Disusun oleh :
M Farikh Fauzi (933800118)
Achmad Luqman Tsani (933809318)
Mukhlis Rizal fahruri (933803219)
Rif'an Mujtahid (933810519)
1
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, (Tangerang: Maktabah
Darus-Sunnah, 2021), H. Xi
benar dan mana yang salah. Selainitu juga
terdapat beragam tuntunan dan kewajiban yang
harus dilaksanakan seorang muslim. Di dalam
kandungan al-Qur’an terdapat sejarah dan kisah-
kisah umat terdahulu serta para nabi dan yang
lainnya yang dapat dijadikan pelajaran bagi
manusia. Fungsi al-Qur’an inilah yang dari masa
ke masa selalu berubah sesuai dengan
perkembangan umat manusia. Kenyataan tersebut
ada yang tetap dan yang berubah (al-tsawabut
waal-mutagayyirat). Dengan demikian terdapat
beragamfungsi dalam keseharian dan terus
berkembang.2
2004), H.13
5
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis, H.
Xvii
luar aspek tekstualnya nampak tidak menarik
studi Qur’an klasik.6
Sejarah mencatat, living Al-Qur’an sudah
ada sejak masa Nabi Muhammad Saw, hal ini
bisa dilihat dalam praktek ruqyah, yaitu
mengobati dirinya sendiri dan orang lain yang
menderita sakit dengan membacakan ayat-ayat
tertentu dalam Al-Qur’an.7 Menurut suatu riwayat,
Nabi Muhammad SAW pernah menyembuhkan
penyakit dengan ruqiyah menggunakan surat Al-
Fatihah atau menolak sihir dengan bacaan surat Al-
Mu’aawwizatain (Al-Falaq dan Al-Naas).8
6
M. Mansur, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2007) hal. 5
7
Didi Junaedi, Living Qur’an: Sebuah Pendekatan Baru
dalam Kajian Al-Qur’an (Studi Kasus di Pondok
Pesanteren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec,
Pabedilan Kab, Cirebon). Jurnal hal. 176
8
Hamam Faizin, Mencium dan Nyunggi Al-Qur’an Upaya
Pengembangan Kajian Al-Qur’an Melalui Living Qur’an,
dalam jurnal, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah) shuf,
Vol.4, No. 1, 2011. hal. 27
Lebih dari itu, para sahabatlah yang
sebenarnya telah melakukan kajian living Qur’an
secara ilmiah dan empiris untuk pertama kalinya.
Mereka memahami ajaran agama dari apa yang
mereka bisa lihat dan apa yang mereka saksikan
atau mereka alami sendiri dihadapan Nabi. Tidak
jarang mereka tanyakan hal itu kepada Nabi, lalu
mereka laporkan dan jadikan hadis fi’li. Metode
yang digunakan para sahabat nyaris sama dengan
metode pengamatan terlibat dan wawancara
mendalam (in-dept interview) untuk
mengumpulkan data dalam penelitian lapangan.
Mereka terlibat langsung secara aktif dalam kajian
dan kegiatan harian bersama Nabi Muhammad
SAW.9
Living Qur’an yang dilakukan sahabat
berbentuk pengamatan seperti ketika para sahabat
melihat Nabi Muhammad SAW memakai cincin,
para sahabat pun ramai-ramai memakai cincin.
Dan ketika Nabi Muhammad SAW melepas
cincinnya, para sahabat pun ramai-ramai
9
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.111
melepasnya juga.10 Adapun ketetapan Nabi
Muhammad SAW yang menimbulkan perbedaan
dikalangan sahabat, sehingga para sahabat
bertanya kepada Nabi berupa peristiwa tayamum
di tengah perjalan. Nabi Muhammad SAW
menginstruksikan agar jangan shalat Ashar
kecuali jika sudah sampai di perkampungan Bani
Quraizhah. Namun, para sahabat di tengah
perjalanan, justru berbeda pendapat. Sebagian
sahabat tetap melaksanakan shalat pada
waktunya, meskipun masih dalam perjalanan dan
“menyalahi” instruksi Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat yang lain justru tetap “setia”
terhadap instruksi Nabi Muhammad SAW. Para
sahabat ini baru shalat Ashar ketika mereka telah
sampai di perkampungan Bani Quraizhah
walaupun waktu shalat Ashar telah lewat. Hal ini
kemudian dipertanyakan oleh sahabat untuk
mengetahui mana perbuatan mereka yang lebih
10
Hadis tentang cincin ini dapat dilihat dalam Shahih
muslim, no 5605. Lihat jugaAhmad ‘Ubaydi Hasbillah,
Ilmu Living Qur’an-Hadis, hal. 66
baik, kemudian kejadian ini direspon oleh Nabi
dengan bijak.11
Ketetapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan cincin dan kegiatan tayamum
