Anda di halaman 1dari 12

Nama/ Nim : Muhammad Ahlil Akbar / 30156120052

Yusnina / 30156120044
Kelompok : Satu (I)
Prodi/Kelas : Ilmu Al-Qur’an & Tafsir / UQ.2
Mata Kuliah : Kajian Barat AtasAl-Qur’an
Dosen : Sulkifli S.Th.I, M.Th.I
Judul Makalah : Kajian Theodor Noldeke Atas Al-Qur’an

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad SAW. melalui perantara malaikat Jibril as. Umat muslim
memandang bahwa kitab suci al-Qur’an merupakan petunjuk, wahyu,
pembeda, dan pedoman hidup bagi setiap umat muslim agar memperoleh
keselamatan dunia dan akhirat. Namun pandangan ini berbeda dengan
sebagian pemerhati Barat yang mengatakan bahwa Al-qur’an merupakan
dokumen rekaan dan tiruan yang diolah oleh Nabi Muhammad Saw.dan
mengatakan bahwa beberapa hal didalam al-Qur’an merupakan hasil rujukan
dari ajaran Kristen dan Yahudi.1

Ketertarikan Barat dalam mengkaji Islam bermula ketika Islam sudah


tersebar luas di Spanyol. Di dalam pertemuan ini terjadi pertukaran dan saling
pengaruh pengetahuan. Usaha yang dilakukan para pemerhati Barat dalam
mengkaji Islam ialah membuat sebuah karya berupa terjemahan Al-Qur’an
kedalam bahasa Latin agar memudahkan mereka dalam mengkaji Isalm.2

1
Ah Fawaid, “DINAMIKA KAJIAN AL-QUR’AN DI BARAT DAN DAMPAKNYA
PADA KAJIAN AL-QUR’AN KONTEMPORER”, Nuansa, Vol. 10, No.2, Juli-Desember 2013,
hlm 236
2
Ah Fawaid, “DINAMIKA KAJIAN AL-QUR’AN DI BARAT DAN DAMPAKNYA
PADA KAJIAN AL-QUR’AN KONTEMPORER”, Nuansa, Vol. 10, No.2, Juli-Desember 2013,
hlm 252

1
Setelah mereka melakukan pengkajian terhadap Al-Qur’an dengan
berbagai pendekatannya, mereka sampai pada satu titik dimana mereka
meragukan kemurnian atau keontetisitasan Al-Qur’an sebagai wahyu
dariAllah SWT. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis akan memaparkan
salah satu pandangan tokoh orientalis yaitu “Theodor Noldeke” terkait dengan
hal tersebut.

B. PEMBAHASAN
1. Biografi Theodor Noldeke
Theodor Noldeke merupakan seorang orientalis besar berkebangsaan
Jerman yang lahir di kota Harburg pada 2 Maret 1836. Ia tumbuh dari
keluarga berpendidikan. Sejak usia belia ia sudah mendapatkan bimbingan
langsung dari ayahnya di kota Lingen. Di kota inilah Nolkede menjalani
pendidikannya sejak musim semi tahun 1849 hingga musim gugur 1853.
Pada tahun 1853, Nolkede diterima sebagai mahasiswa Universitas
Gottingen untuk belajar sastra bahasa semit, yakni Arab, Ibrani dan Suryani,
kepada salah seorang sahabat ayahnya bernama H. Ewald. Tidak hanya itu,
Noldeke juga pernah masuk di Universitas Kiel untuk belajar bahasa
Sansakerta dari seorang gurunya bernama Benfay. Bahasa Turki dan Persi
juga mulai ditekuni Noldeke di Universitas ini.
Pada tahun 1856, saat masih berusia 20 tahun, Noldeke memperoleh gelar
doktor, pada sekitar tahun 1856-1857, Noldeke pergi ke Wina (Viena) untuk
mempelajari manuskrip-manuskrip Arab dari beberapa tokoh pemikir seperti
Dozy, Juynboll, Matthys de Vries dan Keunen, serta de Gouje, de Young dan
Engelmann. Dari Lieden, Noldeke pergi menuju Berlin untuk meneliti
beberapa manuskrip termasuk manuskrip bahasa Turki selama 1,5 tahun.
Dari Berlin dia menuju Italia untuk tujuan yang sama. Sekembalinya dari
Italia pada Desember tahun 1860, dia mendapat tugas sebagai pegawai di
perpustakaan Gottingen University. Kemudian pada tahun 1861 ia mulai
menjadi staf pengajar di universitas tersebut. Tiga tahun berikutnya ia menjadi
profesor luar biasa.

