Anda di halaman 1dari 71

HASIL RESUME MAKALAH 1 STUDY HADIS

Judul Makalah : Posisi dan Fungsi Hadis Terhadap Al Qur’an

A. Pengertian Hadis
Hadis adalah pedoman hidup yang utama setelah Al-Quran. Atau
dengan kata lain hadist merupakan sumber ajaran Islam, di samping Al-
Quran. “Hadis” atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru). Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

B. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam


Seluruh umat islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadis merupakan
salah satu sumber ajaran islam, ia menempati kedudukan yang sangat penting
setelah Al-Qur’an, hal ini karna hadis merupakan mubayyin terhadap Al-
Qur’an, tanpa memahami dan menguasai hadis, siapapun tidak akan bisa
memahami Al-Qur’an, begitupun sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadis dalam islam tidak dapat
diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam Al-Quran
maupun didalam Hadis Nabi SAW.

C. Golongan yang Menerima dan Golongan yang Menolak Hadis Sebagai


Sumber Ajaran Islam.
Mayoritas umat islam sepakat menerima hadis sebagai sumber ajaran
islam, dan disisi lain minoritas umat islam menolaknya.
Ada pun golongan yang menolak hadis sebagai sumber ajaran islam
adalah :
1. Golongan yang menolak hadits secara keseluruhan
2. Golongan yang menolak hadits sebagai sumber ajaran islam yang
kedua.
Mereka beralasan bahwa :
a. Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbahsa arab, dan sudah tentu akan
mampu memahami Al-Quran tanpa memerlukan penjelasan hadits
atau sunnah dan penjelasan lainnya.
b. Al-Quran telah mencakup segala hal yang dibutuhkan oleh manusia
mengenai segala aspek kehidupan.
c. Berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari sabda Nabi
yang menyatakan, “apa-apa yang sampai kepadamu dari saya, maka
cocokkanlah dengan kitab Allah, (Al-Quran). Jika sesuai dengan
kitab Allah, ambillah dan apabila tidak sesuai dengan Al-Quran,
tolaklah!”

D. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an


Sudah kita ketahui bahwa hadis menempati posisi kedua setelah Al-
Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran ajaran yang
bersifat umum (global), yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci,
disinilah, hadis menduduki dan menempati fungsinys sebagai sumber ajaran
kedua.
Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungannya dengan
Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Bayan At Taqriir
Bayan al-Taqrir disebut juga bayan al-ta’qid atau bayan al-isbad,adalah
hadis yang berfungsi unuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-
Qur’an.
Misalnya hadis Nabi Muhammad SAW yang memperkuat firman Allah
Q.S. Al Maidah (5) : 6 tentang keharusan berwudlu sebelum sholat, yaitu :

‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِىَل‬ ۟ ِ ِ َّ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذين ءامن ٓو ۟ا إِ َذا قُمتم إِىَل‬
َ ‫ٱلص لَ ٰوة فَٱ ْغس لُو ا ُو ُج‬ ْ ُْ َُ َ َ
ِ ‫ٱلْمرافِ ِق وٱمسحو ۟ا بِرء‬
ۚ ‫وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِىَل ٱلْ َك ْعَبنْي ِ ۚ َوإِن ُكنتُ ْم ُجنُبً ا فَٱطَّ َّه ُرو ۟ا‬ُ ُ ُ َ ْ َ ََ
‫ض ٰ ٓى أ َْو َعلَ ٰى َس َف ٍر أ َْو جَٓاءَ أَحَ ٌد ِّمن ُكم ِّم َن ٱلْغَٓائِ ِط أ َْو ٰلَ َم ْس تُ ُم‬ َ ‫َوإِن ُكنتُم َّم ْر‬
ۚ ُ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُكم ِّمْن ه‬ ِ ‫يدا طَيِّبا فَٱمسحو ۟ا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ً ً ‫صع‬
ِ ‫ٱلنِّسٓاء َفلَم جَتِ ُدو ۟ا مٓاء َفَتي َّممو ۟ا‬
َ ُ َ ً َ ْ َ َ
‫يد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُۥ َعلَْي ُك ْم‬
ُ ‫َر ٍج َوٰلَ ِكن يُِر‬
َ ‫َل َعلَْي ُكم ِّم ْن ح‬
ِ َّ ُ ‫مَا ي ِر‬
َ ‫يد ٱللهُ ليَ ْجع‬ ُ
‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬

Hai orang –orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan


sholat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ..........
(Q.S. Al Maidah (5) : 6)

Ayat Al-Quran diatas di taqrir oleh hadis Nabi SAW, yakni :

‫قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ال تقبل صال ة من احدث حىت يتوضاء‬

Artinya ; Rasulullah SAW, bersabda: Tidak akan diterima shalat


seseorang yang berhadats hingga dia berwudli”. (HR. al-Bukhori
dari abu hurairah)

Istilah bayan at-taqrir atau at-ta’qid atau bayan al-isbat ini disebut pula
dengan bayan al-muwafiq li nash al-kitab al- Karim.

2. Bayan At-Taqyid
Bayan at-taqyid adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat
yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu.
Contoh hadis rosulullah yang mentaqyid ayat-ayat alquran yang bersifat
mutlaq, yaitu :

‫ال ٍتقطع يز السا رق اال يف ربع زينار فصا عزا‬

Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian sebilai )


seperempat dinar atau lebih (H.R mutafaqalaih menurut lafad muslim )
Hadis diatas mentaqyid Q.S. Al- Maidah (5) : 38 , yaitu:

‫والسارق والسارقة فاقطعواايديهما جزاء مبا كسب نكاال من اهلل عزيز حكيم‬

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, dipotong tangan


keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi Maha bijaksana
(Q.S. Al-Maidah (5) : 38 )

3. Bayan At-Takhsis
Bayan at- takhsis adalah penjelasan Nabi SAW. dengan cara membatasi
atau menghususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (am).
Sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian yang mendapat perkecualian.
Contoh hadis nabi yang berfungsi untuk mentakhsis keumuman ayat Al-
Quran sebagai berikut :

‫ال ير ث القاتل من املقتول شيأ‬

Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan ( H. R. Ahmad)

Hadis tersebut mentakhsis keumuman firman Allah SWT. Q.S. An Nisa’


(4) : 11 yaitu :

...... ‫ُنثَينْي‬
َ ‫ظ ٱأْل‬ َّ ِ‫وصي ُكم ٱللَّهُ ىِف ٓى أ َْوٰلَ ِد ُكم ل‬
ُّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬ ِ ‫ي‬
ُ
ُ ُ

Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka anak-anakmu,


yaitu bagian laki laki sama dengan bagian dua anak perempuan ( Q.S. An
nisa’ (4) : 11 )

4. Bayan Tasyri’
Bayan at-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu
hukum atau aturan syar’I yang didapati nashnya dalam Al-Qur’an.
Hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tasyri’ini sangat banyak
jumlahnya. Di antaranya adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai
berikut, sabda Nabi Muhammad SAW.

‫عن ابن عمر ان رسول اهلل صلىى اهلل عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان‬
‫على الن اس ص اعا من متر او ص اعا من ش عري على ك ل ح ر او عب د او ذك ر او‬
‫انثى من املسلمني‬

Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW.shallahu alaihi


wasallam telah mewajibkan zakat fitrah di bulan ramadlan atas setiap
orang muslim, baik dia itu merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan yaitu satu sha kurma atau satu sha gandum.”(HR.Muslim).

5. Bayan Tafsil
Bayan At -Tafsil berarti penjelasan dengan memrinci dengan kandungan
ayat-ayat yang mujmal, ayat yang masih bersifat global yang memerlukan
mubayyin (penjelasan).
Contoh nya adalah Q.S. Al Baqarah ayat 228

......‫واملطلقات يرتبصن با نفسهن ثالثت قروء‬

Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri dari tiga


kali quru’ ( Q. S. Al Baqarah 228)

Dan kemudian untuk menjelaskan lafadz quru’ ini datanglah hadis nabi
yang berbunyi :

‫طالق ا ألمة اثنتان و عزهتاحيضتا ن‬

Talak budak dua kali dan iddahnya dua kali (H.R Ibnu Majah)
HASIL RESUME MAKALAH II STUDY HADIS

Judul Makalah : Pembagian Hadis dari segi Kuantitas Sanadnya

A. Pengertian Hadis
Hadist adalah pedoman hidup yang kedua setelah Al-Quran. Atau
dengan kata lain hadist merupakan sumber ajaran Islam, di samping Al-
Quran. “Hadis” atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru). Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadist
secara jumlah perawi terbagi menjadi 3 yaitu : Hadist Mutawatir, Hadist
Masyhur dan Hadist Ahad.

1. Hadis Mutawattir
Hadis mutawatir adalah hadis yang didasarkan pada panca indera
(dilihat atau didengar oleh yang menghabarkan) yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rowi, yang mustahil menurut adat (logika), mereka
berkumpul dan bersepakat berdusta.

a. Syarat syarat mutawatir :


1) Khobar yang disampaikan rowi-rowinya tersebut harus
berdasarkan tangkapan pance indera (khobar yang mereka
sampikan itu harus benar-benar hasil pendengeran atau penglihatan
sendiri).
2) Jumlah rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak
memungkinkan mereka bersepakat berdusta.
3) Adanya keseimbangan jumlah antara rowi- rowi dalam thobaqah
(tingkatan) berikutnya.
b. Klasifikasi Hadis Mutawattir
Para Ulama membagi hadis mutawattir menjadi 3, yaitu Mutawattir
lafdzi, mutawattir maknawi, Mutawattir amali
1. Mutawatir Lafdhi : Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
susunan redaksi dan maknanya seragam antara riwayat yang satu dengan
yang lainnya.
Contoh hadis mutawatir lafdhi:

‫من كذب على متعمدا فليتبوا مقعده من النار‬

Rasulullah bersabda :"barang siapa yang berdusta atas namaku,


hendaklah dia menduduki tempat duduk di neraka".

2. Mutawatir maknawi adalah hadis yang lafadz dan maknanya berlainan


antara satu riwatyat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian
makna.
Contohnya : hadis-hadis tentang mengusap sepatu ketika berwudhu,
hadis-hadis siksa kubur, dan hadis-hadis tentang syafaat.

3. Mutawattir Amali yaitu sasuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia


telah mutawattir
contoh hadis mutawattir amali adalah berita-berita yang menerangkan
waktu dan rakaat sholat, sholat jenazah, sholat ied, hijab perempuan yang
bukan muhrim, kadar zakat dan segala rupa amal yang telah menjadi
kesepakatan

c. Hadist Ahad
A. Pengertian Hadist Ahad
Secara sederhana, yang disebut hadis ahad adalah hadis yang
tidak mutawatir. Dalam beberapa literatur yang didapat pengertian
hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat 
hadis mutawatir, atau yang jumlah periwayatnya terbatas dan tidak banyak
sebagaimana yang terjadi pada hadis mutawatir.
B. Syarat Hadist Ahad
1. Khabar yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau sedikit yang
tidak mencapai tingkatan mutawatir Dikategorikan sebagai haddist zhanny
as-tsubut
2. Memiliki sisi gelap yang kemungkinan ditolak, diabaikan bahkan tidak
diamalkan.
C. Pembagian Hadist Ahad
Hadis ahad dibagi menjadi tiga jenis yaitu, hadis masyhur, hadis aziz, dan
hadis gharib.
1. Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan lebih dari dua orang
tetapi belum mencapai derajat mutawatir.
2. Hadis aziz adalah hadis yang jumlah periwayatnya tidak kurang dari
dua orang dalam seluruh tingkatannya.
3. Hadis gharib adalah hadis yang periwayatnya diriwayatkan satu orang
saja dengan tanpa mempersoalkan dalam berbagai tingkatannya.

HASIL RESUME MAKALAH III STUDY HADIS

Judul Makalah : Hadist Maqbul, Mardud, Qudsi, Nabawi, Marfu, Mauquf,


dan Maqtu`

1. Hadis Maqbul
A. Pengertian Hadis Maqbul
Hadis Maqbul adalah hadis yang unggul dari suatu kebenaran yang
dikabarkan atau hadis yang mempunyai makna yang dibenarkan atau
diterima.

B. Pembagian hadis Maqbul


1. Hadist maqbul ma`mul bih
Hadist maqbul ma`mul bih adalah Hadist maqbul yang bisa di amalkan.
Yang termasuk dalam hadis ini adalah:
a. Hadis Al-Muhkam, yang menurut bahasa adalah yang dikokohkan,
atau yang diteguhkan. Yaitu hadits yang tidak mempunyai saingan
dengan hadits lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata
lain tidak ada hadits lain dapat melawannya. Dikatakan muhkam
karena dapat dipakai sebagai hukum lantaran dapat diamalkan secara
pasti, tanpa syubhat sedikitpun.
b. Hadist Mukhtalaf, menurut bahasa artinya yang bertentangan atau
yang berselisih. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diterima
namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul
lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk
dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan
ini kalau bisa dikompromikan, maka diamalkan kedua-kaduanya.
c. Hadist Rajih Yaitu sebuah hadits yang paling unggul ketika di tarjih
diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya, dan Riwayat
yang tidak dipakai dinamai marjuh artinya tidak berarti atau tidak kuat.
d. Hadist Nasikh Yaitu hadits yang datang lebih akhir, yang
menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang
datang mandahuluinya dan Hadis yang dihapuskan ketentuan
hukumnya dinamakan Mansukh.

2. Hadist maqbul ghoiru ma`mul bih


Yaitu Hadis Maqbul yang tidak dapat diamalkan.
Dan yang termasuk dalam Hadis ini adalah :
a. Hadits Mutasyabih Yaitu hadits yang sukar dipahami maksudnya
lantaran tidak dapat diketahui takwilnya.Ketentuan hadits mutasyabih
ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
b. Hadits Mutawaqqaf fihi yaitu dua buah hadits maqbul yang saling
berlawanan yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan
dinasakhkan.Kedua hadits ini hendaklah dibekukan sementara.
c. Hadits Marjuh yaitu sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh
hadits Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan
hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh,
d. Hadits Mansukh artinya yang dihapus, Yakni hadis maqbul yang
telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.

2. Hadis Mardud
A. Pengertian Hadis Mardud
Hadis Mardud adalah hadis yang tidak kuat atau hadis yang tidak
diterima atau ditolak kebenaran, pembawa beritanya. Ini terjadi karena
hilangnya satu atau lebih syarat-syarat diterimanya hadits sebagai hujjah.
Ada beberapa kecacatan pada perawi yang menjadikan hadis mardut,
diantaranya :
1. Berkaitan dengan keadilannya, yaitu :
a. Dusta
b. Tuduhan berdusta
c. Fasik
d. Bid’ah
e. Ketidakjelasan
2. Berkaitan dengan kedhabitanyya, Yaitu :
a. Kesalahan yang sangat buruk
b. Buruk hafalan
c. Kelalaian
d. Banyak prasangka
e. Menyelisihi para perawi yang siqah
B. Pembagian Hadis Mardud
1. Hadist mardud di tinjau dari gugurnya sanad:
 Hadis Muallaq, yaitu hadis yang sanadnya hanya terkait dan
tersambung bagian atasnya saja, sementara bagian bawahnya
terputus.
 Hadis Mu’dal yaitu hadis yang diputus sanadnya dua orang atau
lebih secara berurutan.
 Hadis Munqathi’, yaitu hadis yang gugur seorang rawinya sebelum
sahabat di suatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat.
 Hadis Mursal, yaitu hadis yang gugur sanadnya setelah tabiin, baik
tabiin besar maupun tabiin kecil.
 Hadis Mudallas, yaitu hadis yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda.

2. Mardud ditinjau dari cacatnya perowi


 Hadis Maudhu’ yaitu hadis yang diciptakan serta dibuatkan oleh
seseorang yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah saw
secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak
 Hadis Matruk yaitu hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi
yang tertuduh dusta
 Hadis Munkar yaitu hadis yang pada sanandnya terdapat rawi yang
jelek kesalahnnya.
 Hadist muallal yaitu hadist yang di dalamnya ada ilat yang dapat
merusak kesehatan hadist
 Hadist mudroj yaitu Hadits yang bentuk sanadnya dirubah atau
pada matannya diselipkan apa yang bukan termasuk matan hadits
tersebut tanpa ada pemisah
 Hadist maqlub yaitu membolak -balik salah satu kata dari kata-kata
yang terdapat pada sanad atau matan sebuah hadits, dengan cara
mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan, mengakhirkan
kata yang seharusnya didahulukan, atau dengan cara yang
semisalnya
 Hadist muthorrib yaitu hadist yang diriwayatkan dengan beberapa
cara yang bertolak belakang antara satu dengan lainnya tanpa bias
dikompromikan.

3. Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi


A. Pengertian hadis Qudsi dan Nabawi
Hadis Qudsi adalah salah satu hadis dimana perkataan Nabi Muhammad
disandarkan kepada Allah dengan kata lain Nabi Muhammad meriwayatkan
perkataan Allah, nama lain hadis qudsi adalah hadis ilahi / robbani.

Contoh hadis qudsi:


,‫ا ْبنَ آدم‬QQ‫ ْق ي‬Q ِ‫ أُ ْنف‬:ُ‫"قال هللا‬:
َ ‫أَ َّن رسو َل هللاِ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم قا َ َل‬,‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬
َ ‫أُ ْنفِ ْق علي‬
)‫ك رواه البخاري (وكذالك مسلم‬
Artinya : Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, berinfaklah wahai anak adam, (jika
kamu berbua demikian) aku memberi infak kepada kalian.

Hadis Nabawi adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad


SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Contoh Hadis Nabawi:
َ ِ‫ َرأَيْتَ َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ع َْن َع ْب ِد هللاِ ُع َم َر قَا َل‬
َّ ‫صلَي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذ قَا َم فِ ْى‬
‫ ِه‬Q ‫ َع يَ َد ْي‬Q َ‫الَ ِة َرف‬Q ‫الص‬
َ‫هُ ِمن‬Q‫رأ َس‬ ْ ‫ َع‬Qَ‫ك ِح ْينَ يُ ْكبَ ُر الرُّ ُكوْ ع َو يَ ْف َع ُل َذلِكَ إِ َذ َرف‬
َ ِ‫َحتَّى يَ ُكوْ نَا َحدَوْ َم ْن ِكبَ ْي ِه َو َكا نَ يَ ْف َع ُل َذل‬
ِ
َ ِ‫ع َو يَقُوْ ُل " َس ِم َع هللاُ لِ َم ْن َح ِم ْيدَه" َوالَ يَ ْف َع ُل َذل‬
)‫ك فِى ال ُّسجُوْ ِد(رواه البخاري‬ ِ ْ‫الرُّ ُكو‬

Artinya: Dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata: “Aku melihat Rasullullah
SAW, apabila beliau berdiri melaksanakan shalat, beliau mengangkat
kedua tangannya setentang kedua bahunya, dan hal tersebut dilakukan
beliau ketika bertakbir hendak ruku’, dan beliau juga melakukan hal itu
ketika bangkit dari ruku’, seraya membaca “sami’allahu liman hamidah”.
Beliau tidak melakukan hal itu (yaitu mengangkat kedua tangan) ketika
sujud. (H.R. Bukhari).

4. Hadist Marfu`, Hadist Mauquf, Hadist Maqtu`


A. Pengertian Hadis Marfu’, hadis Mauquf dan Hadis Maqtu’
Hadist Marfu` yaitu hadis yang disandarkan kepada nabi Muhammad,
baik sanadnya sambung atau putus.
Contoh :
َ ِ‫ َرأَيْتَ َرسُوْ ُل هللا‬: ‫ع َْن َع ْب ِد هللاِ ُع َم َر قَا َل‬
َّ ‫صلَي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذ قَا َم فِ ْى‬
‫ ِه‬Q ‫ َع يَ َد ْي‬Q َ‫الَ ِة َرف‬Q ‫الص‬
َ‫هُ ِمن‬Q‫رأ َس‬ ْ ‫ َع‬Qَ‫ك ِح ْينَ يُ ْكبَ ُر الرُّ ُكوْ ع َو يَ ْف َع ُل َذلِكَ إِ َذ َرف‬
َ ِ‫َحتَّى يَ ُكوْ نَا َحدَوْ َم ْن ِكبَ ْي ِه َو َكا نَ يَ ْف َع ُل َذل‬
ِ
َ ِ‫ع َو يَقُوْ ُل " َس ِم َع هللاُ لِ َم ْن َح ِم ْيدَه" َوالَ يَ ْف َع ُل َذل‬
)‫ك فِى ال ُّسجُوْ ِد(رواه البخاري‬ ِ ْ‫الرُّ ُكو‬
Artinya : Dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata: “Aku melihat Rasullullah
SAW, apabila beliau berdiri melaksanakan shalat, beliau mengangkat
kedua tangannya setentang kedua bahunya, dan hal tersebut dilakukan
beliau ketika bertakbir hendak ruku’, dan beliau juga melakukan hal itu
ketika bangkit dari ruku’, seraya membaca “sami’allahu liman hamidah”.
Beliau tidak melakukan hal itu (yaitu mengangkat kedua tangan) ketika
sujud. (H.R. Bukhari).

Hadist mauquf yaitu Hadist yang disandarkan kepada Sahabat, baik


yang berupa ucapan, perbuatan, taqrir atau sifatnya.
Contoh :
َ ‫ أتريدون أن يُ َك َّذ‬، ‫حدثوا الناس بما يعرفون‬
ُ‫ب هللا ورسولُه‬
“Sampaikanlah kepada manusia menurut apa yang mereka ketahui. Apakah
engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan ?” (HR. Al-
Bukhari)
Hadist maqtu` yaitu hadis yang disandarkan kepada tabiin atau orang
yang sebawahnya.
Contoh :
.‫ َواِ َذا اَ َحبَّهُ اُ ْقبِل اِلَ ْي ِه‬,ُ‫ ْال ُم ْؤ ِمنُ اِ َذا َع َرفَ َربَّهُ َع َّز َو َج َّل اَ َحبَّه‬ 
"Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia
I’TIBAR, TABI’, DAN AS-SYAHID
1. Pengertian I’tibar
I’tibar adalah mempelajari beberapa perkara untuk mengetahui
perkara lain yang sejennis dengannya. Sedangkan secara terminologi
I’tibar adalah menelusuri jalur-jalur hadits, yang yang diriwayatakan
secara sendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah ada rawi
yang mengikutinya dalam meriwayatkan hadits ini atau tidak1.
Dengan dilakukannya I’tibar, maka akan terlihat dengan jelas
seluruh jalur sanad hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang
bersangkutan. Kegunaan I’tibar adalah untuk mengetahui kadaan sanad
hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa
periwayat yang berstatus muttabi’ atau syahid
I’tibar terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. I’tibar diwan artinya mendapatkan informasi kualitas hadits
dari kitab-kitab yang asli, yaitu Musannaf, Musnad, Sunan, dan

1
Ibnu Salah, Nuruddin A’tar, Ulumul hadits, (Madinah Al-Munawwarah: Al-Maktabah Al-Ilmiyah,
1386 H), hal.8.
Sahih. Contoh kitab Al-Jami’ al-Sahih li al-Bukhari, Sahih
Muslim, dan Sunan Abu Dawud.
b. I’tibar Syarh artinya mendapatkan informasi kualitas hadist
dari kitab-kitab syarah, yaitu kitab-kitab kutipan hadis, seperti
Buluq al-Maram, Nayl al-Anwar, Lu’lu’ wa al-Marjan, atau
Riyad al-Salihin.
c. I’tibar Fann artinya mendapatkan informasi kualitas hadist
dengan menelaah kitab-kitab fann tertentu, seperti fann tafsir,
fikih, tauhid, tasawuf, dan akhlak yang memuat dan
mengunakan hadits sebagai pembahasannya2.

2. Pengertian At-Tabi’
Secara etimologi Mutabi’ atau Tabi’ merupakan isim fa’il dati
taba’a (mengikuti), yang berarti wafaqa (menyertai). Secara
terminologi Mutabi’ adalah hadits yang para rawi didalamya mengikuti
riwayat para rawi hadits yang diriwayatkan secara sendiri, baik dalam
lafal beserta maknanya, atau hanya maknanya saja, dengan kesamaan
pada nama sahabat.
hadits At-Tabi’ adalah hadits yang matannya ada kesamaan secara lafal
atau makna dengan hadits lain (hadits ghorib) serta sanad sahabat dari kedua
hadits tersebut sama. Definisi-definisi tersebut merupakan pendapat mayoritas
ulama’ dan itu adalah definisi yang masyhur, akan tetapi ada istilah lain mengenai
definisi At-Tabi’ yaitu hadits yang rawinya telah mengikuti para rawi hadits yang
diriwayatkan secara sendiri pada lafalnya, baik terjadi kesamaan pada nama
sahabat atau tidak.
Sedangkan pengertian Mutaba’ah secara etimologi merupakan
mashdar dari kata taba’a (mengikuti), yang berarti wafaqa
( menyepakati ). Mutaba’ah berarti juga muwafaqah (kesepakatan).
Dan secara terminologi Mutaba’ah adalah seorang rawi yang

2
Ibn al-Salah, Ulum Hadits, (T.t: Maktabah al-Ilmiyah, 1972), hal-74-75.
mengikuti rawi yang lainnya dalam periwayatan hadits. Mutaba’ah
dibagi menjadi dua
a. Mutaba’ah sempurna (Tam), yaitu rawi tersebut telah
mengikuti rawi lainnya dari awal sanad hadits.
b. Mutaba’ah yang kurang sempurna (Qashirah), yaitu seorang
rawi mengikuti rawi lainnya pada pertengahan sanad hadits3.
3. Pengertian As-Syahid
As-Syahid atau Syahid secara etimologi merupakan isim fa’il dari
syahadah (kesaksian), dinamakan demikian sebab ia menjadi saksi
bahwa hadits yang diriwayatkan secara sendiri tersebut mempunyai
asal, serta menguatkannya, seperti seorang saksi yang menguatkan
perkataan pendakwa, serta mengangkatnya. Secara terminologi Syahid
adalah hadits yang para rawi di dalamnya mengikuti riwayat para rawi
hadits yang diriwayatkan secara sendiri, baik dalam lafal beserta
maknanya, atau hanya maknanya saja, dengan perbedaan pada nama
sahabatnya.
Definisi lain Syahid adalah jika mencapai perselisihan bagi para
perawi hadits yang menyendiri dengan makna, baik ada kesamaan
dengan sahabat atau berbeda. Jadi istilah Tabi’ bisa menjadi istilah
pada Syahid, begitu pula istilah syahid yang bisa menjadi istilah Tabi’.
Hadits Syahid di bagi menjadi dua:
1. Syahid bil Lafdhi, yaitu bila matan hadits yang diriwayatkan
oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan
hadits yang dikuatkan.
2. Syahid bil Ma’na: yaitu bila hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat lain itu hanya sesuai maknanya saja4.
⮚ I’tibar Bukan Bagian dari Tabi’ dan Syahid
I’tibar adalah sarana untuk mencapai keduanya, artinya I’tibar adalah
metode mencari dan menyelidiki adanya Tabi’ dan Syahid5.
3
Nurhah An-Nadzar, hal.38.
4
Ibid.
5
Nuzhah An-Nadzar, hal.38.
⮚ Contoh hadits Tabi’ atau Mutab’ah dan hadits Syahid
Contoh hadits Mutab’ah dan hadits Syahid Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar
yang didalamnya mencakup di dalamnya mutaba’ah yang sempurna,
mutaba’ah yang kurang sempurna, dan As-Syahid.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’I dalam kitab Al-
Umm, dari Malik dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar bahwa
Rosulullah SAW, bersabda:
َ‫ال َّش ْه ُر تِ ْس ٌع َو ِع ْشرُوْ نَ فَاَل تَصُوْ ُموْ ا َحتَّى تَ َروْ ا ْال ِهاَل َل َواَل تُ ْف ِطرُوْ ا َحتَّى ت ََروْ هُ فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَا َ ْك ِملُوْ ا ْال ِع َّدة‬

ِ ‫ َوفِ ْي لَ ْف ِظ ْالبُ َخ‬، َ‫ َوفِ ْي لَ ْف ِظ ُم ْسلِ ٍم فَا ْق ِدرُوْ ا لَهُ ثَاَل ثِ ْين‬،‫ثَاَل ثِ ْينَ يَوْ ًما‬
َ‫اريْ فَا َ ْك ِملُوْ ا ِع َّدةَ َش ْعبَانَ ثَاَل ثِ ْين‬
‘’Satu bulan adalah dua puluh Sembilan hari, maka janganlah kalian
berpuasa hingga kalian melihat hilal, juga jangan pula kalian berbuka
hingga kalian melihatnya, jika hilal tersebut tertutup dari pandangan
kalian, maka sempurnakanlah hitungan (sya’ban) tiga puluh hari.”
Sebagian orang mengira, bahwa hadits ini dengan lafal yang seperti
ini diriwayatkan secara sendiri oleh Imam Asy-Syafi’i dari Imam Malik,
merekapun memasukkannya kedalam riwayat-riwayat ghorib milik Imam
Asy-Syafi’i, sebab murid-murid Imam Malik meriwayatkan hadits ini
darinya dengan sanad yang sama dengan lafal, “Jika hilal tersebut tertutup
dari pandangan kalian, maka perkirakanlah (hitunganmu).”
Akan tetapi, setelah ditelusuri jalur-jalur hadits tersebut, ditemukan
bahwa Imam Syafi’i memiliki Mutaba’ah yang sempurna, mutaba’ah yang
kurang sempurna dan As-Syahid.
a. Mutaba’ah yang sempurna : Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dari Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi dari Malik dengan sand yang
sama, riwayat di dalamnya mengatakan, “Maka lengkapilah hitungan
(sya’ban) tiga puluh hari.”
b. Mutaba’ah yang kurang sempurna: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, dari jalur Ashim bin Muhammad, dari bapaknya
Muhammad bin Zaid, dari kakeknya Abdullah bin Umar dengan lafal,
“ Maka lengkapilah tiga puluh.”
c. As-Syahid: Hadits riwayat An-Nasa’i dari jalur Muhammad nin
Hunain, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Muhammad SAW bersabda, yang
didalamnya “ Jika hilal tersebut dari pandangan kalian, maka
lengkapilah hitungan (Sya’ban) tiga puluh hari6.”
4. Penerapan At-Tabi’ dan As-Syahid dalam Analisis Kualitas Hadits
Posisi Hadits Tabi’ dalam sebuah hadits yang sangat berpengaruh
pada kualitas hadits itu sendiri. Karena ketika ada sebuah hadits yang
dinilai dari segi sanad memiliki kekurangan, maka akan menyebabkan
hadits tersebut bisa mencapai derajat shahih dan hasan. Akan tetapi,
ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, maka posisi hadits
yang pertama bisa kuat dan bisa naik menjadi hadist sahih li ghoirih
(apabila yang pertama hadits tersebut merupakan hadits hasan li
dzatihi), karena adanya dukungan dari sanad lain. Dan kekurangan
pada salah satu perawi dapat dihilangkan dengan adanya bukti berupa
hadits yang sama dan diriwayatkan dengan jalur yang berbeda.
Contoh hdaits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i diatas. Hadits
ini termasuk hadits Ghorib karena hanya diriwayatkan oleh Syafi’i dan
Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi dengan sanad yang sama.
Sehingga, jika hadits Imam Syafi’i tersebut hadits hasan, maka dapat
naik tingkatan menjadi hadits sahih li ghairihi. Dan jika hadits tersebut
dhaif , maka dapat naik tingkatan menjadi hadits hasan li ghairihi7.
Syahid artinya matan , maksudnya kalau terdapat satu matan hadits
yang hasan dikuatkan oleh matan lain yang hasan (yang disebut
syahid), maka masing-masing dari kedua hadits hasan tersebut bisa
menjadi hadits sahih li ghairihi. Jadi, keduanya saling menguatkan.
Begitu pula bila hadits hasan memiliki dua sanad atau lebih (yang
disebut mutabi’), maka kualitas hadits hasan tersebut naik menajdi
hadits sahih li ghairihi, Jadi kunci untuk menaikkan kualitas hadits

6
Nuzhah An-Nadzar, hal. 40.
7
Ibid.
dari hasan li dzatihi menjadi sahih li ghoirihi adalah dengna hadits
Syahid dan hadits Mutabi’. Syahid dan Mutabi’ ini kalau dalam al-
Nawawi atau jumhur adalah “ jalan yang banyak”8.
Peranan Syahid dalam analisis kuantitas sanad Syahid sangat
diperlukan dalam proses penelitian hadits untuk menguatkan posisi
suatu hadits untuk menguatkan posisi suatu hadits dalam segi
kuantitasnya. Sebuah hadits yang pada mulanya adalah hadits Ghorib
(hanya diriwayatkan oleh seorang rawi) dapat naik tingkatannya
menjadi hadits ‘aziz, hadits masyhur atau bahkan hadits hadits
mutawattir bila ada Syahid. Contohnya seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Syafi’i diatas. Pada mulanya Imam Syafi’i
dianggap sendirian didalam meriwayatkan hadits tersebut. Oleh karena
itu, hadits tersebut dikatakan hadits ghorib. Akan tetapi, kemudian di
temukan hadits yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i dari Muhammad Ibnu
Hunayin dari Ibnu Abbas, maka keghoriban hadits tersebut secara
otomatis menjadi hilang.

