Anda di halaman 1dari 17

KRITIK TAFSIR ILMI

Untuk memenuhi tugas harian mata kuliah Kritik Tafsir


Dosen: Ust. Hamzah, MA.

Oleh:
Saepul Bahri
Samsul Arifin

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI KULLIYATUL QUR'AN AL-HIKAM
DEPOK 2022 M / 1444 H

Jl. H. Amat, No.21. Rt/Rw.01, Kukusan, Beji, Kota Depok, Jawa Barat
16425
KATA PENGANTAR

Segala puji selalu kita tujukan kepada Tuhan seluruh alam yakni
Allah SWT yang telah mencurahlimpahkan nikmat-Nya kepada kita
semua yang mana diantaranya ialah nikmat iman dan Islam. Atas karunia
tersebut, kita masih dapat merasakan kokohnya keyakinan pada Allah
SWT untuk senantiasa beribadah dan mengingat setiap kebesaran-Nya.
Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita
Nabi Agung Muhammad ‫ ﷺ‬yang berkat jasa beliau telah merubah dunia
yang semula zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang
yakni dengan Ad-Din Al-Islam.
Alhamdulillah kami ucapkan karena kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan judul “KritikTafsir Ilmi”. Kami ucapkan pula
terimakasih yang kami tujukan kepada dosen pengampu mata kuliah
Kritik Tafsir yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini.
Selain untuk memenuhi tugas harian mata kuliah Kritik Tafsir.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu langkah kami dalam
menggali informasi dan memperdalam wawasan pengetahuan kami
mengenai isi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Permohonan maaf tak lupa kami sampaikan karena
ketidaksempurnaannya makalah yang kami susun ini, baik dari segi
penulisan maupun dari pembahasan materi yang kami sajikan. Oleh
karena itu, besar harapan kami kiranya para pembaca memberi kritik
maupun saran guna menjadi evaluasi bagi kami kedepannya. Semoga
makalah ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca dalam
mempelajari dan memdalami Ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Amin.

Depok, 4 Desember 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................1
BAB II.....................................................................................................................
PEMBAHASAN......................................................................................................
A. Definisi Tafsir Ilmi........................................................................2
B. Sejarah Munculnya Tafsir Ilmi......................................................2
C. Urgensi Tafsir Ilmi........................................................................4
D. Metode Penafsiran Tafsir Ilmi.......................................................5
E. Kitab-kitab Tafsir dan Tokoh Tafsir Ilmi......................................6
F. Kritik Tafsir llmi...........................................................................7
BAB III..................................................................................................................
PENUTUP.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan aspek kehidupan masyarakat baik dari segi ilmu
pengetahuan, ekonomi, sosial maupun yang lain menuntut pemahaman
dan penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya sebatas harfiah saja, tetapi
haruslah dengan melalui pendekatan teoritis. Lebih dari itu berbagai
pendekatan atau corak penafsiran yang lebih umum dikalangan
masyarakat saat ini dibutuhkan mengingat pola piker manusia yang juga
berkembang mengikuti zaman. Maka dari itu, penafsiran Al-Qur’an
dengan corak limiah dinilai urgen dan penting untuk membuktikan
kebenaran Al-Qur’an secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.1
Menurut Dr.Abdul Mustaqim, munculnya tafsir ilmi disebabkan
oleh dua faktor, yaitu: Pertama, faktor internal, yakni dengan adanya
dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang sangat menganjurkan manusia untuk
selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniah
atau ayat-ayat kosmologi yang terdapat pada Qs. al-Ghasyiyah (88): 17-
20. Kedua, faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan sains modern. Dengan ditemukannya teori-teori ilmu
pengetahuan, para ilmuan muslim (para pendukung tafsir ilmi) berusaha
untuk melakukan kompromi antara Al-Qur’an dan sains dan mencari
‘justifikasi teologis’ terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka juga ingin
membuktikan kebenaran Al-Qur’an (i’jaz al-‘ilm) secara ilmiah-empiris,
tidak hanya secara teologis-normatif.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir Ilmi dan latar belakang perkembangannya?
2. Apa urgensi dari adanya Tafsir Ilmi ?
3. Apasaja Tahapan-tahapan dalam menafsirkan Al-Qur’an corak Tafsir
Ilmi?
4. Bagaimana pola kritik Tafsir Ilmi?