2
Pada tahun 1858, Noldeke memenangi Academie des Inscription et Belles-
Lettes di Prancis melalui karyanya tentang sejarah al-Qur’an. Tulisan Noldeke
yang pernah dipresentasikan dalam kontes tersebut kemudian disempurnakan
dan diterjemahkannya sendiri ke dalam bahsa Jerman (pada tahun 1860)
dengan judul Geschichte des Qorans yang dipublikasikan di kota Gottingen.
Buku inilah yang kemudian melambungkan nama Noldeke dalam deretan
tokoh-tokoh orientalis terkemuka.
Pada tahun 1864 hingga tahun 1872, Noldeke menjadi pengajar di
Universitas Kiel untuk bidang studi bahasa-bahasa Semitik. Setelah berhenti
dari Universitas Kiel, Noldeke kembali mengajar di Universitas Strassburg.
Universitas Kiel menjadi tempat terakhirnya dalam dunia akademik hingga ia
benar-benar pensiun pada 1920. Berhenti sebagai pengajar di Universitas
Strassburg, Noldeke pindah ke tempat tinggal anaknya, kota Karlsruhe, tempat
Noldeke menghabiskan masa-masa akhir hidupnya selama sepuluh tahun.
Noldeke meninggal pada 25 Desember 1930 meninggalkan 10 putra dan putri
dari hasil pernikahannya sejak tahun 1864.
Dari sekian banyak bidang keilmuan yang ditekuni Noldeke, fokus utama
yang ditekuninya hanya dua bidang, yakni bahasa Semit dan kajian keislaman.
Dalam bidang bahasa Semit, dia telah menulis buku berjudul Semitic
languages dan The history and civilization of Islam. Sementara karya
besarnya (seperti Grammatik der neusyrischen Sprache pada 1868,
Mandaische Grammatik tahun 1874, hasil terjemahannya Tabari pada 1881-
1882, menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli tentang kajian keislaman.
Buku Geschichte des Qorans (sejarah al-Qur’an) adalah salah satu bukti
kemahiran Noldeke dalam bidang ini.3
2. Metode
Pendekataan historical criticism atau kritik sejarah merupakan salah satu
dari tiga jenis pendekatan yang digunakan para orientalis ketika mengkaji al-

3
Kurdi Fadal, “PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR’AN (Teori
Pengaruh Al-Qur’an Theodor Noldeke)”, RELIGIA, Vol. 14, No. 2, Oktober 2011, hlm 191-193

3
Qur’an. Tiga pendekatan itu mencakup pendekatan filologi, pendekatan kritik
sejarah, dan pendekatan ontologi.4
Pendekatan kritik sejarah adalah metodologi dimana dalam kajiannya
mengutamakan pada data yang berisi validitas informasi yang memuat
perbandingan antara sejarah dan legenda, fakta dan fiksi, serta realitas dan
mitos. Implikasi pendekatan ini boleh jadi membawa kita pada suatu
penemuan dimana akan ditemukan sumber informasi yang kontradiksi dengan
sumber informasi lainnya, ragam dan ketidakserasian berbagai versi meskipun
didapatkan dari sumber yang sama, termasuk penggunaan bahasa yang keliru
di dalam teks.
Theodor Noldeke dalam karyanya yang berjudul “Geschicte des Qorans”
atau dalam edisi yang berbahasa inggris “The History of Qur’an”
menggunakan pendekatan kedua di atas (kritik historis) pada kajiannya
terhadap al-Qur’an yang membawa dia sampai pada suatu kesimpulan bahwa
ayat-ayat yang memuat kisah-kisah para Nabi dan sebagian ajaran dalam al-
Qur’an bersumber dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Selain Noldeke, pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh seorang orientalis yang juga berasal dairi
Jerman, Abraham Geiger dengan teorinya yang dikenal sebagai “Teori
Pengaruh” Yahudi-Kristen.5
Selain al-Qur’an yang menjadi objek kajian orientalis jerman ini dengan
pendekatan kritik historis yang digunakannya, dia juga mengkaji dan
mengkritisi anggapan umum terkait interpretasi dari predikat ke-ummian
Muhammad. Dalam kajian ini, Noldeke menggunakan pendekatan pertama,
yaitu pendekatan filologi.6
Pendekatan filologi merupakan salah satu metodologi yang mempunyai
beberapa tahapan dalam mekanisme penerapannya. Beberapa hal tersebut