bisa dipahami bentuk dari living Qur’an karena
berdasarkan konsep perbuatan Nabi Muhammad
SAW adalah living Qur’an. Karena fungsi Nabi
sebagai uswatun hasanah ketetuan ini merupakan
ketentuan yuridis dari Al-Qur’an.12
Berdasarkan keterangan di atas, bahwa
living Qur’an sudah ada sejak masa Nabi
Muhammad SAW dan sahabat. Akan tetapi hal
ini belum merupakan living Qur’an yang
berbentuk kajian keilmuan. Hal ini hanya berupa
embrio dari living Qur’an sudah ada sejak masa
Nabi dan sahabat. Living Qur’an mulai menjadi
objek kajian ketika pemerhati studi Al-Qur’an
non Muslim. Bagi mereka banyak hal yang
11
Hadis ini secara lengkap dalam riwayat al-Bhuhari no
904 dan 3893 dan juga muslim no.4701. lihat juga Ahmad
‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis, hal. 70
12
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.108
menarik disekitar Al-Qur’an ditengah kehidupan
kaum Muslim yang berwujud berbagai fenomena
sosial. Misalnya, fenomena sosial terkait dengan
pelajaran membaca Al-Qur’an di lokasi tertentu,
fenomena penulisan bagian tertentu dari Al-
Qur’an ditempat tertentu, pemenggalan ayat-ayat
Al-Qur’an yang kemudian menjadi sarana
pengobatan, do’a-do’a dan sebagainya yang ada
dalam masyarakat Muslim lainnya. Model studi
ini menjadikan fenomena yang hidup ditengah-
tengah masyarakat Muslim terkait dengan Al-
Qur’an ini mejadi objek studi mereka, pada
dasarnya tidak lebih dari studi sosial yang dengan
keragamannya. Hanya dengan fenomena sosial
ini muncul lantaran kehadiran Al- Qur’an.
Kemudian dinisiasikan ke dalam wilayah studi Al-
Qur’an. Yang pada perkembangannya kajian ini
dikenal dengan istilah living Qur’an.13
Adapun tokoh pemerhati studi Al-Qur’an
ini adalah Neal Robinson, Farid Essac atau Nash
13
M. Mansur, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2007) hal. 6-7
Abu Zaid. Misalnya Farid Essac lebih banyak
mengeksplorasi pengamalan tentang Qur’an
dilingkunganya sendiri, sedangkan Neal
Robinson mencoba merekam pengalaman banyak
kasus seperti bagaimana pengalaman Taha
Husein dalam mempelajari Al-Qur’an di Mesir,
bagaimana pengalaman komunitas muslim di
India dan sebagainya.14
Istilah living Qur’an muncul pertama kali
oleh Fazhurrahman, hal ini dikatakan oleh Alfatih
Suryadilaga walaupun istilah yang digunakan
Fazhulrahman menunjukan sunnah non-verbal yang
dikenal dengan istilah living Tradition.15 Akan
tetapi istilah living Qur’an yang cikal bakal ilmu
baru diperkenalkan oleh Barbara Dali Metcalf
dalam penelitiannya tentang living Hadis yang
berjudul “Living Hadis in The Tablighi Jamaat”
yang ditulis pada 1992.16
14
Ibid, hal. 7-8
15
M. Alfatih Suryadilaga, model-Model Living Hadis.
dalam Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-
Hadis, hal. 137
Walaupun pada dasarnya living Qur’an
bermula dari pengkajian Al-Qur’an dari kalangan
non Muslim. Akan tetapi para pengkaji Al-Qur’an
dari kalangan Muslim menerima kajian ini dengan
baik. Dengan memasukan kajian living Qur’an
kedalam wilayah studi Qur’an oleh para pemerhati
studi Al-Qur’an kontemporer.17
16
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.152
17
M. Mansur, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, ( Yogyakarta: Teras, 2007) hal. 9
kehidupan sehari-hari atau yang sering disebut
Living Qur’an, yakni Al-Qur’an yang hidup
dalam masyarakat (komunitas). pengembangan
kajian al-Qur’an ke ranah Living Qur’an, yang
sejauh ini kurang mendapatkan perhatian di
tengah-tengah mainstream studi Al-Qur’an yang
berkutat pada teks Al-Qur’an. Living Qur’an bisa
menjadi alternatif menarik dalam pengembangan
kajian al-Qur’an kontemporer.
18
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.232.
slametan yasinan, mengingat kematian
(pendak’an), dll.
1. Membaca Tahlil
1. Membumikan Al-Qur’an
19
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,
(Ciputat: Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal.234-236.