8
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, ( Bandung: Bulan Bintang, 1991),
hal.214.
Jarh wa ta’dil
A,pengertian jarh wa ta’dil
Jarh secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”. Sedangkan menurut istilah
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada
keadilan dan kedhabitan. para ahli hadits mendefinisikan Al Jarh dengan
“kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak
kaadilan dan kedhobitan perawi”. Sedang At Ta’dil secara bahasa berarti
At Taswiyyah (menyamakan), menurut istilah berarti lawan dari Al Jarh yaitu
pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit.
Ulama lain mendefinisikan Al Jarh Wa At Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu
yang membahas para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan
mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan
ungkapan atau lafal tertentu.
B. Dalil Disyariatkannya Al Jarh Wa At Ta’dil
Dalil yang menjadi disyariatkannya Al Jarh Wa At Ta’dil adalah firman
Alloh yang terdapat dalam Surat Al Hujurat ayat 6 :

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik


datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar
kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan),
yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.
Dan Al Baqorah 282

Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang


lelaki (di antaramu).“ Kemudian sabda Nabi, yang dijadikan dasar yang
berkenaan dengan Al Jarh adalah: َ ‫ ب )رواه أبو‬........ ْ‫ز ِة ِ ْشي َع ْ ُخو ال َ َس أ ِئ‬
‫ (داود‬Artinya: “….. Dia itu yang paling jahat dari saudara sekeluarga”.
Dan yang berkenaan dengan ta’dil beliau bersabda: َ ‫ ِْليِد َسْي ٌف ِم ْن ُس ُي ْو ِف‬.. ‫و‬
ِ ‫ال ْ َ َ ْعب ُد هل‬
‫ ِن ْعم )رواه التزمذي‬...... ‫ال َخبِل ُد ْب ُن ال‬ ِ ‫ (هل‬Artinya: “Sebaik-baik hamba
Alloh adalah Kholid Bin Walid sebagai pedang dari pedang pedang Alloh.”
Hal inilah yang menjadikan para ulama tetap memegang teguh kaidah
bahwa mencela dan menceritakan aib seorang perowi bukanlah perbuatan
tercela.
C. Mengetahui Keadilan Perawi
Keadilan seorang perawi dapat ditetapkan melalui dua perkara:
1. Dengan banyaknya rawi dan kepopulerannya di antara ahli hadits,
seperti: Malik Bin Anas, Sufyan As-Sauri, Syu’bah Bin Al Hujjaj, Ahmad
Bin Hambal.
2. Dengan penta’dilan atau pentarjihan. menurut ahli hadits cukup
penta’dilan dari satu orang Mu’addil atau Mujarrih. Sedang menurut
sebagian Fuqohah harus dua orang Mu’addil atau Mujarrih
Syarat Ulama Al Jarh Wa At Ta’dil
1. ‘Adil, yaitu wira’i, zuhud, taqwa, jujur, menjaga muru’ah, baligh,
berakal sehat. 2. Dhabit, yaitu terpercaya hafalannya, tulisannya, tidak
cacat.
3. Mengerti sebab sebab Al Jarh Wa At Ta’dil
4. Tidak fanatik pada yang di ta’dil atau sentimen pada yang di tarjih
5. Mengenal orang yang di ta’dil atau yang di tarjih.
Kedhobitan seorang rawi dapat diketahui dari riwayatnya yang sesuai
dengan riwayat para rawi tsiqoh yang sempurna hafalannya.
D. Tingkatan Tingkatan Al Jarh Wa At Ta’dil Beserta Lafalnya
1. Lafal Al Jarh
a. Lafaz yang menunjukkan penilaian jarh yang paling ringan
kejelekannya.
b. Lafaz yang menunjukkan penilaian lemah terhadap periwayat dari segi
hafalannya.
c. Lafaz yang terang terangan melarang haditsnya ditulis atau yang lainnya.
d. Lafaz yang menunjukkan tujuan berdusta.
e. Lafaz yang menunjukkan periwayat disifati berdusta
f. Lafaz yang menunjukkan keterlaluan berdusta.
periwayat yang berada pada dua tingkat pertama (a,b) sudah tentu tudak
dapat dijadikan hujjah. hadis mereka ditulis hanya untuk i’tibar.
2.Lafaz At Ta’dil a.
a.Lafaz yang menunjukkan sighat mubalaghah (paling puncak)
atau atas dasar wazan af’ala yang merupakan sighot paling
tinggi.
b. Lafaz yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari sifat
siqah,
c. Lafaz yang menunjukkan pada satu sifat atas siqoh tanpa ada
penjelas..
d. Lafaz yang menunjukkan pada ta’dil tapi tanpa
menunjukkan adanya dhabit
e. Lafaz yang menunjukkan pada dekatnya tarjih.
Lafaz-lafaz pada point a dan c periwayatannya dapat dijadikan
hujjah, meskipun sebagian dari mereka ada yang lebih kuat dari
sebagian yang lainnya. Adapun point d dan e tidak boleh
dijadikan hujjah.
E. Pertentangan Antara Al Jarh Wa At Ta’dil
1. Jika dalam pandangan yang sama kemudian bertentangan
antara mujarrih dan mu’addil maka ulama berbeda pendapat
tentang mana yang diterima
a. Pendapat jumhur ahli hadis menerima yang mentajrih,
biarpun mu’addilnya lebih banyak dari mujarrihnya.
b. Pendapat kedua: menerima yang menta’dil jika mu’addilnya
lebih banyak jumlahnya.
c. Pendapat ketiga: mauquf hingga ada yang dirajihkan antara
mujarrih dan mu’addil.
2. Jika ada periwayat dulunya fasik kemudian taubat : Orang
yang mengenal ketika masih fasik menggapnya al jarh, dan
orang yang mengenal ketika sudah taubat menggapnya adil
(Seperti ini tidak bertentangan).
3. Jika ada periwayat tidak dabit fi al hifzi dan dabit fi al
kitabah Orang yang pernah melihat kesalahan hadisnya karena
ia meriwayatkan dari hafalannya, maka menggapnya al jarh.
Dan orang yang melihat kesahihan hadisnya karena ia
meriwayatkan dari tulisannya maka menggapnya adil (seperti
ini tidak bertentangan).
F. Sejarah Perkembangan Al Jarh Wa At Ta’dil
Ilmu Al Jarh Wa At Ta’dil tumbuh bersama sama dengan
tumbuhnya periwayatan hadis dalam islam, sejarah para
periwayat hadis mulai dari sahabat sampai generasi mukhorrij
al hadis (periwayat dan sekaligus penghimpun hadis). Menurut
Imam Nawawi: “Al Jarh Wa At Ta’dil adalah sebagai
pemelihara syariat islam, jadi bukanlah ghibah atau umpatan.
Akan tetapi, merupakan nasehat dan hukum boleh, bahkan
diwajibkan untuk bisa mengungkap hadis itu benar atau tidak.”
Para ulama’ merasa punya kewajiban menerangkan keadaan
yang sebenarnya dari para perawi hadis, meskipun menyangkut
hal-hal internal atau pribadi perawi. Pada permulaan abad ke 11
H, baru terdapat banyak perawi yang lemah, kelemahan mereka
umumnya disebabkan tidak dhabit (tidak kuat hafalannya)
,namun abad ke 14 H menjadi batas pemisah antara kemurnian
sunah dan berkembangnya dari kebohongan dan pemalsuan di
satu pihak serta terjadinya perpecahan. Pada akhir abad ke 3 H
para ulama menyusun kitab kitab tentang Al Jarh Wa At Ta’dil
didalamnya terdapat nama perawi hadis sehingga
periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
A. Definisi Tahammul al-Hadits
Secara etimologi tahammul memiliki arti menanggung, membawa,
menerima. Berarti Tahammul Hadits menurut bahasa adalah menerima hadits
atau menanggung hadits.
Sedangkan Tahammul Hadits menurut istilah ulama ahli hadits adalah
menerima atau mengambil hadits dari para syaikh atau guru dengan salah satu
cara.
Syarat-syarat bagi seseorang yang diperbolehkan untuk mengutip hadits
orang lain, yaitu : Penerima harus dhabit (hafalannya kuat), Berakal, Tamyiz.
Dalam hal penerimaan hadits, tidak disyaratkan muslim dan baligh. Jadi
riwayat hadits yang diperoleh sebelum memeluk islam atau sebelum baligh
bisa diterima. Tetapi harus sudah mumayyiz.
B. Definisi Ada’ul Hadits
Kata Ada’ memiliki arti melaksanakan pekerjaan pada waktunya,
membayar pada waktunya, atau menyampaikan kepadanya.
Ada’ menurut istilah adalah meriwayatkan hadits dan menyampaikannya
kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata tertentu.
Jadi Ada’ul Hadits adalah menyampaikan hadits kepada orang lain dan
meriwayatkannya sebagaimana ia mendengar sehingga dalam bentuk-bentuk
lafal yang digunakan dalam periwayatan.
Syarat-syarat Ada’ul Hadits:
1. Muslim (beragama islam)
Orang kafir tidak boleh meriwayatkan hadits karena dikhawatirkan adanya
kecurangan dan pendustaan.
2. Baligh (dewasa)
Yang dimaksud dewasa adalah dewasa umurnya. Diperkirakan berusia
enam belas tahun.
3. Aqil (berakal)
4. Adalah (sifat adil)
Sifat yang mendorong sesorang untuk senantiasa bertakwa, menghindari
perbuatan dosa besar dan kecil, dan selalu menjaga kehormatan dirinya.
5. Dhabit (kuat daya ingat/hafalannya)
C. Metode Tahammul al-Hadits
Metode menerima hadits dari seorang guru/rawi, ada 8 cara:
1. As-Sama’ atau As-Sima’i (mendengarkan)
Seorang rawi mendengarkan lafadz dari guru/syaikh saat guru tersebut
membacakan/menyebut matan atau matan hadits bersama sanadnya.
Metode ini merupakan metode paling tinggi.
2. Al-‘Ardu (membaca dengan hafalan)
Seorang murid membaca hadist sedangkan guru mendengar bacaannya,
dan telah dikoreksi oleh gurunya, baik secara langsung ataupun lewat
perantara yang dipercaya guru tersebut. Metode ini merupakan metode
paling tinggi kedua setelah as-sima’i.
3. Al-Ijazah (membolehkan atau mengizinkan)
Seorang murid diizinkan untuk meriwayatkan sebagian periwayatan
dari gurunya. Dengan syarat murid harus sudah ahli atau layak menerima
ijazah, mampu memahami, dan naskahnya harus dipaparkan sesuai
aslinya. Metode ini merupakan metode paling tinggi ketiga.
4. Al-Munawalah (memberi, menyerahkan)
Guru memberikan kitab kepada muridnya. Atau dapat juga seorang
murid yang menyerahkan kitabnya kepada rawi/gurunya untuk diperiksa.
Hukum metode ini yang disertai ijazah boleh. Sedangkan yang tidak
disertai ijazah menurut pendapat yang shahih tidak diperbolehkan.
5. Al-Mukatabah (tulisan surat atau berkorespondensi)
Seorang guru menulis apa yang ia dengar disuatu majlis untuk
muridnya dengan tulisannya sendiri atau atas perintahnya untuk dikirim
kepada muridnya melalui orang terpercaya. Hukum dan kedudukannya
sama dengan al-munawalah.
6. Al-I’lam (memberitahu atau mmeberi informasi)
Guru memberikan kitab yang ia dengar dan yang ia riwayatkan kepada
muridnya tanpa memberikan ijazah secara langsung.
Hukumnya menurut sebagian ulama ahli ushul tidak membolehkan.
Sedangkan menurut kebanyakan ulama ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli
ushul membolehkan.
7. Al-Washiyyah (memesan, memberi pesan, atau mewasiati)
Seseorang yang akan bepergian jauh atau yang sebelum wafatnya
berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan
kepada seseorang yang dipercaya baik dekat ataupun yang jauh.
Hukumnya seperti Al-Munawalah karena metode ini mengandung
ijazah.
8. Al-Wijadah (mendapat)
Seseorang mendapatkan sebuah atau beberapa tulisan hadits yang
diriwayatkan oleh guru yang dikenal, tetapi ia tidak mendengar dan tidak
ada ijazah. Atau mendapat tulisan seseorang yang hidup semasa dan
dikenal, baik pernah bertemu atau tidak. Atau mendapat tulisan seseorang
yang tidak hidup semasa tetapi diyakini itu adalah benar-benar tulisannya
dengan bukti yang kuat.
Metode ini boleh diriwayatkan secara bercerita (hikayah).9
D. Sighat-sighat (lafadz-lafadz) dalam Ada’ul Hadits
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam periwayatan hadits disebut dengan
siyag al-isnad10. Sigat isnad memiliki beberapa tingkatan dan ragam yang
berbeda tergantung metode yang digunakan.
Ada’ul Hadits memiliki delapan metode, antara lain:
1. As-Sama’
Menurut al-Qadi ‘Iyad bentuk lafadz dalam metode ini adalah:
a. Aku mendengar ((‫ سمعت‬ini merupakan tingkatan paling tinggi.
b. Si Fulan memberitakan kepada kami/ku (‫دثني‬GG‫دثنا\ح‬GG‫ )ح‬ini merupakan
tingkatan paling tinggi.
c. Si Fulan memberitakan kepada ku/kami (‫)أخبرني\أخبرنا‬
d. Si Fulan memberitakan kepada ku/kami (‫)أنبأني\أنبأنا‬
e. Si Fulan berkata kepadaku (‫)قال لي‬
f. Si Fulan menyebutkan kepadaku(‫)ذكرني‬

Lafadz (\‫برني‬GG‫دثني أخ‬GG‫ )ح‬digunakan ada’ ketika tahammul sendirian.


Lafadz (‫ )حدثنا \أخبرنا‬digunakan ada’ ketika tahammul bersama orang lain.
Ulama mutaakhirin memberlakukan lafadz ada’ a dan b untuk metode
As-Sama’. c untuk metode Al-Qiro’ah. d untuk metode ijazah.
Sedikit sekali periwayat metode As-Sama’ menggunakan lafadz e dan f
karena ungkapan ini kebanyakan digunakan dalam metode sama’ al-
mudzakaroh (mendengar dalam mudzakaroh) bukan sama’ at-tahdits
(mendengar dalam rangka menerima haidts).11
2. Al-‘Ardu/Al-Qiro’ah
a. Aku membaca dihadapan Fulan ‫))قرأت على فالن‬
b. Dibaca dihadapannya dan aku mendengarnya/diakui bacaannya
(‫)قرأ عليه وأنا أسمع \ فأقرر به‬
9
Muhammad Nasir & Hamam Faizin, Hadis-Ilmu Hadis, (Jakarta : Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2014), Hal.146-149.
10
Sighat-sighat isnad
11
Muhammad Nasir & Hamam Faizin, Hadis-Ilmu Hadis, (Jakarta : Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2014), Hal.151.
c. Ia memberikan kepada kami dengan membaca dihadapannya
(‫)حدثنا قرأة عليه‬
d. Memberikan kepada kami/ku(‫)أخبرني\أخبرنا‬12. pengakuan guru terhadap
muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.
3. Al-Ijazah
Metode ini diperbolehkan hanya jika jelas identitasnya. Misalnya : “aku
ijazahkan kepadamu kitab sahih al-Bukhori”. Ijazah ini tidak dapat
diterima karena tidak jelas haditsnya, meskipun orang yang diijazahi jelas.
Begitu juga sebaliknya.
a. Fulan memberikan ijazah kepadaku (‫)اجازلي فالن‬
b. Fulan memberikan kepada kami dengan cara ijazah (gabungan medote
ijazah dan as-sama’) (‫)حدثنا إجازة‬
c. Fulan memberitakan kepada kami dengan cara ijazah (gabungan medote
ijazah dan metode al-qiro’ah) (‫)أخبرني إجازة‬
d. Fulan memberitakan kepada kami (berlaku bagi mutaakhirin) (‫)أنبأنا‬
4. Al-Munawalah
Ungkapan paling baik dalam metode ini adalah :
a. Fulan memberikan hadits kepadaku dan memberi ijazah untuk
meriwayatkannya(‫)ناولني واجازني‬
b. Memberitakan kepada kami dengan metode munawalah (gabungan
metode munawalah dan as-sama’)(‫)حدثنا مناوله‬
c. Memberitakan kepada kami dengan metode munawalah dan ijazah
(gabungan metode munawalah dan al-qiro’ah)(‫)أخبرنا مناولة وإجازة‬
5. Al-Mukatabah
Adakalanya dengan ungkapan yang tegas:
a. Fulan menulis surat kepadakau(‫)كتب الي فالن‬
b. Fulan memberitakan kepadaku atau memberitakan kepadaku melalui
surat(‫)حدثني فالن أو أخبرني كتابة‬
6. Al-I’lam

12
Sebelum dikhususkan untuk metode Al-Qiro’ah, lafadz tersebut termasuk shigat metode As-
Sama’.
a. Guruku memberikan informasi kepadaku seperti ini..
(‫أعلمني شيخي بكذا‬...)
7. Al-Wasiyah
a. Fulan berwasiat kepadaku seperti ini... (‫)أوصى إلي فالن كذا‬
b. Fulan memberitakan kepadaku dengan wasiat (metode wasiat dan as-
sama’)(‫)حدثني فالن كذا‬
8. Al-Wijadah
Metode ini termasuk kategori munqati’ (terputus sanad), tetapi ada
unsur muttasilnya.
a. Aku dapatkan pada tulisan Fulan seperti ini... (‫وجدت بخط فالن كذا‬...)
b. Aku membaca pada tulisan Fulan seperti...(‫قرأت بخط فالن كذا‬...)

