Anda di halaman 1dari 38

Metodologi Penelitian hadis nabi karya Prof. Dr. M.

Syuhudi Ismail

Makalah:

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Ilmu Asanid hadis

Dosen Pengampu:

Drs. H. Syaifullah, M.Ag

Disusun Oleh:

M. Amil Hikam Assaaf (E75219062)

Putri kurnia Febrianti ( E75219063)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala karunia nikmatnya sehingga
penulis dapat menyusun makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul “Metodologi
Penelitian Hadis Nabi Karya Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail”. Disusun untuk memenuhi
salah satu tugas matakuliah Ilmu Asanid Hadis

Dalam penyusunannya penulis melihatnya berbagai pihak, baik dalam maupun


luar kampus. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan
yang diberikan untuk menyelesaikan makalah ini. Meski telah disusun secara maksimal
oleh penulis, akan tetapi penulis sebagai manusia menyadari bahwa makalah ini apstit
terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Besar harapan penulis, makalah ini dapat menjadi inspirasi atau sarana yangd alat
membantu para pembaca dalam memahami langkah-langkah penelitian hadis. Demikian
yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dari
makalah ini.

Surabaya, 14 April 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

a. Latar Belakang ................................................................................... 1


b. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
c. Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

a. Pengertian „Illat .................................................................................. 3


b. Pengertian Syadz .............................................................................. 10
c. Langkah-Langkah Penelitian Matan ................................................ 12
d. Meneliti Susunan Matan yang Semakna .......................................... 19
e. Meneliti Kandungan Matan ............................................................. 28

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 33

a. Kesimpulan ..................................................................................... 33
b. Saran ................................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Alquran.
Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas,
perinci dan penafsir Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal
yang sangat penting. Untuk mengetahui otentik atau tidak nya sumber Hadis
tersebut maka kita harus mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad
dan matan. Kedua unsur tersebut mempunyai hubungan fungsional yang dapat
menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis.
Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar
perhatiannya untuk melakukan penelitian, penilaian dan penelusuran Hadis
dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian
sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat
dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dilakukan oleh Muhadditsin
karena mungkin ia menyadari bahwa perawi Hadis adalah manusia sehingga
dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta kesalahan. Berdasarkan
hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana
melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita
memahami pengertian, tujuan dan manfaat penelitian sanad dan matan Hadis.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan syudzudz dan Illat?
2. Bagaimana cara meneliti syuduzdz dan illat?
3. Apa yang dimaksud dengan matan hadis?
4. Bagaimana langkah-langkan dalam meneliti matan suatu hadis?
5. Bagaimana meneliti susunan lafal matan yang semakna
6. Bagaimana kandungan matan, menyimpulkan hasil peneletian?

1
2

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari syudzudz dan illat
2. Untuk mengetahui cara meneliti syudzuz dan illat
3. Untuk mengetahui pengertian matan
4. Untuk mengetahui langkah-langkah meneliti matan hadis
5. Untuk mengetahui meneliti susunan lafal matan yang semakna
6. Untuk mengetahui kandungan matan, menyimpulkan hasil peneletian
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Illat
Ilal al-hadis merupakan bahasa Arab yang terdiri atas dua kosa kata, yaitu
„ilal dan al-hadis. ‘Ilal merupakan bentuk plural dari kata ‘illat. Secara
etimologi,„illat memiliki tiga makna dasar, yaitu takarrur atau takrir (berulang-
ulang),„aiq ya‘uq (pencegahan/penundaan), dan da‘f fi al-syai’ (kelemahan pada
sesuatu).
Al-Jurjani memaknai „illat dengan dua makna. Pertama; al-marad karena
dengan keberadaannya keadaan seseorang berubah dari kuat menjadi lemah.
Kedua; sesuatu yang menyebabkan keberadan suatu perkara dan ia di luar dari
perkara tersebut tetapi berpengaruh padanya.
Senada dengan al-Jurjani, al-Fayyumi mengartikan ‘illat dengan al-marad
al-syagil penyakit yang menggerogoti/aktif. Sementara Ibrahim Mustafa dkk,
mengartikan ‘illat dengan sesuatu yang menyibukkan dan hal-hal yang
menyakitkan.
Jadi ‘illat secara etimologi adalah ungkapan tentang makna yang
menempati/berdiam di suatu tempat hingga keadaan tempat tersebut berubah.
Dengan demikian, sesuatu yang merubah keadaan yang lain, baik dalam bentuk
hambatan atau pelemahan disebut ‘illat yang kemudian dikenal dengan istilah
sakit.
‘Illat menurut ulama ahli hadis didefinisikan dengan beragam definisi,
diantaranya definisi yang ditawarkan Mahmud al-Tahhan: Illat adalah sebab
tersembunyi lagi samar yang dapat memberi kecacatan terhadap kesahihan hadis.
Abu Syahbah memberikan definisi yang lebih lengkap dengan
mengatakan: ‘Illat adalah sebab-sebab yang samar/tersembunyi yang dapat
menyebabkan kecacatan sebuah hadis yang kelihatannya selamat dari berbagai
kekurangan.

3
4

Berdasarkan pemaknaan di atas, maka „illat dibagi menjadi dua yaitu


‘illat yang jelas dan ‘illat yang samar.1

1. „Illat yang Samar


„Illat yang selama ini masyhur digunakan yaitu sebab yang
tersembunyi dan samar dan mencederai ke sahihan hadis meski
secara kasat mata terbebas darinya. Misalnya berbedanya
periwayatan seorang dengan sejumlah periwayatan seorang tsiqah
dengan sejumlah periwayat tsiqah lainnya, yang tidak dapat
diketahui kecuali telah dilakukan penelitian mendalam. „Illat jenis
ini jelas menjadi penyebab kedhaifan hadis.
2. „Illat yang Jelas
Termasuk dalam „illat yang jelas adalah beberapa hal yang
merusak hadis secara nyata, seperti: adanya ke dha„if an atau
keterputusan di sanad hadis; kekeliruan periwayat yang jelas;
kesendirian dalam periwayatan; di dalamnya.
Dari kedua pembagian ‘illat di atas, yaitu ‘illat yang jelas dan
„illat yang samar, mayoritas ulama sepertinya hanya mengakui
pembagian yang pertama, yaitu ‘illat yang samar. Dengan alasan
itulah mereka berusaha untuk mengeluarkan unsur-unsur yang tidak
sesuai dengan definisi „illat yang samar, dengan menambahkan
argumentasi bahwa definisi inilah yang telah disepakati oleh
mayoritas ulama. Hal ini diduga dilatar belakangi oleh Ibn Shalah
terhadap ‘illat, dan tidak memperhatikan betapa banyak contoh di
kalangan ulama lainnya pada konteks „illat yang jelas.2
Sejumlah bantahan telah dikemukakan oleh para ulama untuk
menolak masuknya ‘illat yang jelas ( „illat jaliyyah ) ke dalam
terminologi ‘illat . Al„Iraqi termasuk ulama yang menyayangkan

1
Abdul Ghaffar, Skripsi “Telaah Kritis Atas ‘Illal Al-Hadis Dalam Kaidah Kesahihan Hadis (Sebuah
Rekontruksi Metodologis)”, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2015), 50
2
Ibid.,51
5

bahwa adanya penggunaan sebagian ulama terhadap ‘illat dalam


konteks ‘illat yang samar dan sekaligus „illat yang jelas, telah menjadi
faktor masuknya hadis-hadis dha‘if ‘illat yang disebabkan oleh
kedustaan, kefasikan, dan kesalahan periwayat, terputusnya sanad,
i‟dal, dan irsal ke dalam hadis-hadis ma„lul. Sehingga penggunaan
‘illat, seperti yang dimaksudkan ulama tersebut harusnya
diposisikan secara proporsional, bahwa ‘illat yang dimaksud adalah
‘illat dalam konteks umum dan luas dan tidak termasuk dalam
konteks „illat seperti disepakati mayoritas ulama yang hanya
terbatas pada sebab-sebab yang samar ( ‘illat khafiyyah ). Karena
jika tidak demikian maka pondasi definisi ‘illat yang selama ini
telah dibahas dan dibangun dengan kecermatan yang mendalam
oleh sekian banyak ulama akan tergiring keluar dari posisinya yang
telah matang.
Pembagian „illat berdasarkan tempat terjadinya oleh Ibn Hajar,
yang terdiri dari 6 macam3:
1. Illat yang terjadi pada sanad, namun tidak berpengaruh pada
ke shahihan sanad dan matannya. Misalnya, hadis yang
diriwayatkan oleh seorang periwayat mudallis dengan
periwayatan mu‘an‘anah (menggunakan kata „an dalam
periwayatannya). Hadis seperti ini wajib ditangguhkan
status ke-maqbulannya; dan jika ditemukan riwayat yang
sama dari jalur lain dengan menggunakan model
periwayatan ‘illat sima‘an, maka semakin jelaslah bahwa
yang ada dalam hadis pertama bersifat tidak merusak
kualitasnya.
2. Illat yang terjadi pada sanad saja dan berpengar namun
tidak pada matannya. Misalnya hadis uh pada ke shahihan
sanadnya, yang diriwayatkan oleh Ya‟la bin „Ubaid dari al--
Tanafisi dari al-Shauri dari „Amru bin Dinar dari Ibn„Umar

