Syuhudi Ismail
Makalah:
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala karunia nikmatnya sehingga
penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul “Metodologi
Penelitian Hadis Nabi Karya Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail”. Disusun untuk memenuhi
salah satu tugas matakuliah Ilmu Asanid Hadis
Besar harapan penulis, makalah ini dapat menjadi inspirasi atau sarana yangd alat
membantu para pembaca dalam memahami langkah-langkah penelitian hadis. Demikian
yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dari
makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
a. Kesimpulan ..................................................................................... 33
b. Saran ................................................................................................ 33
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Alquran.
Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas,
perinci dan penafsir Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal
yang sangat penting. Untuk mengetahui otentik atau tidak nya sumber Hadis
tersebut maka kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad
dan matan. Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat
menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis.
Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar
perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan penelusuran Hadis
dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian
sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat
dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dilakukan oleh Muhadditsin
karena mungkin ia menyadari bahwa perawi Hadis adalah manusia sehingga
dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta kesalahan. Berdasarkan
hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana
melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita
memahami pengertian, tujuan dan manfaat penelitian sanad dan matan Hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan syudzudz dan Illat?
2. Bagaimana cara meneliti syuduzdz dan illat?
3. Apa yang dimaksud dengan matan hadis?
4. Bagaimana langkah-langkan dalam meneliti matan suatu hadis?
5. Bagaimana meneliti susunan lafal matan yang semakna
6. Bagaimana kandungan matan, menyimpulkan hasil peneletian?
1
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari syudzudz dan illat
2. Untuk mengetahui cara meneliti syudzuz dan illat
3. Untuk mengetahui pengertian matan
4. Untuk mengetahui langkah-langkah meneliti matan hadis
5. Untuk mengetahui meneliti susunan lafal matan yang semakna
6. Untuk mengetahui kandungan matan, menyimpulkan hasil peneletian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Illat
Ilal al-hadis merupakan bahasa Arab yang terdiri atas dua kosa kata, yaitu
„ilal dan al-hadis. ‘Ilal merupakan bentuk plural dari kata ‘illat. Secara
etimologi,„illat memiliki tiga makna dasar, yaitu takarrur atau takrir (berulang-
ulang),„aiq ya‘uq (pencegahan/penundaan), dan da‘f fi al-syai’ (kelemahan pada
sesuatu).
Al-Jurjani memaknai „illat dengan dua makna. Pertama; al-marad karena
dengan keberadaannya keadaan seseorang berubah dari kuat menjadi lemah.
Kedua; sesuatu yang menyebabkan keberadan suatu perkara dan ia di luar dari
perkara tersebut tetapi berpengaruh padanya.
Senada dengan al-Jurjani, al-Fayyumi mengartikan ‘illat dengan al-marad
al-syagil penyakit yang menggerogoti/aktif. Sementara Ibrahim Mustafa dkk,
mengartikan ‘illat dengan sesuatu yang menyibukkan dan hal-hal yang
menyakitkan.
Jadi ‘illat secara etimologi adalah ungkapan tentang makna yang
menempati/berdiam di suatu tempat hingga keadaan tempat tersebut berubah.
Dengan demikian, sesuatu yang merubah keadaan yang lain, baik dalam bentuk
hambatan atau pelemahan disebut ‘illat yang kemudian dikenal dengan istilah
sakit.
‘Illat menurut ulama ahli hadis didefinisikan dengan beragam definisi,
diantaranya definisi yang ditawarkan Mahmud al-Tahhan: Illat adalah sebab
tersembunyi lagi samar yang dapat memberi kecacatan terhadap kesahihan hadis.
Abu Syahbah memberikan definisi yang lebih lengkap dengan
mengatakan: ‘Illat adalah sebab-sebab yang samar/tersembunyi yang dapat
menyebabkan kecacatan sebuah hadis yang kelihatannya selamat dari berbagai
kekurangan.
3
4
1
Abdul Ghaffar, Skripsi “Telaah Kritis Atas ‘Illal Al-Hadis Dalam Kaidah Kesahihan Hadis (Sebuah
Rekontruksi Metodologis)”, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2015), 50
2
Ibid.,51
5
3
Ibid.,52
6
4
Ibid.,54
8
6. „Illat yang terjadi pada matan dan tidak terjadi pada sanad.
