Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

SEPUTAR LIVING QUR’AN


Disusun Unutk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Living Qur’an dan Hadis
Dosen Pengampu :

Dr. Moh. Akib Muslim, M. Ag

Disusun oleh :
M Farikh Fauzi (933800118)
Achmad Luqman Tsani (933809318)
Mukhlis Rizal fahruri (933803219)
Rif'an Mujtahid (933810519)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KEDIRI 2021
A.Pendahuluan

Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber


ajaran Islam. Kedua sumber ajaran tersebut
dida[atkan sejak diutusnya Muhammad sebagai
Rasulullah. Sebagai tandanya adalah bahwa
Muhammad Saw. dibekali adanya firman Allah
swt. yakni Al-Qur’an dan penjelasannya melalui
hadis. Kedua sumber tersebut di dalmya
memberikan petunjuk umat Islam dalam
kehidupan keseharian. Dari sinilah maka seluruh
umat Islam menjadikan keduanya sebagai
pedoman hidup keseharian untuk kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.1

Al-Qur’an sebagai firman Allah swt. yang


diturunkan kepada Allah swt. yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. merupakan
pedoman dalam kehidupan umat manusia. Di
dalamnya terdapat petunjuk Allah swt, jalan yang

1
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, (Tangerang: Maktabah
Darus-Sunnah, 2021), H. Xi
benar dan mana yang salah. Selainitu juga
terdapat beragam tuntunan dan kewajiban yang
harus dilaksanakan seorang muslim. Di dalam
kandungan al-Qur’an terdapat sejarah dan kisah-
kisah umat terdahulu serta para nabi dan yang
lainnya yang dapat dijadikan pelajaran bagi
manusia. Fungsi al-Qur’an inilah yang dari masa
ke masa selalu berubah sesuai dengan
perkembangan umat manusia. Kenyataan tersebut
ada yang tetap dan yang berubah (al-tsawabut
waal-mutagayyirat). Dengan demikian terdapat
beragamfungsi dalam keseharian dan terus
berkembang.2

Bagi umat Islam, al-Qur’an bukan saja


sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup,
akan tetapi juga sebagai penyembuh bagi
penyakit, penerang dan sekaligus kabar gembira.
Oleh karena itu, mereka berusaha untuk
berinteraksi dengan al-Qur’an dengan cara
mengekpresikan melalui lisan, tulisan, maupun
2
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
H.Xii
perbuatan, baik berupa pemikiran, pengalaman
emosional maupun spiritual.3

Istilah living al-Qur’an adalah istilah yang


digunakan untuk menunjukkan keilmuan tentang
penggunaan dan pengamalan al-Qur’an. Oleh
karena itu, agar kegunaan ilmu ini dapat
berfungsi di dalam keilmuan al-Qur’an, maka
digunakan istilah living Qur’an.

Living Qur’an sebenarnya mencoba


mengungkap fenomena yang bersinggungan/
terkait dengan al-Qur’an yang hidup di
masyarakat. Nasr Hamid Abu Zayd menyebutnya
The Qur’an as a living phenomenon, al-Qur’an
itu seperti musik yang dimainkan oleh para
pemain musik, sedangkan teks tertulisnya
(mushaf) itu seperti note musik (ia diam).4 Inti
3
Ahmad Atabik, The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfiz
Al-Qur’an Di Nusantara Stain Kudus, Jawa Tengah,
Indonesia, Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, Februari 2014
H.162.
4
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking The Qur’an:Toward A
Humanistic Her Meneutics, (Amsterdam: Swp Publisher,
dari kajian living al-Qur’an adalah bentuk kajian
al-Qur’an dan penafsirannya di ruang sosial
kemasyarakatan. 5

B. Latar Belakang Munculnya Living Al-


Qur’an
Terkait dengan lahirnya cabang-cabang
ilmu Al-Qur’an ini, ada satu hal yang perlu
dicatat, bahwa sebagian besar ataupun semuanya
berakar pada problem-problem tekstualitas
Qur’an. Cabang-cabang ilmu Al-Qur’an ada yang
terkonsentrasi pada aspek internal teks ada juga
yang tekosenterasi pada eksternalnya, seperti
asbabul nuzul dan tarikh Al-Qur’an yang
menyangkut penulisan, penghimpunan dan
penerjemahan. Sementera praktek tertentu yang
berbentuk penarikan Al-Qur’an kedalam
kepentingan praktis dalam kehidupan umat di