Pengamalan wijadah tidak diperbolehkan menurut mayoritas


muhadditsin pengikut Imam Malik. Sedangkan menurut as-Syafi’i dan
ulama Syafi’iyyah memperbolehkan.
Menurut sebagian ulama, wijadah wajib diamalkan jika penukilnya
memiliki kredibilitas (tsiqqah) dalam periwayatannya.13

Jadi, dalam periwayatkan hadits harus jelas ia menggunakan metode apa


saat tahammul dan saat ada’. Karena itu mempengaruhi boleh tidaknya
meriwayatkan hadits tersebut.
E. Hadist Mu’an’an
Dari segi bahasa mu’an’an memiliki arti dari. Sedangkan menurut istilah
adalah hadits yang disebutkan dalam sanadnya diriwayatkan oleh si Fulan
dari si Fulan. Dengan tidak menyebutkan perkataan memberitakan,
mengabarkan, atau mendengar.
Jadi hadits mu’an’an adalah hadits yang periwayatannya hanya
menyebutkan sanad dengan kata ‫( عن فالن‬dari Fulan). Tidak menyebutkan

13
Muhammad Nasir & Hamam Faizin, Hadis-Ilmu Hadis, (Jakarta : Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2014), Hal.153.
ungkapan yang tegas bertemu dengan gurunya dengan menggunakan
ungkapan bertemu (ittishal).
Contoh hadits mu’an’an :
‫س ْيباَنِ ِّي عَنْ َع ْب ِد هللا ْب ِن‬ ْ ‫سنُ بْنُ َع َرفَةَ َح ّدثَنا َ إ‬
ٍ َ ‫س َم ِع ْي ُل بْنُ َعيّا‬
ّ ‫ش عَنْ يَ ْح َي ْب ِن أبي َع ْم ٍرو ال‬ َ َ ‫َح َّدثَنا‬
َ ‫الح‬
‫ال ّد ْيلَ ِم ِّي‬
Para ulama berbeda pendapat tentang pengamalan hadits. Diantara mereka
berpendapat bahwa hadits ini termasuk hadits munqati’ (terputus sanadnya)
atau mursal. Berarti dihukumi dha’if sampai ada penjelasan
kemuttashilannya.
Menurut mayoritas ulama menerima hadits ini dan dihukumi muttashil
dengan dua syarat.
1. Periwayat yang menggunakan ‘an tidak mudallis.14
2. Periwayat yang menggunakan ‘an bertemu atau mungkin bertemu dengan
orang yang menyampaikan hadits kepadanya.15

F. Hadits Muannan
Menurut bahasa, kata muannan mempunyai arti bahwasannya,
sesungguhnya. Menurut istilah, hadits muannan adalah hadits yang dikatakan
dalam sanadnya memberitakan kepada kami bahwasannya si Fulan
memberitakan kepadanya begini.
Contoh hadits muannan :
‫ب قال كذا‬ َ ‫س ِع ْي َد بنَ الُ َم‬
ِ ّ ‫سي‬ ٍ َ ‫شها‬
َ ّ‫ب أن‬ َ ‫َحد‬
ِ ‫ّث ماَلِ ٌك ع ِن ا ْب ِن‬
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum hadits
muannan. Diantara mereka berpendapat bahwa hadits muannan termasuk
munqathi’ sehingga ada penjelasan bahwa ia mendengar berita tersebut dari
sanad lain. Atau penjelasan bahwa ia menyaksikan atau mendengarnya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits muannan dihukumi muttashil.
Tetapi harus memenuhi dua persyaratan yang sama seperti hadits mu’an’an.
Abu Al-Asybal menegaskan bahwa :

14
Seorang yang menyembunyikan cacat.
15
Dua syarat yang diajukan Al-Bukhori dan Al-Madani
1. Perowi hadits muannan yang tidak semasa dengan orang yang
menyampaikan, atau semasa tetapi tidak pernah bertemu, maka dihukumi
munqathi’ dan tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Perowi hadits muannan yang semasa dengan orang yang menyampaikan
berita, tetapi tidak diketahui ia bertemu atau tidak. Atau diketahui tetapi ia
seorang mudallis, maka ditangguhkan (tawaqquf) hingga dapat diketahui
muttashilnya
TAKHRIJ AL- HADITS

A. Pengertian Takhrij al-Hadits


Takhrij adalah penunjukkan terhadap tempat hadis di dalam sumber
aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluannya.
Sedangkan menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadits,
kata al-takhrij mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya di dalam sanad yang menyampaikan hadis itu, berikut
metode periwayatan yang ditempuhnya.
2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh
para guru hadis, atau berbagai kitab, atau berbagai kitab, atau lainnya,
yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para
gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa
periwayatnya dari penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber
pengamblan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharijnya langsung.
Yakni para periwayat yang menjadi penghimpun bagi hadis yang mereka
riwayatkan.
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber, yakni
kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatan dan
sanadnya, serta diterangkan keadaan para periwayat dan kualitas hadisnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis dari sumbernya atau
berbagai sumber, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya dikemukakan
hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing. Lalu, untuk
kepentingan penelitian, dijelaskan pula kualitas hadis yang bersangkutan.

B. Cara Menelusuri Hadits


Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadis, terebih dahulu ia harus
mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij, yaitu:
1. Takhrij dengan kata (Bi Al-Lafzhi)
Pada metode takhrij pertama ini, penelusuran hadis melalui
kata/lafal matanhadis, baik dari permulaan, pertengahan, dan atau
akhiran. Kamus yang diperukan metode takhrij ini salah satunya yang
paling mudah adalah kamus Al-Mu’jam Al-Muhfaras li Alfazh Al-
Hadits An-Nabawi yang disusun A.J. Wensinck dan kawan-kawannya
sebanyak 8 kali.
Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda
(kalimah isim) atau kata kerja (kalimah fi’il), bukan kata sambung
(kalimah huruf) dalam bahasa arab yang mempunyai asal akar kata 3
huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian teks hadist yang mana
saja selain kata sambung/kalimah huruf yang disebut dengan fi’il
tsultsi.
2. Takhrij dengan tema (Bi Al-Mawdhu’)
Arti takhrij kedua ini adalah penelusuran hadist yang
didasarkan pada topik (mawdhu’), misalnya bab Al-Khatam, Al-
Khadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain.
3. Takhrij dengan permulaan matan (Bi Awwal Al-Matan)
Takhrij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya,
misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari
pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada bab ba,
dan seterusnya. Takhrij seperti ini diantaranya dengan menggunakan
kitab Al-jami’ Ash-Shaghir atau Al-Jami’ Al-kabir karangan As-
Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul Ahadist Ar-rasul, kaya ibnu Al-
Atsir.
Kitab Al-jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-jami’ Ash-
Shaghir Fi Ahadist Al-basyir An-Nadzir, salah satu kitab karangan As-
Suyuthi (w. 911 H). Beliau seorang ulama hadist yang memiliki gelar
Al-Musnid (gelar keahlian meriwayatkan hadist beserta sanadnya) dan
Al-Muhaqqiq (peneliti) dan hafal 200.999 hadist.

4. Takhrij melalui perowi yang paling atas (Bi Ar-Rawi Al-A’la)


Takhrij ini menelusuri hadist melalui perawi paling atas dalam
sanad, yaitu dikalangan sahabat (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam
hadist mursal). Artinya, penelit harus mengetahui terlebih dahulu
siapa sanad-nya dikalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari
dalam buku hadist musnad atau Al-Athraf. Diantara kitab yang
digunakan dalam metode ini adaalah kitab musnad atau Al-Athraf.
Seperti musnad bin hambal, Tuhfat Al-Asyraf Bi Ma’rifat Al-Athraf,
karya al-mizzi, dan lain-lain.
Kitab musnad adalah pengkodifikasian hadist yang
sistematikanya didasarkan pada nama-nama sahabat atau nama-nama
tabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu. Adapun Al-Athraf adalah
kitab hadist yang menghimpun beberapa hadistnya para sahabat atau
tabi’in sesuai dengan urutan alphabet arab dengan menyebutkan
sebagian dar lafal hadist.
5. Takhrij dengan sifat (Bi Ash-Shifah)
Telah banya disebutkan pembahasan diatas tentang metode
takhrij. Seseorang dapat memilih metode mana yang tepat untuk
ditentukannya sesuai dengan kondisi orang tersebut. Jika suatu hadist
sudah dapat diketahui sifatnya, misalnya Mauwdhu’, Shahih, Qudsi,
Mursal, Masyhur, Mutawatir¸ dan lain-lain. Sebaiknya ditakhrij
melalui kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut.
Misalnya, hadist Mauwdhu’ akan lebih mudah ditakhrij dengan buku-
buku himpunan hadist Mauwdhu’ seperti Al-Mawdhu’at karya Ibnu
Al-Jauzi, mencari hadist Mutawatir Takhrij-lah melalui kitab Al-
Azhar Al-Mutanatsirah ‘an Al-Akhbar Al-Muawatirah, karya As-
Suyuthi, dan lain-lain.
Disana seorang akan mendapatkan informasi tentang
kedudukan suatu hadist, kualitasnya, sifat-sifatnya, dan lain-lain
terutama dapat dilengkapi dengan kitab-kitab syarah-nya.16
Adapun langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian
sanad dan matan adalah sebagai berikut:17
1. Penelitian sanad dan rawi hadis
a. Meneliti sanad dan rawi adalah takhrij.
b. Itibar, yaitu menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu
hadis tertetentu, dan bagian sanadnya tampak hanya
terdapat seorang rawi saja, dan dengan menyertakan
sanad-sanad yang lain atau tidak untuk bagian sanad
dari sanad yang dimaksud.
Langkah ini tidak dapat ditinggalkan samaa sekali,
mengingat sebelum melakukan penelitian terhadap
karakteristik seiap rawi yang terlibat dalam
periwayatan hadis yang bersangkutan. Langkah ini
dilakukan dengan membuat skema sanad.
c. Meneliti nama rawi yang tercantum dalam skema sanad
(penelitian asma ar-ruwat). Langkah ini dilakukan
dengan mencari nama secara lengkap yang
mencangkup nama, nisbat, kunyah, dan laqob setiap
perawi dalam kitab-kitab Rijal Al-Hadis, seperti kitab
Tahdzib At-Tahdzib, Ushul al Ghabah Fi Ma’rifati
Asma’is Shahabah, Al-Thabaqat al-Kubro, Al-Tarikh
al-Kabir, dan Al Jam’u Bayna Rijal al-Shahihayn.
d. Meneliti tarikh ar-ruwat, yaitu meneliti al-masyayikh
wa al-talamidz (guru dan murid) dan al-mawalid wa
16
Abdul Majid, Ulumul Hadis,132-141.

17
M. Agus sholahuddin, Ulumul Hadis, (Bandung:Pustaka Setia, 2017), 204.
al-wafayat (tahun kelahiran dan kematian).dengan
langkah ini dapat diketahui bersambung atau tidak
sanadnya.
e. Meneliti Al-Jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui
karakteristik rawi yang bersangkutan,baik dari segi
aspek moral maupun aspek intelektualnya (keadilan
dan ke-dhabit-an).
2. Penelitian matan
Sebagai langkah terakhir adalah penelitian terhadap
matan hadis, yaitu menganalisis matan untuk mengetahui
kemungkinan adanya syudzudz padanya. Langkah ini dapat
dikatakan sebagai langkah yang paling berat dalam
penelitian suatu hadis, baik teknik pelaksanaanya maupun
aspek tanggung jawabnya. Hal itu karena kebanyakan
pengamalan suatu hadis justru lebih bergantung pada hasil
analisis matannya daripada penelitian sanad.
Langkah ini memerlukan wawasan luas dan
mendalam. Untuk itu, seorang peneliti dituntut untuk
menguasai bahasa Arab dengan baik, menguasai kaidah-
kaidah yang bersangkutan dengan tema matan hadis,
memahami prinsip-prinsip ajaran islam, mengetahui
metode istinbath, dan sebagainya.
C. Kitab-kitab Yang Dapat Digunakan Untuk Menelusuri Hadits
Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan kegiatan takhrij
hadist dari sisi jenisnya, kitab-kitab yang diperlukan adalah kitab kamus
hadist, kitab Athrof Al-Hadist, kitab-kitab hadist seperti kitab-kitab yang
tergabung dalam istilah Al-Kutub Al-Sittah, dan lain-lain. Selanjutnya jika
kegiatan takhrij itu sampai pada penelitian sanad hadist, maka kitab-kitab
tentang sejarah para perawi, seperti ilmu Ijal Al-Hadist, ilmu Tarikh Al-Rawi,
dan ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil, sangat diperlukan. Adapun kitab-kitab tersebut
antara lain:18
1. Hidayatul Bari Ila Tartibi Ahaditsil Bukhori.
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar Al-Misri At-Tahtawi.
Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam
Sahih Al-Bukhari. Lafal-lafal hadist disusun menurut aturan urutan hufuf
abjad Arab. Namun hadist-hadist yang dikemukakan secara berulang
dalam Sahih Bukhari tidak dimuat secara bermuat dalam kamus diatas.
Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadist riwayat al-bukhari
tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut.
2. Mu’jam al-Alfadzi wa la siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi
ahadtsi sahihi muslim.
Kitab tersebut merupkan salah satu juz, yakni juz ke-V dari kitab Sahih
Muslim yang disunting oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. Juz V ini
merupakan kamus terhadap juz ke-I – IV yang berisi:
a. Daftar urutan judul kitab serta nomor hadist dan juz yang
memuatnya.
b. Daftar nama para sahabat nabi yang meriwayatkan hadist yang
termuat dalam Sahih Muslim.
c. Daftar awal matan hadist dalam bentuk sabda yang tersusun
menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadist yang
diriwayatkan oleh bukhori, bila kebetulan hadist tersebut juga
diriwayatkan oleh bukhori.
3. Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab
ini dapat digunakan untuk mecari hadist-hadist yang diriwayatkan oleh
muslim. Akan tetapi hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah
hadist-hadsit yang berupa sabda (Qauliyah) saja. Hadist tersebut disusun
menurut abjad dari awal lafal hadist lafal matan hadist.
4. Al-Bughyatun Fi Tartibi ahadisi al-hilyah

18
Nawawi, Pengantar Studi Hadits, (Surabaya: Kopertais IV Press, 2017), 187.
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin
Sayyid Siddiq Al-Qammari. Kitab hadist tersebut memuat dan
menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab yang disusun
Abu Nuaim Al-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul: Hilyatul Auliyai Wa
Tabaqatul Asfiya’i.
5. Al-Jamius Sagir
Kitab ini disusun oleh imam Jalaludin Abdur Rahman As-Suyuti (w. 91
H). Kitab kamus hadist tersebut memuat hadist-hadist yang terhimpun
dala kitab himpunan kutipan hadist yang disusun oleh As-Suyuti juga,
yakni kitab Jam’ul Jawani.
Hadist yang dimuat dalam kitab jamius sagir disusun berdasarkan urutan
abjad dari awal lafal matan hadist. Sebagian dari hadist-hadist secara
lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah
mengandung pengertian yang cukup.
6. Al-Mu’jam al-mufahras il alfazil hadist nabawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara
anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusun ialah Dr.
Arnold John Wensinck (w.j 939 m), seorang profesor bahasa-bahasa
Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.
7. Miftahu Kunuz al-Sunnah
Kitab ini disusun oleh Dr. Arnold John Wensinck (w.j 939 m), seorang
profesor bahasa-bahasa Semit, tarmasuk bahasa Arab di Universitas
Leiden, Belanda. Berbeda dengan Al-Mu’jam al-mufahras il alfazail
hadist nabawi kitab ini disusun berdasarkan tema. Jika pada kitab al-
Mu’jam, cara mencarinya berdasarkan lafadh-lafadh yang ada pada
hadits, maka kitab Miftahu Kunuz al-Sunnah ini, cara mencarinya
berdasar thema hadits. Jadi jika kita tidak hafal lafat hadits yang hendak
dicarinya, maka kita bisa mengingat apa tema hadits yang bersangkutan
kemudian mencari lewat kitab ini.19

19
Nawawi, Pengantar Studi, 186-180
D. Kegunaan Kitab al-Mujam al-Mufahras li al fadzil Hadits an-Nabawy
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadis berdasarkan petunjuk
lafazh matan hadits. Berbagai lafazh yang disajikan tidak dibatasi hanya
lafazh-lafazh yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis.
Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada
pencari matan dan sanad hadis selama sebagian dari lafazh matan yang
dicarinya itu telah diketahuinya.20
Dengan adanya kitab al-Mu’jam al-Mufahras Lil al-Fadz al-Hadits
an-Nabawy ini, memberi kemudahan bagi para pengkaji hadits-hadits
tematik. Yang mana kita hanya perlu mengetahui salah satu kosa kata atau
kata kuncinya saja, jika kita mencari sebuah hadits sudah ditemukan dalam
kitab ini maka kita akan ketahui dalam kitab apa saja hadits tersebut
disebutkan.21

KITAB YANG DIGUNAKAN SEBAGAI RUJUKAN HADITS


DAN KUALITAS PEROWI
A. Isi dan Sistematika Kitab At Tis’ah
1. Pengertian Kutub at Tis’Ah

20
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 196.