4
Hilmy Pratomo, “Aplikasi Pendekatan Kritis-Historis (Geschicte Des Qorans) Theodor
Noldeke (1837-1930) dalam Studi Al-Qur’an,” Jurnal Studi al-Qur’an dan Hukum 4, No. 1
(2018), h. 4.
5
M. Muzayyin, “Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis (Studi Analisis “Teori
Pengaruh” dalam pemikiram Orientalis),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 16, No.2
(2015), h. 212-213.
6
Kurdi Fadal, “Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an (“Teori Pengaruh” al-Qur’an
Theodor Noldeke),” Jurnal Religia 14, No. 2 (2011), h. 196.

4
meliputi penelitian dan kritik teks (textual criticism), kritik bentuk karya tulis
(form criticism), dan kritik sumber karya (source criticism). Setelah tiga
prasyarat yang wajib ini, langkah berikutnya adalah melakukan penelusuran
dan pengumpulan sumber asal dengan mencari tulisan tangan berupa
manuskrip-manuskrip dari berbabagai model versi, meneliti keasliannya,
menilai otoritasnya dan selnjutnya membuat edisi kritisnya.7
Melalui penedekatan filologi ini, Noldeke berkesimpulan bahwa pendapat
umum yang mengartikan kata ummi sebagai antonim dari “orang yang dapat
membaca dan menulis” adalah tidak benar. Dia berpendapat bahwa kata ummi
lebih pantas dipahami debagai antonim dari “orang-orang yang mengenal
kitab suci” atau dengan kata lain Muhammad sebagai Nabi yang ummi tidak
memahami kitab-kitab suci terdahulu melainkan dengan wahyu.8
3. Pokok Kajian
Menurut Nur Kholis Madjid, secara umum para orientalis mengarahkan
kajiannya pada tiga sasaran utama atas al-Qur’an, yaitu studi tentang teks al-
Qur’an, studi tentang alih bahasa al-Qur’an, dan studi tentang bagaimana
umat islam memahami al-Qur’an. Dari ketiga sasaran kajian di atas, kajian
tentang teks al-Qur’an menempati posisi pertama yang paling banyak dan
intens dikaji oleh para orientalis itu.9
Kemudian sebagaimana dipaparkan di atas, berdasarkan pendekatan-
pendekatan yang digunakan, maka ada dua hal yang menjadi inti pokok kajian
Theodor Noldeke atas al-Qur’an; Pertama mengenai pengaruh ajaran Yahudi-
Nasrani dalam al-Qur’an, kedua, ke-ummian Muhammad.
a) Pengaruh ajaran Yahudi-Nasrani dalam al-Qur’an
Dalam kajiannya, para orientalis tidak hanya mengkaji persoalan mengenai
keotentisitasan al-Qur’an, classic issue tentang pengaruh tradisi Yahudi

7
Hilmy Pratomo, “Aplikasi Pendekatan Kritis-Historis (Geschicte Des Qorans) Theodor
Noldeke (1837-1930) dalam Studi Al-Qur’an,” h. 4.
8
Hilmy Pratomo, “Aplikasi Pendekatan Kritis-Historis (Geschicte Des Qorans) Theodor
Noldeke (1837-1930) Dalam Studi Al-Qur’an,” h. 7.
9
Kurdi Fadal, “Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an (“Teori Pengaruh” al-Qur’an
Theodor Noldeke),” h. 190.

