi riwayat lainnya.
Meskipun demikian, ia tidak melupakan model penafsiran lain, baik
yang menafsirkan ayat dengan ayat, sunah, ataupun dengan riwayat
lain. Adapun dalam memahami ayat-ayat seperti yang tersebut
dalam beberapa bagian kitab ma’anīy al-Qur`ān, al-Farrā`
menjadikan pendapat tokoh-tokoh nahwu aliran Basrah dan Kuffah
sebagai rujukan.
Namun secara umum perlu digarisbawahi, walaupun
sebagian besar al-Farra menggunakan metode tafsir bi al-ma‘thūr,
namun kesemua itu sedikit banyak membutuhkan pengembangan.
Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar atau dengan
kata lain, al-Farrā` juga terlihat menggunakan metode tafsir bi al-
ra'yi. Hal ini terlihat terutama dalam memaknai ayat-ayat yang ia
nilai mudah untuk dipahami oleh qāri` al- Qur`an.

C. Pandangan Tafsir Ma’anil Qur’an Terhadap Beberapa Ayat Al-


Qur’an
1. Tafsir Ma’anil Qur’an ayat al-Baqarah ayat 214, yang mana kutipan
teks lengkapnya sebagai berikut:

ُ‫ساء‬ َ ْ ‫ُالبَأ‬
ْ ‫ُولَ َّماُيأتكمُمثلُالذينُخلواُمنُقبلهمُمستهم‬ َ َ‫أ َ ْمُ َح ِسبْت ْمُأَنُتَدْخلواُال َجنَّة‬
ُ‫صرُهللاُِأَالُ ِإ َّن‬ ْ َ‫ُوالَّذِينَ ُآ َمنواُ َم َعهُ َمتىُن‬ َ ‫واُحلىُيقولُالرسول‬
َّ ‫اءُوز ْل ِزل‬
َ ‫َوالض ََّّر‬
ُ‫هللا ُقَ ِريبٌ ُوقولهُأمُحبيتمُإستفهمُبأمُفيُابتداءُليسُقبلهُألفُفيكونُأم‬ ِ ُ ‫ص َر‬ ْ َ‫ن‬
ُ‫ُفهذاُمماُأعلمتكُأنهُيجوزُإذاُكانُقبلهُكالمُيتصلُبهُولوُكان‬،‫َردّا ً ُعليه‬
ُ‫ابتداءُليسُقبلهُكالمُكقولكُللرجلُأعندكُخير؟ُلمُيجزهاُهناُأنُتقولُأم‬
ُ‫ُولوُقلتُأنتُرجلُالُتنصفُأمُلكُسلطانُتدلُبهُلجازُذلك؛ُإذ‬،‫عندكُخير‬
ُ‫اُمن‬ ِ ‫ُولَ َّماُيَأْتِكمُ َّمثَلُالَّذِينَ ُ َخلَ ْو‬
َ َ‫ُأَنُتَدْخلواُال َجنَّة‬:‫ُوقوله‬،‫تقدمهُكالمُفاتصلُبه‬
ُ‫ُأظننتمُأنُتدخلواُالجنةُولمُيصبكمُمثلُماُأصاب ُالذينُقبلكم‬:‫قَ ْب ِلكمُمعناه‬
ُ‫ ُقرأها ُالقراء ُبالنصب ُإال‬..‫ ُوقوله ُوزلزلوا ُحلى ُيقول ُالرسول‬.‫فتختبروا‬
ُ،‫مجاهدا ُوبعض ُأهل ُالمدينةُفإنهما ُرفعاها ُولها ُوجهانُفى ُالعربية ُنصب‬
ُ‫ُفإذاُكانُالفعل‬.‫ُفأماُالنصبُفألنُالفعلُالذيُقبلهاُمماُيتطاولُكالترداد‬،‫ورفع‬
ُ‫صبُبعدهُبحثىُوهوُفىُالمعنىُماضُفإذاُكانُالفعلُالذي‬ ِ ‫علىُذلكُالمعنىُن‬
ُ‫قبلُحتىُالُيتطاولُوهوُماضُرفعُالفعلُبعدُحتىُإذاُكانُماضياُفأماُالفعل‬
ُ‫ُجعلُفالنُيديمُالنظرُحتىُيعرفك؛ُأالُترى‬:‫الذىُيتطاولُوهوُماضُفقولك‬
ُ‫ُفإذاُطالُماُقبلُحتىُذهبُبماُبعدهاُإلىُالنصبُإن‬.‫أنُإدامةُالنظرُتطول‬

