Anda di halaman 1dari 12

A.

Pendahuluan
Penggunaan metode-metode tafsir klasik yang marak digunakan oleh sarjana-
sarjana muslim pada saat ini mengundang kritikan dari beberapa tokoh tafsir
kontemporer seperti Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Amin al-Khully, dan
Bintu Syathi.
Tokoh-tokoh tersebut mengungkapkan bahwa penafsiran-penafsiran terdahulu
terfokus pada kajian-kajian yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada jaman mereka
dan cenderung lokalistik. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa sudah saatnya umat
Islam saat ini menafsirkan Al-Quran sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang
pada masa ini. Amin al-Khully mencoba menggeser paradigma yang tertanam kuat
dalam pemikiran umat Islam dengan menjadikan Al-Quran sebagai kitab bahasa Arab
yang agung.
Di sisi lain, kegelisahan Bintu Syathi akan tiadanya pengungkapan
kemukjizatan Al-Quran dari sisi balaghahnya membuat ia berusaha menafsirkan Al-
Quran dari sisi bayaninya. Ia sangat menyesalkan keadaan sarjana sastra Arab yang
hanya terfokus pada puisi-puisi Arab, padahal Al-Quran jauh lebih baik dan lebih layak
untuk diungkapkan maknanya daripada puisi-puisi tersebut.
Dalam makalah ini penulis berusaha untuk mengungkapkan pemikiran Bintu
Syathi dalam menafsirkan ayat-ayat yang membahas tentang konsep manusia. Makalah
ini ingin mengungkapkan secara ringkas isi dari buku tafsir tersebut dengan melihat pada
latar belakang penulisan, sistematika dan isi, serta corak dan metode penafsiran yang
digunakan oleh Bintu Syathi dalam menguraikan pandangan dunia Al-Quran tentang
al-insan.
B. Biografi Bintu Syathi
Bintu Syathi merupakan seorang mufassir yang berasal dari Mesir. Nama
lengkapnya adalah Aisyah Abdurrahman, putri dari pasangan Muhammad Ali
Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ia lahir pada tanggal 06 November
1913 di Dumyat yang terletak di sebelah barat sungai Nil.
1
Nama Bintu Syathi memiliki
1
Sahiron Syamsudin, An Examination of Bintu al-Syathis Method of Interpreting The Quran (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 6.
arti gadis pinggir sungai, nama itu ia gunakan sebagai kamuflase agar aktivitasnya
sebagai penulis tidak diketahui oleh ayahnya.
2
Ayah Bintu Syathi dikenal sebagai seorang sufi yang konservatif. Ia melarang
putrinya untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah, ia lebih cenderung mendidik
pturinya di rumah sendiri. Akan tetapi sikap ayahnya tersebut tidak disetujui oleh ibu dan
kakek Bintu Syathi yang menginginkan ia mengikuti pendidikan formal. Berkat bantuan
ibu dan kakeknya, Bintu Syathi berhasil menamatkan pendidikan formal dari Madrasah
Ibtidaiyah hingga sekolah keguruan di Tanta dengan predikat lulusan terbaik.
3
Setelah lulus sekolah keguruan, Bintu Syathi diangkat menjadi sekretaris pada
sekolah khusus wanita di Jizah. Disana ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang
bahasa Inggris dan Perancis serta menyesuaikan diri dengan kehidupan modern.
4
Bintu Syathi kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Fuad I
(Universitas Kairo) pada tahun 1936 dengan mengambil jurusan sastera. Pada tahun 1939
ia lulus dengan predikat Cumlaude dan menyelesaikan pendidikan Masternya di
Universitas yang sama dengan mendapatkan predikat summa cumlaude pada tahun
1931.
5
Setelah lulus kuliah, Bintu Syathi bekerja sebagai asisten Lektor di Universitas
Kairo. Ia juga menjadi Inspektur Bahasa Arab dan Kritikus Sastera di Koran Al-Ahram.
Disamping itu, ia juga melanjutkan pendidikan doktoralnya dalam bidang sastera di
Universitas Kairo. Disanalah ia bertemu dengan professor Amin al-Khulli (w. 1966)
yang mengajar dalam bidang tafsir dan memberikan banyak pengaruh dalam pemikiran
Bintu Syathi terutama dalam bidang tafsir sastra.