5
(Taurat) dan Kristen (Injil) dalam kitab suci ini (theories of borrowing and
influence) pun tidak lepas dari sasaran penelitian mereka.
Berkenaan dengan ini, Noldeke salah satu outsider yang meragukan
keotentisitasan al-Qur’an sebagai kitab suci yang murni berasal dari Tuhan.
Menurutnya, yang menjadi sumber rujukan penting Muhammad bukanlah
kitab suci, melainkan dari ajaran-ajaran keyakinan dan sumber liturgi (tata
kebaktian). Bahkan kisah-kisah umat terdahulu dan beberapa kosa kata dalam
al-Qur’an dengan jelas bersumber dari tradisi Yahudi dan Nasrani.10
Pendapat Noldeke ini sebenarnya tidak lain merupakan pengembangan
dari teori pengaruh yang dirintis oleh Geiger. Noldeke mengatakan :
“We want, for example an exhaustive classification and discussion of all
the jewish elements in the Koran; a preseworthy beginning has already been
made ini Geiger’s youthful eassy, was hat mohamet aus dem judenthum
aufgenommen?”
Kita menginginkan, misalnya, klasisifikasi dan diskusi yang komprehensif
mengenai segala elemen Yahudi di dalam al-Qur’an; permulaan untuk
menggalakkan itu tela dibuat oleh geiger pada usia muda dalam essainya “Apa
yang telah dipinjam Muhammad dari Yahudi?11
Ada banyak orientalis yang menuduh bahwa dalam al-Qur’an Nabi
Muhammad telah banyak memplagiasi ajaran-ajaran Yahudi. Noldeke
meyakini bahwa sumber primer wahyu yang diberikan kepada Muhammad
adalah catatan-catatan Yahudi, termasuk didalamnya ajaran-ajaran dan
qasasul anbiya’yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Noldeke menetapkan Bible sebagai standar kebenaran dalam menilai al-
Qur’an. Dia berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan hasil karangan
Muhammad. Muhammad telah mengadopsi beberapa term Kristen12 dan

10
Kurdi Fadal, “Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an (“Teori Pengaruh” al-Qur’an
Theodor Noldeke),” h. 199.
11
M. Muzayyin, “Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis (Studi Analisis “Teori
Pengaruh” dalam pemikiram Orientalis),” h. 215.
12
M. Muzayyin, “Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis (Studi Analisis “Teori
Pengaruh” dalam pemikiram Orientalis),” h.. 216. Selanjutnya lihat “Theodor Noldeke, Sketches
From Eastern History, ter. John Sutherland Black M.A. (London: Darf Publishers Limited, 1985),
h. 21.

6
membuat kesalahan dengan memberikan keterangan tambahan tentang
pengutusannya ke dalam al-Qur’an, dimana keterangan itu tidak disebutkan di
dalam perjanjian baru.13
Untuk membuktikan risetnya, Noldeke kemudian memberikan contoh dari
teori keterpengaruhan yang di ambil Muhammad dari ajaran Yahudi-Nasrani14:
1. Kalimat Syahadat, “La Ilaha illa Allah” diadopsi Muhammad dari
Kitab Samoel II. 32:22. Mazmur 18:32.
2. Bacaan Basmalah, “bismillahirrohmanirrohim” dalam tradisi Yahudi
dan Kristen biasa dicapkan saat akan melakukan ibadah. Menurut
Noldeke, Muhammad kemudian menirukan hal yang sama. Lebih-
lebih pada saat ia di Madianah untuk mengawali naskah undang-
undang Madinah, perdamaian Hudaibiyah dan teks surat menyurat
kepada beberapa kaum musyrik saat itu.
Keterpengaruhan itu juga terlihat pada keserupaan antara kisah-kisah yang
ada dalam al-Qur’an dengan kisah-kisah yang diceritakan dalam perjanjian
lama dan perjanjian baru. Hanya saja al-Qur’an kemudian mengalami
perubahan dari bentuk semula. Seperti kisah Nabi-Nabi terdahulu, kisah
Maryam15, kisah kelahiran dan kerasulan Isa.16
Noldeke kemudian menguatkan pendapatnya dengan mengutip satu ayat
yang dijadikan sebagai bukti bahwa al-Qur’an diambil dari perjanjian lama:
‫ٱلصلِ ُحو َن‬
َّٰ ‫ى‬ ِ ِ ِّ ‫ٱلزبُو ِر ِم ۢن َب ْع ِد‬
َّ ‫ٱلذ ْك ِر‬ َّ ‫َولََق ْد َكتَْبنَا فِى‬
َ ‫ض يَ ِرثُ َها عبَاد‬
َ ‫ٱَأْلر‬
ْ ‫َأن‬
“Sungguh, kami telah menuliskan di dalam Zabur setelah (tertulis) di
dalam az-Zikr (Lauhulmahfuz) bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-
hamba-ku yang saleh” (QS. Al Anbiyaa’/21:105).17