3
Ibid.,52
6

dari Nabi saw. tentang “Penjual dan pembeli memiliki hak


khiyar ”. Dalam sanad ini, Ya„la keliru dalam menyebut
nama „Amru bin Dinar, padahal yang tepat adalah
„Abdullah bin Dinar. pembenaran ini berdasar pada
riwayat yang disinyalir oleh para imam yang merupakan
sahabat/murid al-Shauri seperti al Fadhl bin Dakin,
Muhammad bin Yusuf al-Faryani, dan lain-lain.
3. Illat yang terjadi pada sanad dan berpengaruh pada ke
shahihan sanad dan sekaligus pada matannya. Misalnya
yang terjadi pada seorang periwayat yaitu Abu Usamah
Hammad bin Usamah al-kufi. Abu Usamah adalah seorang
periwayat yang tsiqah yang meriwayatkan dari „Abd al-
Rahman bin Yazid bin Jabir yaitu salah seorang periwayat
tsiqah dari Syam. Konon „Abd al-Rahman bin Yazid bin
Jabir pernah datang ke Kufah dan menyampaikan hadis di
sana, namun Abu Usamah tidak mendengar dari „Abd al-
hadis tersebut langsung dari „Abd al- Rahman bin Yazid bin
Jabir. Selang beberapa waktu kemudian, datang „Abd
Rahman bin Yazid bin Tamim yang merupakan seorang
periwayat dha‟if dari Syam juga. Abu Usamah
mendengarkan hadist darinya, lalu ia bertanya tentang
namanya, dan dijawab: „Abd al-Rahman bin Yazid saja,
tanpa menyebutkan nama belakangnya lagi. Abu Usamah
lantas mengira bahwa ia adalah „Abd al-Rahman bin Yazid
bin Jabir, maka ia menyatakan diri mendapat hadis darinya
dan menisbatkannya apa yang disampaikan „Abd al-Rahman
bin Yazid bin Tamim pada „Abd al bin Yazid bin Jabir.
Hal ini menimbulkan banyak kemunculan munkar pada
riwayat Usamah dari „Abd al-Rahman bin Yazid bin Jabir,
padahal keduanya merupakan periwayat kalangan tsiqah. Hal
seperti ini hanya bisa diketahui oleh kalangan kritikus hadis
7

yang kemudian melakukan pemilahan dan menjelaskannya,


misalnya, al-Bukhari dan Ibn Abi Hatim.4
4. „Illat yang terjadi pada matan, namun tidak berpengaruh
pada ke-shahihan sanad ataupun matannya. Misalnya,
perbedaan redaksi hadis dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim . Jika semuanya dapat dimaknai pada satu makna
yang sama, maka unsur mencacatkan hadisnya menjadi
hilang. Contohnya, riwayat „Umar yang menceritakan bahwa
pada masa Jahiliyyah dulu ia pernah bernazar untuk
melakukan i‟tikaf selama sehari di Masjidil Haram,
sementara dalam satu hadis Nabi saw. bersabda: “ Pergi
dan i’tikaflah sehari ” Namun dalam hadis lain, Nabi saw.
bersabda, “ Pergi dan i’tikaflah semalam ” Perbedaan
redaksi matan “sehari” dan “semalam” menurut Imam al-
Nawawi tidak sampai mencacatkan matan maupun sanad,
karena mungkin saja „Umar bertanya pada Nabi saw.
tentang i’tikaf sehari sedangkan Nabi menjawabnya tentang
i’tikaf semalam.
5. Illat yang terjadi pada matan dan berpengaruh pada ke-
shahihan sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan bi
alma„na oleh seorang periwayat, namun ia keliru dalam
memahami maksud hadis, sebab yang dimaksud oleh lafal
hadis bukan seperti yang ia tulis. Hal tersebut tentu saja
berimplikasi pada kecacatan matan maupun sanad riwayat
tersebut. Contohnya, hadis dari Jarir bin Yazid dari Anas
bin Malik, dan Ibn Abi Laila dari „Abd al-Karim dari Anas
bin Malik bahwa Rasulullah saw. berwudhu dengan
menggunakan dua liter air. Riwayat ini merupakan riwayat bi
al-ma„na yang salah dan dha‟if sanadnya, sebab yang shahih
dari Anas adalah Rasulullah saw. berwudhu dengan satu mud.

4
Ibid.,54
8

6. „Illat yang terjadi pada matan dan tidak terjadi pada sanad.

Pembagian „illat selanjutnya adalah ditinjau dari bentuk dan jenisnya,


yang terbagi menjadi sepuluh jenis berdasarkan pembagian al-Hakim al-Naisaburi
dalam Ma„rifat „Ulum al-Hadis, yang dijelaskan lebih lanjut oleh al-Suyuthi dan
al-Bulqini serta beberapa ulama berikutnya. Adapun kategori hadis ber ‟illat yang
dimaksud al-Hakim adalah5:

a) Sanad hadis yang secara sepintas sahih, akan tetapi


terdapat periwayat yang sebenarnya ia tidak pernah
mendengar hadis tersebut dari periwayat sebelumnya.
b) Secara sepintas hadisnya sahih,akan tetapi setelah diteliti
hadis tersebut mursal.
c) Secara sepintas para periwayatnya tsiqah dan bersambung
sanadnya, tapi terdapat „illat dari seorang periwayat yang
berbeda negara dengan para periwayat lainnya, seperti
riwayat penduduk Madinah dari penduduk Kufah.
d) Secara sepintas hadis tersebut sahih, akan tetapi ternyata
ada wahm bahwa periwayatnya dari kalangan tabi‟in.
e) Secara sepintas hadis tersebut sahih, akan tetapi terdapat
periwayat yang dibuang dengan menyamarkan
keterputusan tersebut dengan menggunakan hadis
mu„an„an.
f) Terdapat periwayat yang terputus lebih dari satu atau
mu„dal.
g) Terdapat perbedaan periwayat tentang penamaan gurunya.

5
Ibid.,55
9

h) Terdapat periwayat yang mengaku mendengar sebuah


hadis dari seorang guru tapi ternyata dia belum pernah
mendengar hadis tersebut.
i) Terdapat hadis yang sudah masyhur jalur periwayatannya,
lantas datang seorang periwayat yang meriwayatkan
dengan jalur lain, namun jatuh kedalam keraguan karena
menyalahi jalur yang masyhur sehingga ia memutuskan
untuk mengubah jalur periwayatannya dengan
menggunakan jalur masyhur yang sudah ada.
j) Seorang periwayat meriwayatkan satu hadis yang sama
dengan dua bentuk, satu diriwayatkan mauquf dan yang
lainnya diriwayatkan marfu„ .

Berdasarkan definisi di atas, sesuatu yang menjadikan hadis cacat


dapat tergolong ‘illat jika memenuhi dua unsur, yaitu samar dan merusak
kesahihan hadis. Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi maka tidak
dapat dikatakan ‘illat dalam istilah muhaddisin.
Menurut kritikus hadis, „illat pada umumnya ditemukan bentuk sebagai
berikut:

a) Sanad yang tampak muttashil (bersambung) dan marfu’ (sandar


kepada Nabi), padahal kenyataannya mauquf.
b) Sanad yang tampak muttashil dan marfu', padahal kenyataannya
mursal al-tabi'in.
c) Terjadi kerancuan dalam sanad dan matan padahal kenyataannya
mursal dan matan karena bercampur dengan sanad dan matan
lain.
d) Terjadi kekeliruan dalam penyebutan nama periwayat yang
memiliki kemiripan atau kesamaan yang kualitasnya berbeda.6

6
Ibid.,57
10

Ulama ahli kritik hadis mengakui bahwa penelitian ‟illat hadis itu
sulit dilakukan. Namun Ibnu al-Madini dan alKhatib al-Bagdadi memberi
petunjuk bahwa langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk meneliti ‟illat
hadis adalah:

a) Seluruh sanad hadis untuk matn yang semakna dihimpun dan


diteliti, bila memiliki mutabi‟ ataupun syahid.
b) Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan
kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadis.