21
Sekilas Mengenai al-Mu’jam al-Mufahras Lil al-Fadz al-Hadits an-Nabawy Karya Arentjan
Wensinck, (Online), https://www.dakwatuna.com/2015/05/29/69381/sekilas-mengenai-al-mujam-
al-mufahras-lil-al-fadz-al-hadits-an-nabawi-karya-arentjan-wensinck-#axzz5YTY1rHvP, diakses
pada tanggal 6 November 2020.
al-Tis’ah adalah kitab yang memuat hadits-hadits yang popular
yang diriwayatkan oleh 9 (Sembilan) imam dalam kitab hadit yang
telah disusun oleh mereka masing-masing. Adapun Sembilan imam
yang dimaksud yaitu antara lain :
1. Imam Bukhori/Shohih Bukhori
2. Imam Muslim/Shohih Muslim
3. Sunan Abu Dawud
4. Sunan Tirmidzi
5. Sunan An-Nasa’i
6. Sunan Ibnu Majah
7. Musnad Ahmad
8. Muwatho Malik
9. Sunan Ad-Darimi
2. Nama-Nama Kitab dan Model Penyusunannya
1. Al-Jami’ Sahih Bukhari
2. Kitab tentang iman
3. Kitab tentang ilmu
4. Kitab tentang wudhu
5. Kitab tentang mandi besar
6. Kitab tentang tayammum
7. Kitab tentang shalat
8. Kitab tentang tabir pembatas orang yang melakukan shalat
9. Kitab tentang waktu shalat
10. Kitab tentang azan
Adapun sistematika penulisan kitab shahih Al-bukhari disusun
dengan membagi beberapa judul, jika dicermati secara mendalam,
setidaknya ada dua hal yang dapat diperoleh:
a. Judul kitab atau bab yang dikemukakan menunjukkan
kedalaman pemahaman imam bukhori terhadap kandungan
hadist yang disebutkan.
b. Judul kitab dan bab merupakan representasi dari sikap
imam bukhari terhadap masalah tertentu. Dengan lain kata,
judul tersebut merupakan hasil ijtihadnya tentang
kandungan hadist yang dikemukakan.22
2. Al-Jami’’ Sahih Muslim
1. Kitab tentang iman
2. Kitab tentang haid
3. Kitab tentang salat
4. Kitab tentang salat safar
5. Kitab tentang salat jum’at
6. Kitab tentang salat id
7. Kitab tentang salat istisqa’
8. Kitab tentang salat atas janazah
9. Kitab tentang puasa
10. Kitab tentang i’tikaf
Sistematika penulisan kitab Shahih Muslim diakui oleh banyak
ulama sebagai sistematika yang lebih baik. Pertama, ia menyebut
menempatkan hadis-hadis yang semakna beserta sanadnya dalam satu
kelompok tertentu. Kedua, ia menghimpun sanad yang muttafaqun alaihi
(disepakati oleh ulama) dan yang tidak dengan metode tahwil
(berpindahnya jalur rawi) dengan menggunakan lambang huruf ha( ‫) ح‬.
Ketiga, ia lebih banyak mengutip hadis-hadis riwayat bi al-lafzhi. Ini
merupakan satu kelebihan di banding hadis-hadis riwayat Imam al-
Bukhari. Keempat, ia sangat memperhatikan matan hadis. Jika ada dua
rawi yang menyampaikan hadis, maka ia menyebutkan lafaz dari perawi
tertentu. Atau juga bila ada ziyadah (tambahan lafaz), maka ia juga
menyebutkannya.23
22
Neko Nyaa, Kutub Al-Tis’ah DOXC, PDF, TXT atau baca online dari Scribd. Diunggah pada Dec
17, 2018.

23
Neko Nyaa, Kutub Al-Tis’ah. DOXC, PDF, TXT atau baca online dari Scribd. Diunggah pada Dec
17, 2018.
3. Sunan At-Tirmidzi
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang salat jum’at
4. Kitab tentang zakat
5. Kitab tentang puasa
6. Kitab tentang haji
7. Kitab tentang janazah
8. Kitab tentang nikah
9. Kitab tentang menyusui
10. Kitab tentang talaq dan sumpah
Sistematika penulisannya dipandang cukup baik. Pertama, ia
merangkum hadis-hadis menyangkut berbagai bidang keagamaan.
Kedua, Membuat judul bab dan meletakan satu, dua atau tiga hadis.
Ketiga, menunjukan adanya hadis yang diriwayatkan oleh sahabat
lain. Keempat, menunjukan kualitas hadis, dan terdakang menjelaskan
kualitas rawinya dengan istilah-istilah baru, seperti: shahih, hasan,
hasan shahih, shahih gharib, hasan ligharih dan hasan lidzatih.
Kelima, menerangkan makna hadis dan pendapat-pendapat hukum
ulama.24
4. Sunan Abi Daud
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang zakat
4. Kitab tentang harta temuan
5. Kitab tentang manasik
6. Kitab tentang nikah
7. Kitab tentang talaq
8. Kitab tentang puasa

24
Neko Nyaa, Kutub Al-Tis’ah DOXC, PDF, TXT atau baca online dari Scribd. Diunggah pada Dec
17, 2018.
9. Kitab tentang jihad
10. Kitab tentang sembelihan
Sistematika penulisan sunan abi daud: disusun berdasarkan bab,
Sistematika penulisan Kitab Sunan Abu Daud sangat baik. Pertama, ia
memberi komentar terhadap kualitas sebagian hadis. Kedua, sangat
memperhatikan matan hadis sehingga ia menyebutkan lafaz hadis ini
dari si fulan. Demikian pula bila ada tambahan ia pun menyebutkan
bahwa pada matan hadis ini ada ziyadah. Ketiga, ia juga menghimpun
beberapa jalur sanad yang lain bahkan terkadang sampai tiga jalur
sanad untuk satu hadis.
5. Sunan Ibnu Majah
1. Kitab tentang bersisuci dan sunah-sunahnya
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang adzan dan sunahnya
4. Kitab tentang masjid dan jamaah
5. Kitab tentang menegakkan salat dan sunahnya
6. Kitab tentang janazah
7. Kitab tentang puasa
8. Kitab tentang zakat
9. Kitab tentang nikah
10. Kitab tentang talaq
6. Sunan An-Nasa’i
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang air
3. Kitab tentang kiblat
4. Kitab tentang haid dan istihadah
5. Kitab tentang mandi dan tayamum
6. Kitab tentang salat
7. Kitab tentang waktu salat
8. Kitab tentang adzan
9. Kitab tentang masjid
10. Kitab tentang kiblat
7. Sunan Ad-Darimi
1. Kitab tentang bersisuci
2. Kitab tentang salat
3. Kitab tentang zakat
4. Kitab tentang puasa
5. Kitab tentang manasik
6. Kitab tentang berqurban
7. Kitab tentang berburu
8. Kitab tentang makanan
9. Kitab tentang minuman
10. Kitab tentang mimpi
8. Al-Muwatta’ Imam Malik
1. Kitab tentang waktu salat
2. Kitab tentang bersisuci
3. Kitab tentang lupa
4. Kitab tentang salat jumat
5. Kitab tentang salat dalam bulan ramadhan
6. Kitab tentang salat malam
7. Kitab tentang salat jamaah
8. Kitab tentang qasar salat dalam perjalanan
9. Kitab tentang salat id
10. Kitab tentang salat khouf
Dari 5 kitab hadis (suna abu daud, sunan nasa’I, ad-darimi, ibnu
majah, muwatta’) diatas, sisematika penulisan hadisnya menggunakan
sistematika fiqh, karena penulisan kitab hadis tersebut terjadi pada pasca
imam mazhab al-arbaah.
B. Isi dan Sistematika Musnad Asy Syafi’i
Kitab Musnad adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-
nama sahabat yang meriwayatkan hadis. Biasanya dimulai dengan nama
sahabat yang pertama kali masuk Islam atau disesuaikan dengan urutan
‫‪abjad. Namun demikian, definisi istilah tersebut tidak berlaku terhadap‬‬
‫‪karya imam Syafii ini. Karya tersebut lebih kepada corak kitab fiqh‬‬
‫‪sehingga penyusunannya berdasarkan bab-bab fiqh, tidak berdasarkan‬‬
‫‪abjad sahabat-sahabat Nabi.‬‬
‫‪Untuk memudahkan pemahaman tersebut, berikut ini daftar isi kitab‬‬
‫‪Musnad al-Syafi’i :‬‬
‫‪No‬‬ ‫‪Kitab/Bab‬‬ ‫‪No‬‬ ‫‪Kitab/Bab‬‬
‫‪1‬‬ ‫ما خرج من كتاب الوضوء‬ ‫‪36‬‬ ‫العدد إال ما كان منه معادا‬
‫‪2‬‬ ‫ستقبال القبلة في الصالة‬ ‫‪37‬‬ ‫القرعة والنفقة على األقارب‬
‫‪3‬‬ ‫اإلمامة‬ ‫‪38‬‬ ‫الرضاع‬
‫‪4‬‬ ‫إیجاب الجمعة‬ ‫‪39‬‬ ‫ذكر اهللا تعالى على غیر وضوء‬
‫والحیض‬
‫‪5‬‬ ‫العیدین‬ ‫‪40‬‬ ‫قتال أهل البغي‬
‫‪6‬‬ ‫الصوم والصالة والعیدین‪ Q‬واالستسقاء‬ ‫‪41‬‬ ‫قتال المشركین‬
‫وغیرها‬
‫‪7‬‬ ‫الزكاة من أوله إال ما كان معادا‬ ‫‪42‬‬ ‫األسارى والغلول وغیره‬
‫‪8‬‬ ‫باحة الطالق‬ ‫‪43‬‬ ‫قسم الفيء‬
‫‪9‬‬ ‫الصیام الكبیر‬ ‫‪44‬‬ ‫صفة نهى النبي صلى اهللا علیه و سلم‬
‫وكتاب المدبر‬
‫‪10‬‬ ‫المناسك‬ ‫‪45‬‬ ‫التفلیس‬
‫‪11‬‬ ‫البیوع‬ ‫‪46‬‬ ‫الدعوى والبینات ‪1‬‬
‫‪12‬‬ ‫الرهن‬ ‫‪47‬‬ ‫صفة أمر النبي صلى اهللا علیه و سلم‬
‫والوالء الصغیر وخطأ الطبیب وغیره‬
‫‪13‬‬ ‫الیمین مع الشاهد الواحد‬ ‫‪48‬‬ ‫المزارعة وكراء األرضي‬
‫‪14‬‬ ‫اختالف الحدیث وترك المعاد منها‬ ‫‪49‬‬ ‫القطع في السرقة وأبواب كثیرة‬
‫‪15‬‬ ‫الجزء الثاني من اختالف الحدیث من‬ ‫‪50‬‬ ‫البحیرة والسائبة‬
‫األصل العتیق‬
‫‪16‬‬ ‫الطالق‬ ‫‪51‬‬ ‫الصید والذبائح‬
‫‪17‬‬ ‫العتق‬ ‫‪52‬‬ ‫الدیات والقصاص‬
‫‪18‬‬ ‫جراح العمد‬ ‫‪53‬‬ ‫جراح الخطأ‬
‫‪19‬‬ ‫المكاتب‬ ‫‪54‬‬ ‫السبق والقسامة والرمي والكسوف‬
‫‪20‬‬ ‫المكاتب‬ ‫‪55‬‬ ‫الكسوف‬
21 ‫اختالف مالك والشافعي رضي اهللا‬ 56 ‫الكفارات والنذور واألیمان‬
‫عنهما‬
22 ‫الرسالة إال ما كان معادا‬ 57 ‫السیر على سیر الواقدي‬
23 ‫الصداق واإلیالء‬ 58 ‫السیر على سیر الواقدي‬
24 ‫الصرف‬ 59 ‫الجنائز والحدود‬
25 ‫الجنائز والحدود‬ 60 ‫الحج من األمال‬
26 ‫الشغار‬ 61 ‫مختصر الحج الكبیر‬
27 ‫الظهار واللعان‬ 62 ‫النكاح من اإلمالء‬
28 ‫الخلع والنشوز‬ 63 ‫الوصایا الذي لم یسمع منه‬
29 ‫إبطال االستحسان‬ 64 ‫أدب القاضي‬
30 ‫أحكام القرآن‬ 65 ‫الطعام والشراب وعمارة األرضین مما‬
‫لم یسمع الربیع من الشافعي‬
31 ‫األشربة وفضائل قریش وغیره‬ 66 ‫الوصایا الذي لم یسمع من الشافعي‬
‫رضي اهللا عنه‬
32 ‫األشربة‬ 67 ‫اختالف علي وعبد اهللا مما لم یسمع‬
‫الربیع من الشافعي‬
33 ‫عشرة النساء‬ 68
34 ‫التعریض بالخطبة‬ 69
35 ‫الطالق والرجعة‬ 70
Sistematika penulisan diatas,25 jika dibandingkan dengan kitab
musnad lainnya berbeda sama sekali, dalam artian bahwa kitab-kitab
lainnya disusun berdasarkan abjad sahabat, terutama sahabat nabi yang
pertama kali masuk Islam.

C. Isi dan Sistematika Mu’jam Ath Thabrany


Al-Mu’jam adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan musnad-
musnad sahabat, guru-gurunya, negara atau lainnya. Dan umumnya
susunan nama-nama sahabat itu berdasarkan urutan huruf hija'iyyah..

