Anda di halaman 1dari 4

Vernakularisasi dan Diglosia Kebahasaan dalam Tafsir Nusantara: Sebuah

Proses Islamisasi

Kajian al-Qur’an di Indonesia tidak sama dengan dunia Arab. Banyak


faktor yang bisa disebut mempengaruhi perbedaan ini, selain peran kultur dan
bahasa yang jelas berbeda. dalam catatan banyak literatur, disebutkan bahwa
kajian al-Qur'an di Indonesia, khusunya terkait usaha memahami kandungan al-
Qur’an, dimulai dengan penerjemahan, kemudian diikuti dengan usaha-usaha
penafsiran. Merujuk catatan A.H.Johns, akademisi yang disebut sebagai orang
yang berpengaruh dalam sejarah tafsir di Indonesia, produk tafsir di Indonesia
pada mulanya tidak terbukukan secara khusus, tetapi tersebar dalam kitab-kitab
bergenre lain seperti tasawuf. Dari produk tafsir pada masa ini, yakni sekitar abad
ke-16 dan ke-17 masehi, John melihat dari diksi, rujukan, cara penyajian, dan
lainnya, ada proses vernakularisasi. Yakni, proses masuknya konsep-konsep asing
dari kosa kata/bahasa Arab/al-Qur’an menjadi sesuatu yang familiar dan lazim
dalam kosa kata/bahasa lokal di Indonesia, baik Melayu, Jawa, dan sebagainya.
Tak heran jika karya-karya terkait al- Qur’an di Indonesia pada masa generasi
awal kental dengan vernakularisasi, bahwa kosa kata dan konsep-konsep al-
Qur’an telah membentuk bahasa masyarakat. Vernakularisasi merupakan upaya
ulama lokal dalam membahasakan teks Arab yang terbatas ke dalam konteks yang
dinamis, disesuaikan dengan kapasitas audiens. Ichwan dalam “The End of Jawi
Islamic Scholarship,” menyebutkan bahwa bentuk nyata vernakularisasi adalah
banyaknya kosa kata Arab yang diserap menjadi bahasa Melayu, banyaknya
penggunaan aksara turunan Arab dalam berbagai ragam tulis, bahkan lahirnya
karya sastra yang mengambil inspirasi dari karya sastra Arab dan Persia.
Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa bahasa Melayu di wilayah
Asia Tenggara sejak abad ke-15 memiliki peran penting dalam proses Islamisasi
masyarakat yang memakai bahasa tersebut, yang beririsan dengan proses
vernakularisasi pula. Pada keadaan inilah, diglosia suatu bahasa terjadi, bahwa
dalam proses Islamisasi bahasa Arab berposisi sebagai bahasa yang memiliki
otoritas lebih tinggi, sementara bahasa Melayu mengambil peran yang lebih
populer. Inilah yang menjelaskan mengapa penulisan karya-karya yang rumit
dalam bahasa Arab dan karya-karya yang lebih elementer menggunakan bahasa
Melayu. Pada proses ini, al-Qur’an tetap ditransimisikan melalui bahasa asalnya,
tetapi keterangan oral mengenai kandungan ayat-ayat al-Qur'an disampaikan
dengan bahasa lokal. Produk yang dapat menunjukkan hal ini misalnya al-Iklil
serta Tarjuman al-Mustafid, dan semacamnya, yang memuat penjelasan
kandungan ayat dengan bahasa lokal, meskipun dikemas dengan aksara
jawi/pegon. Barangkali ini terjadi karena bahasa dan aksara Arab dianggap lebih
formal dan tinggi kedudukannya dibandingkan dengan bahasa dan aksara lokal.
Tidak sedikit penelitian yang berusaha mengupas vernakulasi tafsir
nusantara atau Indonesia, dan diantaranya menggunakan istilah
“pembahasalokalan”. Secara sederhana, vernakularisasi yang memuat semangat
Islamisasi ini bisa ditemukan dalam prosuk tafsir semacam al-Iklil fī Ma‘ānī at-
Tanzīl yang disajikan dengan menggunakan pegon, makna gandul ala pesantren,
dan pembahasannya mengambil contoh yang dekat dengan masalah-masalah