Kemudian Syuhudi Ismail menambahkan bahwa sesudah kedua


langkah itu ditempuh, maka sanad yang satu diperbandingkan dengan sanad
yang lain. Setelah langkah-langkah itu ditempuh dan didasari dengan
pengetahuan ilmu hadis yang dimiliki, maka akan dapat ditemukan, apakah
sanad hadis yang diteliti mengandung ’illat ataukah tidak.7

B. Pengertian Syadz
“Syadz” berasal dari kata “al-syin” dan “al-dzal” menunjukkan atas “al-
infirad” dan “al-mufaraqah”. Syaza-al-syai-yasyuzu-syzan. Dan syuzazu al-nas :
yaitu orang-orang yang berada pada satu kaum tapi mereka bukan asli kaum itu
dan bukan juga kerabat mereka (tamu). Dalam kamus Lisan al-Arab berasal dari
kata : (al-syin, al-dzal, al-dzal) Syaza ‘anhu –yasyizu- dan yasyuzu-syuzan yaitu
infarada ‘an al-jumhr wa nadar (menyendari dari jumhur dan aneh) maka itu
dinamakan syazun. Secara istilah “syaz” menurut Imam Syaafi‟i berkata :
bukanlah syaz Hadis yang diriwayatkan oleh seorang siqqah sementara orang lain
tidak. Akan tetapi Hadis syaz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang siqqah
berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak.8
Menurut al-Khatib, Hadis syaz adalah Hadis yang diriwayatkan secara
maqbul (dapat diterima) tetapi bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.
Sementara menurut Abu Ya‟la al-Khalili (w. 446H) berpendapat, Hadis syaz

7
Mukhlis Mukhtar, “Penelitian Rijal Al-Hadis Sebagai Kegiatan Ijtihad”, Jurnal: Hukum Diktum, Vol. 9
No. 2 (Juli 2011), 191
8
Reza Pahlevi Dalimunthe, “Syaz Dan Permasalahannya”, Jurnal: Ilmu Hadis (Maret, 2017), Vol. 1 No. 2,
90
11

adalah Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatannya bersifat
siqqah maupun tidak siqqah. Menurut Aripudin Ahmad, pendapat al-Khalili
tersebut terlalu sederhana untuk menilai suatu Hadis yang mengandung syuzuz,
yakni Hadis yang hanya memiliki satu sanad saja dan tidak memiliki pendukung
baik berupa mutabi‟ maupun syahid.
Pendekatan Istilah syaz dipergunakan oleh ulama Hadis untuk status Hadis
seperti "‫" هذا حديث شاذ‬, sementara syudzuz dipergunakan untuk letak terjadinya

syaz. Tapi dalam kamus dikatakan perbedaan “syaz” dengan “syuzuz” adalah :
“syuzuz” adalah menyendiri dari jama‟ah atau bertentangan dengan mereka. Jadi
perbuatan menyendirinya adalah syuzuz. Seperti : “syaza ‘an al-jama’ah wa al-
kalam” berarti : “kharaja ‘an al-qaidah wa kholafa al-qiyas”.
“Syaz”: yang menyendiri (al-munfarid) atau yang keluar dari jamaah (al-
kharij min al-jama’ah), yang dimaksud adalah pelaku yang menyendiri.
“Syaz” bisa terjadi pada sanad dan matan. Untuk itu perlu dibahas pada
makalah ini permasalahan-permasalahan yang muncul pada kajian “syaz”.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam meneliti syaz baik pada
matan maupun sanad:
a) Membandingkan matan dengan matan syahidnya.
b) Menliti perawi-perawi pada sanad mutabi‟nya .
c) Penilaian Ulama (komentar perawiy).

Hukum Syadz yang boleh dan tidak boleh menurut Ibnu Sholah dalam
Muqoddimahnya, bahwa beliau membagi hukum Hadis dengan sanad tunggal dari
seorang siqqah (syaz) ke dalam 3 kategori:

a) Jika bertentangan dengan riwayat semua tsiqat-tsiqqah lainnya


maka hukumnya ditolak (dho‟if).
b) Jika tidak bertentangan secara matan dengan riwayat orang lain,
namun sanadnya tunggal hanya dia sendiri maka hukumnya
“maqbul”. Ulama sepakat dalam hal ini.
c) Jika syaz-nya terjadi pada penambahan (atau pengurangan yang
tidak merubah substansi matan) lafazh “ziyadah al-lafzhi” pada
12

riayat seorang siqqah namun tambahan itu tidak didapati pada


riwayat jumhur siqqah lainnya, maka boleh berhujjah dengan
riwayat tersebut, diantara ulama yang membolehkan berhujjah
adalah Syafi‟i dan Ahmad.9

C. Langkah-Langkah Penelitian Matan Hadis


Pengertian Matan hadis, secara etimologi adalah punggung atau muka
jalan, tanah yang tinggi dan keras. Secara terminology matan (matnul hadis)
berarti materi berita berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi saw., terletak
setelah sanad yang terakhir. Secara umum, matan dapat diartikan selain
sesuatu pembicaraan yang berasal/ tentang Nabi saw., juga berasal/ tentang dari
sahabat atau tabi‟in.
Sedangkan secara terminologis, di kalangan muhaddihsîn matan
hadis diartikan dengan sesuatu yang menjadi tempat berakhirnya sanad,
atau lafaz-lafaz yang mengandung beberapa makna. Matan sebagaimana
diungkapkan oleh Mahmud at-Thahan adalah “suatu perkataan yang terletak
setelah posisi sanad”. Menurut „Ajjaj al-Khaţīb, matan adalah lafaz hadis
yang karenanya memiliki berbagai arti. Mengacu pada definisi matan yang
diberikan para ulama hadis, memberikan gambaran yang jelas bahwa matan
hadis adalah komposisi kata-kata yang membentuk kalimat untuk dapat
dipahami maknanya.10
Pengertian kritik (naqd) matan hadis. Kata “kritik” berasal dari bahasa
Yunani krites yang artinya “seorang hakim”, krinein berarti “menghakimi”,
kriterion berarti “dasar penghakiman”. Dalam wacana keindonesiaan kritik
dikonotasikan dengan pengertian tidak lekas percaya, tajam dalam
penganalisaan, ada uraian baik dan buruk dalam suatu karya.
Sedangkan dalam literatur Arab kata naqd dipakai untuk arti “kritik”,
atau “memisahkan yang baik dari yang buruk”. Kata naqd ini telah
digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya

9
Ibid.,94
10
Mutmainnah, “Metodologi Ulama Hadis Dalam Membentengi Hadis Dari Segi Matan”, Jurnal: at-
Thiqah, Vol. 1 No.1 (Oktober, 2018), 76
13

saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Kata naqd dalam bahasa
Arab modern berarti penelitian, Analisis, pengecekan dan pembedaan. Naqd
dengan arti pembedaan ini sejalan dengan judul karya imam Muslim Ibn
Hajaj (w. 261 h) yakni kitab al-Tamyiz yang membahas tentang kritik hadis.
Sedangkan penggunaan kata naqd dalam disiplin ilmu hadis menurut M.M.
al-Azami yang mengutip pendapat Ibnu Abi Hatim Al-Razi (w. 327 h.)
kritik hadis adalah upaya meyeleksi (membedakan) antara hadis yang shahih
dan dhaif serta menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan
atau cacat. Sebagian ulama menamakan istilah naqd dalam studi hadis
dengan sebutan al-jarh wa at-ta‘dil sehingga dikenalah cabang ilmu hadis, al-
jarh wa atta‘dil yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan suatu hadis.
Melihat definisi tersebut maka kritik hadis bukan untuk menilai salah atau
benarnya sabda Nabi, akan tetapi menguji perangkat yang memuat informasi
dari dan tentang beliau, yang di dalamnya juga diuji kejujuran informatornya
dengan sistem tranmisi hadis.
Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari objek meteri pada kritik
hadis dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu;
a) kritik eksternal (al-naqd al-khariji) yang menganalisa secara
kritisproses tranmisi hadis (sanad),
b) kritik internal (al-naqd al-dahi) yang mengakaji secara kritis
lafal dan kandungan hadis (matn).