2004), H.13
5
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis, H.
Xvii
luar aspek tekstualnya nampak tidak menarik
studi Qur’an klasik.6
Sejarah mencatat, living Al-Qur’an sudah
ada sejak masa Nabi Muhammad Saw, hal ini
bisa dilihat dalam praktek ruqyah, yaitu
mengobati dirinya sendiri dan orang lain yang
menderita sakit dengan membacakan ayat-ayat
tertentu dalam Al-Qur’an.7 Menurut suatu riwayat,
Nabi Muhammad SAW pernah menyembuhkan
penyakit dengan ruqiyah menggunakan surat Al-
Fatihah atau menolak sihir dengan bacaan surat Al-
Mu’aawwizatain (Al-Falaq dan Al-Naas).8

6
M. Mansur, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2007) hal. 5
7
Didi Junaedi, Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru
dalam Kajian Al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok
Pesanteren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec,
Pabedilan Kab, Cirebon). Jurnal hal. 176
8
Hamam Faizin, Mencium dan Nyunggi Al-Qur’an Upaya
Pengembangan Kajian Al-Qur’an Melalui Living Qur’an,
dalam jurnal, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah) shuf,
Vol.4, No. 1, 2011. hal. 27
Lebih dari itu, para sahabatlah yang
sebenarnya telah melakukan kajian living Qur’an
secara ilmiah dan empiris untuk pertama kalinya.
Mereka memahami ajaran agama dari apa yang
mereka bisa lihat dan apa yang mereka saksikan
atau mereka alami sendiri dihadapan Nabi. Tidak
jarang mereka tanyakan hal itu kepada Nabi, lalu
mereka laporkan dan jadikan hadis fi’li. Metode
yang digunakan para sahabat nyaris sama dengan
metode pengamatan terlibat dan wawancara
mendalam (in-dept interview) untuk
mengumpulkan data dalam penelitian lapangan.
Mereka terlibat langsung secara aktif dalam kajian
dan kegiatan harian bersama Nabi Muhammad
SAW.9
Living Qur’an yang dilakukan sahabat
berbentuk pengamatan seperti ketika para sahabat
melihat Nabi Muhammad SAW memakai cincin,
para sahabat pun ramai-ramai memakai cincin.
Dan ketika Nabi Muhammad SAW melepas
cincinnya, para sahabat pun ramai-ramai
9
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.111
melepasnya juga.10 Adapun ketetapan Nabi
Muhammad SAW yang menimbulkan perbedaan
dikalangan sahabat, sehingga para sahabat
bertanya kepada Nabi berupa peristiwa tayamum
di tengah perjalan. Nabi Muhammad SAW
menginstruksikan agar jangan shalat Ashar
kecuali jika sudah sampai di perkampungan Bani
Quraizhah. Namun, para sahabat di tengah
perjalanan, justru berbeda pendapat. Sebagian
sahabat tetap melaksanakan shalat pada
waktunya, meskipun masih dalam perjalanan dan
“menyalahi” instruksi Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat yang lain justru tetap “setia”
terhadap instruksi Nabi Muhammad SAW. Para
sahabat ini baru shalat Ashar ketika mereka telah
sampai di perkampungan Bani Quraizhah
walaupun waktu shalat Ashar telah lewat. Hal ini
kemudian dipertanyakan oleh sahabat untuk
mengetahui mana perbuatan mereka yang lebih