25
Sistematika tersebut berbeda dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Dzulmani dalam
karyanya. Dia mencantumkan bab atau kitab dalam Musnad al-Syafii hanya berjumlah 52 bab.
Selengkapnya lih. Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab…hlm. 155-157. Sedangkan penulis sendiri data
berdasarkan versi digital al-Maktabah al-Syamilah dan Versi cetak terbitan Kharamain.
Al-Mu' jam al-Saghir dan al-Mu’jam al-Ausat karya alTabarani
disusun berdasarkan urutan nama guru-gurunya, sedangkan al-Mu’jam al-
Kabir disusun berdasarkan urutan nama para sahabat menurut sistematika
huruf mu’jam.
Berikut ini contoh kitab al-Mu'jam al-Sagir Juz I : Bab al-Alif,
1. Rawi yang diawali dengan nama Ahmad, sebanyak l98
orang.
2. Rawi yang diawali dengan nama Ibrahim sebanyak 50
orang.
3. Rawi yang diawali dengan nama Isma’il sebanyak 12
orang.
4. Rawi yang diawali dengan nama Ishaq, sebanyak 16 orang.
5. Rawi yang diawali dengan nama Idris sebanyak 2 orang.
6. Rawi yang diawali dengan nama Ayub sebanyak 1 orang.
7. Rawi yang diawali dengan nama Usamah sebanyak 2
orang.
8. Rawi yang diawali dengan nama Anas sebanyak 1 orang.
9. Rawi yang diawali dengan nama Aban sebanyak 1 orang.
10. Rawi yang diawali dengan nama Aslam sebanyak 1 orang.
11. Rawi yang diawali dengan nama al-Ahwas sebanyak 1
orang.
12. Rawi yang diawali dengan nama al-Azhar sebanyak I
orang.
13. Rawi yang diawali dengan nama al-Aswad sebanyak 1
orang. dst
Meskipun kitab ini menggunakan sistematika berdasarkan
huruf hijaiyyah, namun hanya memperhatikan huruf pertama
saja, misalnya dari nama Isma'il kemudian Ishaq dan Idris.
Seharusnya jika disusun berdasarkan huruf hija'iyyah maka
urutannya adalah ldris, Ishaq baru Isma'il.
Di samping itu, salah satu karakteristik atau kelebihan dari
kitab al-Mu’jam al-Saghir adalah setiap sanad diberi komentar
tentang hubungan antara guru dengan muridnya atau antara rawi
yang satu dengan rawi berikutnya
D. Isi dan Sistematika Kitab Mustadrak Al Hakim
Kitab ini tersusun dalam 4 jilid besar yang bermuatan 8.690 hadis
dan mencakup 50 bahasan (kitab). Kitab karya al-Hakim ini termasuk
kategori kitab al-Jami', karena muatan hadisnya terdiri dari berbagai
dimensi, aqidah, shariah, akhlaq, tafsir dan sirah. Adapun rincian jumlah
hadis dikaitkan dengan temanya adalah: aqidah 251 hadis; ibadah 1277
hadis; hukum halal haram 2519 hadis; takwil mimpi 32 hadis; pengobatan
73 hadis; rasul-rasul 141 hadis; 1218 hadis tentang biografi sahabat; huru-
hara dan peperangan 347 hadis; kegoncangan hari kiamat 911 hadis;
peperangan Nabi dan al-fitan 733 hadis; tafsir 974 hadis dan fadail al-
Qur’an 70 hadis.
Adapun sistematika Kitabnya, mengikuti model yang dipakai oleh
al-Bukhari maupun Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan
membaginya dalam kitab-kitab atau tema tertentu dan sub-subnya. Adapun
salah satu contoh rinciannya adalah sebagai berikut :
Jilid Pertama
No Judul Kitab Jumlah Hadits
1 Kitab imam 278
2 Kitab ilmu 155
3 Kitab taharah 228
4 Kitab salat 352
5 Kitab al-jum’ah 82
6 Kitab salat ‘idain 29
7 Kitab salat witir 34
8 Kitab salat tatawwu’ 51
9 Kitab al sahwi 13
10 Kitab salat istisqo’ 13
11 Kitab salat kusuf 17
12 Kitab khauf 9
13 Kitab al-janaiz 162
14 Kitab zakat 105
15 Kitab siyam 77
16 Kitab manasik 192
17 Kitab do’a takbir dan tahlil 219
18 Kitab fadail al-qur’an 110
E. Isi Global Kitab Ushul Al Ghabah Bi Ma’rifati Shobahah
Kitab “ushul al-Ghabah bi ma’rifati ash-shahabah” karya seorang
Mousul yakni Ibnu Atsir, yang lengkapnya dengan nama I’zuddin Abu
Hasan A’li bin Abi al-Karom Muhammad bin Muhammad bin Abdil
Karim Assyabani adalah pengarang sebuah kitab yang amat terkenal
dikalangan para ulama dan umat islam, pada khususnya yang mana kitab
ini termasuk kedalam tiga kitab termashur dari puluhan kitab yang
membahas, didalamnya tentang para rijalul hadis dari kalangan sahabat,
tabii’n dan ulama-ulama yang sampai pada masanya baik laki-laki maupun
perempuan. Berikut adalah rincian dari kitab ushul al-ghabah bi ma’rifati
shohabah :
Jilid pertama yang didalamnya memuat pembahasan tentang
muqodimah an-Nasir, serta sekilas tentang biografi singkat Ibnu Atsir dan
khosoisu kitab ushul al-ghabah fi ma’rifati as-shahabah.
Selanjutnya pada jilid pertama ini juga memuat didalamnya prakata
ataupun muqodimah yang disampaikan oleh seorang mualif/pengarang
Ibnu Atsir, serta pembahasan singkat, sebagai keta’ziman ataupun
penghormatan beliau kepada para ulama sebelumya yang telah mengarang
beberapa kitab tafsir ataupun hadis yang mana diataranya: Tafsir al-Qur’an
al-Majid karya Ibnu Ishaq, al-Wasit fi tafsiri aidon lilwahidi, shahih
bukhori, shahih Muslim, al-Muwato li Imam Malik, Musnad Ahmad bin
Hamba, Musnad Abi Daud, al-Jami’ al-Kabir karya at-Turmudzi, Sunan
an-Nasa-i, Maghazi Ibnu Ishaq, Musnad Mu’af bin i’mroni dan seterusnya.

Kelebihan dan Kekurangan


 Mengurutkan nama para sahabat sesuai dengan huruf hijaiyah
agar dapat mempermudah menggunakannya, seperti halnya
kamus.
 Mempermudah para pengguna, ketika mencari para nama
sahabat yang memiliki nama yang mutasabihat (samar) ataupun
memiliki kesamaan dengan nama yang lainnya.
 Terdapat pembahasan kaliamat-kalimat yang gharib
(tersembunyi/samar).
 Telah membenarkan sebagian kesalahan-kesalahan yang
terdapat pada kitab para pendahulunya serta menambahkan
kekurangan yang terdapat didalamnya.
Adapun kekurangan yang terdapat dalam kitab ushul al-Ghabah fi
ma’rifati ash-shahabah, menurut penulis, meskipun dalam kitab
ushul al-Ghabah fi ma’rifati ash-shahabah ini secara khusus
membahas Sahabat Nabi tetapi pembahasannya secara mu’jam,
yaitu diurutkan berdasarkan huruf hijaiyyah dari masing-masing
nama periwayat hadis ditingkat Sahabat Nabi. Memang dengan
sistem ini memudahkan dalam merujuk nama Sahabat Nabi yang
akan dicari, tetapi klasifikasi atas Sahabat Nabi bisa dikatakan
tidak ada.