Bercermin dari pembagian ini maka dapat disimpulkan bahwa kritik


(naqd) matn adalah kritik hadis yang bergerak pada wilayah menguji apakah
lafal dan kandungan hadis diterima (maqbul) sebagai sesuatu yang secara
histories benar. Pada level pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan
matn menurut eksistensinya, belum sampai pada pemaknaan matn hadis,
kendatipun unsur-unsur interpretasi matn boleh jadi ada terutama jika
menyeleksi matn dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matn hadis.
Bila terdapat matn-matn hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi
berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan” kepada studi
matn hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau pemaknaan matn
14

hadis (ma’an al-hadis). Lebih jauh lagi, pengujian terhadap teks dan
komposisi kandungannya disandarkan pada inteletualitas perawi dan bayang-
bayang bias sebagai implikasi daya berfantasi dan kreasi berfikir saat
11
mengamati dan mentransfer kesaksian itu kepada generasi setelahnya.
Pernyataan Ulama tentang Unsur-unsur Kesahihan Matan Hadis.
Unsur-unsur kesahihan matan hadis menurut ulama hadis dapat ditelusuri
melalui kriteria kesahihan yang diajukan oleh masing-masing ulama hadis.
Untuk keperluan tersebut berikut ini dikemukakan beberapa pendapat:
Menurut al-Syafi'i Ajjaj al-Khatib mengutip pendapat al-Syafi‟ dari
kitab al-Risalah, yang mengatakan bahwa kriteria periwayat:

(a) ia harus seorang yang dapat dipercaya dalam agama.


(b) dikenal sebagai orang yang jujur dalam meriwayatkan.
(c) mengerti serta memahami hadis yang diriwayatkan.
(d) mengetahui lafal yang dapat mengubah makna hadis
(e) ia adalah orang yang mampu meriwayatkan hadis sesuai dengan
hurufnya seperti yang ia dengar.
(f) tidak meriwayatkan secara makna. Sebab jika ia meriwayatkan
secara makna, sedangkan ia tidak mengetahui kemungkinan ia
mengubah sesuatu yang halal jadi haram. Sebaliknya jika ia
meriwayatkan hadis sesuai dengan huruf-hurufnya, maka
kemukinan terjadinya perubahan makna dapat dihindari.

Ahmad Muhammad Syakir sebagaimana dinyatakan Syuhudi Ismail,


menomentari pendapat al-Syafi‟i bahwa ulama yang mula-mula menerangkan
secara jelas kaidah kesahihan hadis adalah al-Syafi‟i. Pernyataan al-Syakir
menurut penilaian Syuhudi Ismail memberi petunjuk, bahwa kriteria yang
diajukan al-Syafi'i meliputi kriteri kesahihan sanad dan matan. Selanjutnya
Syuhudi Ismail menyatakan bahwa, untuk sanad hadis kriteria al-Syafi‟i pada
dasarnya telah secara tegas melingkupi seluruh aspek yang seharusnya

11
Khabibi Muhammad Luthfi, “Kritik Matn Sebagaimana Metode Utama Dalam Penelitian Keshahihan
Hadis Nabi”, Jurnal: Islamic Review (Desember, 2013), Vol. II No. 3, 204
15

mendapat perhatian khusus. Akan tetapi berkenaan dengan matan belum


meberikan perhatian khusus secara tegas. Namun Imam Syafi'i tidak
mengabaikan masalah matan. Terlepas dari penilaian ulama tentang apakah
Imam Syafi‟i telah merumuskan kaidah kesahihan yang meliputi sanad dan
matan, dapat pula dinyatakan bahwa kritik yang berkaitan dengan kesahihan
matan hadis menurut al-Syafi'i penekanannya pada dua unsur. Yaitu, unsur
kata (lafal) dan makna atau kandungan hadis.
Menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim. Menurut ulama hadis
Imam Bukhari dan Muslim, tidak membuat definisi hadis secara tegas.
Namun keduanya telah memberikan petunjuk tentang kriteria hadis sahih. Di
antara kritik yang diajukan terdapat perbedaan tetapi terdapat empat butir
yang disepakati yakni:

(a) Rangkaian sanad harus bersambung dari awal hinga akhir


sanad.
(b) Para periwayat dalam rangkaian sanad harus tsiqah (adil
dan dhabith).
(c) Hadis itu terhindar dari „illat (cacat) dan syudzuz
(keganjalan).
(d) Guru murid disyaratkan sezaman.

Imam al-Nawawi mengomentari persyaratan kesahihan hadis yang


diajukan Muslim, sebagai persyaratan yang meliputi sanad dan matan. Yang
berkait dengan matan adalah syudzuz dan „illat. Ibnu Hajar al-Asqalani
mengomentari kedaifan hadis yang berhubungan dengan matan yakni lafal
dan makna. Persoalan pokok terletak pada maknanya.12
Langkah-langkah penelitian pada matan hadis. Upaya Syuhudi Ismail
melakukan langkah-langkah kritik matan hadis tidak lepas dari
pemahamannya atas karya-karya kritikus hadis melalui studi kritis atas
kitab-kitab mereka, meski sebenarnya para kritikus tidak menuliskan

12
Mahsyar Idris, “Kaidah Keshahihan Matan Hadis (Telaah Kritis Terhadap Kaidah Ghairu Syudzuz”
(Sulsel Parepare: UMPAR Press, 2008), 183
16

langkah-langkah metodologis tersebut secara tersurat. Dalam kritik matan


hadis, Syuhudi membagi langkah-langkah metodologis itu ke dalam beberapa
pembahasan berikut:

(a) Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad


Kegiatan kritik hadis, eksistensi matan dan sanad merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Secara tata urutan, kritikus
hadis mendahulukan kritik sanad atas kritik matan. Akan tetapi,
itu tidak berarti bahwa sanad lebih penting daripada matan.
Hanya saja, kritik matan akan memiliki arti jika sanad yang
bersangkutan telah memnuhi syarat sahih. Tanpa sanad, sebuah
matan tidak dapat dinyatakan berasal dari Rasulullah saw. Maka,
hadis yang tidak memiliki sanad, dalam pandangan kritikus hadis
dinyatakan hadis palsu. Untuk itu, ulama baru menganggap kritik
matan menjadi panting setelah dilakukan kritik sanad. Dengan
kata lain, kualitas kesahihan sanad sudah diketahui melalui kritik
atas sanad bersangkutan.13
Jika sebuah sanad sudah sangat parah lemahnya, maka tidak
perlu adanya kritik matan, karena hasilnya tidak akan memberi
manfaat bagi kehujjahan hadis yang bersangkutan. Perlu diketahui
bahwa kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya.
Suatu hadis baru dinyatakan sahih apabila sanad dan matannya
sama-sama sahih. Jadi, hadis yang sanadnya sahih akan tetapi
matannya tidak atau sebaliknya matan sahih tapi sanadnya tidak,
belum dapat dikatakan sebagai hadis sahih.
Secara ideal, hadis yang sanadnya sahih matannya juga
demikian, sahih. Tapi, pada kenyataannya tidak begitu. Ada yang
sanadnya sahih, matannya lemah. Hal ini terjadi bukan karena

13
Sofyan Madiu, Tesis “Metodologi Kritik Matan Hadis (Analisis Komparatif Pemikiran Salah al-Din al-
Adlabi dan Muhammad Syuhudi Ismail)”, (Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2013), 125
17

kaidah kesahihan sanadnya yang kurang akurat, melainkan faktor-


faktor lain yang mempengaruhi, di antaranya; (1) adanya
kesalahan dalam melaksanakan kritik matan. Misalnya, kesalahan
dalam melakukan pendekatan terhadap matan yang bersangkutan;
(2) adanya kesalahan dalam menjalankan kritik sanad; (3) bisa
juga disebabkan oleh matan hadis yang bersangkutan telah
mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami
kesalahpahaman rawi. Oleh karena demikian, maka pengulangan
kritik atas sanad dan matan hadis menjadi sangat perlu dan penting,
tidak hanya bersifat konfirmatif semata.
(b) Meneliti susunan lafal matan yang semakna.
Adanya perbedaan lafal seperti yang telah dibahas terjadi
akibat periwayatan secara makna. Menurut para kritikus hadis,
perbedaan lafal yang tidak berimplikasi pada perbedaan makna,
selama sanadnya sama-sama sahih maka hal itu masih ditolerir.
Selain dikarenakan periwayatan secara makna, perbedaan lafal
mungkin juga disebabkan rawi hadis bersangkutan telah
mengalami kesalahan (lupa, salah paham atau tidak tahu kalau matan
hadis terkait berstatus mansukh).
(c) Meneliti kandungan matan
Langkah selanjutnya setelah meneliti susunan lafal adalah
meneliti kandungan matan. Dalam langkah ini, perlu
memperhatikan matan-matan dan dalildalil lain yang memiliki
kesamaan tema. Jika terdapat matan yang setema dan sanadnya
memenuhi syarat sahih, perlu dilakukan komparasi kandungan
matan-matan tersebut.
Dalam menyelesaikan matan-matan yang tampak bertentangan,
kritikus dituntut untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yang
tepat terhadap matan bersangkutan. Para kritikus hadis sepakat
bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan itu dapat
18