10
Hadis tentang cincin ini dapat dilihat dalam Shahih
muslim, no 5605. Lihat jugaAhmad ‘Ubaydi Hasbillah,
Ilmu Living Qur’an-Hadis, hal. 66
baik, kemudian kejadian ini direspon oleh Nabi
dengan bijak.11
Ketetapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan cincin dan kegiatan tayamum
bisa dipahami bentuk dari living Qur’an karena
berdasarkan konsep perbuatan Nabi Muhammad
SAW adalah living Qur’an. Karena fungsi Nabi
sebagai uswatun hasanah ketetuan ini merupakan
ketentuan yuridis dari Al-Qur’an.12
Berdasarkan keterangan di atas, bahwa
living Qur’an sudah ada sejak masa Nabi
Muhammad SAW dan sahabat. Akan tetapi hal
ini belum merupakan living Qur’an yang
berbentuk kajian keilmuan. Hal ini hanya berupa
embrio dari living Qur’an sudah ada sejak masa
Nabi dan sahabat. Living Qur’an mulai menjadi
objek kajian ketika pemerhati studi Al-Qur’an
non Muslim. Bagi mereka banyak hal yang
11
Hadis ini secara lengkap dalam riwayat al-Bhuhari no
904 dan 3893 dan juga muslim no.4701. lihat juga Ahmad
‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis, hal. 70
12
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.108
menarik disekitar Al-Qur’an ditengah kehidupan
kaum Muslim yang berwujud berbagai fenomena
sosial. Misalnya, fenomena sosial terkait dengan
pelajaran membaca Al-Qur’an di lokasi tertentu,
fenomena penulisan bagian tertentu dari Al-
Qur’an ditempat tertentu, pemenggalan ayat-ayat
Al-Qur’an yang kemudian menjadi sarana
pengobatan, do’a-do’a dan sebagainya yang ada
dalam masyarakat Muslim lainnya. Model studi
ini menjadikan fenomena yang hidup ditengah-
tengah masyarakat Muslim terkait dengan Al-
Qur’an ini mejadi objek studi mereka, pada
dasarnya tidak lebih dari studi sosial yang dengan
keragamannya. Hanya dengan fenomena sosial
ini muncul lantaran kehadiran Al- Qur’an.
Kemudian dinisiasikan ke dalam wilayah studi Al-
Qur’an. Yang pada perkembangannya kajian ini
dikenal dengan istilah living Qur’an.13
Adapun tokoh pemerhati studi Al-Qur’an
ini adalah Neal Robinson, Farid Essac atau Nash

13
M. Mansur, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2007) hal. 6-7
Abu Zaid. Misalnya Farid Essac lebih banyak
mengeksplorasi pengamalan tentang Qur’an
dilingkunganya sendiri, sedangkan Neal
Robinson mencoba merekam pengalaman banyak
kasus seperti bagaimana pengalaman Taha
Husein dalam mempelajari Al-Qur’an di Mesir,
bagaimana pengalaman komunitas muslim di
India dan sebagainya.14
Istilah living Qur’an muncul pertama kali
oleh Fazhurrahman, hal ini dikatakan oleh Alfatih
Suryadilaga walaupun istilah yang digunakan
Fazhulrahman menunjukan sunnah non-verbal yang
dikenal dengan istilah living Tradition.15 Akan
tetapi istilah living Qur’an yang cikal bakal ilmu
baru diperkenalkan oleh Barbara Dali Metcalf
dalam penelitiannya tentang living Hadis yang
berjudul “Living Hadis in The Tablighi Jamaat”
yang ditulis pada 1992.16

14
Ibid, hal. 7-8
15
M. Alfatih Suryadilaga, model-Model Living Hadis.
dalam Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-
Hadis, hal. 137
Walaupun pada dasarnya living Qur’an
bermula dari pengkajian Al-Qur’an dari kalangan
non Muslim. Akan tetapi para pengkaji Al-Qur’an
dari kalangan Muslim menerima kajian ini dengan
baik. Dengan memasukan kajian living Qur’an
kedalam wilayah studi Qur’an oleh para pemerhati
studi Al-Qur’an kontemporer.17

C. Urgensi living Quran

Pada dasarnya, kajian Al-Qur’an tidak selalu


berfokus pada teks al-Qur’an (ma fil al-Qur’an)
dan ma haul al Qur’an (kajian terhadap tafsir,
ulumul qur’an), namun bisa meluas sampai pada
fenomena sosial yang terkait dengan keberadaan
al-Quran di tengah komunitas muslim tertentu
atau lain yang berinteraksi dengannya dalam

16
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.152
17
M. Mansur, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2007) hal. 9
kehidupan sehari-hari atau yang sering disebut
Living Qur’an, yakni Al-Qur’an yang hidup
dalam masyarakat (komunitas). pengembangan
kajian al-Qur’an ke ranah Living Qur’an, yang
sejauh ini kurang mendapatkan perhatian di
tengah-tengah mainstream studi Al-Qur’an yang
berkutat pada teks Al-Qur’an. Living Qur’an bisa
menjadi alternatif menarik dalam pengembangan
kajian al-Qur’an kontemporer.