13
Kurdi Fadal, “Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an (“Teori Pengaruh” al-Qur’an
Theodor Noldeke),” h. 200.
14
Hilmy Pratomo, “Aplikasi Pendekatan Kritis-Historis (Geschicte Des Qorans) Theodor
Noldeke (1837-1930) Dalam Studi Al-Qur’an,” h 9.
15
QS. Ali-imran/3 : 41-48
16
QS. As-Saff/61 : 6. Menurut Noldeke, dalam ayat ini, terdapat tambahan yang tidak
disebutkan dalam perjanjian baru, yaitu keterengan mengenai Nabi Isa yang menerangkan Allah
akan mengutus seorang rasul setelahnya bernama Ahmad (Muhammad).
17
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (2019), hal. 331.

7
Selain bukti-bukti yang telah disebutkan, Noldeke juga menambahkan
bukti yang lain, seperti beberapa kesalahan Muhammad ketika mengartikan
term-term dalam al-Qur’an yang ia yakini diambil dari Yahudi. Misalnya term
furqan dan millah. Menurut Noldeke, arti dari term furqan bukanlah
“revelation” (wahyu) sebagaimana yang dipahami Muhammad, melainkan
berarti “redemption” (penebusan) dan Millah yang diartikan sebagai
“religion” (agama) sebenarnya berarti “word” (kata).
b) Ke-ummian Muhammad
Kajian kritis Noldeke tidak berhenti pada teori pengaruh Yahudi-Nasrani
dalam al-Qur’an sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, akan tetapi
terus berlanjut pada kajian-kajian lainnya mengenai Islam, termasuk
diantaranya studi tentang status ke-ummian Muhammad.
Jumhur Mufassir mengartikan kalimat “ ‫ ”الن بي االمي‬sebagai “Nabi yang

tidak dapat membaca dan menulis”. Namun Berbeda dengan yang dipahami
oleh Syaikh al-Musytasyriqin ini (Noldeke), dia menolak pendapat versi
jumhur tersebut dan memiliki konsep tersendiri mengenai istilah ummi.
Noldeke berpendapat bahwa anggapan umum ini adalah pendapat yang lemah.
Menurutnya, jika penelitian atas term ummi yang disebutkan dalam al-
Qur’an dilakukan secara mendalam, maka maknanya sebagai lawan dari kata
ahl al-kitab. Atau dengan kata lain, ummi di sini bukan antonim dari “orang
yang dapat membaca dan menulis”, tetapi kebalikan dari “orang yang
mengetahui kitab suci”.
Pendapat Noldeke ini didasarkan pada surat al-Ankabut/29 ayat 48:

‫اب ٱل ُْم ْب ِطلُو َن‬ ْ َّ‫ك ۖ ِإذًا ل‬


َ َ‫ٱرت‬ ٍ َ‫نت َت ْتلُو ۟ا ِمن َق ْبلِ ِهۦ ِمن كِ ٰت‬
َ ِ‫ب َواَل تَ ُخطُّهۥُ بِيَ ِمين‬ َ ‫َو َما ُك‬

“Engkau (Nabi Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab pun


sebelumnya (Al-Qur'an) dan tidak (pula)menuliskannya dengan dengan tanga
kananmu. Sekiranya (engkau pernah membaca dan menuls,) niscaya orang-