dikompromikan, namun dengan cara dan metode berbeda dalam


penyelesaian.
Kemudian, dalam sejumlah metode penyelesaian yang
cenderung ditempuh sejumlah kritikus hadis dengan melihat
kemungkinan masalah yang harus diselesaikan, pendapat ibn Hajar
al-„Asqalani tampak lebih akomodatif, karena keempat tahapan
yang ditawarkan dapat memberikan alternatif yang cukup hati-hati
dan relevan. Keempat tahapan yang dimaksud adalah tauqif,
nasikh wa almansukh, tarjih dan al-jam„u. Dengan menempuh cara
al-tauqif, setelah tidak dapat menyelesaikan dengan tiga cara
sebelumnya (nasikh wa al-mansukh, tarjih dan al-jam„u) pada
kegiatan kritik hadis tertentu, seorang kritikus akan dapat
terhindar dari pengambilan keputusan yang salah.
(d) Menyimpulkan hasil penelitian
Langkah akhir setelah melewati langkah-langkah yang
disebutkan di atas adalah mengemukakan konklusi atau hasil
penelitian matan. Tentunya, seperti halnya dalam kritik sanad,
disertai dengan argumen-argumen yang jelas. apabila matan dan
sanadnya sahih, maka disebutkan bahwa hadis tersebut sahih.
Apabila matan dan sanadnya lemah, maka disebutkan bahwa hadis
tersebut lemah. Apabila antara matan dan sanad berbeda
kualitasnya, maka perlu dijelaskan perbedaan tersebut. Dalam
sebuah kesimpulan yang sama Syuhudi menyebutkan,
sebagaimana penelitian sanad yang berdasarkan argumen, tentunya
penelitian matan juga dibangun atas argumen yang kuat, di
antaranya; apabila matan diteliti ternyata sahih dan sanadnya juga
sahih, maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti
berkualitas sahih. Apabila sanad dan matan berkualitas lemah
(Dha„if) maka dalam natijah kualitas hadis yang diteliti lemah.
19

Apabila sanad dan matan berbeda kualitasnya maka perbedaan


tersebut harus dijelaskan.14

D. Meneliti susunan matan yang semakna

Keadaaan matan hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis


ternyata bermacam-macam. Misalnya, ada sejumlah matan hadis yang lafalnya
berbeda-beda, namun maknanya sama, dan ada maknanya tampak saling
berlawanan. Keadaan matan yang bermacam-macam itu oleh ulama diberi nama
dengan istilah-istilah tertentu. Dengan demikian banyak istilah yang diciptakan
oleh ulama hadis, dengan tujuan untuk mempermudah dan memperjelas keadaan
suatu hadis, namun bisa menimbulkan kesulitan bagi mereka yang belum
memahami dengan baik istilahistilah tersebut15

Oleh karena itulah penelitian terhadap susunan lafal matan hadis yang
semakna perlu dilakukan. Karena dalam matan hadis ada periwayatan hadis
secara makna (ar-riwayah bi al-ma„na). Menurut ulama hadis perbedaan lafal
yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih
maka hal itu tetap dapat ditoleransi.

Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat Nabi. Hadis
Nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak
berlangsung secara lisan. Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara
lafal (ar-riwayah bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah hadis
yang dalam bentuk sabda. Adapun hadis yang tidak dalam bentuk sabda, hanya
dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna ketika dinyatakan oleh sahabat,
rumusan kalimatnya berasal dari sahabat sendiri. Hadis yang dalam bentuk
sabdapun sangat sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafal, kecuali untuk sabda-
sabda tertentu.16 Kesulitan itu bukan hanya tidak mungkin seluruh sabda itu

14
Ibid.,129
15
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pemdekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h.15
16
Ibid.,77
20

dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan sahabat Nabi dalam
hafalan dan tingkat kecerdasan semua tidak sama.

Menurut M. Syuhudi Ismail bahwa sebab hadis Nabi dapat dihafal secara
harfiah dengan beberapa kondisi yaitu:

a. Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot.


Nabi berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek),
kemampuan intelektual dan latar belakang budaya audiensnya.
1. Ketika Ka„ab Ibn „Asim al-As„ariy bertanya kepada Nabi tentang
hukum berpuasa bagi orang yang dalam perjalanan, Nabi
menjawab dengan dialek si penanya, yaitu dialek suku al-Asy„ariy
:
‫نيس يٍ او بس او صياو فً او سفس‬
Sedangkan dalam riwayat lain dalam dialek Fushah17
‫نيس يٍ انبس انصياو فً انسفس‬
2. Seorang laki-laki mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya,
karena anak itu berkulit hitam legam, berbeda dengan dirinya.
Orang itu mengadu dan bertanya kepada Nabi. Dalam memberikan
jawaban, Nabi mengajak orang itu untuk memikirkan apakah
mungkin seekor unta yang berkulit merah seperti halnya unta yang
dimiliki orang akan melahirkan unta yang berkulit hitam, apabila
nenek moyang unta itu ada yang berkulit hitam. Lantas orang itu
membenarkan kemungkinannya terjadi. Dengan demikian apa
yang disampaikan oleh Nabi memiliki kesan yang dalam bagi yang
mendengarnya dan sekaligus dimungkinkan mudah untuk dihafal.

b. Untuk sabda-sabda tertentu, Nabi menyampaikan dengan diulang dua


atau tiga kali. Tidak jarang Nabi meyampaikan sabdanya dengan cara
merinci masalah yang sedang diterangkannya. Kesemuanya itu

17
Abu Dawud, Sunan, Kitab as-Saum, Bab Ikhtiyar al-Fitri, No 2055; Ibn Majah, Sunan, Kitab as-Saum, Bab
Majaa Fi al-Iftar, No. 1654.
21

dimaksudkan agar para sahabat yang mendengarnya dapat


menyampaikan dan mengingat dengan baik. Dengan demikian para
sahabat mudah menghafal dan menyampaikan sabda itu kepada yang
tidak hadir
c. Tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam betuk jawami„ al-
kalim.
d. Di antara sabda Nabi ada yang disampaikan dalam bentuk doa, zikir
dan bacaan tertentu dalam ibadah.
e. Orang-orang Arab sejak dahulu sampai sekarang dikenal kuat
hafalannya. Pada zaman Nabi, umumnya mereka masih buta huruf,
maka tidak mengherankan bahwa bila pada masa itu tidak sedikit
jumlah sahabat yang dengan mudah menghafal Alquran dan hadis
Nabi. Kekuatan hafalan orang Arab tersebut memberikan peluang akan
banyaknya hadis Nabi yang diriwayatkan secara lafal oleh para
sahabat.
f. Kalangan sahabat Nabi ada yang telah dikenal dengan sungguh-
sungguh berusaha menghafal hadis Nabi secara lafal. Misalnya
„Abdullah Ibn „Umar Ibn al-Khatib (w. 73 H/692 M). Hal ini
memberikan petunjuk bahwa ada hadis Nabi yang diriwayatkan secara
lafal.18

Kalangan ulama mempersoalkan boleh tidaknya selain sahabat Nabi


meriwayatkan hadis Nabi secara maknawi. Abu Bakr Ibn al-„Arabi (w. 573
H/1148 M) berpendapat bahwa selain sahabat Nabi tidak diperkenankan
meriwayatkan hadis secara makna. Alasannya, para sahabat memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fasahah wa al-balagah) dan mereka
menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Namun, kebanyakan ulama
hadis membolehkan periwayatan hadis secara maknawi dengan beberapa
ketentuan.19

18
Syuhudi, Kaedah, h. 77- 79.
19
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hads :‘Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 129
143.
22

20
‫ انًعًُ واحد و اأنهفاظ يختهفت‬,‫كُج اسًع انحديث يٍ عشسة‬

Artinya : Aku mendengar 10 hadis yang maknanya satu (sama) tetapi


lafaz-lafaznya berbeda.