1
Putri Maydi Arofatun Anhar, dkk,Tafsir Ilmi: Studi Model Penafsiran Berbasis
Ilmu Pengetahuan Pada Tafsir Kemenag, Prosiding Konferensi Integrasi Internasional
Islam dan Sains, Vol.1, September 2018, hal. 110.
2
Rubini, Tafsir Ilmi, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol.5, Nomor 2,
Desember 2016, hal. 94

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi merupakan salah satu bentuk atau corak penafsiran Al-
Qur’an yang berkembang pesat pada era tafsir kontemporer. Secara
bahasa (etimologis), Tafsir Ilmi berasal dari bahasa Arab dan tersusun
dari dua kata: “al-tafsir” dan “al-‘ilmy”. Kata at-tafsir oleh para ulama
dimaknai sebagai usaha untuk memahami maksud dari Kalamullah sesuai
dengan dengan kemampuan manusia. Sementara al-‘ilmy dinisbatkan
kepada kata ‘ilm (ilmu) yang berarti “yang ilmiah atau bersifat ilmiah”.
Jadi, secara bahasa Tafsir Ilmi berarti tafsir ilmiah atau penafsiran
ilmiah.3
Sedangkan menurut istilah (terminologi), beberapa definisi
mengenai Tafsir Ilmi telah dikemukakan para ahli. Muhammad Husayn
al-Dzahaby dalam kitabnya al-Tafsir wal-Mufassirun, mengemukakan
bahwa Tafsir Ilmi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menggunakan pendekatan teori-teori ilmiah dalam mengungkapkan
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan berusaha untuk menggali berbagai
disiplin ilmu pengetahuan dan filsafat terkait ayat-ayat tersebut. Dengan
narasi yang berbeda, Abd al-Majid al-Salam al-Muhtasib dalam kitabnya,
Iittihajat al-Tafsir fil-Ashr al-Hadits, mengatakan bahwa Tafsir Ilmi
adalah penafsiran yang dilakukan oleh seorang musafassir untuk mencari
adanya kesesuaian dalam ayat-ayat Al-Qur’an terhadap teori-teori ilmiah
(penemuan ilmiah) serta berusaha menggali berbagai masalah keilmuan
dan filsafat.4
Dari kedua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-
Tafsir Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dengan
menggunakan corak ini adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat yang
berkenaan dengan alam dan kejadian-kejadiannya). Dalam penafsiran
ayat-ayat tersebut, mufassir melengkapi dirinya dengan teori-teori sains
(ilmu pengetahuan). Penafsiran dengan corak tersebut bertujuan untuk

3
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.
4
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.

2
mengungkap dan memperlihatkan kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di
samping kemukjizatan dari segi yang lain.

B. Sejarah Munculnya Tafsir Ilmi


Benih dari corak tafsir ilmi pada dasarnya telah muncul sejak masa
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-
Ma’mun (w.853 M). Pada masa ini didirikanlah Bait al-Hikmah sebagai
pusat penerjemahan buku-buku ilmiah dan sains. Bait al-Hikmah juga
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Pada masa inilah, Islam mencapai peradaban yang tinggi sebagai pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Munculnya kecenderungan ini
sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada mulanya
dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara
pernyataan yang diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan hasil penemuan
ilmiah (sains).5
Pada masa selanjutnya, Imam Al-Ghazali (w. 505 H) mulai
mendorong penulisan tafsir ilmi, yaitu dengan upaya memahami kitab
suci Al-Quran secara ilmiah dan rasional. Dalam kitabnya, Jawahir al-
Quran, al-Ghazali mengatakan bahwa penafsiran beberapa ayat Al-Quran
perlu menggunakan beberapa disiplin ilmu, seperti: astronomi,
perbintangan, kedokteran, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, al-
Ghazali tidak berhasil merealisasi pokok-pokok pemikiriannya mengenai
tafsir ilmi. Pemiirannya tersebut baru direalisasikan satu abad kemudian
oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 604 H) dalam kitabnya Mafatih al-
Ghaib. Setelah al-Razi, berbagai kitab tafsir ilmi mulai muncul, di
antaranya: Ghara'ib al-Quran wa Ragha'ib al-Furqan, karya Al-
Nasyaburi (w. 728 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil karya Al-
Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Quran al-Adhim wa
Sab'al-Matsani karya Al-Alusi (w. 1217 H).6
Pada abad ke-20, perkembangan tafsir ilmi semakin meluas dan
diminati oleh berbagai kalangan. Banyak mufassir yang mencoba
menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu
pengetahuan modern. Tujuannya adalah untuk membuktikan mukjizat