5
Ibid.,55
9
6
Ibid.,57
10
Ulama ahli kritik hadis mengakui bahwa penelitian ‟illat hadis itu
sulit dilakukan. Namun Ibnu al-Madini dan alKhatib al-Bagdadi memberi
petunjuk bahwa langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk meneliti ‟illat
hadis adalah:
B. Pengertian Syadz
“Syadz” berasal dari kata “al-syin” dan “al-dzal” menunjukkan atas “al-
infirad” dan “al-mufaraqah”. Syaza-al-syai-yasyuzu-syzan. Dan syuzazu al-nas :
yaitu orang-orang yang berada pada satu kaum tapi mereka bukan asli kaum itu
dan bukan juga kerabat mereka (tamu). Dalam kamus Lisan al-Arab berasal dari
kata : (al-syin, al-dzal, al-dzal) Syaza ‘anhu –yasyizu- dan yasyuzu-syuzan yaitu
infarada ‘an al-jumhr wa nadar (menyendari dari jumhur dan aneh) maka itu
dinamakan syazun. Secara istilah “syaz” menurut Imam Syaafi‟i berkata :
bukanlah syaz Hadis yang diriwayatkan oleh seorang siqqah sementara orang lain
tidak. Akan tetapi Hadis syaz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang siqqah
berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak.8
Menurut al-Khatib, Hadis syaz adalah Hadis yang diriwayatkan secara
maqbul (dapat diterima) tetapi bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.
Sementara menurut Abu Ya‟la al-Khalili (w. 446H) berpendapat, Hadis syaz
7
Mukhlis Mukhtar, “Penelitian Rijal Al-Hadis Sebagai Kegiatan Ijtihad”, Jurnal: Hukum Diktum, Vol. 9
No. 2 (Juli 2011), 191
8
Reza Pahlevi Dalimunthe, “Syaz Dan Permasalahannya”, Jurnal: Ilmu Hadis (Maret, 2017), Vol. 1 No. 2,
90
11
adalah Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatannya bersifat
siqqah maupun tidak siqqah. Menurut Aripudin Ahmad, pendapat al-Khalili
tersebut terlalu sederhana untuk menilai suatu Hadis yang mengandung syuzuz,
yakni Hadis yang hanya memiliki satu sanad saja dan tidak memiliki pendukung
baik berupa mutabi‟ maupun syahid.
Pendekatan Istilah syaz dipergunakan oleh ulama Hadis untuk status Hadis
seperti "" هذا حديث شاذ, sementara syudzuz dipergunakan untuk letak terjadinya
syaz. Tapi dalam kamus dikatakan perbedaan “syaz” dengan “syuzuz” adalah :
“syuzuz” adalah menyendiri dari jama‟ah atau bertentangan dengan mereka. Jadi
perbuatan menyendirinya adalah syuzuz. Seperti : “syaza ‘an al-jama’ah wa al-
kalam” berarti : “kharaja ‘an al-qaidah wa kholafa al-qiyas”.
“Syaz”: yang menyendiri (al-munfarid) atau yang keluar dari jamaah (al-
kharij min al-jama’ah), yang dimaksud adalah pelaku yang menyendiri.
“Syaz” bisa terjadi pada sanad dan matan. Untuk itu perlu dibahas pada
makalah ini permasalahan-permasalahan yang muncul pada kajian “syaz”.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam meneliti syaz baik pada
matan maupun sanad:
a) Membandingkan matan dengan matan syahidnya.
b) Menliti perawi-perawi pada sanad mutabi‟nya .
c) Penilaian Ulama (komentar perawiy).
Hukum Syadz yang boleh dan tidak boleh menurut Ibnu Sholah dalam
Muqoddimahnya, bahwa beliau membagi hukum Hadis dengan sanad tunggal dari
seorang siqqah (syaz) ke dalam 3 kategori:
9
Ibid.,94
10
Mutmainnah, “Metodologi Ulama Hadis Dalam Membentengi Hadis Dari Segi Matan”, Jurnal: at-
Thiqah, Vol. 1 No.1 (Oktober, 2018), 76
13
saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Kata naqd dalam bahasa
Arab modern berarti penelitian, Analisis, pengecekan dan pembedaan. Naqd
dengan arti pembedaan ini sejalan dengan judul karya imam Muslim Ibn
Hajaj (w. 261 h) yakni kitab al-Tamyiz yang membahas tentang kritik hadis.