Demikianlah dalam meriwayatkan hadis Nabi, ada yang meriwayatkan


secara harfiah dan ada secara makna. Ibn Sirrin (w. 110 H/728 M) tidak
menjelaskan apakah harus sahabat atau selain sahabat yang boleh meriwayatkan
hadis secara makna. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam Jalal ad-Din as-
Suyuti (w. 911 H/1505 M) bahwa orang yang tidak boleh meriwayatkan hadis
secara makna adalah orang yang tidak memiliki ilmu yang tinggi tanpa ada
perbedaan pendapat padanya21

Beberapa ketentuan yang dikemukan ulama, baik dari kalangan


mutaqaddim³n (ulama yang hidup pada abad III H) maupun ulama mutaakhir³n
(ulama yang hidup setelah abad III H) tentang ketentuan kebolehan periwayatan
hadis secara maknawi cukup beragam. Akan tetapi ada beberapa poin yang telah
disepakati ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin yaitu sebagai berikut :

A. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang


benarbenar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam.
Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari
kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal.
B. Periwayatan dengan maknawi dilakukan karena sangat terpaksa,
misalnya karena lupa susunan secara harfiah, 72yang diriwayatkan
dengan maknawi bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang
sifanya ta„abbudi, misalnya zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, serta
bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami„ al-kalim
C. Periwayat yang meriwayatkan secara makna, atau yang mengalami
keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar
20
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid at-Tahdis Min Funun Mustalah al-Hadis (Beirut: Muassah
ar-Risalah, 2004), h. 375.
21
Ibid. h 377
23

menambahkan kata-kata ‫ او قال كًا‬atau kata ‫ هرا َحى او‬, atau yang
semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang
bersangkutan
D. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (tadwin) periwayatan hadis harus secara lafal22

Sedangkan menurut M. Syuhudi Ismail ketentuan yang telah disepakati itu


ada lima, yaitu dengan memisahkan poin B jadi dua butir. Berbagai ketentuan
tersebut menandakan bahwa periwayatan hadis secara makna, walaupun oleh
sebagian besar ulama hadis dibolehkan akan tetapi prakteknya tidak longgar.
Artinya para periwayat tidak bebas begitu saja dalam melakukan periwayatan
secara makna. Walaupun periwayatan secara makna diikat dengan beberapa
ketentuan, tetapi karena ketentuan-ketentuan itu tidak berstatus ijma„, maka untuk
keragaman susunan redaksi matan hadis yang semakna tetap sulit untuk
dihindarkan. Oleh karena itu menurut penulis bahwa periwayatan hadis secara
makna akan sangat penting dilakukan dalam penelitian matan hadis, karena akan
berpengaruh juga terhadap subtansi dari hadis tersebut dan juga dapat
mempengaruhi status kehujjahan hadis tersebut.

Dengan adanya periwayatan secara makna, maka penelitian matan hadis


tertentu, misalnya berkenaan dengan berita peperangan, sasaran penelitian pada
umumnya tidak tertuju kepada kata per kata dalam matan itu, tetapi sudah
dianggap cukup bila tertuju kepada kandungannya. Akan tetapi, bila yang diteliti
adalah matan yang mengandung ajaran Nabi tentang suatu ibadah tertentu,
misalnya bacaan salat, maka masalah yang diteliti adalah meliputi keadaan kata
per kata.

Untuk lebih jelasnya akan diuraikan contoh hadis yang maknanya sama
tapi matannya berbeda dengan menggunakan metode at-takhrij al-hadis bi al-
maudu„. 75Untuk mempermudah dalam pencarian maka akan dipergunaka kitab

22
Abu ‘Amr ‘ Usman Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn Salah, ‘Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabh al- ‘ Ilmiyah,
1972), h. 190-192.
24

kamus hadis. Salah satu kamus hadis adalah ‫ انسُت كُىش يفتاح‬, atau bisa juga dengan
menggunakan kitab ‫ انُبىي انحديث نهفاظ َانًفهسس انًعجى‬,kedua kitab tersebut adalah
karya Orientalis Dr. A.J wensick (w. 1939 M). Tetapi telah diterjemahkan oleh
Muhammad Fu„ad „ Abdul Baqi (w. 1968 M), tidak hanya menerjemahkannya
tetapi sekaligus mengoreksi berbagai data yang salah23

Cukup banyak matan hadis semakna tapi susunan lafalnya berbeda-beda.


Misalnya saja hadis tentang niat yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (w. 256
H/ 870 M) sebagai berikut :

ٍ ‫ َو ِن ُك ِّم ْاي ِس‬،‫األ َ ْع ًَا ُل ِبانُِّيَّ ِت‬


‫ئ َيا َ ََىي‬

Artinya: Semua amal itu dengan niat, dan sesungguhnya seseorang memperoleh
apa yang ia niatkan.

ٍ ‫ َو ِإََّ ًَا ِِل ْي ِس‬،‫إ ََِِّ ًَا األ َ ْع ًَا ُل ِبان ُِّيَّ ِت‬
‫ئ َيا َ ََىي‬

Artinya: Sesungguhnya semua amal itu dengan niat, dan sesungguhnya seseorang
memperoleh apa yang ia niatkan.

ُ َُّ‫يَا أَيُّ َها ان‬


ٍ ‫ َوإََِّ ًَا ِِل ْي ِس‬،‫ إََِّ ًَا األ َ ْع ًَا ُل بِان ُِّيَّ ِت‬،‫اس‬
‫ئ َيا َ ََىي‬

Artinya: Wahai manusia sesungguhnya semua amal itu dengan niat, dan
sesungguhnya seseorang memperoleh apa yang ia niatkan.

ٍ ‫ َوإََِّ ًَا ِن ُك ِّم ْاي ِس‬،ِ‫ِإََّ ًَا األ َ ْع ًَا ُل ِبان ُِّيَّاث‬
‫ئ َيا َ ََىي‬

Artinya: Sesungguhnya semua amal itu dengan niat, dan sesungguhnya


masingmasing orang memperoleh apa yang ia niatkan

‫األ َ ْع ًَا ُل بِانُِّيَّ ِت‬

Artinya: Semua amal itu dengan niat

23
M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 62-63.
25

Perbedaan redaksi terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan sanad.


Perbedaan sanad terjadi akibat perbedaan periwayat. Periwayat yang berbeda
memberikan peluang timbulnya perbedaan penerimaan riwayat (tahammu al-
hadis) dan mungkin juga perbedaan ketentuan yang dianut dalam periwayatan
hadis secara makna. Periwayatan secara makna bukan hanya mengakibatkan
terjadinya perbedaan redaksi semata, melainkan juga mengakibatkan timbulnya
perbedaan penggunaan kata-kata.

Adanya periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian


matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan itu terjadi
karena matan hadis yang sampai ke tangan Mukharrij terlebih dahulu beredar
pada sejumlah

periwayat yang berbeda generasi, dan tidak jarang juga berbeda latar
belakang dan kecerdasan. Perbedaan generasi dan budaya dapat menyebabkan
timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah,
sedang perbedaan kecerdasan dapat menyebabkan pemahaman terhadap matan
hadis yang diriwayatkan tidak sejalan.

Walaupun penelitian matan hadis dengan pendekatan semantik tidak


mudah dilakukan, tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa penelitian dengan
pendekatan bahasa tidak perlu dilakukan. Penelitian matan hadis dengan
pendekatan bahasa sangat perlu karena bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi
dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar.
Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu
terhadap kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari
matan hadis yang bersangkutan24

Dengan adanya perbedaan lafal pada berbagai matan hadis yang semakna,
maka metode muqaranah menjadi sangat penting dilakukan. Metode muqaranah
tidak hanya ditujukan kepada matan hadis akan tetapi juga kepada masing-masing
sanadnya. Dengan menempuh metode muq±ranah, maka akan dapat diketahui

24
Syuhudi, Penelitian, h. 27.
26

apakah terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis masih dapat ditoleransi atau
tidak. Metode muqaranah dalam penelitian matan, begitu juga sanadnya, tidak
hanya dimaksudkan untuk upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada
saja, tetapi juga sebagai upaya lebih mencemati susunan matan hadis yang lebih
dapat dipertanggung jawabkan keorisinalannya berasal dari Rasulullah.

Pada sisi lain dengan metode muqaranah akan dapat diketahui


kemungkinan adanya ziyadah (tambahan) idraj (sisipan) dan lain-lain yang dapat
berpengaruh pada kedudukan matan hadis yang bersangkutan, khususnya dalam
kehujjahannya. Untuk kepentingan penelitian matan, maka yang menjadi pokok
bahasan disini adalah bukan pengertian ziyadah, idraj qalb, ittirab, tetapi ada atau
tidak adanya ziyadah tersebut

dalam matan hadis. Hal ini berguna untuk kepentingan upaya mencari
petunjuk tentang dapat atau tidak dapatnya tambahan itu dipertanggung jawabkan.
Dengan demikian metode muqaranah sangat penting dalam melakukan kegiatan
penelitian matan hadis.