5
Rubini,…hal. 94
6
Tim Tafsir Ilmiah Salman, Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz Amma,
(Bandung: Penerbit Mizan Pustaka, 2014), hal. 23.

3
Al-Qur’an dalam ranah keilmuwan sekaligus meyakinkan orang-orang
nonmuslim akan keagungan dan kehebatan Al-Qur’an.
Meluasnya minat terhadap corak tafsir ilmi juga disebabkan karena
umat Islam merasa tertinggal dari negara-negara Barat dalam hal ilmu
pengetahuannya. Umat Islam juga khawatir pertentangan antara agama
dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia
mereka. Karenanya, umat Islam mulai melakukan berbagai eksperimen
ilmiah dengan mencari kesesuaiannya dalam Al-Qur’an.7

C. Urgensi Tafsir Ilmi


Kemunculan tafsir ilmi mengandung polemik panjang di kalangan
para ulama. Hal ini karena terjadi perbedaaan pendapat di kalangan para
ulama mengenai boleh dan tidaknya tafsir ilmi. Para ulama yang menolak
tafsir ilmi ini berpandangan bahwa seolah-olah para ilmuan Muslim
terlalu memaksakan kehendak, yakni dengan mencari-cari kebenaran
sains modern di dalam Al-Qur’an dalam rangka menunjukkan
keunggulan Islam sebagai kompensasi apologetis. Menurut mereka,
dalam menafsirkan Al-Qur’an seseorang cukup menggunakan ilmu-ilmu
yang sudah dipatenkan sebagai alat untuk menafsirkan, misalnya seperti
asbab al-nuzul, al-qira’at, ushul fiqh serta makki dan madani. Sedangkan
ilmu-ilmu lainnya misalkan astronomi, perkiraan cuaca, sejarah dan ilmu
biologi sama sekali tidak dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sementara itu, para ulama yang mendukung terhadap corak tafsir ilmi
berargumen bahwa Al-Qur’an tidak hanya menghimpun persoalan ilmu-
ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan. Hal ini misalnya
sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din
yang mengutip pandangan ibn Mas’ud, dikatakannya bahwa “Jika
seseorang menginginkan pengetahuan masa lampau dan pengetahuan
modern, selayaknya dia merenungkan Al-Qur’an”.8
Terlepas dari polemik diatas, sejarah telah membuktikan bahwa
terdapat banyak mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
pendekatan sains atau ilmu pengetahuan, menggunakan pendekatan sains
modern, menunjukkan bahwa Al-Qur’an sebenarnya selaras dengan ilmu
pengetahuan bahkan Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan.

7
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 111.
8
Putri Maydi Arofatun Anhar dkk,…hal. 110.

4
Maka tidaklah mengherankan apabila Al-Qur’an sebagai sumber ajaran
Islam, menempati posisi sentral, bukan saja dalam pengembangan ilmu-
ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator dan bidang teknologi
dan sains. Selain itu, sebagaimana disampaikan oleh Tim Penyusun
Tafsir Ilmi 2011, bahwasanya di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih
750 hingga 1000 ayat yang mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang
menunjukkan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, sedang ayat-ayat
hukum hanya sekitar 200 hingga 250.9