F. Isi Global Kitab Tahdzib Al Kamal


1. Biografi Al Mizzi
Nama lengkapnya adalah Al-Hafiz Jamaluddin Abu al-Hajjaj
Yusuf bin Al-Zaky ‘abdul Rahman bin Yusuf bin ‘Ali bin Abdul
Malik bin Ali bin Abi Al-Zahr al-Kulaby al-Qadha’i Al-Mizzi.
Lahir pada 10 Rabiul Akhir 654 H di Halb (salah satu daerah di
Syam) dari keturunan Arab asli lebih tepatnya kabilah Kalb al-
Qudha’i. Beliau pindah ke Damaskus dan menetap di salah satu
desa yang bernama Mizzah dan nama inilah yang menjadi nisbah
diakhir namanya.
Di daerah Mizzi ini kabilah Kalb merupakan kabilah terbesar.
Al-Mizzi membaca Alquran dan fiqih sedikit demi sedikit.
Keluarga Al-Mizzi tidak memberikan dorongan untuk
mempelajari hadis, mereka tidak masyhur dalam keilmuan dan
orang tuanya pun bukan ulama yang masyhur.
Al-Mizzi mulai mempelajari hadis ketika berusia 21 tahun
yaitu pada tahun 675 H. Ia pertama kali mendengar hadis dari
gurunya Syeikh Al-Musnid Al-Mu’ammar Zainuddin Abi
Al-‘Abbas Ahmad bin Abi Al-Khair Salamah bin Ibrahim Al-
Dimasyqi Al-Haddad Al-Hanbali mengkaji kitab Al-Hilyah karya
Abi Nu’aim. Dari syeikh Ahmad bin Abi al-Khair, al-Mizzi
mendapatkan kedudukan ilmu yang tinggi sehingga ada riwayat
sejumlah ulama yang tsiqah darinya, antara lain: Saraf al-Din al-
Dimyathi, Ibn al-Hulwaniyah, Ibn al-Khabbaz, Ibn al-‘Aththar,
Ibn Taymiyah, al-Birzaly dan banyak lagi selain dari mereka.
2. Latar Belakang Penulisan
Kitab Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ Ar-Rijal adalah kitab
yang menghimpun guru-guru ashaabi kutub al-sittah dan perawi-
perawi kutub al-sittah. Akan tetapi kitab ini bukanlah kitab yang
pertama. Sebelumnya, Ibnu Atsir telah menyusun sebuah kitab
yang beliau beri nama” al-Mu’jam al-Musytamil ‘ala Dzikri
Asma’ Syuyukh al-Aimmah al-Nabil”. Setelah itu al-Hafidz al-
Kabir Abu Muhammad Abdul Ghaniy Ibn Abd al-Wahid al-
Maqdisi al-Jamma’ili al-Hanbali (544-600 H) menyusun Kitab
al-Kamal Fi Asmaa’ ar-Rijal. Al-Hafidz Abd al-Ghoniy adalah
orang pertama yang menyusun kitab tentang para perawi yang
terdapat di dalam kutub al-sittah. Akan tetapi, kitab ini juga
membahas guru-guru mereka dan juga para perawi kutub al-
sittah dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in sampai guru-
guru penyusun kutub al-sittah.
Menurut Al-Mizzi setelah meneliti dan memahami kitab al-
Kamal Fii Asmaa’ Ar-Rijal kitab tersebut adalah kitab yang
sangat berharga, tetapi di dalamnya masih terdapat banyak
kekurangan. Banyak biografi para perawi kutub al-sittah yang
tidak dicantumkan di dalamnya sehingga jumlahnya tidak sesuai
dengan yang semestinya.
Oleh karena itu, al-Mizzi menyusun kitab yang
menyempurnakan kitab al-Kamal Fii Asmaa’Ar-Rijal dengan
menggunakan dasar-dasar yang terdapat dalam kitab tersebut.
Kitab baru ini dinamakan Tadzhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal.
Al-Mizzi memulai penulisan kitabnya pada tanggal 9 Muharram
705 H dan selesai pada hari id Adha 712 (selama tujuh tahun).
3. Sistematika dan Metodologi Penulisan
Kitab Tadzhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal merupakan
ringkasan dan penyempurnaan dari kitab al-Kamal. Kitab ini
memuat 8645 perawi disusun dalam 35 jilid.
Sistematika dan metode yang digunakan oleh al-Mizzi
dalam kitab ini, yaitu:
a. Memuat guru-guru ashaab kutub al-sittah, perawi-
perawi kutub al-sittah baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan tabi’it tabi’in.
b. Kisah Rasulullah saw. di awal pembahasan.
c. Disusun secara alfabetis/mu’jam.
d. Memberikan simbol-simbol berikut : ( ‫ )ع‬untuk
kutub al-Sittah, (٤) untuk sunan al-Arba’ah, ( ‫)خ‬
untuk kitab Shahih Bukhari, ( ‫ )م‬untuk kitab
Shahih Muslim, ( ‫ ) د‬untuk kitab Sunan Abi
Dawud, ( ‫ )ت‬untuk kitab Sunan al-Tirmidzi, ( ‫)س‬
untuk kitab Sunan al-Nasa’i, (‫) ق‬untuk kitab
Sunan Ibnu Majah, ( ‫ ) خت‬untuk kitab Ta’liqat
karya al-Bukhari, ( ‫ ) بخ‬untuk kitab al-Adab al-
Mufrad karya al-Bukhari ,( ‫ )ى‬untuk kitab Raf’u
al-Yadain karya al Bukhari, (‫) عخ‬untuk kitab Kalq
af’al al-’Ibad karya al-Bukhari,( ‫ )ز‬untuk kitab al-
Qira’ah Khalfa al-Imam karya al-Bukhari, ( ‫) مق‬
untuk Muqaddimah kitab Shahih Muslim, ( ‫) مد‬
untuk kitab al-Marasil karya Abu Daud, ( ‫ ) قد‬untuk
kitab al-Qadar karya Abu Daud, ( ‫ ) خد‬untuk Kitab
al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu Daud,( ‫)ف‬
untuk kitab al-Tafarrud karya Abu Daud, ( ‫) صد‬
untuk kitab Fadhail al-Anshar karya Abu Daud, (
‫ )ل‬untuk kitab al-Masa’il karya Abu Daud, ( ‫) كد‬
untuk kitab Musnad Malik karya Abu Daud, ( ‫) ثم‬
untuk kitab al-Syama’il karya al-Turmudzi, ( (‫) سى‬
untuk kitab al-Yaum wa al-Lailah karya al-Nasa’i,
( ‫ ) كن‬untuk kitab Musnad Malik karya al-Nasa’i, (
‫ )ص‬untuk kitab Khasa’is ’Ali karya al-Nasa’i, (
‫ ) عس‬untuk kitab Musnad ’Ali karya al-Nasa’i, ( ‫فق‬
) untuk kitab al-Tafsir karya Ibnu Majah.
e. Nama-nama perawi yang diawali dengan kata
ahmad lebih didahulukan.
f. Pada bab Miim , nama-nama para perawi yang
diawali dengan kata Muhammad lebih
didahulukan.
g. Menyendirikan para perawi yang terkenal dengan
kunyah (panggilan seperti: abu/ummu) dan
laqabnya (julukan/gelarnya).
h. Menyendirikan para perawi yang terkenal dengan
nama ayahnya, kakeknya, ibunya, pamannya atau
lainnya.
i. Menyendirikan para perawi yang terkenal dengan
nama kabilahnya, negerinya, pekerjaannya, atau
sejenisnya.
Untuk lebih jelasnya, isi kitab dapat dilihat dalam uraian berikut:
 Jilid pertama, tentang sejarah singkat Nabi
Muhammad S.A.W., nama-nama beliau, putra-putri
beliau, haji dan umrah Nabi, khadim Nabi
(pembantu nabi), budak-budak Nabi hewan
peliharaan dan kendaraan Nabi, sifat-sifat dan
akhlaq Nabi. Pada akhir jilid ini dimulai penulisan
nama-nama rijal al-hadits yang diurutkan
berdasarkan urutan mu’jam serta dimulai dengan
nama Ahmad.
 Jilid ke-dua dan ke-tiga, berisi nama-nama perawi
yang diawali dengan huruf alif seperti: Aban,
Asma’, Isma’il, Ayyub dan lain-lain.
 Jilid ke-empat, nama-nama yang dimulai dengan
huruf ba’, ta’, tsa’, jim seperti: Badzam, Bajalah,
Bujair, Tuba’i, Tilb, Talid, Tsabit, Jaban, Jabir dan
lain-lain.
 Jilid ke-lima, nama-nama yang dimulai dengan
huruf jim, dan ha’ seperti: Ja’far, Ju’ail, Habs,
Hatim, Hajib dan lain-lain.
 Jilid ke-enam dan ke-tujuh, nama-nama yang
dimulai dengan huruf ha’, dimulai dengan nama
Hussam, Hasan, Hafs, Hakam, Hammad dan lain-
lain.
 Jilid ke-delapan, nama-nama yang dimulai dengan
huruf kha’, dal, dzal, seperti Kharijah, Khalid,
Darim, Daud, Dzakwan, Dzuhail dan lain-lain.
 Jilid ke-sembilan, nama-nama yang dimulai dengan
huruf ra’, dan zai, seperti: Rasyid, Rafi’, Zubair,
Zuhairi, Zakariya dan lain-lain.
 Jilid ke-sepuluh, ke-sebelas dan ke-duabelas, nama-
nama yang dimulai dengan huruf zai, sin, syin
seperti: Zaid, Sahim, Sa’d, Sa’id, Sufyan, Sulaiman,
Syuja’, Syu’aib, Syihab dan lain-lain.
 Jilid ke-tiga belas, ke-empat belas, ke-lima belas,
ke-enam belas, ke-tujuh belas, ke-delapan belas, ke-
sembilan belas, ke-dua puluh, ke-dua puluh satu, ke-
dua puluh dua, ke-dua puluh tiga, nama-nama yang
dimulai dengan huruf shad, dladl, tha’, zha’, ‘in,
ghin, fa’, qaf, seperti: Shalih, Shafwan, al-Dlahhad,
Dlamran, Toriq, Talhah, ‘Asim, ‘Amir, ‘Ubbad,
‘Abbas, ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, ‘Abdul Aziz,
‘Ubaidillah, ‘Usman, ‘Atha’,‘Ali, ‘Umar, ‘Amr,
‘Imran, ‘Isa, Ghani, al-Fadl, Fudlail, al-Qasim,
Qatadah, dan lain-lain.
 Jilid ke-dua puluh empat, nama-nama yang dimulai
dengan huruf qaf, kaf, lam, seperti: Qa’is, Kasir,
Ka’b, Luqman, Laits, dan lain-lain.
 Jilid ke-dua puluh lima, ke-dua puluh enam, ke-dua
puluh tujuh, ke-dua puluh delapan, ke-dua puluh
sembilan, dan ke-tiga puluh, nama-nama yang
dimulai dengan huruf mim, dan nun seperti:
Muhammad, Mus’ab, Musa, Maisah, Maimun, Nafi,
Nashr, dannlain-lain.
 Jilid ke-tiga puluh satu dan ke-tiga puluh dua,
nama-nama yang di-mulai dengan huruf wawu, lam-
alif, dan ya’, seperti: Washil, Waki’, al-Wahid,
Wahb, Lahiq, Yasin, dan Yahya dan lain-lain.
 Jilid ke-tiga puluh tiga, kitab Kuna (nama-nama
yang dimulai dengan Abb, Umm dan sejenisnya).
 Jilid ke-tiga puluh empat, nama-nama yang terkenal
yang dinisbatkan pada nama qabilahnya.
 Jilid ketigapuluh lima, menjelaskan orang-orang
yang tekenal yang dinisbatkan kepada Suku, Negeri,
pekerjaan, dan gelar (laqab). Para perawi yang
masih samar, perawi dari kalangan wanita dan
kunyah perawi wanita.
4. Kelebihan Kitab Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ Ar-Rijal:
a. Memuat para perawi yang terdapat di kitab al-Kamal Fii
Asmaa’ Ar-Rijal dan menambah para perawi kutubus sittah
yang belum terdaftar di dalam kitab tersebut.
b. Disebutkan sejumlah biografi para perawi supaya dapat
dibedakan dari yang lain.
c. Memuat sejarah dari para guru ashaab kutubus sittah, rawi-
rawinya, jarh wa ta’dil, tahun lahirnya, tahun wafatnya, dan
lain-lain.
d. Al-Mizzi mengklasifikasikan para perawi sebagaimana yang
terdapat dalam empat fashal terakhir, yaitu: Fashal pertama,
para perawi yang terkenal dengan nama ayahnya, kakeknya
atau keluarganya yang lain. Fashal kedua, para perawi yang
terkenal dengan nama sukunya, negerinya, atau pekerjaannya.
Fashal ketiga, para perawi yang terkenal dengan laqabnya.
Fashal keempat, para perawi yang mubham (belum jelas).
e. Seluruh biografi disusun secara alfabetis
f. Terdapat simbol-simbol sebelum nama perawi yang
menunjukkan bahwa nama perawi itu terdapat dalam kitab
tertentu. Di antaranya adalah 6 tanda yang menunjukkan
bahwa rawi itu terdapat dalam kutubus sittah, 1 tanda bagi
perawi yang disepakati oleh ashaabus sittah, 1 tanda bagi
perawi yang disepakati oleh ashaabul arba’ah, dan 19 tanda
bagi pengarang ashaabus sittah lain.
5. Kekurangan Kitab Tahdzibul Kamal Fii Asmaa’ Ar-Rijal: Menurut
pemakalah kitab Tahdzibul Kamal adalah kitab yang sangat luas
cakupannya yang terdiri dari 35 jilid dan jumlah rawi yang
berbilang-bilang. Oleh karena itu, pemakalah tidak banyak
menemui kekurangan dari kitab ini. Begitu juga dari para ulama,
pemakalah tidak mendapati banyak dari mereka yang mengkritik
kitab ini. Kelemahanya menurut Ibn Hajar al-Asqalani, kitab ini
hanyalah sebuah kitab yang mencakup indentitas para perawi saja.
Adapun tentang penilaian kualitas rawi masih terdapat kekurangan.
G. Isi Global Kitab Tahdzib Al Tahdzib
a. Biografi Pengarang
Namanya adalah Syihab ad-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn ‘Ali ibn
Hajar al-’Asqalani [selanjutnya disebut Ibn Hajar], lahir di Mesir 12
Sya’ban 773 H dan wafat tahun 852 H. Sejak kecil Ibn Hajar telah
piatu dan diasuh oleh ayahnya yang juga merupakan ahli fiqih, bahasa
dan qira’ah. Selain itu Ibn Hajar juga telah mampu menghafal al-
Qur’an dengan sempurna sejak umur 9 tahun.
Ibn Hajar tergolong ulama yang cukup produktif menghasilkan
karya-karya dalam khazanah keislaman. Diantaranya adalah Fath al-
Bari sebuah karya yang mencoba memberikan syarh (penjelasan)
terhadap kitab kumpulan hadits karya Imam Bukhori. Selain itu Ibn
Hajar juga cukup concern (perhatian) dalam kajian Rijal al-Hadits.
Diantara kitab-kitabnya adalah al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah,
Tahdzib at-Tahdzib, Taqrib at-Tahdzib dan Lisan al-Mizan dll.
b. Tentang Kitab Tahdzib Al-Tahdzib
Tahdzib al-Tahdzib merupakan karya Ibn Hajar yang berupaya
meringkas dan menyempurnakan kitab Tahdzib al-Kamal karya al-
Mizzi yang oleh Ibn Hajar dianggap terlalu panjang. Kemudian Ibn
Hajar juga mengkritik kitab Tahdzib at-Tahdzib karya az-Dzahabi dan
juga Kitab al-Kasyif yang memberikan pembahasan yang cukup
panjang namun tidak memperhatikan ke-tsiqahan dan kritik jarh
didalamnya, padahal kedua hal tersebut paling tidak menjadi tolok
ukur utama. Selain itu juga terdapat beberapa nama yang keberadaan
gurunya tidak diketahui dan tidak ada penjelasan lebih lanjut.
c. Metode dan Sistematika
Al Hafidz Ibnu Hajar melakukan resume kitab “Tahdzib Al-
Kamal’ karangan Al-Mizzy dalam sebuah kitab yang berjudul “Tahdzib
At-Tahdzib’. Garis besar sistematika ringkasannya sebagai berikut:
a. Ia batasi menulis sesuatu yang berkaitan dengan al-jarh
wat-ta’dil.
b. Ia tidak tulis terlalu panjang hadis-hadis yang ditakhrij
oleh Al Dzahaby dari riwayat-riwayatnya yang tinggi.
c. Ia tidak masukkan guru-guru dan murid yang biografinya
di tulis yang sudah disederhanakan oleh al-Mizzy, dan Ia
batasi pada yang paling terkenal, paling kuat hafalan, dan
yang dikenal sebagian mereka jika rawi itu sering disebut.
d. Biasanya, ia tidak buang sedikitpun biografi yang singkat.
e. Guru dan murid rawi yang biografinya ditulis tidak
disusun dari segi usia, hafalan, isnad, kerabat dan lain
sebagainya.
f. Ia buang komentar terlalu banyak di sela sebagaian
biografi, karena hal itu membuktikan tidak tautsiq dan
tajrih.
g. Pada biografi itu ditambahkan pandapatnya pendapat para
tokoh yang menguatkan tajrih dan tautsiq dari luar kitab
itu.
h. Pada sebagian tempat didatangkannya sebagian perkataan
asal dengan arti tanpa merusak maksudnya. Terkadang
ditambahkannya sebagian lafadz yang mudah demi
kemaslahatan.
i. Ia tidak cantumkan banyak penyelisihan tentang wafatnya
tokoh-tokoh kecuali pada tempat yang mengandung
kemaslahatan tidak dibuang.
j. Tidak dibuangnya seorang pun biografi tokoh-tokoh hadis
yang terdapat “Tazhdzib al-Kamaal”.
k. Ia tambahkan sebagian biografi yang diberikannya
tambahan pada aslinya dengan jalan menulis nama rawi
itu, nama ayahnya dengan tulisan tinta berwarna merah.
l. Di sela sebagian biografi ia tambahkan perkataan yang
tidak ada pada aslinya tetapi dimunculkannya dengan
mengatakan ‫ قلت‬aku berkata : hendaknya pembaca sadar
bahwa seluruh kata setelah ‘Qultu’ merupakan tambahan
Ibnu Hajar hingga akhir biografi.
m. Ia konsisten pada rumus-rumus yang disebutkan oleh al-
Mizzy. Tetapi tiga hal dari rumus-rumus itu dibuangnya,
yaitu ( ‫ ص‬- ‫ي‬QQ‫ق – س‬QQ‫ ) م‬Ia juga konsisten menghadiri
biografi-biografi pada kitab itu berdasarkan urutan aslinya
seperti pada “Tahdzib’ al-Mizzy.
n. Ia tidak cantumkan tiga pasal yang disebut al-Mizzy pada
awal kitabnya. Hal itu yang berkaitan dengan syarat-syarat
para tokoh hadis yang enam, menganjurkan periwayatan
dari para rawi tsiqot dan biografi Nabi atau siroh Nabi.
Kitab tahdzib at-Tahdzib ini dimulai dengan abjad hamzah
dengan perawi bernama Ahmad dan dengan huruf mim yang namanya
Muhammad. Jika perawi memiliki nama kunyah atau nama aslinya telah
dikenal atau tidak diperdebatkan maka akan dicantumkan dalam
kelompok nama asli dan ditulis lagi dalam kelompok kunyah. Sedangkan
jika nama aslinya tidak diketahui atau masih diperdebatkan maka
dimasukkan dalam kelompok nama kunyah dan ditulis ulang dalam
kelompok nama asli.
Pada bagian muqaddimahnya dalam satu fasal Ibn Hajar
menambahkan beberapa tanda untuk memudahkan yaitu: ‫ ع‬untuk al-
Kutub al-Tis’ah, ٤ untuk al-Kutub al-Arba’ah, ‫ خ‬untuk Shahih Bukhari, ‫م‬
untuk Shahih Muslim, ‫ د‬untuk Sunan Abu Dawud, ‫ ت‬untuk Sunan al-
Turmudzi, ‫ س‬untuk Sunan al-Nasa’i, ‫ ق‬untuk Sunan Ibn Majah, ‫ خت‬untuk
Shahih Bukhari dalam beberapa ta’liq, ‫ ي‬untuk Shahih Bukhari hanya
pada al-Adab, ‫ عخ‬untuk Shahih Bukhari pada Khalq al-Ibad, ‫ ز‬untuk
Shahih Bukhari pada qira’ah khalf al-Imam, ‫ مق‬untuk Shahih Muslim
pada bagian muqaddimah, ‫ مد‬untuk Sunan Abu Dawud pada bagian
marasil, ‫ خد‬untuk Sunan Abu Dawud pada bagian qadar, ‫ ف‬untuk Sunan
Abu Dawud pada bagian kitab tafarrud, ‫ صد‬untuk Sunan Abu Dawud
pada bagian fadla’il al-Anshar, ‫ ل‬untuk Sunan Abu Dawud pada bagian
masa’il, ‫ كد‬untuk Sunan Abu Dawud pada bagian Musnad Malik, ‫ نم‬untuk
Sunan Turmudzi pada bagian Syama’il, ‫ سي‬untuk Sunan Nasa’i pada
bagian Musnad Malik, ‫ ص‬untuk Sunan Nasa’i pada bagian Khasha’ish
Ali, ‫ عس‬untuk Sunan Nasa’i pada bagian Musnad Ali, ‫ فق‬untuk Sunan
Ibn Majah pada bagian Tafsir.
d. Kelebihan dan Kekurangan
1. Kelebihan
a) Kitab disusun menggunakan urutan Abjad sehingga
memudahkan pencarian rawi
b) Ada bab yang khusus mengelompokkan rawi berdasarkan
kunyah-nya baik rawi laki-laki maupun perempuan.
c) Ada bagian atau bab yang secara khusus mengelompokkan
rawi wanita.
d) Jilid terakhir merupakan fihris yang memudahkan
pencarian.
2. Kekurangan
a) Banyak terjadi inkonsistensi kritik atau seleksi dalam
penulisan karena sebagaimana diakui, karya ini merupakan
ringkasan kitab sebelumnya sehingga data-data yang telah
ada sebelumnya masih menjadi rujukan utama, meskipun
juga tidak dinafikan adanya penambahan penilaian pada
beberapa rawi.
b) Sering menisbatkan kritikan langsung berdasarkan
penilaian ulama yang masa hidupnya jauh lebih lampau dari
Ibn Hajar tanpa menyebutkan persambungan rentetan
kritikus-kritikus sebelumnya. Bahkan terkadang tanpa
penjelasan alasan mengapa seorang rawi dinilai jarh.
c) Terkadang masih mencantumkan pembahasan yang
panjang lebar mengenai seorang rawi namun tidak ada data
yang jelas sebagaimana diharapkan dalam muqaddimah.
H. Isi Global Kitab Taqrib At Tahdzib
1. Biografi Penulis
Namanya adalah Syihab ad-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn
‘Ali ibn Hajar al-’Asqalani [selanjutnya disebut Ibn Hajar], lahir di
Mesir 12 Sya’ban 773 H dan wafat tahun 852 H. Sejak kecil Ibn
Hajar telah yatim dan diasuh oleh ayahnya yang juga merupakan
ahli fiqih, bahasa dan qira’ah. Selain itu Ibn Hajar juga telah
mampu menghafal al-Qur’an dengan sempurna sejak umur 9 tahun.
Ibn Hajar tergolong ulama yang cukup produktif
menghasilkan karya-karya dalam khzanah keislaman. Diantaranya
adalah Fath al-Bari sebuah karya yang mencoba memberikan syarh
terhadap kitab kumpulan hadits karya Imam Bukhori. Selain itu Ibn
Hajar juga cukup concern dalam kajian Rijal al-Hadits. Diantara
kitab-kitabnya adalah al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, Tahdzib
at-Tahdzib, Taqrib at-Tahdzib dan Lisan al-Mizan dll.
Kitab Taqrib At Tadzhib merupakan salah satu kitab
Biografi khusus tokoh-tokoh hadis kitab Sohih dan Sunah yang
empat. Pada kitab ini Ibnu Hajar Al Asqalany (w.852 H)
meresumekitabnya sendiri “Tahdzib at Tahdzib” menjadi
seperenamnya. Kitab Tahdzib at Tahdzib Ibnu hajar (w. 852 H)
disusun untuk meresume kitab Tahdzib Al kamal karangan Al
Mizzy ( w.742 H) dan Kitab Tahdzib Al kamal disusun untuk
meresume Kitab Al kamal fi Asma Ar Rijal karangan Al Hafidz
Abdul Ghony bin Abdul wahid Al maqdisy al jamma’ily al
Hambali (w.600 H).
2. Manhaj yang disusun pada Kitab Taqrib Al Tahdzib. Dalam
resume ini Ibnu Hajar melakukan langkah-langkah :
a. Menempatkan keterangan-keterangan shahih dalam
penyusunan kitab ini, dengan merujuk kepada sumber-
sumber lain dalam fan ilmu rijal ini yang disusun dan dicetak
memudahkan.
b. Disebutnya semua biograf yang terdapat pada Tahdzib At
Tahdzib tidak dibatasinya hanya pada biografi para rawi
kitab-kitab hadis yang enam seperti yang dilakukan oleh Adz
Dzahabi dalam “Al Kasyif” sebagaimana ia susun biografi itu
berdasar urutan yang dibuatnya sendiri pada “At Tahdzib”
c. Ditulisnya rumus-rumus yang pernah dicantumkan sendiri
pada “Tahdzib At Tahdzib”. Bedanya ia berbeda dengan
rumus Sunan yang empat jika rumus-rumus itu kebetulan
sama. Pada At Tahdzib diberinya rumus ( ‫ ) ع‬dan pada kitab
ini diberinya rumus (‫) عم‬Seperti ditambahkannya satu rumus
yang tdak terdapat pada “At Tahdzib” yaitu kata-kata ( ‫تمییز‬
) / Tamyiz. Kata-kata ini isyarat untuk orang yang tidak
mempunyai riwayat dalam kitab-kitab yang menadi pokok
bahasan kitab itu.
d. Dalam mukaddimah disebutkannya urutan para rawi.
Dibatasinya mereka menjadi dua belas tingkat. Disebutnya
lafadz-lafadz al Jarh wa at ta’dil yang masing-masing
mempunyai lawan kata. Bagi perujuk kitab ini hendaknya
memperhatikan tingkatan-tingkatan ini dan lafadz-lafadz
lawannya sehingga tidak keliru. Karena mungkin saja,
sebagian istilah digunakannya terminology khusus pada kitab
ini.
e. Dalam mukaddimah kitab itu disebutkan juga thobaqat para
rawi yang biografinya ditulis dibuat dua belas thobaqot juga.
Sebelum merujuk (menggunakan) kitab ini selayaknya
diketahui thobaqot-thobaqot tersebut hingga perujuk dapat
mengetahui terminologi khusus versi Ibnu Hajar dalam kitab
ini.
f. Pada resume ini, ditambahkannya satu pasal di akhir kitab
yang berhubungan dengan penjelasan kaum wanita
shohabiyah yang masih samar berdasarkan urutan orang yang
meriwayatkan dari mereka pria atau wanita.
3. Tingkatan Jarh dan Ta’dil dalam Taqrib Ibnu hajar menyusun
tingkatan jarh dan ta’dil ini menjadi 12 tingkatan:
1) Sababat.
2) Orang yang dikuatkan keterpujiannya, ini ditandai
dengan penetapan sifat seperti tsiqat, atau af’al al-
tafdil, seperti autsaaq al-Nas, atau penetapan ma’na
seperti tsiqat hafid.
3) Orang yang hanya mempunyai satu sifat, seperti
tsiqat, mutqin tsabat, atau ‘adl.
4) Orang yang derajatnya berkurang sedikit dari
derajat yang ketiga biasanya diberi isyarah dengan
shaduq sayyi`al-hifdz, shaduq yuhamm, lahu
auham, yukhthi`, atau taghayyara bi akhiratin.
5) Orang yang tidak punya banyak hadits, biasanya
diisyarahkan dengan maqbul.
6) Orang yang jumlah orang yang meriwayatkan
darinya lebih dari satu dan tidak kuat, biasanya
diisyarahi dengan mastur atau majhul hal.
7) Orang yang tidak ditemukan penguat untuk menjadi
mu’tabar baginya, dan ditemukan kelemahan orang
itu, biasanya diberi isyarah dengan dla’if.
8) Orang yang hanya diketahui oleh satu orang dan
tidak kuat, biasanya dinamakan majhul.
9) Orang yang tidak kuat, dlaif malahan ada yang
mencelanya, namanya matruk/matruk al-hadits.
10) Orang yang diduga berbohong.
11) Orang yang menyandang gelar al-kadzdzab.
Dalam Taqrib al-Tahdzib juga terdapat rumus-rumus yang menjadi kode
dari mukharrij hadits. Adapun kode-kode tersebut adalah sebagai berikut:
a. Shahih Bukhari ( (‫)خ‬
b. Mu’allaq dalam al-Bukhari ( (‫)خت‬
c. Adab al-Mufrad dalam al-Bukhari ( (‫)بخ‬
d. Bab Khalq Af’al al-‘Ibad dalam al-Bukhari ( (‫)عخ‬
e. ‫ جزء القراءة خلق االمام‬dalam al-Bukhari ( (‫)ز‬
f. ‫ رفع الیدین‬dalam al-Bukhari ( (‫)ي‬
g. Shahih Muslim ( (‫)م‬
h. Muqaddimah Muslim ( (‫)مق‬
i. Sunan Abu Dawud ( (‫)د‬
j. ‫ المراسیل‬dalam Abu Dawud ( (‫)مد‬
k. Fadlail al-Anshar dalam Abu Dawud ( (‫)صد‬
l. . ‫ الناسخ‬dalam Abu Dawud ( (‫)خد‬
m. ‫ القدر‬dalam Abu Dawud ( (‫)قد‬
n. Bab ‫ التفرد‬dalam Abu Dawud ( (‫)ف‬
o. ‫ المسائل‬dalam Abu Dawud ( (‫) ل‬
p. Abu Dawud bab Musnad Malik ( (‫)كد‬
q. Sunan Tirmidzi ( (‫)ت‬
r. ‫ الشمائل‬dalam al-Tirmidzi ( (‫)تم‬
s. Sunan al-Nasa`I ( (‫)س‬
t. Musnad ‘Ali dalam al-Nasa`i ( (‫)عس‬.
u. ‘Amal al-yaum wa al-lailah dalam al-Nasa`I ( (‫)سي‬.
v. Musnad Malik dalam al-Nasa`i ( (‫)كن‬.
w. Keistimewaan (khasa`ish) imam ‘Ali dalam al-Nasa`i ( (‫)ص‬.
x. Sunan Ibnu Majah ( (‫ )ق‬.
y. Bab al-Tafsir dalam Ibnu Majah (‫) فق‬.
z. Jika ada hadits seorang rijal yang hanya ada satu dalam satu kitab
hadits saja dari kutub al-sittah maka cukup dengan nomor hadits itu
sendiri walaupun hadits itu ditakhrij lagi bagi rijal itu di selain kutub
al-sittah.
aa. jika hadits tersebut ada di semua kitab hadits yang kita kenal dengan
kutub al-sittah maka kodenya adalah (‫)ع‬.
bb. jika hadits tersebut ada di setiap kutub al-Tis’ah selain Bukhari
Muslim maka kodenya adalah (4).
cc. Untuk orang yang menurut para ulama tidak ada riwayat untuknya
diberi tanda dengan ‫ تمیزز‬, dengan maksud memberitahukan bahwa
yang ini berbeda dari yang lainnya, orang-orang (rijal) yang tidak
ada tandanya diberi penjelasan sebelum atau sesudahnya.
Kitab Taqrib al-Tahdzib ini disusun secara alfabetis, yakni tersusun
dari hamzah sampai ya`.
Adapun setelah itu ada bab orang-orang yang dinisbatkan kepada
ayahnya, ibunya, kakeknya atau bahkan pamannya. Bab ini juga disusun
alfabetis. Bab orang-orang yang dinamakan berdasarkan qabilah-qabilah,
negara-negara atau tempat-tempat keramaian, seperti al-Anbariy yaitu
Muhammad bin Sulaiman.
Kemudian ada bab laqab-laqab dan sejenisnya, seperti al-Abrasy
adalah Muhammad bin Harb nama ini juga untuk Salamah bin al-Fadl.
Kemudian juga ada bab al-Nisa`. Tampaknya bab ini juga disusun secara
alfabetis. Akan tetapi, pembahas menemukan, sepanjang penelusuran yang
telah dilakukan, ada huruf yang terlewatkan seperti ta ( ‫ )ت‬yang langsung
meloncat ke jim ( ‫)ج‬. Pembahas tidak mengetahui apa yang menyebabkan
peloncatan ini. Apakah tidak ada perowi perempuan yang mempunyai
nama dengan di awali dengan huruf tsa` atau seperti apa. Dalam bab al-
Nisa` ini, seperti pada bab asama` al-rijal, juga menampilkan kunyah-
kunyah dari para perawi perempuan.
Ada beberapa pasal dalam asma al-Nisa` ini. Diantaranya ada pasal
tentang nama orang yang dikatakan “dia anak perempuan fulan (‫ابنة فالن في‬
‫)من قیل لها فصل‬, seperti “Ibnatu al-Harits bin ‘Amir….”.
Ada juga pasal laqab-laqab al-Juhdumah ( ‫) الجهدمة‬. Pembahas
kurang faham dengan apa yang dimaksud dengan pasal ini. Kemudian
pasal yang menjelaskan Nisa` yang mubham.