lokal. Di antara contoh terkait ini telah ditunjukkan oleh Baidawi dalam “Aspek
Lokalitas Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Karya KH Mishbah Musthafa,” baik
dari sisi penampilan, gaya komunikasi, dan penafsiran. Hal semacam juga dapat
dilihat dalam karya tafsir yang lahir di Bumi Pasundan, seperti dalam Qur’an
al-‘Azhimi karya Hasan Mustapa yang menggunakan kata khas Sunda, yakni aing,
untuk Allah dalam konteks posisi-Nya sebagai Yang Maha Mengetahui, pengutus
nabi dan rasul, pencipta makhluk, pemilik tanda-tanda kekuasaan, dan pembela
utusan-Nya. Di antara bukti konkret akan hal ini ialah ketika Hasan Mustapa
memberikan penjelasan atas al-Ḥijr [15]: 97–99:
َ‫ ْد َربَّك‬bُ‫ َوا ْعب‬٩٨ َ‫ ِج ِد ْي ۙن‬b‫الس‬ َ ِّ‫ فَ َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َرب‬٩٧ َ‫ك بِ َما يَقُوْ لُوْ ۙن‬
ّ ٰ َ‫ك َو ُك ْن ِّمن‬ َ ‫ص ْد ُر‬ ُ ‫ض ْي‬
َ ‫ق‬ ِ َ‫ك ي‬ َ َّ‫َولَقَ ْد نَ ْعلَ ُم اَن‬
٩٩ ࣖࣖ ُ‫ك ْاليَقِيْن‬ َ َ‫َح ٰتّى يَْأتِي‬
Terjemah Kemenag: “Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa
dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang
mereka ucapkan [97]. Maka, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
jadilah engkau termasuk orang-orang yang sujud (salat) [98], dan
sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kepastian (kematian)
[99].”
Penjelasan Hasan Mustapa: “Demi Aing nyaho yén manéh heurin ati
sumpeg angen ku omongan jalma-jalma, mun geuwat manéh,
Muhammad, nyucikeun ati pribadi, muji ka Nu Maha Suci, Pangéran
manéh pribadi disembah panutan hingga kana ati yakin tuluykeuneun
bari yakin (Demi Aku yang tahu bahwa kamu sempit hati oleh omongan
orang-orang, segeralah kamu, Muhammad, menyucikan hatimu sendiri,
memuji pada Yang Maha Suci, Tuhan kamu sendiri yang disembah
menjadi panutan sampai ke hati, yakin, terus dilanjutkan sambil yakin).”
(Hasan Mustapa 1937: 13).
Berdasarkan data redaksi penafsiran tersebut, diketahui bahwa dalam
menggunakan kata aing, Hasan Mustapa tampak terpengaruh oleh struktur bahasa
Arab. Terlepas dari itu, aing dalam bahasa Sunda pada dasarnya identik untuk
menyebut diri sendiri, yang pada masa sekarang cenderung berkonotasi kasar dan
tidak merendahkan diri. Barangkali penggunaan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan superioritas Allah.
Fenomena vernakularisasi dan diglosia juga dapat dilihat dalam karya
Hamzah Fanzuri ketika menafsirkan al-Ikhlas, sebagaimana disebutkan oleh Johns
dalam The Qur’an ini Malay World. Melalui aksara pegon/jawi, Hamzah Fansuri
dalam tafsirnya mengatakan, “Laut itulah yang bernama Aḥad/ Terlalu lengkap
pada Allāhuṣ ṣamad/ Olehnya itulah lam yalid walam yūlad/Walam yakun lahu
kufu`an aḥad.” Produk-produk tafsir pun menggunakan bahasa yang beragam,
sesuai dengan di mana produk itu lahir. Misalnya, tafsir yang lahir di Sumatra
hingga Aceh cenderung disajikan dalam bahasa Melayu, dan penulisannya dengan
aksara jawi/pegon, sehingga bisa disebut Melayu-Jawi, misalnya Tarjuman al-
Mustafid karya Abdurrauf as-Sinkili.
Hal demikian juga terjadi di Jawa, sebagaimana al-Iklīl dan al-Ibriz yang
tafsirnya ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara pegon/jawi. Karena karya
tersebut lahir di lingkungan pesantren yang terbiasa dengan makna gandul,
penyajian dari al-Ibrīz pun mengadopsi hal itu. Penggunaan makna gandul