D. Metode Penafsiran Tafsir Ilmi


Tafsir ilmi pada era modern berangkat dari ketergangguan atas
fakta kemajuan peradaban Barat. Beberapa sarjana barat berlatar
belakang sains telah turut terlibat dalam diskursus-diskursus saintifikasi
Al-Qura’an dan mulai mendukungnya. Kebangkitan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern di Barat menciptakan dominasi di seluruh penjuru
dumia, termasuk dunia islam. Revolusi peradaban di Barat memang
mengejutkan bagi peradaban Islam. Saat Islam menikmati kejayaannya di
era Abbasiyah, Barat sedang terpuruk dan belajar banyak dari Islam.
Namun, kini situasinya berbeda, Barar maju pesat di berbagai sector,
sedangkan umat Islam tertatih-tatih. Berbagai penemuan mengagumkan
yang tak terbayangkan sebelumnya muncul dari dunia Barat. Dalam
upaya mengatasi ketertinggalan ini dilakukan berbagai cara, termasuk
kembali masuk ke dalam Al-Qur’an melalui bantuan analisis saintifikasi
Al-Qur’an.10
Persoalan paling krusial dalam kajian tafsir Ilmi adalah
menganalisis adakah korelasi antara teori ilmiah modern dengan tafsir
ayat Al-Qur’an. Bagian inilah yang menimbulkan pro-kontra di kalangan
ulama. Namun yang pasti, pihak yang menerima tafsir Ilmi sepakat
bahwa tidak boleh dilakukan pemaksaan keterkaitan antara teori ilmu
pengetahuan umum dengan tafsir ayat Al-Qur’an.11
Dalam upaya menjaga kesucian Al-Qur’an para ulama merumuskan
beberapa prinsip dasar dalam menyusun sebuah tafsir ilmi, antara lain :

9
Putri Maydi Arofatun Anhar,…hal. 112.
10
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejara Perkembangannya,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2019), hal.189-190.
11
Rahman Hakim, Disertasi: Tafsir Salman dalam perspektif metodologi Tafsir
Ilmi Ahmad Al-Fadil, Surabaya: 2018, hal. 58.

5
1) Memperhatikan arti dan kaidahkaidah kebahasaan.
2) Memperhatikan konteks ayat yang ditafsirkan, sebab ayat-ayat dan
surah Al-Qur’an, bahkan kata dan kalimatnya, saling berkorelasi.
3) Memperhatikan hasil-hasil penafsiran dari Rasulullah Saw, para
sahabat, tabi’in, dan para ulama tafsir, terutama yang menyangkut
ayat yang akan dipahaminya. Selain itu, diharuskan juga memahami
ilmu-ilmu Al-Qur’an.
4) Tidak menggunakan ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah untuk
menghukumi benar atau salahnya sebuah hasil penemuan ilmiah.
5) Memperhatikan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung
sekian makna, Al-Gamrawī, seorang pakar tafsir ilmiah Al-Qur’an
Mesir, mengatakan, “Penafsiran AlQur'an hendaknya tidak terpaku
pada satu makna. Selama ungkapan itu mengandung berbagai
kemungkinan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah
yang dimaksud Tuhan”
6) Untuk bisa memahami isyarat-isyarat ilmiah hendaknya memahami
betul segala sesuatu yang menyangkut objek bahasan ayat, termasuk
penemuan-penemuan ilmiah yang berkaitan dengannya.
7) Sebagian ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan-
penemuan ilmiah yang masih bersifat teori dan hipotesis, sehingga
dapat berubah. Sebab teori tidak lain adalah hasil sebuah “pukul rata”
terhadap gejala alam yang terjadi. Begitupula hipotesis, masih dalam
taraf ujicoba kebenarannya. Yang boleh digunakan hanyalah yang
telah mencapai tingkat hakikat kebenaran ilmiah yang tidak bisa
ditolak lagi oleh akal manusia. Sebagian lain mengatakan, sebagai
sebuah penafsiran yang dilakukan berdasar kemampuan manusia,
teori dan hipotesis bisa saja digunakan di dalamnya, tetapi dengan
keyakinan kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak sedangkan
penafsiran itu relatif, bisa benar dan bisa salah.12

E. Kitab-kitab Tafsir dan Tokoh Tafsir Ilmi

12
Tafsir Ilmi, Disusun atas kerja sama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), (Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,2012), hal.
xxv-xxvii.