Istilah membumikan al-Qur’an,
kaitannya dengan memahami dan
mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan
konteks zamannya. Menurut Ahmad
Syafi’i Ma’arif, membumikan al-Qur’an
dapat diartikan bahwa al-Qur’an
mengandung nilai-nilai yang dapat
dijadikan pedoman oleh umat manusia
untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan dalam kehidupan sehari-
hari.20 Salah satunya bagaimana
menerjemahkan ajaran-ajaran al-Qur’an
dalam realita yang berkembang di
masyarakat, seperti memberantas
kemiskinan dikaitkan dengan zakat.
2. Kajian Keilmuan
Sebagai disiplin keilmuan, living
Al-Qur’an memiliki cirinya sendiri yaitu
pada obyek kajiannya yang khusus.
Meskipun yang dikaji sama-sama Al-
20
M. Luthfi, Membumikan Al-Qur’an: Peluang dan
Tantangan, Al-Qalam, Vol. 20, No. 98,99, 2003, h. 24
Qur’an, namun living al-Qur’an objek
kajiannya berupa ayat-ayat yang sudah
berada di luar teks mushaf al-Qur’an atau
kita-kitab tafsir melainkan pada ranah
sosial kemasyarakatan atas fenomena.
Fenomenanya seperti fenomena praktik,
tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di
masyarakat. Demikian juga ciri yang lain
dalam pengetahuan, sistematis dan
metode pengembangan. Dengan
demikian, living al-Qur’an merupakan
sebuah ilmu pengetahuan yang telah
memiliki obyek serta ciri-ciri sebagai
ilmu pengetahuan.21
3. Fenomena Keagamaan
Setiap muslim yakin jika dirinya
berinteraksi dengan al-Qur’an, hidupnya
akan mendapatkan kebahagiaan di dunia
maupun akhirat. Untuk mendapatkan
petunjuk al-Qur’an, muslim membaca dan
21
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis, H.
Xviii
memahami isinya serta mengamalkannya,
meskipun membacanya sudah dianggap
ibadah. Pembacaan al-Qur’an
menghasilkan pemahaman yang bebeda
sesuai kemampuan masing-masing, dan
pemahaman tersebut melahirkan perilaku
yang beragam sebagai tafsir al-Qur’an
dalam praksis kehidupan, baik pada
dataran teologis, filosofis, psikologis,
maupun kultural.
Kenyataannya, fenomena
pembacaan al-Qur’an sebagai sebuah
apresiasi dan respons umat Islam sangat
beragam. Ada berbagai model pembacaan
al-Qur’an, mulai dari pemahaman dan
pendalaman makna sampai yang sekedar
membaca al-Qur’an sebagai ibadah atau
untuk mendapatan ketenangan jiwa.
Bahkan ada model pembacaan al-Qur’an
yang bertujuan untuk mendatangkan
kekuatan supranatural atau terapi
pengobatan dan sebagainya.22 Praktek
memperlakukan al-Qur’an atau unit-unit
tertentu dari al-Qur’an sehingga
bermakna dalam kehidupan praktis oleh
sebagian komunitas muslim tertentu pun
banyak terjadi, bahkan rutin dilakukan.
- Mengamalkan Surat atau Ayat
Seperti membaca surat Yusuf dan
Maryam menjadi sebab anak lahir
tampan dan cantik. Di antara upacara-
upacara yang melingkari hidup
seseorang tersebut adalah rentetan
upacara kelahiran, yakni pembacaan
surat Yusuf dan Maryam dalam
upacara tingkeban. Di sekitar acara
kelahiran terkumpul empat slametan
utama dan beberapa slametan kecil.
Acara-acara tersebut di antaranya:
tingkeban (diselenggarakan hanya
apabila anak yang dikandung adalah
22
Abdul Mustaqim, Metodologi Penelitian Living Qur’an
Dan Hadis (Yogyakarta: Teras 2007), Hlm. 65.
anak pertama), babaran atau
barokahan (diselenggarakan pada
waktu kelahiran bayi itu sendiri),
pasaran (lima hari sesudah kelahiran)
dan pitonan (tujuh bulan setelah
kelahiran). Slametan-slametan lainnya
bisa diadakan bisa juga tidak, yakni
telonan (pada bulan ketiga masa
kehamilan), selapanan (bulan pertama
sesudah kelahiran), taunan (diadakan
setaun sesudahnya). Beberapa orang
mengadakan slametan setiap bulan
sesudah kelahiran selama satu atau
dua tahun secara tak teratur hingga
anak itu dewasa, tetapi praktek ini
sangat beraneka ragam dan slametan
demikain bisaya kecil dan tidak
penting. Adapun upacara Tingkeban
atau Mitomi adalah upacara selametan
yang diselenggarakan pada bulan
ketujuh masa kehamilan dan hanya
dilakukan apabila anak yang
dikandung adalah anak pertama bagi
si ibu, si ayah atau keduanya.23
Istilah "Tingkeban" diambil dari
nama seorang wanita Kediri, Niken
Satingkeb. Dalam cerita rakyat
dikisahkan bahwa Niken Satingkeb
diperintahkan untuk mengadakan
upacara selamatan pada saat hamil.