Living Quran, diharapkan dapat memberikan


kontribusi yang signifikan bagi pengembangan
studi al-Quran lebih lanjut. Kajian tafsir akan
lebih banyak mengapresiasi respon dan perilaku
masyarakat terhadap kehadiran al-Quran, tafsir
tidak lagi hanya bersifat elitis, melainkan
emansipatoris yang mengajak partisipasi
masyarakat. Pendekatan fenomenologis, analisis
ilmu-ilmu sosial-humaniora dan beberapa disiplin
ilmu lainnya, tentu menjadi faktor yang sangat
menunjang dalam kajian ini.Labih lanjut, Living
Quran dapat juga dimanfaatkan untuk
kepentingan dakwah dan pemberdayaan
masyarakat, sehingga mereka lebih maksimal
dalam mengapresiasikan al-Quran. Seperti
fenomena menjadikan al-Quran sebagai jimat,
mantera dan berbagai fenomena lain sebagaimana
telah diungkap di atas. Dari kajian ini pula
nantinya dapat diketahui lebih komprehensif
latarbelakang serta aspek-apek yang
mempengaruhi “perilaku miring” masyarakat
tersebut. Hingga kemudian, cara pikir klenik
secara bertahap dapat ditarik kepada cara pikir
akademik. Karena menjadikan al-Quran hanya
sebagai tamimah dapat dipandang merendahkan
fungsi al-Quran, meski sebagian ulama ada yang
membolehkannya.Metode Living Quran tidaklah
dimaksudkan untuk mencari kebenaran
positivistik yang selalu melihat konteks, tetapi
semata-mata melakukan “pembacaan” objektif
terhadap fenomena keagamaan yang terkait
langsung dengan al-Quran. Sebagai upaya
pembacaan teks al-Quran yang lebih
komprehensif dari berbagai dimensinya. Maka,
wilayah studi teks al-Quran tidak lagi merupakan
hal yang bersifat elitis, tetapi bersifat
emansipatoris yang akan mengajak dan
melibatkan banyak orang dengan berbagai
disiplin ilmu terkait.Sebagai metode yang relatif
baru dalam ranah studi al-Quran, secara teoritik
metode ini tidak menjadi persoalan, namun
secara metodik-konseptual metode ini boleh
dibilang masih mencari bentuk yang dapat
dijadikan semacam acuan. Sebagai kajian yang
berangkat dari fenomena sosial, tentu bentuk
penelitian fenomenologis adalah bentuk
penelitian yang dapat ditawarkan dalam metode
living quran ini. Meskipun demikian, tidaklah
berarti semata-mata pendekatan kualitatif-
fenomenologis menjadi satu-satuya.metode
penelitian ini. Karena itu pula berbagai
pendekatan dan metode penelitian dapat dipakai,
dengan mempertimbangkan aspek fokus dan
analisis penelitian
Selama ini lebih ditekankan pada kajian Alquran
daripada aspek kontekstual. Dari aspek
kontekstual ini kemudian bermunculan karya
berupa tafsir maupun buku yang ditulis oleh para
pengkaji Alquran tersebut. Cara pandang yang
demikian memberikan kesan bahwa tafsir
dipahami harus sebagai teks yang tersurat dalam
karya para ulama dan sarjana muslim pada
Alquran tidak terbatas pada teks semata,
melainkan ada konteks yang melengkapinya.
Dengan demikian, penafsiran pada hakikatnya
bisa berupa tindakan, sikap serta perilaku
masyarakat yang merespon kehadiran Alquran
sesuai dengan tingkat pemahamannya masing-
masing.Respon terhadap ajaran-ajaran serta nilai-
nilai Alquran kemudian mereka terapkan dalam
kehidupan sehari-hari, masih kurang mendapat
perhatian dari para pengkaji Alquran sebab hal
yang demikianlah maka kajian serta penelitian
Living Quran menemukan relevansi serta
urgensinya. Yakni dengan kajian Living Quran
inilah Alquran tidak hanya dipahami terbatas
pada teks semata, melainkan pada konteks yang
melingkupinya. Kajian dalam bidang living quran
ini merupakan memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pengembangan studi Alquran.
Penelitian Living Quran juga sangat penting
untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan
masyarakat, sehingga mereka lebih maksimal
dalam mengapresiasi Alquran.Urgensi kajian
Living Quran lainnya adalah menghadirkan
aradigma baru dalam kajian Alquran
kontemporer, sehingga studi Alquran tidak hanya
berkutat pada wilayah kajian teks. Pada wilayah
Living Quran ini kajian tafsir akan lebih banyak
mengapresiasi respons dan tindakan masyarakat
terhadap kehadiran Alquran, sehingga tafsir tidak
lagi bersifat elitis, melainkan emansipatoris yang
mengajak partisipasi masyarakat