8
orang yang mengingkarinya ragu (bahwa ia dari Allah)” (QS.
Al-Ankabut/29:48).18

Dari penjelasan yang cukup panjang diatas, Noldeke memberikan dua


kesimpulan: Pertama, Muhammad sendiri tidak ingin dianggap sebagai Nabi
yang mampu membaca dan menulis. Oleh sebab itu, beliau mewakilkan
urusan membaca Al-Qur`an dan surat-suratnya kepada yang lain (sahabat).
Kedua, Muhammad sama sekali tidak membaca kitab-kitab suci terdahulu dan
sumber penting lainnya.

Dengan kata lain, Nabi tidak mengerti kitab-kitab suci terdahulu kecuali
melalui keterangan wahyu. Disini Noldeke memberikan catatan yang sangat
penting, ia menegaskan bahwa tidak mungkin Muhammad menerima
informasi dari sumber-sumber tertulis. Namun demikian, menurutnya
Muhammd menerima informasi tentang bagian terpenting dari ajaran Yahudi
dan Nasrani secara lisan sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-Furqan/25
ayat 4.

Berkenaan dengan Wahyu, Para orientalis, termasuk Noldeke mempunyai


konsep dan pemahaman tersendiri. Noldeke berpendapat bahwa sumber utama
wahyu yang diberikan kepada Nabi adalah didasarkan atas I’tiqad (Keyakinan
teguh) dan ajaran-ajaran yang berasal dari Yahudi. Sementara Wahyu adalah
ilusi secara insting-halusinasi, dimana ia selalu berinteraksi dengan melampaui
batas sehingga mendorongnya mengaku sebagai nabi dan
mendakwahkannya.19 Dalaam magnum opusnya “The Life of Muhammad”,
William Muir, berpendapat bahwa Wahyu tidak lain kata-kata Muhammad
sendiri yang dihimpun dari pribadinya, pengalaman kariri publiknya,
pandangan keagamaannya serta karakteristik pribadi.20

18
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (2019), hal. 402.
19
Wan Mohammad Ubaidillah bin Wan Abas, dkk, “Wahyu Menurut Noldeke: Analisis
Terhadap Isu Kenabian Muhammad dalam Karya Geschicte Des Qorans,”International Journal on
Quranic Research 2, No. 2 (2018), h. 105..
20
M. Muzayyin, “Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis (Studi Analisis “Teori
Pengaruh” dalam pemikiram Orientalis),” h. 211.

9
Tidak hanya itu, menurut Noldeke terjadi komplotan antara Muhammad
dan Buhaira untuk membentuk Islam. Buhaira yang mengajar Muhammad dan
mengarang suhuf (surah-surah al-Qur’an). Hal ini sejalan dengan tuduhan para
orintalis yang mengatakan bahwa islam adalah buah fikiran Muhammad yang
dicampur dengan fikiran Yahudi dan Nasrani.21 Sehingga dari sini dapat
dipahami pemikiran Noldeke yang meragukan kemurnian al-Qur’an secara
keseluruhan sebagai God’s Word atau bersumber dari Tuhan.

Berangkat dari kesimpulan diatas, Noldeke berupaya mempertahankan


pendapatnya bahwa Muhammad tidak cukup paham tentang kitab-kitab suci,
sehingga pernyataan-pernayataannya tentang agama-agama terdahulu tidak bia
dipercaya. Sebaliknya, jika Muhammad telah mengetahui banyak tentang
informasi tentang umat terdahulu dengan hasil bacaannya terhadap kitab-kitab
suci sebelumnya, tentu segala ajaran yang disampaikan Muhammad harus
diragukan orisinalitasnya sebagai wahyu yang murni berasal dari Tuhan, sebab
apapun yang disampaikannya akan terkontaminasi dengan hasil pengetahuan
dan nalarnya lantaran ia tampil sebagai dengan hasil pengetahuan dan
nalarnya lantaran ia tampil sebagai sosok pemuka yang pintar karena belajar.22