6
Diantara mufassir yang menggunakan pendekatan corak ilmi adalah
sebagai berikut:
1) Fakhrudin Al-Razi dengan karyanya Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-
Ghayib
2) Thanthawi Al-Jauhari dengan karyanya Al-Jawahir fi Tafsir al-
Quran al-Karim
3) Hanafi Ahmad dengan karyanya Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-
Kauniyah fi Al-Qur’an
4) Abdullah Syahatah dengan karyanya Tafsir al-Ayat al-Kauniyah
5) Muhammad Syawqi dengan karyanya Al-Fajri Al-Isyarat Al-‘Ilmiyah
fi al-Quran al-Karim
6) Ahmad Bayquni dengan karyanya Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Adapun beberapa tokoh mufassir tafsil ilmi pada masa kontemporer
antara lain:
1) As-Syekh Muhammad Abduh.
2) Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasin at-Ta’wil.
3) Mahmud Syukri al-Aluusi dalam buku Maa Dalli ‘Alaihi Al-Qur’anu
Mimmaa ya’dhidu al-Hai’ata al Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan
4) Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-
Tadzkiiri min Kalaami al-Hakimi al-Khabiir.13

F. Kritik Tafsir llmi


Tafsir Ilmi bukanlah hal yang terlarang. Justru akan menambah
kekayaan khazanah tafsir Al-Qur’an, dengan syarat; tafsir ilmiah tetap
harus berpijak pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Berikut ini
adalah contoh hasil kajian tafsir Ilmi yang tidak dapat diterima dan
contoh yang dapat diterima.
1. Penerapan yang ditolak
ْ ۚ ‫ض فَٱنفُ{ ُذ‬
َ‫وا اَل تَنفُ{ ُذون‬ ِ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬
ۡ
ِ َ‫وا ِم ۡن َأقط‬
ِ ‫ار ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬ ْ ‫نس ِإ ِن ٱ ۡستَطَ ۡعتُمۡ َأن تَنفُ ُذ‬ ۡ
ِ ‫ٰيَ َم ۡع َش َر ٱل ِجنِّ َوٱِإۡل‬
‫ِإاَّل بِس ُۡل ٰطَ ٖن‬
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu
tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah).”

13
Rubini,…hal. 100-102.

7
Menurut Agus Purwanto, penulis buku Ayat-Ayat Semesta: Sisi-
Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan, ayat tersebut memberikan informasi
kepada manusia bahwa mereka akan mampu menjelajahi ruang angkasa
asal mempunyai kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memadai Sekilas, analisis tersebut nampak benar, namun jika kita
merujuk ke siyaq ayat tersebut, akan didapati kekeliruan jika
menghubungkan makna ayat tersebut dengan kemampuan manusia
mengarungi ruang angkasa. Adapun yang menolak pemahaman ilmiah
ayat tersebut tidak lain adalah Quraish Shihab. Alasannya, Quraish
Shihab memandang bahwa siyaq ayat tersebut tidak ada kaitannya
dengan kemampuan manusia menjelajahi ruang angkasa. Menurut beliau,
surah al-Rahman membahas tentang aneka rahmat Allah yang melimpah
ruah dalam kehidupan dunia ini. Bukan saja yang disebutkan pada awal
surah hingga ayat 29, tetapi lanjutannya adalah:
ۡ
ِ َ‫ض ُك َّل يَ ۡو ٍم ه َُو فِي َشأ ٖن فَبَِأيِّ َءآاَل ِء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذب‬
‫ان‬ ِ ۚ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬ ِ ‫سَٔلُ ۥهُ َمن فِي ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬ ‍ۡ َ‫ي‬
“Apa yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan (melayani kebutuhan mereka). Maka
nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”
Lalu dilanjutkan:
ُ ‫َسن َۡف ُر‬
‫غ لَ ُكمۡ َأيُّهَ ٱلثَّقَاَل ِن‬
“Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepadamu
(golongan) wahai jin dan manusia”
Kata akan menunjukkan masa yang akan datang dan bukan pada
kehidupan dunia saat ini. Karena dalam kehidupan dunia saat ini Allah
mengurus seluruh makhluknya baik yang ada di bumi maupun yang ada
di langit, sebagaimana yang diinformasikan 29. Sedangkan ayat 29
menegaskan bahwa Allah akan berkonsentrasi menghadapi jin dan
manusia. Konsentrasi yang dimaksud pada ayat ini adalah yang
berkenaan dengan hisab atau perhitungan amal kebaikan dan keburukan
yang akan Allah perlakukan terhadap jin dan manusia. Saat itulah, tidak
ada satu pun yang dapat mengelak. Ayat 33 menantang jin dan manusia,
bahwa mereka dipersilahkan untuk keluar dari langit dan bumi. Namun
mereka diingatkan bahwa usaha mereka akan sia-sia kecuali jika mereka
punya kekuatan, dan mereka tidak memilikinya. Kalau pun ada yang
berani mencoba, maka resiko yang akan mereka terima adalah:
ٞ ‫ي ُۡر َس ُل َعلَ ۡي ُك َما ُش َو‬
ِ َ‫اس فَاَل تَنت‬
‫ص َرا ِن‬ ٖ َّ‫اظ ِّمن ن‬
ٞ ‫ار َونُ َح‬

