Disusun Oleh :
(11310010)
Emma Amalia
(11310009)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Orientalis Tentang Hadis
Kata orientalis berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata
oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan
timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Secara geografis kata orient bermakna
dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus
ilmiah populer orientalis adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Yakub menyatakan bahwa orientalis adalah orang
yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur,
terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya,
agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Dan dalam kata orientalis terkandung
sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya
apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka
ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok
Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasabahasa Timur serta kesustraannya.
Dalam kajian-kajian orientalis dengan berbagai diskursus studi keislaman ini, sebenarnya
bisa diberi pengertian bahwa mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyerang
keyakinan umat Islam dan mendiskreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam
merupakan topeng an sich. Pengertian ini didasarkan pada peristiwa Perang Salib, dimana
bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur dalam memperebutkan kawasan
Palestina, tempat ziarah kaum Nasrani, yang di menangkan tentara Islam pimpinan
Salahuddin al-Ayubi (1169-1193). Dari sinilah, orientalis kemudian tertuju kepada penjajahan
dunia Islam, dengan berkedok menggali dan mempelajari khazanah Islam, yang muara
akhirnya hanyalah untuk menghancurkan Islam.
Memang masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis,
bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh
sebagian umat. Islam Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karyakarya mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka. Sebagai bukti dalam bidang
hadis mereka menyusun sebuah kamus besar guna melacak kebenaran sebuah hadis
berdasarkan teks utama dari hadist tersebut dalam enam buku koleksi hadis kanonik, Sunan
Al-darimi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad Ibn Hambal dengan judul Concordace Et
Indices De La Tradition Musulmane ( al-Mujam al-Mufahras li Alfaz) Al Hadith al-Nabawi
dalam tujuh jilid. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan
oleh A.J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini A. J. Wensinck juga menyusun kamus
hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Miftah Kunuz Al-Sunnah.
Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para orientalis jelek,
bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput dari motivasi sentimen
keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya
saja, dari masa ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari
subyektivisme yang dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori
oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual. Kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis
dan garapan studi hadis ini adalah tentang:
1. Teori Sistem Isnad
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran, atau sesuatu yang kita jadikan
sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah,
terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru. Menurut ulama hadits, kedudukan
sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila suatu berita tidak memiliki
sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits tetapi dapat
disebut hadits palsu atau hadits maudlu, walaupun seseorang menyatakannya sebagai
hadits. Abdullah bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan
bagian dari agama. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas
dalam menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan
pentingnya sanad dalam kualitas hadits
Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun kontemporer
tentang persamaan atau perbedaan antara isnad dan sanad, posisi isnad dan sanad sangat
urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir,
hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam
buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan
menisbatkan kepemilikananya, terutama dalam bidang hadis.
Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan
sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam
kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat diterima selagi sanadnya berkualitas sahih.
Sebaliknya apabila sanad tidak sahih, maka hadits tersebut harus ditinggalkan. Imam
Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits dengan sanadnya ibarat hubungan hewan
dengan kakinya. Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang
palsu. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kontrofersi antara sarjana barat dan
timur yang mereka saling menguatkan pendirian mereka masing-masing tentang system
sanad dalam sebuah hadist
Berkaitan dengan relasi antara isnad dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni
sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnad bersamaan dengan proses
periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja
mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isnad, sebuah sistem periwayatan hadis
handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Mubarak merupakan bagian dari Islam. Bahkan
mereka berbeda pendapat secara tajam.
2. Evolusi Historis
Teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena
isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari
asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi
pandangannya tentang evolusi historisitas hadis, apakah kemunculan isnad bersamaan
dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi
saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari
Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu
dikemukakan. Sebab, menurut Muhammad Mustafa al-Azami, buku ini ibarat kitab suci
pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat,
sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam
yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era
selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan
doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat
disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari
Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau
refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim
selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda
dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga
dikenal dengan nama backward-projection theory atau nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li
al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak
memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur
Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Shabi (w.
110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka
hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Shabi. Hukum Islam
baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qadi) yang baru dilakukan pada
masa Dinasti Umayyah.
Keputusan-keputusan yang diberikan pada qadi ini memerlukan legitimasi dari
orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak
menisbatkan
keputusan-keputusan
itu
kepada
dirinya
sendiri,
melainkan
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits,
yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian
hadits:
Abu
bakar,
Umar,
Usman
dan
Ali.
Namun
yang
banyak
beliau
juga
perlu
direkontruksi
ulang.
Sesuatu
yang
berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan
dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak
untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari
status lain seorang Muhammad.