C. KESIMPULAN

Theodor Noldeke merupakan seorang orientalis besar berkebangsaan


Jerman yang lahir di kota Harburg pada 2 Maret 1836. Lahir dari keluarga
yang berpendidikan yang membuatnya sudah mengenyam pendikan ketat
sejak kecil. Pada tahun 1853 Noldeke diterima di Universitas Gottingen untuk
belajar sastra bahasa Semit, yakni Arab, Ibrani dan Suryani. Pada tahun 1864-
1872 Noldeke belajar bahasa Sansekerta dari Benfay hingga diteruskan sampai
Universitas Kiel. Pada tahun 1856 Noldeke meraih gelar doktor melalui
karyanya tentang Sejarah Al-Qur’an yang ditulis dalam Bahasa Latin.

21
Wan Mohammad Ubaidillah bin Wan Abas, dkk, “Wahyu Menurut Noldeke: Analisis
Terhadap Isu Kenabian Muhammad dalam Karya Geschicte Des Qorans,” h. 100-105.
22
Kurdi Fadal, “Pandangan Orientalis terhadap Al-Qur’an (“Teori Pengaruh” al-Qur’an
Theodor Noldeke),” h 198.

10
Dari sekian banyak bidang keilmuan yang ditekuni Noldeke, fokus utama
yang ditekuninya hanya dua bidang, yakni bahasa Semit dan kajian keislaman.
Dalam bidang bahasa Semit, dia telah menulis buku berjudul Semitic
languages dan The history and civilization of Islam. Sementara karya
besarnya (seperti Grammatik der neusyrischen Sprache pada 1868,
Mandaische Grammatik tahun 1874, hasil terjemahannya Tabari pada 1881-
1882, menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli tentang kajian keislaman.
Buku Geschichte des Qorans (sejarah al-Qur’an) adalah salah satu bukti
kemahiran Noldeke dalam bidang ini.

Metode digunakan Theodor Noldeke dalam pengkajiannya, yaitu ialah


kritik historis yaitu metodologi dimana dalam kajiannya mengutamakan pada
data yang berisi validitas informasi yang memuat perbandingan antara sejarah
dan legenda, fakta dan fiksi, serta realitas dan mitos. Dan pendekatan filologi
yaitu salah satu metodologi yang mempunyai beberapa tahapan dalam
mekanisme penerapannya. Beberapa hal tersebut meliputi penelitian dan kritik
teks (textual criticism), kritik bentuk karya tulis (form criticism), dan kritik
sumber karya (source criticism).Fokus kajian Theodor Noldeke dalam
mengkaji Al-Qur’an ada dua; Pertama mengenai pengaruh ajaran Yahudi-
Nasrani dalam al-Qur’an, Kedua, ke-ummian Muhammad.

DAFTAR PUSTAKA

11
Ah Fawaid, “DINAMIKA KAJIAN AL-QUR’AN DI BARAT DAN
DAMPAKNYA PADA KAJIAN AL-QUR’AN KONTEMPORER”,
Nuansa, Vol. 10, No.2, Juli-Desember 2013
Fadal Kurdi , “PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR’AN (Teori
Pengaruh Al-Qur’an Theodor Noldeke)”, RELIGIA, Vol. 14, No. 2,
Oktober 2011, hlm 191-193

Pratomo Hilmy, “Aplikasi Pendekatan Kritis-Historis (Geschicte Des Qorans)


Theodor Noldeke (1837-1930) dalam Studi Al-Qur’an,” Jurnal Studi al-
Qur’an dan Hukum 4, No. 1 (2018), h. 4.

M. Muzayyin, “Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis (Studi Analisis “Teori


Pengaruh” dalam pemikiram Orientalis),” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-
Qur’an dan Hadis 16, No.2 (2015), h. 212-213.

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (2019), hal. 331.

Wan Mohammad Ubaidillah bin Wan Abas, dkk, “Wahyu Menurut Noldeke:
Analisis Terhadap Isu Kenabian Muhammad dalam Karya Geschicte Des
Qorans,”International Journal on Quranic Research 2, No. 2 (2018), h.
105..

12

Anda mungkin juga menyukai