6
Pada tahun 1950 Bintu Syathi menyelesaikan pendidikan doktoralnya dan
diangkat menjadi Kepala Jurusan Bahasa Arab dan Islamic Studies di Universitas Ain
Syams. Pada tahun 1957 ia diangkat menjadi asisten Professor dan 10 tahun kemudian ia
mendapatkan gelar professor dalam bidang sastra Arab.
7
Selain bekerja sebagai pengajar di Universitas, Bintu Syathi juga aktif dalam
kegiatan menulis. Ia sering mengirimkan tulisan dalam bidang sastera dan syair pada
2
Roxanne D. Marrote, The Quran in Egypt I: Bintu al-Syathi on Womens Emancipation dalam Jurnal
Coming to Terms with The Quran (New Jersey: Islamic Publication International, 2008), hlm. 180.
3
Bintu Syathi, Ala al-Jisr (Kairo: al-Hayah al-Mishriyah li al-Kitab, 1986), hlm. 56.
4
Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, Skripsi Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006, hlm. 54.
5
Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, hlm. 54.
6
Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, 54.
7
Agustini, Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf Muqattaah, Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm. 35.
majalah wanita al-Nahdah al-Nisaiyah. Pada tahun 1936 ia mulai menggunakan nama
Bintu Syathi untuk menyembunyikan kegiatan penulisannya dari ayahnya.
8
Adapun karya-karya Bintu Syathi diantaranya adalah al-Hayyah al-Insaniyah
Inda Abi al-Ala, al-Gufran li Abu al-Ala al-Maary, Risalah al-Gufran li Abu al-Ala,
al-Khansa, Ard al-Mujizat, Rihlah fi Jazirah al-Arab, Umm al-Nabiy, Banat al-Nabiy,
Sukainah bint al-Husain, Batalat al-Karbala, Maa al-Mustafa, Nisa al-Nabiy, Tarajum
Sayyidat Bait al-Nubuwwah Radiyullah an Hunna, Tafsir al-Bayani li al-Quran al-
Karim (jilid I-III), Kitabuna al-Akbar, Maqal fi al-Insan: Dirasah Quraniyyah, Al-
Quran wa al-Tafsir al-Ashry, Al-Ijaz al-Bayani li al-Quran, dan Al-Syakhsiyyah al-
Islamiyyah: Dirasah Quraniyyah.
9
Bintu Syathi meninggal pada tahun 1998 akibat serangan jantung,
pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh intelektual dari berbagai negara.
10
C. Latar Belakang Penulisan Kitab
Pada halaman awal bukunya Bintu Syathi mengungkapkan kesedihan dan
kesepian yang ia alami setelah suaminya meninggal. Amin al-Khully yang juga
merupakan professor yang memunculkan tafsir sastra sebagai sebuah disiplin ilmu tafsir
diakui oleh Bintu Syathi telah banyak memberikan makna kehidupan pada dirinya,
terutama dalam hal memahami esensi dari manusia itu sendiri.
11
Dalam mukaddimah bukunya Bintu Syathi menyadari bahwa kehidupan harus
terus berlangsung meski banyak kepedihan di dalamnya. Ia bertanya-tanya tentang
langkah apa yang harus ia ambil untuk menapaki kehidupan selanjutnya, apa maksud
dari perjalanan hidup sebenarnya, apa tujuan hidup jika semuanya sudah diatur
sedemikian rupa oleh Tuhan. Ia juga menyadari bahwa tidak ada orang yang tahu dimana
ia akan melangkah selanjutnya, bagaimana masa depan yang akan dilaluinya karena itu
semua adalah rahasia dari kehidupan itu sendiri.
12
Oleh karena itu, ia berusaha menemukan jawaban-jawaban dari kitab suci Al-
Quran tanpa menghadirkan kitab-kitab dan buku-buku lain disisinya. Ia berusaha untuk
mengungkapkan pandangan dunia Al-Quran tentang manusia, kemampuan yang
8
Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, 55.
9
Agustini, Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf Muqattaah, hlm. 36-37.
10
Agustini, Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf Muqattaah, hlm. 37.
11
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, (Kairo: Dar al-Maarif, 1969), hlm.
7.