Selama ini kajian tentang al-Qur’an lebih


ditekankan pada aspek tertulis daripada
kontekstual. Dari hasil kajian ini kemudian
bermunculan karya berupa tafsir maupun buku
yang ditulis oleh para pengkaji al-Qur’an
tersebut. Mainstream kajian al-Qur’an selama ini
memberi kesan bahwa tafsir dipahami harus
sebagai teks yang tersurat dalam karya para
ulama dan sarjana tetapi ada konteks yang
melingkupinya. Dengan demikian, maka
sesungguhnya

penafsiran itu bisa berupa tindakan, sikap serta


perilaku masyarakat yang merespon kehadiran al-
Qur’an sesuai dengan tingkat pemahamannya
masing-masing. Respon masyarakat terhadap
ajaran-ajaran serta nilai-nilai al-Qur’an yang
kemudian mereka aplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, masih kurang mendapat perhatian
dari para pengkaji al-Qur’an. Pada titik inilah
kajian serta penelitian living Qur’an menemukan
relevansi serta urgensinya. Kajian dalam bidang
living Qur’an ini memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pengembangan studi al-Qur’an
Penelitian living Qur’an juga sangat penting
untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan
masyarakat, sehingga mereka lebih maksimal
dalam mengapresiasi al-Qur’an. Urgensi kajian
living Qur’an lainnya adalah menghadirkan
paradigma baru dalam kajian al-Qur’an
kontemporer, sehingga studi al-Qur’an tidak
hanya berkutat pada wilayah kajian teks. Pada
wilayah living Qur’an ini kajian tafsir akan lebih
banyak mengapresiasi respons dan tindakan
masyarakat terhadap kehadiran al-Qur’an,
sehingga tafsir tidak lagi bersifat elitis, melainkan
emansipatoris yang mengajak partisipasi
masyarakat muslim. Padahal, kita semua mafhum
bahwa al-Qur’an tidak terbatas pada teks semata,

Jadi lebih dapat dipahami bahwa metode kajian


living Quran yang dimunculkan sebagai jalan
trobosan di dalam dunia kajian Alquran karena
kajian Alquran selama ini hanya menekankan
kepada ada hasil yang tertulis, seperti halnya
kitab-kitab tafsir yang ada selama ini akan tetapi
jika kita lihat masyarakat kita di dalam
kehidupannya banyak dari mereka orang-orang
dari mereka yang beragama Islam akan tetapi
Islamnya hanya dari keturunan bahkan mereka
sangat minim ilmu pengetahuan tentang agama
nya terlebih tentang Alquran, maka kajian living
Quran dihadirkan sebagai jalan keluar dalam
menghadapi problematika masyarakat yang ada
mengenai tetap pengetahuan yang minim akan
ilmu agama terhadap masyarakat masyarakat
justru lebih enggan jika membaca kitab-kitab
tafsir untuk diterapkan dalam kehidupannya,
masyarakat lebih merasa malas untuk membaca
atau memahaminya.

D. Tradisi Masyarakat dan Kajian Living Al-


Qur’an

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa


kajian living Qur’an adalah kajian seputar Al-
Qur’an dalam ruang sosial. Ia adalah kajian
terhadap gejala-gejala Al-Qur’an yang nyata di
dalam kehidupan manusia. Kajian seperti ini
menjadikan adanya gambaran interaksi antara
teks Al-Qur’an dengan unsur-unsur sosial.
Interaksi itu kemudian menghasilkan suatu
budaya/tradisi baru yang bukan sepenuhnya Al-
Qur’an, dan tidak sepenuhnya budaya. Dalam
artian, selalu ada campur tangan budaya dalam
interaksi seseorang dengan Al-Qur’an. Bahkan,
ketika sebuah budaya baru itu adalah sepenuhnya
hasil kerja tekstual-literal terhadap teks Al-
Qur’an yang bertujuan untuk menggantikan
(bukan sekedar memodifikaasi) suatu tradisi yang
dinilai tidak tepat, hal itupun dapat dikategorikan
fenomena living Al-Qur’an yang mengandung
unsur budaya juga.18

Ada beberapa pola interaksi antara teks


Al-Qur’an dengan tradisi/budaya lokal
masyarakat. Misalnya tradisi membaca tahlil,

18
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.232.
slametan yasinan, mengingat kematian
(pendak’an), dll.