Sebagai contoh yaitu;

‫اٌ زسىل ههالا صهً ههالا عهيه وسهى فسض شكاة انفطس يٍ زيضاٌ عهً كم حس‬
ٍ‫او عبد ذكس او اَثً يٍ انًسهًي‬

Artinya : Bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah yang dikeluarkan


pada bulan ramadhan terhadap setiap orang yang berstatus merdeka, hamba
sahaya, laki-laki dan perempuan dari kalangan Islam.

Kalimat “minal muslimin” dalam matan hadis itu oleh Ibn Shalah
dinyatakan sebagai ziyadah dengan beralasan pada pernyataan Imam at-Tirmizi
bahwa Malik saja yang mengemukakan tambahan kata-kata tersebut. Kata Ibn
Salah banyak ulama yang berpegang pada matan hadis tanpa ziyadah tersebut
seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.25

25
Syuhudi, Penelituan, h. 136
27

Penjelasan Ibn Shalah tersebit dikoreksi lagi oleh Imam al-Iraqi, menurut
hasil penelitian al-Iraqi yang mengemukakan tambahan kata-kata tersebit bukan
hanya Malik, tetapi juga oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, ad-Daruqutni,
alHakim dan Abu Ja‟far at-Tahawi. Al-Iraqi dalam kritik yang berisi koreksi itu
tidak memberi ketegasan bahwa kata-kata “ minal muslimin” bukanlaj ziyadah.
Kalau ziyadah mesti dikaitkan dengan periwayat yang hanya satu orang saja,
maka kata-kata itu tidak termasuk ziyadah, tetapi jika dikaitkan dengan banyak
periwayat maka menjadi sulit sekiranya kata-kata tambahan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai ziyadah.

Untuk kepentingan penelitian matan hadsi, maka adanya tambahan kata-


kata atau pernyataan dalam matan harus dilihat dari kepentingan upaya mencari
petunjuk tentang dapat atau tidak dapatnya tambahan itu dipertanggungjawabkan
keorisinalannya berasal dari Nabi, serta kedudukan petunjuknya dalam kehujjahan
matan hadis yang bersangkutan. Tegasnya, yang menjadi pokok masalaah
bukanlah pengertian istilah ziyadah atau tambahan melainkan ada atau tidaknya
tambahan katakata itu dalam matan hadis yang sedang diteliti26

Ibn Salah Membagi ziyadah kepada 3 macam yaitu:

a. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah yang isinya


bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang
bersifat siqah juga. Ziyadah ini ditolak karena termasuk ke dalam
syadz
b. . Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah yang isinya tidak
bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat siqah
juga, ziyadah ini diterima. Ini ijma‟ ulama menurut al-Khatib al-
Bagdadi.
c. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah berupa sebuah lafaz
yang mengandung arti tertentu, sedangkan periwayat lain tidak

26
Syuhudi, Penelitian, h. 36.
28

mengemukakannya. Ibn Salah tidak menjelaskan bagaimana


kedudukan ini.
E. Meneleti kandungan matan

Setelah melakukan penelitian secara lafal maka sekarang untuk meneliti


matan hadis dari segi kandungannya, seringkali juga diperlukan penggunaan
pendekatan rasio, dan sejarah. Penelitian matan hadis dengan beberapa macam
pendekatan tersebut ternyata memang masih tidak mudah dilakukan. Apalagi bila
diingat bahwa sebagian dari kandungan matan hadis berhubungan dengan
masalah keyakinan, hal-hal yang gaib, dan petunjuk-petunjuk keagamaan yang
bersifat ta„abbudi. Dengan demikian kecerdasan peneliti dalam menggunakan
acuan pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Menurut M. Quraish Shihab, studi filologi tidak bisa digunakan untuk


mengetahui kesahihan suatu hadis. Hadis pada umumnya adalah ar-riwayah bi
alma„na, sehingga boleh jadi Nabi mengucapkan suatu kata yang tidak digunakan
pada masa itu. Karena ar-riwayah bi al-ma„na maka sahabat menggunakan kata
lain yang digunakan pada masanya juga. Para tabi„in juga menggunakan kata
yang sesuai dengan masanya sebagaimana juga para pengikut tabi „in
menggunakan kata-kata yang sesuai dengan masanya. Dalam hal melakukan
penelitian kandungan matan hadis maka yang diperlukan adalah metode
muqaranah, untuk mengetahui apakah kandungannya sama atau justru
berlawanan. Disini akan dibedakan kandungan matan hadis yang sejalan atau
sama dan yang tidak sama.

Apabila kandungan matan yang diperbandingkan ternyata sama, maka


dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian matan telah berakhir. Tetapi
biasanya dalam praktek masih diperlukan memeriksa penjelasan dari masing-
masing syarh di berbagai kitab syarh. Dengan mempelajari kitab syarh akan dapat
diketahui lebih jauh hal-hal penting yang berkaitan dengan matan yang diteliti,
misalnya saja kosa kata, khususnya untuk kata-kata garib (asing), pendapat ulama
dan hubungannya dengan dalil-dalil lain. Apabila kandungan matan hadis ternyata
sejalan juga dengan dalil-dalil yang kuat, minimal tidak bertentangan, maka
29

dapatlah dinyatakan bahwa kegiatan penelitian telah selesai. Tetapi sebaliknya


apabila yang terjadi tampak bertentangan dengan matan atau dalil yang lebih kuat,
maka kegiatan penelitian harus dilanjutkan.

Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi bertentangan dengan hadis Nabi


ataupun dalil-dalil Alquran. Sebab apa yang dikemukakan oleh Nabi baik berupa
hadis ataupun ayat sama-sama berasal dari Allah.

27ً‫ويا يُطق عٍ انهىي إٌ هى إَل وحي يىح‬

Artinya : Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut


keinginannya, tidak lain (Alquran) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Namun kenyataannya ada sejumlah hadis Nabi yang tampak bertentangan


dengan hadis lain atau ayat Alquran. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
dalam istilah hadis yang tampak berlawanan, sebagian menyebut dengan istilah
almukhtalif al-hadis, sebagian lagi menyebutnya al-mukhalaf al-hadis, dan pada
umumnya para ulama menyebutnya dengan at-ta„arud. Berbagai hadis yang
tampak berlawan telah dihimpun para ulama dalam kitab khusus. Ulama yang
pertama dalam melakukan ini adalah Imam as-Syafi „i (w. 204 H) dengan
karyanya Kitab Ikhtilaf alhadis. Selanjutnya diikuti Ibnu Qutabah (w. 276 H)
dengan judul kitabnya Ta‟wil Mukhtalif al-Hadis. At-Tahawi (w. 321 H) dengan
judul kitabnya Musykil al-Asar. Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Ibnu Jarir ( w. 310
H) dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H)28

Ulama sependapat bahwa hadis-hadis yang tampak berlawanan harus


diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Dalam melakukan penyelesaian
ulama berbeda pendapat. Ibn Hazm (w. 456 H/1063 M) secara tegas menyatakan
bahwa matan-matan hadis yang berlawanan, masing-masing hadis harus

27
Q.S. an-Najm / 53. 3-4.
28
Jalal ad-Din ‘Abd ar-Rahman Ibn Abi Bakr as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh at-Taqrib anNawawi (Beirut:
Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979 M), h. 196.
30

diamalkan. Untuk itu Ibn Hazm (w. 456 H/1063 M) menekankan perlunya
penggunaan metode istisna‟ dalam penyelesaian itu.29

Cara yang ditempuh Ibn Hazm (w. 456 H/1063 M) berbeda dengan yang
telah ditempuh Imam as-Syafi„i ( w. 204 H). Dalam hal ini, Imam as-Syafi„i (w.
204 H) memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang satu
bersifat global (mujmal ) dan yang satu lagi bersifat terperinci (mufassar),
mungkin juga yang satu bersifat umum („am) dan yang satu lagi bersifat khusus
(khas), dan mungkin juga satu sebagai penghapus (an-nasikh) dan yang satu lagi
yang dihapus (al-mansukh) atau menunjukkan kedua-duanya kebolehan untuk
diamalkan. Dalam menyelesaikan matan-matan hadis yang tampak berlawanan,
Imam as-Syafi„i (w. 204 H) menempuh cara al-jam„u kemudian an-nasikh wa al-
mansukh.30