12
Aisyah Abdurrahman, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), hlm. vii.
dimiliki oleh manusia, kelemahannya maupun kehinaannya, kelicikan dan
kesombongannya. Selain itu ia juga mengamati perjalanan manusia dari alam yang tidak
diketahui (majhul) hingga ke alam gaib.
13
Secara garis besar, Bintu Syathi menulis karya ini berawal dari kesadarannya
akan kehidupan manusia sepeninggal suaminya. Oleh karena itu, ia berusaha untuk
memahami manusia dan kehidupannya secara mendalam melalui pembacaan terhadap
Al-Quran untuk mengetahui rahasia manusia sebenarnya yang terkandung di dalam Al-
Quran.
D. Sistematika Penulisan dan Isi Kitab
Penulisan buku Maqal al-Insan: Dirasah Quraniyyah ini disusun secara
tematik yang membahas tentang satu tema pokok yaitu manusia. Tema tentang manusia
memiliki ciri khas tersendiri dalam Al-Quran yang membuat Bintu Syathi merasa
tertarik untuk menuangkan pandangan Al-Quran tentang manusia. Oleh karena itu,
pembahasan awal yang ia lakukan adalah menelaah term-term manusia dalam Al-
Quran.
14
Adapun tema-tema yang menjadi susunan buku ini antara lain:
No Bab Sub Bab Keterangan
1 Mengungkapkan perbedaan diantara
term-term manusia dalam Al-Quran.
2







Mengungkapkan kemampuan
manusia, perjalanan hidup manusia
beserta kebebasan dan
tanggungjawabnya.
3



Mengungkapkan tentang akhir
perjalanan manusia dan keadaan
manusia modern.
Adapun isi buku yang membahas tentang manusia dalam Al-Quran ini antara
lain:
1. Inilah Manusia ()
Dalam pembahasan ini Bintu Syathi mencoba untuk memetakan term-term
manusia dalam Al-Quran. Ia juga mengemukakan alasan mengapa ia memilih kata al-
insan sebagai judul bukunya sekaligus tema pokok yang dibahas dalam buku ini.
13
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 7.
14
Lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran, hlm. 1.
Term manusia dalam Al-Quran terbagi dalam beberapa kata, yaitu al-basyar,
al-nas, dan al-ins. Kata al-basyar digunakan dalam Al-Quran untuk menyebut manusia
sebagai anak keturunan adam, yaitu makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke
pasar. Kata ini digunakan untuk menunjukkan aspek fisik manusia secara keseluruhan,
dengan kata lain menunjukkan keturunan Adam seluruhnya baik itu orang beriman,
orang kafir, maupun para nabi.
15
Adapun kata al-nas dalam Al-Quran memiliki penekanan makna yang
menunjukkan satu kesatuan makhluk hidup. Dengan kata lain, kata al-nas digunakan
dalam Al-Quran untuk menunjukkan jenis makhluk hidup keturunan Adam.
16
Sedangkan kata al-Ins dan al-insan memiliki kesamaan makna ( )
karena berasal dari akar kata yang sama yaitu a-n-s ( - ). Kedua kata ini merujuk
pada makna yang sama, yaitu lawan kata dari liar (). Akan tetapi kedua kata ini
memiliki perbedaan dari segi penggunaan kata dalam Al-Quran. Kata al-ins digunakan
dalam Al-Quran sebagai lawan kata dari al-jinn. Dalam relasi paradigmatifnya, kata al-
ins memiliki makna yang disesuaikan dengan kata al-jinn sebagai antonimnya, yaitu
makna yang terkandung dalam kata al-ins adalah tidak liar (jinak) sebagai lawan dari
kata al-jinn yang berbentuk metafisik menandakan sifat liar atau bebas karena tidak
terikat ruang dan waktu. Dengan kata lain, kata al-ins merujuk pada sifat manusia yang
berbeda dari makhluk selainnya yang bersifat metafisik dan berbeda cara hidupnya.