Sedangkan penggunaan kata naqd dalam disiplin ilmu hadis menurut M.M.
al-Azami yang mengutip pendapat Ibnu Abi Hatim Al-Razi (w. 327 h.)
kritik hadis adalah upaya meyeleksi (membedakan) antara hadis yang shahih
dan dhaif serta menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan
atau cacat. Sebagian ulama menamakan istilah naqd dalam studi hadis
dengan sebutan al-jarh wa at-ta‘dil sehingga dikenalah cabang ilmu hadis, al-
jarh wa atta‘dil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan suatu hadis.
Melihat definisi tersebut maka kritik hadis bukan untuk menilai salah atau
benarnya sabda Nabi, akan tetapi menguji perangkat yang memuat informasi
dari dan tentang beliau, yang di dalamnya juga diuji kejujuran informatornya
dengan sistem tranmisi hadis.
Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari objek meteri pada kritik
hadis dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu;
a) kritik eksternal (al-naqd al-khariji) yang menganalisa secara
kritisproses tranmisi hadis (sanad),
b) kritik internal (al-naqd al-dahi) yang mengakaji secara kritis
lafal dan kandungan hadis (matn).
hadis (ma’an al-hadis). Lebih jauh lagi, pengujian terhadap teks dan
komposisi kandungannya disandarkan pada inteletualitas perawi dan bayang-
bayang bias sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi berfikir saat
11
mengamati dan mentransfer kesaksian itu kepada generasi setelahnya.
Pernyataan Ulama tentang Unsur-unsur Kesahihan Matan Hadis.
Unsur-unsur kesahihan matan hadis menurut ulama hadis dapat ditelusuri
melalui kriteria kesahihan yang diajukan oleh masing-masing ulama hadis.
Untuk keperluan tersebut berikut ini dikemukakan beberapa pendapat:
Menurut al-Syafi'i Ajjaj al-Khatib mengutip pendapat al-Syafi‟ dari
kitab al-Risalah, yang mengatakan bahwa kriteria periwayat:
11
Khabibi Muhammad Luthfi, “Kritik Matn Sebagaimana Metode Utama Dalam Penelitian Keshahihan
Hadis Nabi”, Jurnal: Islamic Review (Desember, 2013), Vol. II No. 3, 204
15
12
Mahsyar Idris, “Kaidah Keshahihan Matan Hadis (Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzuz”
(Sulsel Parepare: UMPAR Press, 2008), 183
16
13
Sofyan Madiu, Tesis “Metodologi Kritik Matan Hadis (Analisis Komparatif Pemikiran Salah al-Din al-
Adlabi dan Muhammad Syuhudi Ismail)”, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2013), 125
17
Oleh karena itulah penelitian terhadap susunan lafal matan hadis yang
semakna perlu dilakukan. Karena dalam matan hadis ada periwayatan hadis
secara makna (ar-riwayah bi al-ma„na). Menurut ulama hadis perbedaan lafal
yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih
maka hal itu tetap dapat ditoleransi.
Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat Nabi. Hadis
Nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak
berlangsung secara lisan. Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara
lafal (ar-riwayah bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadis
yang dalam bentuk sabda. Adapun hadis yang tidak dalam bentuk sabda, hanya
dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna ketika dinyatakan oleh sahabat,
rumusan kalimatnya berasal dari sahabat sendiri. Hadis yang dalam bentuk
sabdapun sangat sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafal, kecuali untuk sabda-
sabda tertentu.16 Kesulitan itu bukan hanya tidak mungkin seluruh sabda itu
14
Ibid.,129
15
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pemdekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h.15
16
Ibid.,77
20
dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan sahabat Nabi dalam
hafalan dan tingkat kecerdasan semua tidak sama.
Menurut M. Syuhudi Ismail bahwa sebab hadis Nabi dapat dihafal secara
harfiah dengan beberapa kondisi yaitu:
17
Abu Dawud, Sunan, Kitab as-Saum, Bab Ikhtiyar al-Fitri, No 2055; Ibn Majah, Sunan, Kitab as-Saum, Bab
Majaa Fi al-Iftar, No. 1654.
21
18
Syuhudi, Kaedah, h. 77- 79.
19
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hads :‘Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 129
143.