1. Membaca Tahlil

Membaca Tahlil adalah jelas perintah Al-Qur’an.


Nabi pun banyak mencontohkannya. Hanya saja,
tradisi di Indonesia, tahlil tidak hanya berupa
kalimat laa ilaaha illa Allah, melainkan
rangkaian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an dan
kalimat thayyibah yang diambil dari ayat Al-
Qur’an dan Hadits. Rangkaian kalimat thayyibah
tersebut dibaca dalam seremonial kumpul-
kumpul untuk tujuan berdzikir mengharap rahmat
dan keberkahan dari Allah. Rangkaian tersebut
dapat dikategorikan sebagai korektor atau revisi
terhadap budaya membaca mantra dan jampi-
jampi yang mengandung unsur-unsur yang tidak
sesuai dengan syari’at Islam.

2. Slametan Yasinan Dalam Rangka


Birrul Walidain (berbakti kepada
orangtua dengan mengadakan acara
Yasinan)

Birrul Walidain adalah ajaran agama yang telah


tegas adanya dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Berbakti kepada orangtua dengan cara slametan
adalah budaya asli Indonesia yang tidak ada di
negeri lain. Cara berbakti dengan slametan juga
tidak ditegaskan keharamannya dalam Al-Qur’an,
namun juga tidak ditegaskan keberadaannya.
Kemudian, umat Islam di Indonesia melakukan
ajaran Islam berupa berbakti kepada orangtua
melalui cara yang mereka anggap baik secara
budaya. Jadilah tradisi seremonial slametan
yasinan.

3. Pendak’an atau Mengingat Satu Tahun


Kematian (atau bisa juga dengan
jangka waktu lain, seperti sepasar,
selapan, nyewu)

Waktu satu tahun kematian sebagai peringatan


untuk mendo’akan orang meninggal atau untuk
bersedekah atau untuk membaca Al-Qur’an atau
untuk tahlilan adalah tidak ditegaskan dalam ayat
Al-Qur’an dan Hadits. Kegiatan-kegiatan
keagamaan tersebut dapat dilakukan kapan saja,
sepanjang waktu. Namun juga tidak ada larangan
untuk melakukannya dalam hitungan satu tahun,
dan itu tidak berarti bahwa kalau belum satu
tahun maka tidak melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan tersebut. Namun, penetapan waktu
satu tahun ini diyakini baik oleh masyarakat
muslim dan diyakini tidak bertentangan dengan
prinsip ajaran Islam dalam Al-Qur’an maupun
Hadits. Sehingga, ia diyakini sebagai tradisi yang
baik untuk menjalankan perintah tentang birrul
walidain, mendo’akan orang meninggal, dan
mengingat kebaikannya.19

E. Karakteristik Living Al-Qur’an

1. Membumikan Al-Qur’an

19
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.234-236.
Istilah membumikan al-Qur’an,
kaitannya dengan memahami dan
mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan
konteks zamannya. Menurut Ahmad
Syafi’i Ma’arif, membumikan al-Qur’an
dapat diartikan bahwa al-Qur’an
mengandung nilai-nilai yang dapat
dijadikan pedoman oleh umat manusia
untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan dalam kehidupan sehari-
hari.20 Salah satunya bagaimana
menerjemahkan ajaran-ajaran al-Qur’an
dalam realita yang berkembang di
masyarakat, seperti memberantas
kemiskinan dikaitkan dengan zakat.
2. Kajian Keilmuan
Sebagai disiplin keilmuan, living
Al-Qur’an memiliki cirinya sendiri yaitu
pada obyek kajiannya yang khusus.
Meskipun yang dikaji sama-sama Al-