17
Adapun penggunaan kata al-insan dalam Al-Quran adalah untuk menunjukkan
tingginya derajat manusia sehingga ia pantas untuk menjadi khalifah di bumi. Hal
tersebut disebabkan karena manusia memiliki kemampuan dalam bidang ilmu, berbicara,
akal dan berpikir, pandai membedakan antara yang benar dan yang salah, serta mampu
mengatasi segala masalah dan kesesatan yang datang dalam dirinya. Oleh karena itu,
manusia diberikan tanggung jawab yang besar baik dari segi hubungan kepada Tuhan
maupun kepada alam sekitar. Di sisi lain, kata al-insan juga menunjukkan kelemahan
manusia dan kehinaannya ketika ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut
sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
18
Secara garis besar, Bintu Syathi ingin menjelaskan sebab pemilihan kata al-
insan sebagai fokus kajiannya terhadap manusia. Dari penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa kompleksitas manusia yang terdapat di dalam Al-Quran tertuang dalam
15
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 11.
16
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 13.
17
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 14.
18
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 15-19.
penggunaan kata al-insan yang kemudian menjadi tema-tema penting dalam pembahasan
buku ini.
2. Kisah Kehidupan Manusia
Awal kehidupan manusia diungkapkan oleh Al-Quran dengan adanya
penciptaan Adam sebagai khalifah di bumi. Penunjukkan status kekhalifahan ini bahkan
telah ditentukan sebelum Adam diciptakan. Hal ini membuat entitas lain yang telah ada
sebelum lahirnya Adam bertanya-tanya tentang maksud dan tujuan diciptakan makhluk
baru ketika makhluk yang ada sudah melakukan perintah Tuhan dengan sebaik-
baiknya.
19
Sebagaimana yang diketahui oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia bahwa
penciptaan manusia yang pertama kali dilakukan dengan adanya perdebatan antara
Tuhan dan Malaikat. Malaikat adalah makhluk yang telah ada jauh sebelum manusia
diciptakan. Mereka terikat pada perintah yang mutlak, dikendalikan oleh kehendak yang
Maha Tinggi yang tidak dapat dibangkang, tidak diuji dengan adanya kehendak dan
kebebasan, sehingga alam raya sebelum kemunculan Adam adalah alam yang penuh
kedamaian.
20
Permasalahan muncul kemudian ketika datang firman Allah yang menyatakan
akan hadirnya makhluk baru. Hal ini menyebabkan terjadinya anomali pada malaikat
dimana aktivitas berpikir berdasarkan hukum kausalitas terjadi. Malaikat yang awalnya
merupakan makhluk patuh tanpa pernah menanyakan apapun yang diperintahkan dan
disampaikan Tuhan, mengalami keadaan di luar kebiasaan dan mempertanyakan tentang
kehadiran manusia. Akan tetapi anomali segera berakhir ketika Tuhan menjelaskan
tentang makhluk baru tersebut beserta kemampuannya dan malaikat kembali menjadi
makhluk yang patuh seperti biasanya.
21
Penunjukkan manusia sebagai khalifah di bumi tidak terlepas dari
kemampuannya yang berbeda dengan makhluk sebelumnya. Manusia memiliki
kemampuan untuk menyerap ilmu, kebebasan berkehendak, serta kemampuan untuk
menghadapi berbagai ujian kehidupan yang akan dialaminya. Hal inilah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk istimewa dibandingkan makhluk sebelumnya.
Pertentangan antara kebaikan dan keburukan serta munculnya Iblis sebagai pembanding
dari malaikat yang akan terus menggoda manusia melakukan keburukan, menjadikan
19
Aisyah Abdurrahman, Al-Quran wa Qadhaya al-Insan (Kairo: Dar al-Maarif, 1999), hlm. 34.
20
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 27.
21
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 27.
manusia sebagai makhluk terbaik yang menjembatani dua medan yang saling
bertentangan tersebut dengan adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan di hari akhir
nanti. Hal inilah yang membuat manusia layak untuk menjadi khalifah di bumi.
22
Setelah menunjukkan kualitas manusia yang layak menjadi khalifah di bumi,
kemudian Allah mengajarkan manusia al-bayan. Kata al-bayan ditafsirkan oleh Bintu
Syathi sebagai kemampuan untuk menjelaskan sesuai dengan keadaan masyarakat pada
saat itu. Ucapan manusia memiliki nilai untuk menjelaskan, pendengarannya untuk
memahami dan mencerna, dan penglihatannya untuk membedakan dan mencari hidayah.
Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
23
Selanjutnya manusia diberikan amanat oleh Tuhan. Dalam hal ini amanat adalah
ujian seiring dengan adanya pemberian kewajiban dari Allah disertai adanya hak
kebebasan bertindak dan tanggung jawab dalam setiap perbuatan. Makhluk-makhluk
lainnya tidak sanggup menerima amanat ini dikarenakan besarnya tanggung jawab
dibebankan dimana amanat tersebut nantinya akan diminta pertanggungjawaban dan
diberikan balasan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.
24
Adapun kebebasan manusia terletak pada berbagai macam pilihan yang tersedia
untuknya dalam menjalani hidup. Pilihan tersebut kemudian diikuti dengan usaha
sebagai proses untuk mewujudkan keinginan dasar dari pilihan itu. Pilihan ini kemudian
akan menjadi final sesuai dengan iradah Tuhan yang merupakan ketentuan akhir dan
tujuan dari ikhtiar manusia.
25
Akhir perjalanan kehidupan manusia dalam Al-Quran ditandai dengan adanya
kematian dan hari kebangkitan. Konsep kehidupan setelah kematian ini dibawa oleh
agama samawi sebagai jawaban dari konsep duniawi yang menyatakan bahwa manusia
akan punah seiring dengan datangnya kematian. Keinginan manusia akan kehidupan
yang abadi dijawab oleh Al-Quran dengan adanya kehidupan lain setelah dunia. Oleh
karena itu, Al-Quran menganjurkan bahkan menyuruh manusia untuk berlomba-lomba
mengisi bekal untuk kehidupan selanjutnya setelah mereka terlepas dari ikatan dunia
fana ini.
26
3. Manusia Modern
22
Aisyah Abdurrahman, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran, hlm. 17-21.
23
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 47.
24
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 58.
25
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 117.
26
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 119-140.
Kehidupan manusia modern diliputi oleh permasalahan klasik antara agama dan
ilmu pengetahuan. Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan dengan berbagai revolusi di
berbagai bidang, banyak orang yang mulai menganggap bahwa ilmu pengetahuan lebih
layak diimani daripada agama.
27
Pertentangan ini sebenarnya bukan berasal dari agama dan ilmu pengetahuan itu
sendiri, melainkan dari tokoh dari kedua kubu tersebut. agama dan ilmu pengetahuan
sebenarnya saling mendampingi satu sama lain, saling menyokong dan membuktikan
kebenaran bersama-sama.
28
Oleh karena itu, manusia modern perlu memahami esensi dari agama dan
pengetahuan sehingga dapat saling membangun satu sama lain dalam menjalani
kehidupan di dunia ini.
29
E. Corak dan Metode Penafsiran
Dalam pengantar kitab tafsirnya, Bintu Syathi mengungkapkan bahwa para
mahasiswa dan sarjana sastera lebih banyak terpaku pada puisi-puisi pra Islam daripada
Al-Quran itu sendiri. Padahal sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Amin al-
Khully, Al-Quran merupakan kitab bahasa Arab terbesar dimana terdapat mukjizat
bayan yang abadi dan gagasan-gagasan yang tinggi.
30
Di sisi lain, umat Islam masih banyak yang terpaku pada metode tafsir klasik.
Bintu Syathi menyatakan sangat langkanya ahli sastera Arab di Al-Azhar yang
menjadikan Al-Quran sebagai objek kajian metodologis. Mereka lebih terpaku pada
teks-teks lain, padahal Al-Quran mengandung kemukjizatan bayan yang luar biasa yang
tidak bisa ditandingi oleh teks-teks lainnya. Oleh karena itu, ia mencoba untuk
mentafsirkan Al-Quran sebagai upaya untuk mengungkapkan sisi bayan Al-Quran yang
belum disentuh oleh mufassir lain sebelumnya.
31
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa corak penafsiran yang
digunakan oleh Bintu Syathi adalah kebahasaan dengan menggunakan metode sastra.
Tafsir jenis ini disebut oleh Bintu Syathi sebagai tafsir bayani. Sedangkan menurut
27
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 181.
28
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 168.
29
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 172-174.
30
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint al-Syathi terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 30.
31
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint al-Syathi, hlm. 30-31.