8
ُ‫ُقالُوأنشدُفىُبعضُالعربُوهوُالمفضلُمظلوت ُبهم‬.‫كانُماضياُبتطاوله‬
‫حىُالعقلُالغزاتهمُ"ُوحلىُالحياةُماُيقدنُبأرسان‬
Dari kutipan tersebut tampak bahwa al-Farra’ lebih sibuk
mempersoalkan malasah huruf istifham dalam ayat am hasibtum …
dan masalah i’rab pada ayat hatta yaqul al-rasul…, apakah kata
“yaqul” dibaca nasab (berarti yaqula) atau rafa’ (berarti yaqulu).
Akibatnya, pesan mengenai ayat yang ditafsirkan menjadi tidak
terjelaskan sama sekali (Al-Farra’, (tt.) Juz I: 118) dalam al-
Makbatah al-Syamilah). Adapun langkah-langkah metodis yang
ditempuh al-Farra ternyata tidak selamanya bersifat kronologis,
melainkan kadang bersifat acak, sesuai dengan kondisi obyektif
ayat-ayat yang ditafsirkan. Artinya, bahwa suatu ketika misalnya ia
menjelaskan makna kosa kata terlebih dulu, kemudian aspek
fonologinya, baru kemudian menjelaskan aspek perbedaan qira’ah.
Kadang-kadang aspek i’rab atau kedudukan kata atau kalimat, baru
makna kosa kata dan seterusnya.
Namun secara global langkah metodis tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a) Menjelaskan makna kosa kata, terutama yang masih samar dan
asing (ghamid atau gharib)). Sebagai contoh ketika menafsirkan
Q.S. al-Baqarah [2]: 144): fawallu wujuhakum….. Dia berkata,
yuridu nahwahu wa tilqa’ah. Kalau begitu, yang dimaksud
dengan potongan fawallu wujuhakum….. adalah hadapkanlah
wajahmu ke arah ka’bah. Begitu juga ketika menafsir
ayat:”…..fatusbihu sa’idan zalaqa (Q.S. al-Kahfi: 40) dengan al-
zalaq artinya, al-turab allati la nabata fihi (tanah yang tidak ada
tumbuhannya).
b) Menjelaskan bahasa Arab dan cara pengucapannya, atau aspek
fonologinya. Misalnya ketika qul man yakla’ukum (katakanlah
siapa yang memelihar kamu) dalam (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 42).
Dalam bahasa Arab di luar bacaan al-Qur’an bisa dibaca
yaklukum, dan juga yaklakum.
c) Menjelaskan aspek balaghah al-Qur’an, misalnya ketika
menafsirkan ayat-ayat amsal (perumpamaan) dalam Al-Qur’an.
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 171: “Wa masal al-lazina kafaru kamasal
al-lazi yan’qu bi ma layasma’u…” Artinya, Dan perumpamaan
(orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti
penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar
selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta,
maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. Mengapa orang
kafir dijadikan sasaran dakwah Nabi Saw itu diserupakan seperti

9
penggembala yang memanggil binatang? dan tidak dikatakan
seperti kamasal al-ganam (seperti kambing misalnya). Sebab
mereka itu tidak bisa memahami peringatan yang disampaikan
Rasulullah, sebagaimana seorang penggembala ketika menyuruh
ternaknya, “makanlah atau minumlah kamu kambing, niscaya
kambing itu tidak bisa mengerti atau memahami apa yang
diperintahkan penggembala tersebut, kecuali hanya mendengar
suaranya saja.
d) Menjelaskan masalah i’rab atau kedudukan kata atau kalimat.
Misalnya ketika beliau menafsirkan Q.S Ibrahim [14]: 1:

َ ‫ت ُ ِإلَىُال ُّنورُبإِذْ ِن‬


ُ‫ُر ِبّ ِه ْم‬ ُّ َ‫ُمن‬
ِ ‫ُالظل َما‬ َ َّ‫الرُ ِكتَابٌ ُأَنزَ ْلنَاه ُ ِإ َليْكَ ُ ِلت ْخ ِر َج ُالن‬
ِ ‫اس‬
ُ‫ض‬ ِ ‫يُاْل َ ْر‬
ْ ‫ُِو َماُ ِف‬َ ‫س َم َاوات‬ َّ ‫ُال َح ِميدُِ*ُهللاُالَّذِيُلَهُ َماُ ِفيُال‬ ْ ‫يز‬ ْ ‫اط‬
ِ ‫ُال َع ِز‬ ِ ‫ىُص َر‬ ِ َ‫إل‬
ُ‫يز‬ ْ ‫اط‬
ِ ‫ُالعَ ِز‬ ِ َ‫ُإِل‬:‫ُقولُهللاُعز ُوجل‬
ِ ‫ىُص َر‬ ّ ‫شدِي ٍد‬َ ُ‫ب‬ ٍ ‫عذَا‬ ِ َ‫َو َو ْي ٌل ُ ِلّ ْل َكافِ ِرين‬
َ ُ ‫ُم ْن‬
ُ‫ُيخفضُفيُاإلعرابُويرفعُالخفض ُعلىُأنُتتبعه‬...‫هللاِ ُالَّذِي‬...ِ‫ْال َح ِميد‬
ُ َّ‫ع َّز َُُو َجل‬ َ ُ‫(ال َح ِميدِ)ُوالرفعُعلىُاالستئنافُالُنفصالهُمنُاآلية؛ُكقوله‬
ُ،‫ُوأ َ ْم َوالَه ْمُبِأ َ َّنُلَهمُال َجنَّةَُإلىُآخرُاآلية‬ َ ‫سه ْم‬ َ ‫نَُالمؤْ ِمنِينَُأ َ ْنف‬
ْ ‫ىُم‬ ِ ‫إِ َّنُهللاَُا ْشت ََر‬
)‫ثمُقالُالت َائِبونَ ُوفىُقراءةُعبدُهللاُ(التائبين)ُكلُذلكُصواب‬
Tampak jelas bahwa al-Farra’ lebih sibuk menjelaskan
kedudukan kata Allah, apakah akan dibaca jarr atau rafa’. Jika di
baca jarr berarti mengikuti kata al-hamidi, Sedangkan jika
dibaca rafa’, berarti ia menjadi jumlah isti’naf (kalimat
permulaan tersendiri), sembari beliau menujukkan contoh kasus
dalam ayat lain, mengenai bacaan al-taibun atau al-taibin dan
kedua bacaan tersebut benar.
e) Menjelaskan uslub (stilistika Al-Qur’an). Misalnya, ketika
menjelaskan penafsiran ayat: ”falima taqtulun anbiya’ Allah min
qabl… (Q.S al-Baqarah [2]: 91). Mengapa dalam ayat tersebut
terdapat penggunaan fi’il mudlari untuk peristiwa yang sudah
terjadi, sebab di situ ada kata min qabl? Hal itu karena khit}ab
tersebut ditujukan kepada orang-orang di saat al- Qur’an turun,
bukan kepada para pelaku pembunuh para nabi Allah masa lalu,
sebab mereka orang-orang itu rela dengan apa yang dilakukan
para pembunuh nabi Allah, sehingga seolaholah mereka juga
ikut melakukan. (khitab al-hadirin bi ma fa’ala aslafuhum li
ridahum biha).
f) Menjelaskan berbagai perbedaan qira’at yang ada. Misalnya
ketika beliau menafsirkan ayat: “ laqad kana lakum fi rasulillah
uswah hasanah….(Q.S. al-Ahzab [21]:21). Kata uswah, bisa
dibaca iswah dengan kasrah hamzahnya, sebagaimana bacaan
orang-orang Hijaz. Sedangkan yang membaca uswah dengan

10
dlammah hamzah-nya adalah Qabilah Qais. Kedua-duanya
adalah benar .
2. Penafsiran kitab Tafsir Ma’anil Qur’an, yang mana berhubungan
dengan ilmu qirâ`at, misalnya yakni pada QS. al-Ahzab:33, sebagai
berikut :