8
“Kepada kamu (jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan
cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri
(tidak akan berhasil)”
Artinya, jika ayat 33 dipahami sebagai isyarat ilmiah kemampuan
manusia ke luar angkasa, maka bagaimana memahami ayat 35 bahwa
manusia tidak akan berhasil. Jika yang dimaksud dengan
ketidakberhasilan dalam kehidupuan dunia, maka ayat 35 akan dinilai
bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia saat ini mampu pergi ke
luar angkasa. Jika yang dimaksud adalah ketidakkeberhasilan di akhirat,
maka demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Sehingga, ayat 33
tidak ada korelasinya sama sekali dengan kemampuan manusia
mengarungi ruang angkasa karena konteks ayat tersebut berbicara
perkara di akhirat kelak. Dengan demikian Quraish Shihab menilai
penafsiran ilmiah ayat 33 surah al-Rahman adalah keliru karena tidak
sesuai dengan konteks ayat dalam surah yang berbicara persoalan akhirat,
dan tidak ada hubungannya dengan perkara di dunia.14

2. Penerapan yang diterima


Al-Qur’an menguraikan tentang penciptaan manusia menjadi
dua tahap. Tahap pertama adalah tentang kejadian manusia pertama,
yaitu Nabi Adam. Kedua, tentang penciptaan manusia yang berasal dari
keturunan manusia pertama tadi (Nabi Adam).
Tentang kejadian manusia pertama tersebut, Al-Qur’an
menjelaskan: pertama, Allah menjadikan seorang manusia (Adam),
setelah itu Allah menjadikan pasangan (istri) untuk Adam, Kemudian
dari sinilah dikembangbiakan keturunan yang amat sangat banyak.
Seperti yang tertuang di dalam Qs. Al-Nisā (4): 1.
ٗ ِ‫ث ِم ۡنهُ َما ِر َجااٗل َكث‬
‫يرا‬ َّ َ‫ق ِم ۡنهَا َز ۡو َجهَا َوب‬ َ َ‫س ٰ َو ِحد َٖة َو َخل‬ ۡ
ٖ ‫وا َربَّ ُك ُم ٱلَّ ِذي خَ لَقَ ُكم ِّمن نَّف‬ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّق‬
ْ ُ‫َونِ َسٓاءٗۚ َوٱتَّق‬
‫وا ٱهَّلل َ ٱلَّ ِذي تَ َسٓا َءلُونَ بِ ِهۦ َوٱَأۡل ۡر َحا ۚ َم ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلَ ۡي ُكمۡ َرقِيبٗ ا‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