Abdul Qadir Muhammad Shalih, model penafsiran Bintu Syathi termasuk dalam tafsir
balaghy, yaitu menafsirkan Al-Quran dari segi keindahan bahasanya.
32
Menurut Issa Boullata, ada beberapa prinsip yang digunakan dalam metode
tafsir ini, antara lain:
33
1. Memahami Al-Quran secara objektif yang dimulai dengan pengumpulan semua
surah dan ayat dari tema yang ingin dipelajari.
2. Ayat-ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan kronologis pewahyuannya
sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempat turunnya dapat diketahui. Kaedah
yang dipakai adalah al-ibrah fi umum al-lafz wa la bi khususi al-sabab.
3. Mengungkap makna-makna Al-Quran dengan mengumpulkan seluruh bentuk kata
dan mempelajari konteks khusus kata tersebut dalam ayat-ayat dan surah-surah
tertentu serta konteks umumnya dalam Al-Quran.
4. Menyingkirkan penafsiran yang bersifat sektarian dan israilliyat, memperhatikan
bentuk lahir teks dan pesan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu,
penggunaan kaedah kebahasaan dan retorika Al-Quran merupakan inti dari metode
ini.
Muhammad Yusron menjelaskan bahwa prinsip-prinsip tersebut mengandung
empat inti metode penafsiran, yaitu ayat Al-Quran menafsirkan ayat yang lainnya,
konsep munasabah dengan mengaitkan kata atau ayat Al-Quran dengan ayat yang
berada di dekatnya atau ayat lain yang mengandung tema yang sama, menafsirkan suatu
masalah dengan menggunakan lafaz Al-Quran yang umum bukan sebab yang khusus,
dan meniadakan sinonim dalam Al-Quran karena setiap kata memiliki makna masing-
masing yang berbeda walaupun terlihat sama.
34
Cara kerja penafsiran dalam buku Maqal al-Insan: Dirasah Quraniyyah ini
adalah dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan tema yang dibahas,
terutama yang berkaitan dengan kata-kata tertentu. Pembahasan dalam buku ini selalu
mengarah pada wilayah semantik kata yang dijadikan fokus penafsiran dengan
menganalisa kedalaman makna berdasarkan ayat-ayat yang memuat kata tersebut.
kemudian membandingkan kata tersebut dengan kata lain yang mengandung makna yang
sama dan menguraikan perbedaan makna dan penggunaannya di dalam Al-Quran.
32
Abd al-Qadir Muhammad Shalih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Ahd al-Ashr (Beirut: Dar al-Marifah, 2003),
hlm. 401.
33
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint al-Syathi, hlm. 12-13.
34
M. Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta, TH Press, 2006), hlm. 25.
Metode penafsiran di atas bisa terlihat dari penafsirannya terhadap kata al-Basyr,
al-nas, al-ins dan al-insan. Disamping itu, Bintu Syathi juga mengungkapkan beberapa
pandangan ulama dan kritikan dari rekan-rekannya sesama mufassir terhadap penafsiran
ayat-ayat tersebut.
F. Contoh dan Analisis Penafsiran
Ada beberapa term yang menjadi fokus penafsiran Bintu Syathi dalam buku
Maqal al-Insan: Dirasah Quraniyyah ini. Term-term tersebut terbagi sesuai dengan
tema yang dibahas, walaupun tema-tema tersebut hanya penjelasan dari tema pokok yaitu
tentang pandangan Al-Quran terhadap manusia.
Disini penulis mencoba untuk memetakan term-term yang dijadikan fokus
kajian Bintu Syathi dalam penafsirannya, yaitu:
No Bab Term yang tafsirkan
1
2

Sebagian besar buku ini membahas tentang konsep al-insan yang ditinjau dari
berbagai aspek yang terdapat di dalam Al-Quran. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya, Bintu Syathi menafsirkan kata al-insan sebagai sosok
manusia yang memiliki keistimewaan dari makhluk lain yang membuatnya layak
menjadi khalifah di bumi.
Bintu Syathi memulai penafsirannya dengan menjelaskan penafsiran tentang
surah al-Alaq:
) 1 ( ) 2 ( ) 3 ( ) 4 (
) 5 ( ) 6 ( ) 7 (
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada
Tuhanmulah kembali(mu). (Q.S. al-Alaq ayat 1-8).