Upacaranya dalam bentuk
menyediakan sesajen guna dikirim
kepada para Dewa sembari meminta
Dewa agar menjadikan anaknya kelak
tampan seperti Arjuna (kalau laki-
laki) atau cantik seperti Dewi Ratih
(kalau perempuan). Upacara ini
akhirnya terus hidup dan menjadi
tradisi sampai pada masa Sunan
Kudus. Oleh Sunan Kudus, tradisi
yang mengandung ajaran Hindu
Budha itu diarahkan agar menjadi
23
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1983), H. 48
lebih Islami. Acara selamatan terus
dilakukan, tetapi niatnya untuk
bersedekah kepada penduduk
setempat dan boleh dibawa pulang,
bukan untuk para Dewa. Adapun
terkait permohonan agar anaknya
tampan dan cantik, maka Sunan
Kudus mengarahkan mereka agar
mengajukan doa kepada Allah dengan
harapan anaknya lahir berwajah
tampan seperti Nabi Yusuf atau cantik
seperti Siti Maryam. Oleh karenanya,
perempuan hamil dan suaminya
ditekankan untuk membaca surat
Yusuf dan Maryam.24
- Ayat-ayat al-Qur’an sebagai
semboyan hidup
Terdapat masyarakat Muslim yang
menjadikan ayat al-Qur’an sebagai
24
Muchibbah Sektioningsih, Adopsi Ajaran Islam dalam
Ritual Mitoni di Desa Ngagel Kecamatan Dukuh Seti
Kabupaten Pati, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga, 2009), h.29
semboyan hidup, sehingga ayat
tersebut menjadi motivasi dalam
menjalani kehidupan, sebab manusia
hidup tidak lepas dari kesusahan,
musibah, kegagalan dan lainnya.
Adapun ayat yang sering menjadi
semboyan misalnya surat Al-Insyirah
ayat 5-6.
Salah satu organisasi keagamaan
di Indonesia juga melakukan hal
tersebut. NU misalnya, menjadikan
ayat 103 surat Ali Imran sebagai
motto mereka. Organisasi lain, seperti
Muhammadiyah mengambil ayat 104
dari surat Ali Imran sebagai
semboyannya.25
DAFTAR PUSTAKA
25
Ridhoul Wahidi, Hidup Akrab Dengan Al-Qur'an; Kajian
Living Qur'an Dan Living Hadis Pada Masyarakat Indragiri
Hilir Riau Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian, Vol. 1,
No. 2, 2013, h.108
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. 2021. Ilmu Living
Qur’an-Hadis Ontologi, Epistemologi, Aksiologi
Tangerang: Maktabah Darus-Sunnah.
Atabik, Ahmad. 2014. The Living Qur’an: Potret
Budaya Tahfiz Al-Qur’an Di Nusantara. Stain
Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Jurnal
Penelitian, Vol. 8, No. 1
Abu Zayd, Nasr Hamid. 2004. Rethinking The
Qur’an:Toward A Humanistic Her Meneutics.
Amsterdam: Swp Publisher
Mansur, M. 2007. Metodologi Penelitian Living
Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Teras
Junaedi, Didi. Living Qur’an: Sebuah
Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi
Kasus di Pondok Pesanteren As-Siroj Al-Hasan
Desa Kalimukti Kec, Pabedilan Kab, Cirebon).
Faizin, Hamam. 2011. Mencium dan Nyunggi Al-
Qur’an Upaya Pengembangan Kajian Al-Qur’an
Melalui Living Qur’an. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. Jurnal shuf, Vol.4, No. 1.
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. 2019. Ilmu Living
Qur’an-Hadis. Ciputat: Maktabah Darus Sunnah
Shahih muslim
Shahih al-Bhuhari
Suryadilaga, M. Alfatih. Model-Model Living
Hadis.
Mustaqim, Abdul. 2007. Metodologi Penelitian
Living Qur’an Dan Hadis. 1983. Yogyakarta:
Teras
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa, Terj. Aswab Mahasin. Jakarta:
Pustaka Jaya,
Sektioningsih, Muchibbah. 2009. Adopsi Ajaran
Islam dalam Ritual Mitoni di Desa Ngagel
Kecamatan Dukuh Seti Kabupaten Pati.
Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga
Wahidi, Ridhoul. 2013. Hidup Akrab Dengan Al-
Qur'an; Kajian Living Qur'an Dan Living Hadis
Pada Masyarakat Indragiri Hilir Riau. Turãst:
Jurnal Penelitian & Pengabdian, Vol. 1, No. 2,