barangkali dianggap lebih memudahkan pembaca yang familiar dengan model
penyajian yang demikian. Dalam hal ini, yang menjadi kiblat penulisan tafsir
berbahasa Jawa dengan aksara pegon adalah Tafsīr Faid ar-Raḥmān karya KH
Sholeh Darat, tentunya untuk memudahkan orang Jawa memahami kandungan al-
Qur'an karena pada waktu itu tidak banyak yang mampu berbahasa Arab. Adapun
pemilihan aksara dengan aksara Arab, ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan
yang memosisikan bahasa dan aksara Arab lebih tinggi dari bahasa dan aksara
lain. Barangkali, karena disandingkan dengan ayat-ayat al-Qur'an yang berbahasa
Arab, agaknya kurang pantas jika penulisan tafsir tidak menggunakan aksara
Arab, minimal.
Dalam Tafsīr Faid ar-Raḥmān, misalnya, keterangan yang diberikan oleh
KH. Sholeh Darat sering mengadopsi kosa-kata lokal, yang familiar bagi
masyarakat, seperti penggunaan pengupo jiwo, sebagaimana ditemukan oleh Lilik
Faiqoh dalam tulisannya, “Vernakularisasi Dalam Tafsir Nusantara”, ketika
menafsirkan al-Baqarah [2]: 11 berikut:
“Maka podo jawab menopo kabeh siro podo ngucap munafiq kabeh ya
mu’minin ora angeng munafik kabeh itu podo gawe bumi lan gawe
ramene bumi kelawan ingatase jembaraken dalan lan pengupo jiwo lan
supoyo dadi raja dunyo lan rame-ramene dunyo ora ono ingatase kok
gawe rusake bumi ora nyekti setuhune senajan munafik ingkang rane
ishlah iku ishlah al-badan kelawan pengupo jiwone mergo dadi ngucap
innama nahnu muslihun.
Juga penggunaan kata las, yang merupakan istilah untuk satu butir
gabah/padi, dan role yang merupakan istilah untuk tangkai, ketika memberikan
penjelasan kepada al-Baqarah [2]: 261 berikut:
Utawi sifate wongkang podo nekohaken artine ing dalem dedalan
ngayekti marang Allah iku koyo upamane wong kang nduweni wiji
gandum sak las maka nuli cukul metu pitung role, ing dalem saben-
saben sakrole iku bentuk wijine satus las.
Di satu sisi, KH. Sholeh Darat juga sering menggunakan kosa kata Arab
ketika menjelaskan suatu hal, atau mengadopsi kosa kata Arab karena barangkali
dirasa lebih bisa mewakili makna, seperti qabla, ba’da, nuzul, aktsar, maktūbah,
dan lainnya, sebagaimana dapat dilihat dalam tafsirnya atas surah al-Fātiḥah
berikut:
‫اوي لن‬b‫ام البيض‬b‫اني إم‬b‫أتوي سورة الفاتحة إيكو نزولي قبل هجرة دين نماني مكية موغكوه كرس‬
‫الة المكتوبة لن‬bb‫وكاكي ص‬bb‫ي دين فرض‬bb‫و سووس‬bb‫وروني إيك‬bb‫ لن دين تم‬.‫اء‬bb‫ثر العلم‬bb‫اني أك‬bb‫كرس‬
‫ة‬bb‫توهوني إكي فاتح‬bb‫د س‬bb‫ام مجاه‬b‫ديكا إم‬b‫ لن غن‬.‫دثر‬bb‫ا الم‬bb‫را لن يآأيه‬b‫ورة إق‬b‫وروني س‬b‫سووسي تم‬
b…‫تموروني بعد هجرة دين نماني مدانية‬
Kutipan ini menunjukkan banyak hal, selain adanya pembahasalokalan
dalam Tafsīr Faiḍ ar-Raḥmān, terjadi pula diglosia kebahasaan. Penggunaan
aksara Arab untuk menulis bahasa Jawa adalah satu hal, dan peminjaman bahasa
Arab untuk di tengah-tengah keterangan berbahasa Jawa juga satu hal lain lagi,
yang masih dalam bingkai vernakularisasi sekaligus diglosia kebahasaan, tentunya
dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran Islam secara lebih luas, atau bisa disebut
dengan Islamisasi. Pada produk tafsir yang lahir di Jawa, ada tiga unsur lokal
yang tampaknya mengambil banyak bagian, yakni tata krama dalam bahasa,
ungkapan tradisional Jawa, dan gambaran alam Jawa. Hal ini tentu berbeda
dengan produk yang lahir di Bumi Pesundan atau daerah-daerah Melayu.

Anda mungkin juga menyukai