َّ ‫ُوأ َ ِق ْمنَ ُٱل‬


ُ َ‫صلَ َٰوُة َ ُ َو َءاتِين‬ َ ُ‫ى‬ َُٰ َ‫ُو َال ُت َ َب َّرجْ نَ ُت َ َب ُّر َج ُٱ ْل َٰ َج ِه ِليَّ ُِة ُٱ ْْلول‬
َ ‫َو َق ْرنَ ُ ِفىُبيو ِتك َّن‬
ُُِ‫س ُأ َ ْه َل ُٱ ْل َبيْت‬ َُ ْ‫لرج‬
ّ ِ ‫عنكم ُٱ‬ َ ُ‫ب‬ َ ‫ّلل ُ ِليذْ ِه‬َُّ ‫ّلل ُ َو َرسولَهۥُُۚ ُإِنَّ َماُي ِريد ُٱ‬ ََُّ ‫لز َك َٰوُة َُ َوأ َ ِط ْعنَ ُٱ‬
َّ ‫ٱ‬
‫يرا‬ ْ ‫ط ِ ّه َرك ْمُت‬
ً ‫َط ُِه‬ َ ‫َوي‬
”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah
dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya.”
Adapun kata َُ‫ َو َق ْرن‬pada ayat di atas berasal dari kata ‫الوقار‬
sebagaimana ketika kamu menceritakan keadaan seorang laki-laki
dengan mengatakan “Sungguh dia telah tinggal dirumahnya dengan
tenang”.
Imam ‘Ashim dan Ahli Madinah membaca kata َُ‫ َوقَ ْرن‬dengan
menggunakan fathah sehingga asalnya bukan dari ‫ الوقار‬. Namun
kami melihat bahwa mereka menginginkan kalimat ‫يوتكن‬ ُُّ ‫َوا ْق َر ْرنُفيُب‬
dengan membuang huruf ra’ yang pertama, lalu dipindahkan harakat
fathah pada huruf qaf. Sebagaimana perkataan mereka ُ َ‫ه َْل ُأ َحسْت‬
‫( صاحبك‬apakah kamu mengetahui sahabatmu). Begitu juga pada kata
‫ظ ْلت ُْم‬ ْ
َ َ‫ ف‬maksud dari kata ini adalah ‫فظلللتم‬ .
Selanjutnya al-Farra menjelaskan bahwa sebagian orang
a
rab ada yang mengucapkan lafal ُ‫ َو َق ْرنَُ فيي ولتكن‬dengan lafal َُ‫واقررن‬
ْ
ُُّ
‫يوتكن‬‫ في ب‬. Jika seseorang berkata bahwa َُ‫ وقرن‬dengan menggunakan
lafal kasrah pada huruf qaf, maka yang dikehendaki dengan lafal
tersebut adalah lafal ‫ واقررن‬. maka dipindahkan harakat ra’ yang
telah dibuang pada huruf qaf. Dikalangan orang arab lafal ini hanya
mempunyai satu bentuk, tidak pernah ditemukan mereka
menggunakan lafal ini dengan dua bentuk, kecuali pada lafal ‫فعلت‬
‫ وفعلتمُوفعلن‬, maka boleh dengan dua bentuk. Adapun pada lafal yang
berbentuk amar (kalimat perintah) dan nahi (larangan) maka tidak
diperbolehkan dengan dua bentuk. Alasan dibolehkannya
menggunakan dua bentuk pada lafal ُ‫ فعلن‬dan ‫ يفعلن‬sebab lam pada
nun niswah disukunkan (al-Farra`, T.th: 342).