14
Rahman Hakim,…hal. 105-107.

9
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Kedua, Allah menciptakan manusia pada awal prosesnya adalah
membentuk jasadnya, yang terbuat dari unsur tanah. Seperti yang
digambarkan oleh Allah di QS. Al-Hijr (15); 28.
ٓ
‫ون‬ٖ ُ‫ص ٖل ِّم ۡن َح َم ٖإ َّم ۡسن‬ َ ٰ ‫ص ۡل‬َ ‫ق بَ َش ٗرا ِّمن‬ ُ ۢ ِ‫ك لِ ۡل َم ٰلَِئ َك ِة ِإنِّي ٰخَ ل‬َ ُّ‫وَِإ ۡذ قَا َل َرب‬
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
Ketiga, setelah terbentuknya jasad ini secara sempurna barulah
Allah tiupkan ruh ke dalam ciptaannya tersebut, QS. Al-Hijr (15); 29.
ْ ‫ت فِي ِه ِمن رُّ و ِحي فَقَع‬
َ‫ُوا لَهۥُ ٰ َس ِج ِدين‬ ُ ‫فَِإ َذا َسو َّۡيتُهۥُ َونَفَ ۡخ‬
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.”
Adapun terkait dengan proses penciptaan manusia yang berasal
dari keturunan manusia pertama (Nabi Adam dan Siti Hawa), Al-Qur’an
menjelaskan: Pertama, keturunan manusia pertama ini dijadikan oleh
Allah Swt dari air mani. Seperti yang tergambar di dalam QS. Al-Thāriq
(86): 5-7.
ِ ‫ب َوٱلتَّ َرٓاِئ‬
‫ب‬ ۡ
ِ ‫ٱلصُّل‬ ‫ق ِمن َّم ٖٓاء دَافِ ٖق يَ ۡخ ُر ُج ِم ۢن بَ ۡي ِن‬ َ ِ‫ق ُخل‬ َ ِ‫ق ُخل‬ َ ِ‫فَ ۡليَنظُ ِر ٱِإۡل ن ٰ َسنُ ِم َّم ُخل‬
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Kedua, air mani yang dijelaskan oleh Al-Qur’an tersebut merupakan
air mani yang memancar dan bercampur dari pihak laki-laki, QS. Al-
Insan (76): 2.
‫صيرًا‬ ِ َ‫اج نَّ ۡبتَلِي ِه فَ َج َع ۡل ٰنَهُ َس ِمي ۢ َعا ب‬ ‫ۡ َأ‬ ٰ
ٖ ‫ِإنَّا خَ لَقنَا ٱِإۡل ن َسنَ ِمن نُّطفَ ٍة مۡ َش‬
ۡ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes
mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah
dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”
Unsur yang tercampur (amsyaz) yang dijelaskan oleh Al-
Qur’an tersebut itulah yang menentukan hasil akhir.
Ketiga, menurut informasi yang termaktub di dalam Al-Qur’an,
bahwa sel yang akan jadi manusia disimpan di dalam suatu tempat
(qarār), yaitu di sekitar daerah kandungan ibu. Tempat ini merupakan
tempat yang aman, stabil dan bersih. Qarār yang dijelaskan oleh Al-
10
Qur’an itu biasa juga disebut di dalam dunia medis sebagai kandungan,
yaitu tempat anak manusia berkembang sampai lahir ke dunia. Qs. Al-
Mu‟minūn (23): 13
ۡ ٰۡ
‫ين‬
ٖ ‫ار َّم ِك‬ ٖ ‫ثُ َّم َج َعلنَهُ نُطفَ ٗة فِي قَ َر‬
“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (Rahim).”
Keempat, perkembangan di dalam rahim ibunya berlangsung
secara bertahap, yaitu air mani menjadi segumpal darah, darah ini
menjadi sekerat daging, daging itu oleh Allah dijadikan tulang, lalu
kemudian tulang itu dibalut dengan daging, sesudah itu terbentuklah
makhluk dari proses tadi, yaitu seorang manusia. Qs. Al-Mu‟minūn
(23):14
‫ض َغةَ ِع ٰظَ ٗما فَ َك َس ۡونَا ۡٱل ِع ٰظَ َم لَ ۡح ٗما ثُ َّم َأن َش ۡأ ٰنَهُ َخ ۡلقًا‬ ۡ ‫ضغ َٗة فَ َخلَ ۡقنَا ۡٱل ُم‬ۡ ‫ثُ َّم خَ لَ ۡقنَا ٱلنُّ ۡطفَةَ َعلَقَ ٗة فَخَ لَ ۡقنَا ۡٱل َعلَقَةَ ُم‬
َ‫ك ٱهَّلل ُ َأ ۡح َسنُ ۡٱل ٰ َخلِقِين‬َ ‫َءا َخ ۚ َر فَتَبَا َر‬
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.”
Setelah proses tadi, barulah sampai kepada manusia yang berada di
dalam rahim sang ibu terlahir seorang anak.15
Meski ayat-ayat di atas memberikan indikasi bahwa Allah
menciptakan manusia dari tanah, air, kemudian melalui berbagai proses
dalam Rahim, dan kemudian lahirlah sebagai makhluk hidup, namun
masih ada ayat lain yang juga menekankan kekuasaan-Nya, yakni Allah
kuasa menjadikan manusia tanpa melalui proses yang telah disebutkan di
atas, seperti yang dialami oleh siti Maryam ibunda Nabi Isa AS. QS. Ali
Imran (03):47
‫ض ٰ ٓى َأمۡ ٗرا فَِإنَّ َما‬َ َ‫ق َما يَ َشٓا ۚ ُء ِإ َذا ق‬ ِ ِ‫ۖر قَا َل َك ٰ َذل‬ٞ ‫د َولَمۡ يَمۡ َس ۡسنِي بَ َش‬ٞ َ‫قَالَ ۡت َربِّ َأنَّ ٰى يَ ُكونُ لِي َول‬
ُ ُ‫ك ٱهَّلل ُ يَ ۡخل‬
ُ‫يَقُو ُل لَ ۥهُ ُكن فَيَ ُكون‬
“Dia (Maryam) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku
akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang
menyentuhku?” Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah Allah
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan
15
Muhammad Yusuf, Skripsi : Penciptaan Manusia Dalam Tafsir ‘Ilmi
Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta: 2020, hal. 40-44.