20
M. Luthfi, Membumikan Al-Qur’an: Peluang dan
Tantangan, Al-Qalam, Vol. 20, No. 98,99, 2003, h. 24
Qur’an, namun living al-Qur’an objek
kajiannya berupa ayat-ayat yang sudah
berada di luar teks mushaf al-Qur’an atau
kita-kitab tafsir melainkan pada ranah
sosial kemasyarakatan atas fenomena.
Fenomenanya seperti fenomena praktik,
tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di
masyarakat. Demikian juga ciri yang lain
dalam pengetahuan, sistematis dan
metode pengembangan. Dengan
demikian, living al-Qur’an merupakan
sebuah ilmu pengetahuan yang telah
memiliki obyek serta ciri-ciri sebagai
ilmu pengetahuan.21
3. Fenomena Keagamaan
Setiap muslim yakin jika dirinya
berinteraksi dengan al-Qur’an, hidupnya
akan mendapatkan kebahagiaan di dunia
maupun akhirat. Untuk mendapatkan
petunjuk al-Qur’an, muslim membaca dan

21
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis, H.
Xviii
memahami isinya serta mengamalkannya,
meskipun membacanya sudah dianggap
ibadah. Pembacaan al-Qur’an
menghasilkan pemahaman yang bebeda
sesuai kemampuan masing-masing, dan
pemahaman tersebut melahirkan perilaku
yang beragam sebagai tafsir al-Qur’an
dalam praksis kehidupan, baik pada
dataran teologis, filosofis, psikologis,
maupun kultural.
Kenyataannya, fenomena
pembacaan al-Qur’an sebagai sebuah
apresiasi dan respons umat Islam sangat
beragam. Ada berbagai model pembacaan
al-Qur’an, mulai dari pemahaman dan
pendalaman makna sampai yang sekedar
membaca al-Qur’an sebagai ibadah atau
untuk mendapatan ketenangan jiwa.
Bahkan ada model pembacaan al-Qur’an
yang bertujuan untuk mendatangkan
kekuatan supranatural atau terapi
pengobatan dan sebagainya.22 Praktek
memperlakukan al-Qur’an atau unit-unit
tertentu dari al-Qur’an sehingga
bermakna dalam kehidupan praktis oleh
sebagian komunitas muslim tertentu pun
banyak terjadi, bahkan rutin dilakukan.
- Mengamalkan Surat atau Ayat
Seperti membaca surat Yusuf dan
Maryam menjadi sebab anak lahir
tampan dan cantik. Di antara upacara-
upacara yang melingkari hidup
seseorang tersebut adalah rentetan
upacara kelahiran, yakni pembacaan
surat Yusuf dan Maryam dalam
upacara tingkeban. Di sekitar acara
kelahiran terkumpul empat slametan
utama dan beberapa slametan kecil.
Acara-acara tersebut di antaranya:
tingkeban (diselenggarakan hanya
apabila anak yang dikandung adalah

22
Abdul Mustaqim, Metodologi Penelitian Living Qur’an
Dan Hadis (Yogyakarta: Teras 2007), Hlm. 65.
anak pertama), babaran atau
barokahan (diselenggarakan pada
waktu kelahiran bayi itu sendiri),
pasaran (lima hari sesudah kelahiran)
dan pitonan (tujuh bulan setelah
kelahiran). Slametan-slametan lainnya
bisa diadakan bisa juga tidak, yakni
telonan (pada bulan ketiga masa
kehamilan), selapanan (bulan pertama
sesudah kelahiran), taunan (diadakan
setaun sesudahnya). Beberapa orang
mengadakan slametan setiap bulan
sesudah kelahiran selama satu atau
dua tahun secara tak teratur hingga
anak itu dewasa, tetapi praktek ini
sangat beraneka ragam dan slametan
demikain bisaya kecil dan tidak
penting. Adapun upacara Tingkeban
atau Mitomi adalah upacara selametan
yang diselenggarakan pada bulan
ketujuh masa kehamilan dan hanya
dilakukan apabila anak yang
dikandung adalah anak pertama bagi
si ibu, si ayah atau keduanya.23
Istilah "Tingkeban" diambil dari
nama seorang wanita Kediri, Niken
Satingkeb. Dalam cerita rakyat
dikisahkan bahwa Niken Satingkeb
diperintahkan untuk mengadakan
upacara selamatan pada saat hamil.
Upacaranya dalam bentuk
menyediakan sesajen guna dikirim
kepada para Dewa sembari meminta
Dewa agar menjadikan anaknya kelak
tampan seperti Arjuna (kalau laki-
laki) atau cantik seperti Dewi Ratih
(kalau perempuan). Upacara ini
akhirnya terus hidup dan menjadi
tradisi sampai pada masa Sunan
Kudus. Oleh Sunan Kudus, tradisi
yang mengandung ajaran Hindu
Budha itu diarahkan agar menjadi
23
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1983), H. 48
lebih Islami. Acara selamatan terus
dilakukan, tetapi niatnya untuk
bersedekah kepada penduduk
setempat dan boleh dibawa pulang,
bukan untuk para Dewa. Adapun
terkait permohonan agar anaknya
tampan dan cantik, maka Sunan
Kudus mengarahkan mereka agar
mengajukan doa kepada Allah dengan
harapan anaknya lahir berwajah
tampan seperti Nabi Yusuf atau cantik
seperti Siti Maryam. Oleh karenanya,
perempuan hamil dan suaminya
ditekankan untuk membaca surat
Yusuf dan Maryam.24
- Ayat-ayat al-Qur’an sebagai
semboyan hidup
Terdapat masyarakat Muslim yang
menjadikan ayat al-Qur’an sebagai