Ia menyatakan bahwa kata al-insan dalam surah tersebut terulang sebanyak tiga
kali dengan beberapa pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu mengingatkan manusia
akan asal-usul kejadiannya dari segumpal darah, memberitahukan kelebihan manusia
yang diberikan ilmu, menyadarkan manusia akan potensi kesalahan dari perbuatan yang
melampaui batas.
35
Selanjutnya Bintu Syathi menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menjelaskan
tentang asal-usul serta proses penciptaan manusia mengandung pesan untuk
mengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaan yang terdapat dalam dirinya, serta
tidak melupakan asal-usul kejadiannya.
36
) 37 ( ) 38 ( ) 39 (
) 40 (
Artinya: Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam
rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan
menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan
perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan
orang mati? (Q.S. al-Qiyamah ayat 37-40).

Artinya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia
dijadikan bersifat lemah. (Q.S. al-Nisa ayat 28).
Dalam menjelaskan ayat di atas, Bintu Syathi cenderung meniadakan bukti-
bukti ilmiah dalam mengungkapkan pesan yang dikandung oleh Al-Quran. Ia
berpendapat bahwa manusia tidak memerlukan pembelajaran ilmiah untuk
membangkitkan kesadarannya akan asal-usul dan potensi yang dimilikinya. Manusia
cukup merenungi dan memahami ayat-ayat Al-Quran agar bisa menahan diri dari sikap
melampaui batas dan berlaku sombong di dunia ini.
37
Hal ini seperti yang diungkap
dalam Al-Quran:
) 77 (
) 78 ( ) 79 (
Artinya: Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!
Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?".
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.
Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Q.S. Yasin ayat 77-79).
35
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 15.
36
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 17.
37
Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 17.
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa Bintu Syathi menafsirkan ayat
dengan menggunakan metode tematik yang dianalisis secara semantik. Ia mengumpulkan
ayat-ayat tersebut kemudian menghubungkannya dengan ayat yang lain untuk
mendapatkan makna umum dari kata al-insan serta konsep yang terkandung di dalamnya.
Kajian munasabah seperti ini cukup lazim digunakan dalam metode tafsir tematik yang
berkembang saat ini. Akan tetapi, peniadaan sinonim kata dalam Al-Quran dengan
mengungkapkan kemukjizatan bayani merupakan ciri khas penafsiran Bintu Syathi.
G. Kesimpulan
Secara umum buku ini bukanlah kitab tafsir sebagaimana lazimnya yang ditulis
oleh ulama-ulama tafsir klasik, melainkan pembahasan tematik tentang konsep manusia
dalam Al-Quran. Konsep-konsep tersebut dituangkan dengan menggunakan metode
tafsir tematik tafsir bayani menurut perspektif Bintu Syathi dengan menggunakan
analisis semantik maknawi.
Ada beberapa catatan yang penulis temukan dalam buku ini, diantaranya:
1. Buku ini berusaha mengungkapkan pandangan dunia Al-Quran tentang manusia
dengan menelaah ayat-ayat yang mengandung pesan-pesan inti kemanusiaan.
2. Buku ini disusun secara tematis sesuai dengan tema pokok yang menjadi fokus
kajian, yaitu manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya ditinjau dari
perspektif Al-Quran.
3. Buku ini tidak memuat tentang kesejarahan manusia, walaupun jika dilihat sub bab
terdapat pembahasan tentang kisah-kisah manusia. Buku ini lebih terfokus pada
fungsi dan keadaan manusia yang terungkap dalam Al-Quran.
4. Buku ini tidak menjelaskan secara rinci term-term yang berkaitan dengan kata fokus.
Padahal dalam studi semantik, kata-kata kunci lain yang mempengaruhi pemaknaan
kata fokus harus dijelaskan dengan tepat dimana letak relasi kebahasaan yang
mengakibatkan terjadinya pergeseran makna.
5. Mengambil istilah pak Yusron, Bintu Syathi seolah-olah tidak perduli tentang dalil-
dalil dan penjelasan rinci tentang kata-kata lain diluar fokus kajian seperti kata al-
jinn dalam perbandingan kata al-ins, sehingga penafsiran tersebut terlihat rancu dan
cenderung dipaksakan.

Anda mungkin juga menyukai