22
20
انًعًُ واحد و اأنهفاظ يختهفت,كُج اسًع انحديث يٍ عشسة
menambahkan kata-kata او قال كًاatau kata هرا َحى او, atau yang
semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang
bersangkutan
D. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (tadwin) periwayatan hadis harus secara lafal22
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan contoh hadis yang maknanya sama
tapi matannya berbeda dengan menggunakan metode at-takhrij al-hadis bi al-
maudu„. 75Untuk mempermudah dalam pencarian maka akan dipergunaka kitab
22
Abu ‘Amr ‘ Usman Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn Salah, ‘Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabh al- ‘ Ilmiyah,
1972), h. 190-192.
24
kamus hadis. Salah satu kamus hadis adalah انسُت كُىش يفتاح, atau bisa juga dengan
menggunakan kitab انُبىي انحديث نهفاظ َانًفهسس انًعجى,kedua kitab tersebut adalah
karya Orientalis Dr. A.J wensick (w. 1939 M). Tetapi telah diterjemahkan oleh
Muhammad Fu„ad „ Abdul Baqi (w. 1968 M), tidak hanya menerjemahkannya
tetapi sekaligus mengoreksi berbagai data yang salah23
Artinya: Semua amal itu dengan niat, dan sesungguhnya seseorang memperoleh
apa yang ia niatkan.
ٍ َو ِإََّ ًَا ِِل ْي ِس،إ ََِِّ ًَا األ َ ْع ًَا ُل ِبان ُِّيَّ ِت
ئ َيا َ ََىي
Artinya: Sesungguhnya semua amal itu dengan niat, dan sesungguhnya seseorang
memperoleh apa yang ia niatkan.
Artinya: Wahai manusia sesungguhnya semua amal itu dengan niat, dan
sesungguhnya seseorang memperoleh apa yang ia niatkan.
ٍ َوإََِّ ًَا ِن ُك ِّم ْاي ِس،ِِإََّ ًَا األ َ ْع ًَا ُل ِبان ُِّيَّاث
ئ َيا َ ََىي
23
M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 62-63.
25
periwayat yang berbeda generasi, dan tidak jarang juga berbeda latar
belakang dan kecerdasan. Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan
timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah,
sedang perbedaan kecerdasan dapat menyebabkan pemahaman terhadap matan
hadis yang diriwayatkan tidak sejalan.
Dengan adanya perbedaan lafal pada berbagai matan hadis yang semakna,
maka metode muqaranah menjadi sangat penting dilakukan. Metode muqaranah
tidak hanya ditujukan kepada matan hadis akan tetapi juga kepada masing-masing
sanadnya. Dengan menempuh metode muq±ranah, maka akan dapat diketahui
24
Syuhudi, Penelitian, h. 27.
26
apakah terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis masih dapat ditoleransi atau
tidak. Metode muqaranah dalam penelitian matan, begitu juga sanadnya, tidak
hanya dimaksudkan untuk upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada
saja, tetapi juga sebagai upaya lebih mencemati susunan matan hadis yang lebih
dapat dipertanggung jawabkan keorisinalannya berasal dari Rasulullah.
dalam matan hadis. Hal ini berguna untuk kepentingan upaya mencari
petunjuk tentang dapat atau tidak dapatnya tambahan itu dipertanggung jawabkan.
Dengan demikian metode muqaranah sangat penting dalam melakukan kegiatan
penelitian matan hadis.
اٌ زسىل ههالا صهً ههالا عهيه وسهى فسض شكاة انفطس يٍ زيضاٌ عهً كم حس
ٍاو عبد ذكس او اَثً يٍ انًسهًي
Kalimat “minal muslimin” dalam matan hadis itu oleh Ibn Shalah
dinyatakan sebagai ziyadah dengan beralasan pada pernyataan Imam at-Tirmizi
bahwa Malik saja yang mengemukakan tambahan kata-kata tersebut. Kata Ibn
Salah banyak ulama yang berpegang pada matan hadis tanpa ziyadah tersebut
seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.25
25
Syuhudi, Penelituan, h. 136
27
Penjelasan Ibn Shalah tersebit dikoreksi lagi oleh Imam al-Iraqi, menurut
hasil penelitian al-Iraqi yang mengemukakan tambahan kata-kata tersebit bukan
hanya Malik, tetapi juga oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, ad-Daruqutni,
alHakim dan Abu Ja‟far at-Tahawi. Al-Iraqi dalam kritik yang berisi koreksi itu
tidak memberi ketegasan bahwa kata-kata “ minal muslimin” bukanlaj ziyadah.