24
Muchibbah Sektioningsih, Adopsi Ajaran Islam dalam
Ritual Mitoni di Desa Ngagel Kecamatan Dukuh Seti
Kabupaten Pati, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga, 2009), h.29
semboyan hidup, sehingga ayat
tersebut menjadi motivasi dalam
menjalani kehidupan, sebab manusia
hidup tidak lepas dari kesusahan,
musibah, kegagalan dan lainnya.
Adapun ayat yang sering menjadi
semboyan misalnya surat Al-Insyirah
ayat 5-6.
Salah satu organisasi keagamaan
di Indonesia juga melakukan hal
tersebut. NU misalnya, menjadikan
ayat 103 surat Ali Imran sebagai
motto mereka. Organisasi lain, seperti
Muhammadiyah mengambil ayat 104
dari surat Ali Imran sebagai
semboyannya.25

DAFTAR PUSTAKA

25
Ridhoul Wahidi, Hidup Akrab Dengan Al-Qur'an; Kajian
Living Qur'an Dan Living Hadis Pada Masyarakat Indragiri
Hilir Riau Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian, Vol. 1,
No. 2, 2013, h.108
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. 2021. Ilmu Living
Qur’an-Hadis Ontologi, Epistemologi, Aksiologi
Tangerang: Maktabah Darus-Sunnah.
Atabik, Ahmad. 2014. The Living Qur’an: Potret
Budaya Tahfiz Al-Qur’an Di Nusantara. Stain
Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Jurnal
Penelitian, Vol. 8, No. 1
Abu Zayd, Nasr Hamid. 2004. Rethinking The
Qur’an:Toward A Humanistic Her Meneutics.
Amsterdam: Swp Publisher
Mansur, M. 2007. Metodologi Penelitian Living
Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Teras
Junaedi, Didi. Living Qur’an: Sebuah
Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi
Kasus di Pondok Pesanteren As-Siroj Al-Hasan
Desa Kalimukti Kec, Pabedilan Kab, Cirebon).
Faizin, Hamam. 2011. Mencium dan Nyunggi Al-
Qur’an Upaya Pengembangan Kajian Al-Qur’an
Melalui Living Qur’an. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. Jurnal shuf, Vol.4, No. 1.
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. 2019. Ilmu Living
Qur’an-Hadis. Ciputat: Maktabah Darus Sunnah
Shahih muslim
Shahih al-Bhuhari
Suryadilaga, M. Alfatih. Model-Model Living
Hadis.
Mustaqim, Abdul. 2007. Metodologi Penelitian
Living Qur’an Dan Hadis. 1983. Yogyakarta:
Teras
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin. Jakarta:
Pustaka Jaya,
Sektioningsih, Muchibbah. 2009. Adopsi Ajaran
Islam dalam Ritual Mitoni di Desa Ngagel
Kecamatan Dukuh Seti Kabupaten Pati.
Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga
Wahidi, Ridhoul. 2013. Hidup Akrab Dengan Al-
Qur'an; Kajian Living Qur'an Dan Living Hadis
Pada Masyarakat Indragiri Hilir Riau. Turãst:
Jurnal Penelitian & Pengabdian, Vol. 1, No. 2,

Anda mungkin juga menyukai