11
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-Farra` dalam
menjelaskan ayat tersebut di atas hanya sebatas memberikan
penjelasan makna dari kata ‫ وقرن‬dengan mencantumkan pendapat
beberapa Imam qirâ`at seperti Imam Ashim dan lainnya. Dimana
kata ‫ وقرن‬pada ayat ini terdapat dua cara pembacaan yakni ada yang
membaca ُ‫ َوقَ ْرن‬dengan baris fathah pada huruf qaf, dan ada juga َُ‫وقرن‬
dengan baris kasrah pada huruf qaf. Dari dua bacaan atas ayat
tersebut, maka implikasi terhadap penafsirannya dapat dilihat
dengan menelusuri beberapa pandangan ulama. Diketahui bahwa
mayoritas ulama qirâ`at membacanya ُ‫ َوقَ ْرن‬yakni dengan baris
fathah pada huruf qaf, yang artinya berdiamlah kalian di rumah-
rumah kalian (ath-Thabari, 2001: 96). Sayyid Quthub dalam
tafsirannya sebagaimana yang dikutip M. Quraish Shihab (2011:
413), menjelaskan bahwa arti kata ُ‫ َوقَ ْرن‬pada ayat tersebut berarti
berat dan menetap, bukan berarti mereka tidak boleh meninggalkan
rumah, hanya saja hal tersebut mengisyaratkan bahwa rumah tangga
adalah tugas pokok seorang perempuan (istri).
Sementara itu Ulama Kufah dan Bashrah membacanya ُ‫وقرن‬
dengan baris kasrah pada huruf qaf, yang artinya jadilah kalian orang
yang memiliki ketenangan di rumah-rumah kalian (ath-Thabari,
2001: 96). Al-Qurtubi yang dikenal sebagai pakar hukum juga
menafsirkan ayat tersebut dengan menejelaskan bahwa walaupun
ayat diatas merupakan perintah kepada istri-istri Nabi untuk
menetap dirumah. Namun selain dari mereka juga tercakup dalam
perintah tersebut. Lebih jauh al-Qurtubi menegaskan bahwa agama
dipenuhi dengan tuntunan agar perempuan-perempuan tinggal di
rumah dan tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat.
Dari beberapa pendapat ulama tafsir di atas, maka hemat
penulis, terlepas dari perbedaan bacaan, apakah itu dibaca waqarna
ataupun waqirna keduanya dapat digunakan sebagai legitimasi dari
penafsiran seorang penafsir. Dengan melihat konteks zaman
sekarang, kedua pembacaan dan penafsiran tersebut bisa saja
digunakan sesuai dengan kondisi yang ada dalam sebuah keluarga.
Jika seorang perempuan (istri) ingin bekerja demi untuk membantu
pengahasilan keluarga, maka tidak menjadi persoalan, karena Islam
sendiri tidak melarang seorang perempuan (istri) untuk ikut bekerja.
Akan tetapi jika seorang perempuan (istri) memiliki suami yang
kaya akan materi, maka seorang istri seharusnya jauh lebih baik
untuk menetap di rumah guna menjadi seorang Ibu rumah tangga
yang siap setiap saat melayani suami dan mendidik anak-anaknya.

12
3. Contoh penafsiran lain, adalah dalam penafsiran Tafsir Ma’anil
Qur’an pada QS. al-Insyiraḣ/49:

ُ‫ َو َرفَ ْعنَا‬,ُ َ‫ظ ْه َرك‬ َ ‫الَّذِيُأَن َق‬,ُ َ‫ُو ْز َرك‬


َ ُ‫ض‬ ِ َ‫ع ْنك‬ َ ُ‫ض ْعنَا‬
َ ‫ َو َو‬,ُ َ‫صد َْرك‬ َ ُ َ‫الَ ْم ُنَ ْش َرحْ ُلَك‬
ُ,ُْ‫صب‬ ْ ‫إِ َّن ُ َم َع‬,ُ‫ُالعس ِْر ُيس ًْرا‬
َ ‫فَإِذَاُفَ َر ْغتَ ُفَان‬,ُ‫ُالعس ِْر ُيس ًْرا‬ ْ ‫فَإ ِ َّن ُ َم َع‬,ُ َ‫لَكَ ُ ِذ ْك َرك‬
ُْ‫ارغَب‬ َ َ‫َو ِإل‬
ْ َ‫ىُربِّكَ ُف‬