Kalau ziyadah mesti dikaitkan dengan periwayat yang hanya satu orang saja,
maka kata-kata itu tidak termasuk ziyadah, tetapi jika dikaitkan dengan banyak
periwayat maka menjadi sulit sekiranya kata-kata tambahan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai ziyadah.
26
Syuhudi, Penelitian, h. 36.
28
27
Q.S. an-Najm / 53. 3-4.
28
Jalal ad-Din ‘Abd ar-Rahman Ibn Abi Bakr as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh at-Taqrib anNawawi (Beirut:
Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979 M), h. 196.
30
diamalkan. Untuk itu Ibn Hazm (w. 456 H/1063 M) menekankan perlunya
penggunaan metode istisna‟ dalam penyelesaian itu.29
Cara yang ditempuh Ibn Hazm (w. 456 H/1063 M) berbeda dengan yang
telah ditempuh Imam as-Syafi„i ( w. 204 H). Dalam hal ini, Imam as-Syafi„i (w.
204 H) memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang satu
bersifat global (mujmal ) dan yang satu lagi bersifat terperinci (mufassar),
mungkin juga yang satu bersifat umum („am) dan yang satu lagi bersifat khusus
(khas), dan mungkin juga satu sebagai penghapus (an-nasikh) dan yang satu lagi
yang dihapus (al-mansukh) atau menunjukkan kedua-duanya kebolehan untuk
diamalkan. Dalam menyelesaikan matan-matan hadis yang tampak berlawanan,
Imam as-Syafi„i (w. 204 H) menempuh cara al-jam„u kemudian an-nasikh wa al-
mansukh.30
29
Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Kairo: al-Matba‘ah al-‘Asimah tt ), h. 151.
30
Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris as-Syafi‘i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 598.
31
As-Suyuti, Tadrib, Juz II, h. 198-202.
31
diunyatakan dan latar belakang hadis tersebut, maka mungkin hadis yang satu
bersifat universal dan yang satu lagi bersifat temporal, lokal dan mungkin juga
kedua-duanya bersifat temporal dan lokal.
Metode at-tarjih juga tidak dapat digunakan. Sebab, jika ternyata suatu
hadis yang tampak berlawanan diselesaikan dengan metode ini, memilih salah
satu di antaranya yang lebih kuat, maka itu berarti bahwa salah satu dari dua hadis
tersebut tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, yaitu mengandung syadz dan
„illah.
Penjelasan tentang kualitas yang berbeda antara sanad dan matan telah
dijelaskan para ulama, seperti Ibn Salah (w. 643 H/1245 M), Imam an-Nawawi
(w. 676 H/1277 M), dan juga Ibn Kasir (w. 774 H/1373 M). Pernyataan ini
32
Arifuddin , Paradigma, h. 184-185.
32
didasari pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ternyata ada sanad
yang sahih tetapi matannya mengandung syadz dan„illah.
Akan tetapi, jika penelitian itu dilakukan secara cermat dan menggunakan
pendekatan yang tepat, maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad yang sahih
pasti matannya sahih pula. Sebab adanya syadz dan „illah pada matan tidak
terlepas dari sanad itu juga. Hal ini terjadi karena sering kali para peneliti
mengambil metode kurang tepat, misalnya sikap yang longgar dalam menilai
rawi, tidak cermat dalam masalah lambang-lambang periwayatan. Sehingga
peneliti mengambil natijah hadis ini da‟if, padahal mungkin hadis yang
bersangkutan sifatnya universal, temporal dan lokal. Kesalahan ini terjadi karena
kekeliruan dalam menggunakan pendekatan. Jika terjadi perbedaan penilaian
terhadap hadis maka penelitian ulang harus dilakukan kembali.
Kesimpulan
Setelah melakukan studi analisa terhadap kaedah kesahihan matan hadis yang
ditawarkan M. Syuhudi Ismail dalam buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi
menghasilkan kesimpulan dan memberikan beberapa hal penting yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Saran
Penelitian terhadap kesahihan matan hadis yang terdapat dalam buku Metodologi
Penelitian Hadis Nabi ini, penulis menyarankan agar dilakukan kembali penelitian yang
lebih konprehensif lagi sehingga didapatkan hasil yang lebih baik.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
35
Mutmainnah. 2018. “Metodologi Ulama Hadis Dalam Membentengi Hadis Dari Segi
Matan”. Jurnal: at-Thiqah. Vol. 1 No.1