11
sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu
itu.”

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tafsir Ilmi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
ditafsirkan dengan menggunakan corak ini adalah ayat-ayat kauniyyah
(ayat-ayat yang berkenaan dengan alam dan kejadian-kejadiannya).
Penafsiran dengan corak tersebut bertujuan untuk mengungkap dan
memperlihatkan kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an di samping
kemukjizatan dari segi yang lain.
Latar belakang kemunculan tafsir ilmi dapat dimulai secak Khalifah
Al-Ma’mun (w.853 M). Yakni dengan didirikannya Bait al-Hikmah
sebagai pusat penerjemahan buku-buku ilmiah dan sains. Gagasan ini
kemudian berlanjut pada masa Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dimana ia
mulai menanamkan pokok-pokok tafsir corak ilmi yang kemudian baru
direalisasikan satu abad kemudian oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w.
604 H) dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib. Setelah al-Razi, berbagai kitab
tafsir ilmi mulai muncul, di antaranya: Ghara'ib al-Quran wa Ragha'ib
al-Furqan, karya Al-Nasyaburi (w. 728 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta'wil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-
Quran al-Adhim wa Sab'al-Matsani karya Al-Alusi (w. 1217 H).
Kemudian pada abad ke-20, perkembangan tafsir ilmi semakin
meluas dan diminati oleh berbagai kalangan. Meluasnya minat terhadap
corak tafsir ilmi juga disebabkan karena umat Islam merasa tertinggal
dari negara-negara Barat dalam hal ilmu pengetahuannya.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama
mengenai diterima atau tidaknya, tafsir ilmi memiliki urgensi yang
sangat penting bagi perkembangan ilmu tafsir dan pemahaman Al-Qur’an
pada masa ini. Meski demikian, terlepas dari besarnya urgensi tafsir ilmi
ini, beberapa standar dan metode atau tahapan perlu diterapkan dalam
penafsiran corak ilmi, sehingga pemahaman ayat yang dihasilkan dengan
pendekatan ilmiah ini tidak menyimpang sebagaimana terjadi pada
beberapa penafsiran.

13
DAFTAR PUSTAKA

Affani, Syukron. 2019. Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejara Perkembangannya,


Jakarta: Prenada Media Group.
Hakim, Rahman. Disertasi: Tafsir Salman dalam perspektif metodologi
Tafsir Ilmi Ahmad Al-Fadil, Surabaya: 2018.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang & Diklat Kementerian
Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
2012. Tafsir Ilmi. Jakarta Timur: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an.
Maydi Arofatun Anhar, Putri dkk. Tafsir Ilmi: Studi Model Penafsiran
Berbasis Ilmu Pengetahuan Pada Tafsir Kemenag, Prosiding
Konferensi Integrasi Internasional Islam dan Sains, Vol.1, September
2018.
Rubini, Tafsir Ilmi, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol. 5, Nomor
2, Desember 2016.
Tim Tafsir Ilmiah Salman. 2014. Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz
Amma. Bandung: Penerbit Mizan Pustaka.
Yusuf, Muhammad. Skripsi : Penciptaan Manusia Dalam Tafsir ‘Ilmi
Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta: 2020.

14

Anda mungkin juga menyukai