Dari beberapa metode yang dikemukan para ulama jelaslah bahwa


terdapat perbedaan cara menyelesaikan hadis yang tampak berlawanan. Walaupun
demikian bukan berarti selalu berbeda hasil yang didapatkan tetapi banyak
memberikan kesamaan hasil. Untuk cara at-tarjih ulama berbeda juga, karena
dalam metode attarjih itu sendiri terdapat 50 macam cara, sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama, misalnya al- „Iraqi (w. 806 H/1404 M) dan Jalal ad-
Din as-Suyuti (w. 911 H/1505 M)31

Dari berbagai metode penyelesaian yang ditempuh ulama, tampaknya


metode Ibn Hazm lah yang paling akomodatif. Dinyatakan demikian karena
dalam praktek penelitian matan hadis, keempat tahap atau metode itu memang
lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. M. Syuhudi
Ismail dan Arifuddin menyatakan bahwa metode yang paling akomodatif dan
proporsional adalah sebagaimana Ibn ¦azm (w. 456 H/1063 M), dinyatakan
demikian karena jika hadis yang dimaksud dipahami dan dipertimbangkan bentuk
dan cakupan petunjuknya hadis yang bersangkutan, fungsi Nabi tatkala hadis

29
Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Kairo: al-Matba‘ah al-‘Asimah tt ), h. 151.
30
Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Idris as-Syafi‘i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 598.
31
As-Suyuti, Tadrib, Juz II, h. 198-202.
31

diunyatakan dan latar belakang hadis tersebut, maka mungkin hadis yang satu
bersifat universal dan yang satu lagi bersifat temporal, lokal dan mungkin juga
kedua-duanya bersifat temporal dan lokal.

Jika pengertian an-nasikh wa an-mansukh dimaksudkan adalah pergantian


hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda.98 Maka
penggunaan pengertian ini sesungguhnya tidak lain adalah salah satu bentuk
penggunaan metode al-jam„u, sebagaimana dimaksud di atas. Sebab hadis yang
tidak berlaku bagi masyarakat tertentu, tetap dapat berlaku bagi masyarakat lain
yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Metode at-tarjih juga tidak dapat digunakan. Sebab, jika ternyata suatu
hadis yang tampak berlawanan diselesaikan dengan metode ini, memilih salah
satu di antaranya yang lebih kuat, maka itu berarti bahwa salah satu dari dua hadis
tersebut tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, yaitu mengandung syadz dan
„illah.

Adapun jika yang digunakan at-tauqifi, sesungguhnya dapat saja


diterapkan jika upaya metode al-jam„u mendapat kebuntuan. Akan tetapi
penggunaan metode ini hanya bersifat sementara dan untuk kondisi tertentu, dan
upaya untuk mengadakan aljam„u senantiasa berlanjut32.

Setelah melakukan 3 langkah yang dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail


maka selanjutnya adalah menyimpulkan hasil penelitian. Jika adalah sanad dan
matan sama-sama sahih maka disebutkan kualitasnya sahih, tetapi jika sanad dan
matan sama-sama da„if maka disebut da „if, dan jika adalah antara sanad dan
matan berbeda kualitasnya maka perbedaan itu harus dijelaskan.

Penjelasan tentang kualitas yang berbeda antara sanad dan matan telah
dijelaskan para ulama, seperti Ibn Salah (w. 643 H/1245 M), Imam an-Nawawi
(w. 676 H/1277 M), dan juga Ibn Kasir (w. 774 H/1373 M). Pernyataan ini

32
Arifuddin , Paradigma, h. 184-185.
32

didasari pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ternyata ada sanad
yang sahih tetapi matannya mengandung syadz dan„illah.

Akan tetapi, jika penelitian itu dilakukan secara cermat dan menggunakan
pendekatan yang tepat, maka dapat dipastikan bahwa setiap sanad yang sahih
pasti matannya sahih pula. Sebab adanya syadz dan „illah pada matan tidak
terlepas dari sanad itu juga. Hal ini terjadi karena sering kali para peneliti
mengambil metode kurang tepat, misalnya sikap yang longgar dalam menilai
rawi, tidak cermat dalam masalah lambang-lambang periwayatan. Sehingga
peneliti mengambil natijah hadis ini da‟if, padahal mungkin hadis yang
bersangkutan sifatnya universal, temporal dan lokal. Kesalahan ini terjadi karena
kekeliruan dalam menggunakan pendekatan. Jika terjadi perbedaan penilaian
terhadap hadis maka penelitian ulang harus dilakukan kembali.
Kesimpulan

Setelah melakukan studi analisa terhadap kaedah kesahihan matan hadis yang
ditawarkan M. Syuhudi Ismail dalam buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi
menghasilkan kesimpulan dan memberikan beberapa hal penting yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :

1. Dalam melakukan kegiatan penelitian matan hadis, M. Syuhudi Ismail


menawarkan beberapa langkah, yaitu :
a. Meneliti matan hadis dengan melihat kualitas sanadnya.
b. eliti susunan lafal berbagai matan hadis yang semakna, dan
c. Meneliti kandungan matan hadis.
2. Dalam memahami hadis Nabi, M. Syuhudi Ismail menawarkan beberapa metode :
a. Melalui bentuk matan hadis dan cakupan pentunjuknya.
b. Melalui kandungan hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad.
c. Melalui petunjuk hadis Nabi yang dihubungkan dengan latar belakang
terjadinya
d. Melalui petunjuk hadis Nabi yang dihubungkan dengan latar belakang
terjadinya

Saran

Penelitian terhadap kesahihan matan hadis yang terdapat dalam buku Metodologi
Penelitian Hadis Nabi ini, penulis menyarankan agar dilakukan kembali penelitian yang
lebih konprehensif lagi sehingga didapatkan hasil yang lebih baik.

33
DAFTAR PUSTAKA

Q.S. an-Najm / 53. 3-4.


Abu Dawud, Sunan, Kitab as-Saum, Bab Ikhtiyar al-Fitri, No 2055; Ibn Majah, Sunan,
Kitab as-Saum, Bab Majaa Fi al-Iftar, No. 1654.
Ajjaj al-Khatib, Muhammad „, Usul al-Hads :„Ulumuhu Wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989).
al-Qasimi, Jamal al-Din, Muhammad, Qawaid at-Tahdis Min Funun Mustalah al-Hadis
(Beirut: Muassah ar-Risalah, 2004.
Dalimunthe, Reza Pahlevi. 2017. “Syaz Dan Permasalahannya”. Jurnal: Ilmu Hadis. Vol.
1 No. 2
Ghaffar, Abdul. 2015. Skripsi “Telaah Kritis Atas ‘Illal Al-Hadis Dalam Kaidah
Kesahihan Hadis (Sebuah Rekontruksi Metodologis)”. (Makassar: UIN Alauddin
Makassar)
Ibn Hazm , Ali Ibn Ahmad, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Kairo: al-Matba„ah al-„Asimah tt
)
Ibn Idris as-Syafi„i, Muhammad Abu. 1983 „Abdillah Kitab Ikhtilaf al-Hadis (Beirut: Dar
al-Fikr,)
Ibn Salah, Usman Ibn „Abd al-Rahman, Abu „Amr „Ulum al-Hadis (Madinah: al-
Maktabh al- „ Ilmiyah, 1972)
Idris, Mahsyar. 2008. “Kaidah Keshahihan Matan Hadis (Telaah Kritis Terhadap Kaidah
Ghairu Syudzuz”. (Sulsel Parepare: UMPAR Press)
Ismail, M. Syuhudi. 1991 Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,).
Ismail, M. Syuhudi. 1995 Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan
Dengan Pemdekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang,)
Luthfi, Khabibi Muhammad. 2013. “Kritik Matn Sebagaimana Metode Utama Dalam
Penelitian Keshahihan Hadis Nabi”. Jurnal: Islamic Review. Vol. II No. 3
Madiu, Sofyan. 2013. Tesis “Metodologi Kritik Matan Hadis (Analisis Komparatif
Pemikiran Salah al-Din al-Adlabi dan Muhammad Syuhudi Ismail)”. (Makassar:
UIN Alauddin Makassar)
Mukhtar, Mukhlis. 2011. “Penelitian Rijal Al-Hadis Sebagai Kegiatan Ijtihad”. Jurnal:
Hukum Diktum. Vol. 9 No. 2

34
35

Mutmainnah. 2018. “Metodologi Ulama Hadis Dalam Membentengi Hadis Dari Segi
Matan”. Jurnal: at-Thiqah. Vol. 1 No.1

Anda mungkin juga menyukai