3. Aspek Pengklasifikasian Hadits
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka.
Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi
Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut
mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian
hadits
secara
verbal,
sebagaimana
yang
dikatakan
dalam
bentuk
tulisan
semasa
Ia
oleh
pernah
hidup
atau
C.
Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis muslim dan hadis Barat adalah
perbedaan fundamental pendekatan terhadab tradisi Islam secara keseluruhan.
Sikap muslim tradisional terhadab hadis dapat dilihat sebai berikut
sunnah, atau hadis Nabi.. merupakan sumber utama kedua dalam hokum
Islam, benar, selamanya, dan kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti
oleh muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alas an ini, para sahabat,
bahkan yang hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang
sunnah dan hal ini dianjurkan oleh Nabi sendiri. ( Azami, 1977:46).
Dengan kata lain hadis memiliki peran utama dalam Islam. Hal ini lah yang
mendorong Nabi dan para sahabat untuk mememelihara hadis secara akurat, dan
dalam pandangan tradisonal Anas Binmalik yaitu dengan cara mungkin sekitar 60
orang duduk bersama dan Nabi akan mengajarkan kepada mereka Hadis dan jika
Nabi pergi karena ada keperluan maka mereka akan menghafalkan hadis tersebut
dengan benar menanamkan hadis tersebut sampai kejiwa. Bagia sarjana muslim
Islam telah ditegakan oleh Allah jadi Nabi pasti akan selalu dan sangat
mempehatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi secara penuh beberapa
abad kenudian.
sampaikanlah
apa-apa
ayat(HR.Bukhari).
Allah
yang
menyinari
berasal
dariku
orang-orang
meskipun
yang
hanya
satu
medengarkan
hadis
hadits
menyatakannya
palsu
atau
sebagai
hadits
hadits.
maudlu,
Abdullah
bin
walaupun
seseorang
al-Mubarak
memberi
maka
hadits
tersebut
harus.
ditinggalkan.
Imam
Nawawi
Krtitik eksteren sanad, dalam penelitian sanad dikenal dengan istilah kritik
ekstren yaitu kritik terhadap rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada
matan hadis. Dalam meneliti sanad,agar lebih muda untuk menilai sanad apakah itu
dapat dijadikan sahih atau tidak. Adapun bagian-bagian yang dapat diteliti sbb:
a. Nama-nama seseorang perawi yang meriwayatkan hadis
b. Lambang-lambang yang digunakan para dalam meriwayatkan hadis seperti
samitu, akhbaroni, an, dan anna,dll.
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesahihan hadis
tergantung pada kualitas sanad. Selain itu juga ada unsur sanad dalam hadis yang
sangat penting karena sanad dijadikan sandaran. Unsur kritik kaidah sanad adalah:
Matan
Obyek penelitian yang kedua yaitu matan hadits. Penelitian ini diperlukan karena
keadaan matan tidak bisa dipisahkan dari keadaan sanad hadits. Selain itu matan
hadits diriwayatkan dalam makna (Riwayah bil Mana) karena semua rawi belum
tentu memenuhi syarat sah meriwayatkan hadits secara makna. Penelitian matan
hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio,
sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan
Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang tidak pernah diucapkan
oleh seorang ahli retorik atau penulur bahasa yang baik.
Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh
manusia yang berpikir.
Tidak
boleh
bersesuaian
dengan
mazhab
rawi
yang
giat
Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian
sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang
meriwayatkannya.
Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai perberdaan antara sarjana Muslin dengan
sarjana Barat. Sudah dijelaskan baibana cara sarjana muslim menentukan suatu hadis namun
memang tidak dapat dipungkiri juga ada banyak hadis yang bersifat masih rancu. Ibn Qayyim
(w. 1350) menulis hadis proses penolakan hadis berdasarkan muatanya. Menurutnya sebuah
hadis yang menyatakan Tidak ada Tuhan Selain Allah, yang merupakan bagian pertama dari
syahadat, Tuhan menciptakan dari hal ini seekor burung dengan 70000 bahasa, adalah hadis
yang rancu, dan kontradiksi dengan sunnah, bertentangan dengan dengan Al-Quran. Hadis ini
lebih menyerupai perkataan mistikus (Garden,2005:16-17)
Sehingga pada akhirnya standart yang ditetapkan untuk menilai periwayatan hadis ada
sekitar 12, sejak siqatun sabitun hingga kazzab sehingga hadis dibagi menjadi dua kelompok
hadis maqbul dan hadis mardud, dengan masing-masing kategori yang terbagi kedalam
beberapa tingkatan. Berdasarkan system kritik hadis yang mapan ini, para mistikus Muslim
dapat mengkodifikasi hadis-hadis shahih yang terkumpul dalam kitab Bukhari dan Muslim,
dan banyak hadis lainnya yang tidak dipandang sahih, namun memiliki keaslian yang dapat
diterima sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan hokum dan ibadah.