Al-Farra menjelaskan ayat kedua dalam surah di atas yakni


ْ
kalimat ُ‫كَُوز َرك‬‫ع ْن‬
َ ُ‫ض ْعنا‬
َ ‫ َو َو‬sebagai dosa pada masa Jahiliah, kemudian
pada Qiraat ‘Abdullah ibn Mas’ud sendiri, ia menyebutkan ُ ‫وحللنا‬
‫ عنكُو ْقرك‬yang dimaksudkan adalah seseorang yang memiliki dosa
(al-Farra`, T.th: 275). Dari penafsiran al-Farra ini jika di bandingkan
dengan penafsiran pakar tafsir lainnya, maka surah di atas
sebenarnya membicarakan tentang Nabi Muhammad SAW, yang
dalam penafsiran Muhammad Abduh sebagaimana di kutip M.
Quraish Shihab dijelaskan bahwa kata ‫( وزرك‬beban yang berat)
dalah beban psikologi yang diakibatkan oleh keadaan umat yang
diyakini Nabi berada dalam jurang kebinasaan dan Nabi sendiri
tidak mengetahui apa jalan keluar yang tepat (Shihab, 2011: 413).
Dengan demikian penafsiran al-Farra` seperti di atas
tentunya memiliki implikasi pada penasiran al-Qur`an, karena al-
Farra` dalam menguraikan ayat tersebut hanya menafsirkannya
secara tekstual yakni sekedar memberikan arti sesuai dengan makna
teks secara literal. Tidak melihat konteks asbabun nuzul ayat
tersebut. Sementara itu posisi qirâ`at yang dicantumkan sang
penafsir hanya sebagai informasi saja terkait ayat yang ditafsirkan,
tidak menjelaskan secara detail tentang qirâ`at itu sendiri. Hal
seperti ini tidak memberikan uraian yang signifikan bagi
pembacanya, karena dalam penafsirannya lebih berfokus pada i’rab
al-Qur`an.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka ada beberapa kesimpulan yang bisa
dikemukakan. Kitab Ma’anil al- Qur’an karya al-Farra’ memang merupakan
kitab tafsir linguistik yang banyak membincang persoalan bahasa Arab,
mulai dari persoalan semantik, sintaksis, fonologi maupun stilistika al-
Qur’an. Namun diskusi masalah Nahwu (gramatika arab) lebih dominan,
katimbang diskusi persoalan linguistik yang lain sebagaimana tampak
dalam uraian-uraian tafsirnya. Ini disebabkan karena al-Farra’ memiliki
latar belakang sebagai pakar nahwu di Kufah.
Secara metodologi al-Farra’ menggunakan metode tahlili,
menguraikan secara analisis tentang persoalan kebahasaan, sesuai dengan
urutan ayat secara tartib mushafi. Sebagai akibatnya, seringkali uraian
tentang isi pokok penafsiran ayat yang ditafsirkan menjadi terabaikan sama
sekali. Sedangkan sumber–sumber penafsirannya antara lain berasal dari
ayat-ayat al-Qur’an, hadis dan varian qira’at.
Maksud utama al-Farrā` dalam tafsirnya, yaitu konsentrasi prioritas
pada aspek gramatikal ayat yang mungkin akan berpengaruh terhadap
pemaknaan al-Qur’an. Sehinnga karena tujuan inilah, harus dipahami
bahwa nantinya yang menarik perhatian al-Farra’ adalah bukan pesan dasar
al- Qur’an secara holistik, tetapi hanya unit-unit terkecil al-Qur`an, dan pada
bagian-bagian tertentu saja. Misalnya, kupasannya dalam surat al-fatihah
hanya terkonsentrasikan kepada alif dalam kata ism dalam kalimat bism
Allāh.
Al-Farra` sebagai pakar bahasa menyusun kitab tafsirnya dengan
sangat konsisten berlandaskan keilmuan yang ia miliki yakni aspek
garamatika Arab, dalam hal ini tentang penjelasan i’rab sangat
mendominasi dalam uraian kitab tafsirnya. Penggunaan qirâ`at yang
diuraikan dalam kitab tafsir al-Farra` hanya sekedar memberikan tambahan
dan pengaya informasi, karena hanya menyebutkan sumber qirâ`at yang ia
kutip dan tidak menjelaskan secara detail aspek qirâ`at yang terdapat pada
ayat-ayat tersebut. Di samping itu, dalam penafsirannya, al-Farra`
cenderung mengabaikan peristiwa-peristiwa asbab an-nuzul dan konteks-
konteks yang mengiringi turunnya suatu ayat.

14
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, “Tafsir Linguistik (Studi Atas Tafsir Ma’ anil Qur’an Karya Al-
Farra)”, QOF, 3, No. 1 (2019), 1-11.
Mollah, Moch. Kalam. “Pendidikan Kebahasaan Dalam Penafsiran Al-Qur`an
Model Al-Farā’.” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 7, no.
1 (June 30, 2017): 166–181.
Najmuddin H. Abd. Safa, “Perbandingan Metode Nahwu Al-Akhfash Dan Al-
Farra Dalam Kitab Ma’ani Al-Qur’an”, Bahasa Dan seni, 36, No. 2 (2008),
139-149.
Rahmat Nurdin, “Penggunaan Qira’at Dalam Tafsir Ma’ anil Al-Qur’an Karya Al-
Farra (761-882)”, Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum, 3, No. 2 (2017), 150-
158.

15

Anda mungkin juga menyukai