TIPOLOGI KITAB KITAB HADITS


.     Kitab al-jami’
Menurut istilah para ahli hadis, kitab al-jami’ adalah kitab hadis yang
yang memuat,seluruh bab-bab ilmu agama. Secara garis besar bab-bab nya
mencakup aqidah, ibadah muamalah, perjalanan hidup Nabi SAW, perbudakan,
fitnah, dan berita hari kiamat.
Diantara contoh kitab al-jami’ adalah al-jami’as sahih karya Imam
Bukhari, kitab al-jami’ al sahih karya Imam Muslim, kitab al-
jami’ karya Imam al-Tirmidzi yang popular dengan sebutan “Sunan al-Tirmidzi”
karena perhatian khususnya terhadap hadis-hadis hukum.26

B.     Kitab al-sunnan
Kitab sunan adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis hukum yang
marfu’ dan disusun berdasarkan bab-bab fikih pada umumnya. Yakni memuat bab
taharah (kesucian), shalat, zakat, puasa, dan haji. Bab mu’amalat mengandung jual
beli (buyu’), sewa menyewa (ijrah), gadai (rahn) dan lain-lain. Bab munakahat
dan faraid (pernikahan dan harta warisan), jinayat dan hudud (pidana dan
hukumnaya). Kitab jenis ini hanya memuat hadis-hadis tertentu bukan memuat
semua aspek ajaran islam. Kitab sunan yang mashur adalah Sunan Abi Dawud,
Sunan at Turmudzi, Sunan al-Nasa’I dan Snan Ibnu Majah 27
26
Al-Ghifri Musqit Jabar, Membahas Kitab Hadis, Kitab sahih al-Bukhari dan Sunan al-
Turmudzi, 1, (Agustus, 2017), 24

27
Zaknatiul, Tipologi Penyusunan Kitab Hadis.
C.    Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak merupakan kitab hadis yang memuat hadis-hadis yang
sesuai dengan syarat-syarat Mukhorij tertentu,tetapi Mukhorij tidak memuat isi
dari kitab Mustadrak di dalam kitabnya.  seperti karya Imam Al-Hakim Al-
Naisaputri (w 405 H), beliau menulis kitab al-mustadtak ‘ala al-shahihain, di
mana hadis-hadis yang tidak tercantum di dalam kitab shahih al-
Bukhari dan shahih muslim dicantumkan dalam kitabnya. Namun beliau
mengikuti kriteria-kriteria periwayatan hadis yang ditentukan oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim
Al mustadrak berjasa paling tidak dalm tiga hal, yaitu:
1. Menampilkan ragam hadist yang secara sengaja maupun tidak diabaikan oleh
para penulis kitab sebelumnya.
2. Menunjukan transmisi hadist tertentu yang secara subjectif dinilai sahih oleh
penulis mustadrak.
3. Menampakan adanya penuturan yang berbeda terhadap matan hadist tertentu.

D.    Kitab al-mutakhraj
Al-Mustakhraj merupakan kitab hadis yang memuat hadis-hadis yang
diambil dari kitab hadis lain,28 Manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan
penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, dengan
menggunakan sanad sendiri yang bukan sanad tersebut, maka metode ini
disebut mustakhraj. 
Sebagai contoh, kitab mustakhraj atas kitab shahih al-Bukhari, maka
penulisnya menyalin kembali Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih al-
Bukhari, kemudian mencantumkan sanad dari dia sendiri bukan sanad yang
terdapat dalam kitab shahih al-Bukhari.
            Ada lebih dari sepuluh buah kitab mustakhraj.
1. Al-mustakhraj ‘ala al-sahihain:

28
Al-Ghifri Musqit Jabar, Membahas Kitab Hadis, Kitab sahih al-Bukhari dan Sunan al-
Turmudzi, 1, (Agustus, 2017), 26.
a. Karya Abu Nu’aim al-Ishbahani (w 430 H )
b. Karya ibnu al-Akhram (w 344 H)
c. Karya Abu Bakr al-barqani (w 425)
2. Al-mustakhraj ‘ala al-jami’ lal-Bukhari:
a. karya Al-Isma’ili (w 371 H)
b. karya Al-Gatrifi ( w 377 H )
c. karya Ibnu Abi Dzuhl (w 378 H )
3. Al- mustakhraj ‘ala al-shahih limuslim
a. Karya Abu ‘Awanah al-asfarayaini (w 310 H)
b. Karya al-Hayiri ( w 311 H )
c. Karya Abu Hamid al-Harawi ( w 425 H )
d. Al- mustakhraj ‘ala Sunan Abi Dawud, karya Qosim Ibn Asbag.29
E.     Kitab al-masanid
Salah satu yang unik dalam penyusun hadits adalah di antara para ulama
hadits ada yang tidak menggunakan metode klasifikasi hadits, melainkan
berdasarkan nama para shahabat Nabi s.a.w yang meriwayatkan hadis itu. Metode
ini disebut musnad. Sehingga orang yang merujuk kepada kitab musnad dan ia
mau mencari hadits yang berkaitan dengan bab salat misalnya, ia tidak akan
mendapatkan hasil apa-apa. Sebab dalam kitab musnad tidak akan ditemukan bab
salat, bab zakat dan sebagainya, yang ada hanyalah bab tentang nama-nama
shahabat Nabi berikut hadits-hadits yang diriwayatkan mereka.
Jumlah kitab musnad ini banyak sekali, menurut suatu sumber lebih dari seratus
buah. Namun hanya beberapa kitab saja yang populer, misalnya:
1. Kitab al-musnad karya al-Humaidi (w 219 H),
2. Kitab al-musnad karya Abu Dawud al-Tayalisi (w 204 H),
3. Kitab al-musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal (w 241 H ),
4. Kitab al-musnad karya Abu ya’la al-Maushili (w 307 H).30

29
Zakinatul Izzah, Tipologi Penyusunan Kitab Hadis, (Online),
(https://tipologipenyusunankitabhadis.com/kitabhadis.html diakses tanggal 1 Desember 2018)

30
Zaknatiul, Tipologi Penyusunan Kitab Hadis.
F.     Kitab al-athraf
Al-Athraf adalah kumpulan hadits dari beberapa kitab induknya dengan
cara mencantumkan bagian atau potongan hadits yang diriwayatkan oleh setiap
sahabat. Penyusunan hanyalah menyebutkan beberapa kata atau pengertian yang
menurutnya dapat dipahami hadits yang dimaksud. Sedangkan sanad-sanadnya
terkadang ada yang menulisnya dengan lengkap dan ada yang menulisnya dengan
mencantumkan sebagiannya saja. Kitab athraf juga adalah kitab hadits yang hanya
menyebut sebagian dari matan-matan hadits tertentu kemudian menjelaskan
seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadits yang
dikutip matannya maupun dari kitab lainnya.
Model penulisan kitab hadits dalam bentuk Athraf yang paling popular
adalah:
1.      Tuhfa al-Asyraf bi Ma’rifah Al-Athraf karya al-Hafidz al-Imam Abi al-Hajjaj
Yusuf bin Abdurrahman al-Muzi (W 742 H). dalam kitab ini menghimpun Athraf
dari Kutub al-Sittah dan mulhaqnya yaitu:
a. Muqaddimah Shahih Muslim
b. Al-Marasil Li Abi Dawud al-Sajistani
c. Al-‘Ilal al-Shaghir Li al-Turmudzi
d. Al-Syamail li al-Turmudzi
e. ‘Amal al-Yaum Wa al-lailah Li an-Nasai
2.      Dzakhair al-Mawarits Fi al-Dilalah ‘Ala Mawadi’I al-Hadits karya Syaikh
Abdul al-‘Ani al-Nabilsy (W 114 H). dalam kitab ini menghimpun Athraf dari
Kutub al-Sittah dan al-Muwaththa (Malik).
Kegunaan kitab-kitab Athraf
a. Dapat menghimpun berbagai jalan hadist (sanad) dari kitab-kitab yang menjadi
literaturnya hingga dapat diketahui hukum setiap hadist. Penentuan hukum suatu
hadist biasanya bersifat nisbi artinya hanya berdasarkan apa yang di katakan
beberapa kitab-kitabnya.
b. Hadist-hadist yang dihimpunanya dapat di jajikan bahan studi komparatif sanad
antara yang satu dengan yang lain.
c. Sebagai tindak lanjut penyelamatan teks hadist, menelaah kembali teks-teks hadist
dalam kitab referensinya melalui kitab-kitab al-atharaf
d. Pengenalan terhadap para imam periwayat hadist dan tempat-tempat hadist dalam
kitab-kitab mereka.
Metode athraf ini sangat memudahkan mengetahui sanad-sanad hadits
karena terkmpul dalam satu tema dan juga memudahkan untuk mengetahui
mukharrij asal dan letak bab-bab pembahsannya.31

G.    Kitab al-ma’ajim
Kitab hadits yang disusun berdasarkan nama-nama para Shahabat, guru-
guru hadits, negeri-negeri atau yang lainnya. Dan lazimnya nama-nama itu di
susun berdasarkan huruf mu’jam (abjad).
Kitab-kitab hadits yang menggunakan metode mu’jam ini banyak sekali.
Diantaranya yang popular adalah karya Imam al-Tabrani (w 360 H), beliau
menulis tiga buah kitab mu’jam, yaitu:
1. al-Mu’jam al-Kabir
2. al-Mu’jam al-Ausat
3. al-Mu’jam al-Shaghir.32

H.    Kitab al-zawaid
Al-zawaid adalah Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis
hadits secara bersama-sama dalam kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya
ditulis oleh seorang penulis hadits saja, atau penggabungan bebrapa kitab tertentu
seperti musnad dan mu’jam ke bebrapa buku induk hadist.. Maka hadits-hadits
jenis kedua ini menjadi lahan penelitian para pakar hadits yang datang kemudian.

31
Mohammad Dainuri, Metodologi Penulisan Kitab Hadis, (Online), (https://Penulisan-kitab-
Hadis-Dainuri.html di akses tanggal 1 Desember 2018)

32
Zakinatul Izzah, Tipologi Penyusunan Kitab Hadis, (Online),
(https://tipologipenyusunankitabhadis.com/kitabhadis.html diakses tanggal 1 Desember 2018)
Hadits-hadits ini kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri.
Metode penulisan ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan. tambahan
bagi sebagian karya-karya hadits yang ditemukan pada karya-karya lain.
 Diantara karya-karya yang menggunakan model penulisan ini adalah
kitab misbah al-zujajah fi zawaid Ibn Majah karya al-Bushairi (w 840 H) yang
berisi hadis-hadis yang ditulis hanya oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab sunan-
nya dan hal itu tidak terdapat dalam lima Kitab Hadis yang lain (al-Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi, Abu Daud, dan al-Nasai).33

33
Zaknatiul, Tipologi Penyusunan Kitab Hadis

Anda mungkin juga menyukai