Sementara itu, para sarjana Barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode-metode
untuk menentukan keaslian hadis berdasarkan Isnad. Mereka cenderung menginginkan untuk
kembali kepada matan atau muatan dari sebuah hadis. Karena mereka memiliki alas an utuk
meragukan adanya hadis yang tidak berasal dari Nabi karena hadis itu membicarakan
persoalan-persoalan setelah masa kewafatan Nabi. Hal ini didukung oleh fakta bahwa
sebagian kaum muslim belakangan berusaha untuk menemukan dukungan bagi kelompok
atau ajaran mereka dengan menyandarkan pandangan mereka kepada perkataan Muhammad.
Sebagai contoh adalah masalah suksesi kepemimpinan. Ada sekelompak yang merasa
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang tepat untuk mengantikan Nabi sebagai khalifah
pertama, bukan sebagai khalifah keempat. Dari kelompok ini munculah syiah. Jadi, para
sarjana Barat mejumpai suatu hadis yang mengatakan: ketika Nabi masih hidup di antara
kami, kami tidak membandungkan seorangpun dengan Abu Bakar, sesudahnya Ummar, dan
kemudian Usman. Kami tidak membeda-bedakan antara sahabat-sahabat Nabi yang
ada(HR.Abu Daud). Sarjana Barat berpendapat bahwa Hadis ini beredar setelah Nabi wafat
dengan tujuan untuk melegalitimasi klaim Ali sebagai khalifah. Juga ada hadis yang memiliki
pesan bertentangan, bahwa Muhammad saw. Bermaksud agar agar Ali menjadi penggantinya.
Muhammad saw. Dikatakan telah bersabda: Barang siapa yang ingin jadi patronku, maka Ali
juga patronnya HR. Ahmad Ibn Hambal). Dari contoh ini, jelas system metode isanad
belumlah cukup.
Banyak sarjana barat yang melihat matan sekaligus isnad untuk menentukan keaslian
suatu hadis, begitu pula mereka menentukan keaslian suatu hadis berdasarkan isanad dan
matanya. Sebagai mana mereka memandang bahwa isnad tumbuh belakangan artinya, pada
sumber-sumber awal, suatu hadis dijumpai dengan system isnad yang luas hingga abad ke-8.
Asumsi para sarjana barat adalah karena pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu yang
mengritikanyapun juga sudah semakin cangih, yang menuntut asal-usaul hadis dari Nabi
sendiri, hadis yang dihiasi isnad pada akhirnya tersambung dengan Nabi Muhammad saw.
Dan perbedaan-perbedaan dalam mendekati hadis ini bermula dari berbagai pendekatan yang
mendasar pada tradisi keagamaan secara keseluru
klasik hadis para periwayat terhormat telah dilakukan oleh sarjana muslim modern Abu Rayyah.
Ratuhan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari penolaknya, khususnya yang
berkaitan dengan persoalan kritik matan. Dikatakan hadis tidak boleh berisi pernyatanpernyataan yang rancu atau bertentangan dengan ajaran dari sumber-sumber yang lebih otoriatif
seperti Al-quran. Sehingga para kritikus berpendapat bahwa kajian mereka tentang muatan hadis
dan upayanya tidak bermana jika tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah adalah
ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan, perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud
untuk menyelidiki syarat-sayarat perawi dan yang diriwayatkan (marwi). Al-Ghazali mencatat
dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: 1. Matan harus bebas dari syuzuz, yakni
bertentangan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya, 2. Matan harus bebas dari catatan
serius (illah qabibah).(syekh Muhammad Al-Ghazali). Dua sayarat ini, menurutnya menjamin
secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika diterapkan dengan sebenar-benarnya.
Itulah penjelasan pembahasannya yang dibahas oleh banyak kaum orientalis dan beberapa
sarjana dan kritikus Muslim modern yang merutnya muhandisun masa awal telah memberikan
tekanan terhadap isnad dan saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telelah mengabaikan
kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliri. Yang sesunggunya para
muhandisun sudah melakukan pengritikan baik dari sehi isnad maupun matannya.
E. Pendekatan Revolusioner: al-Albani
Menurut al-Alnbani penempatan hadis itu sebgai pilar utama dalam proses yuridis, karena
hadis menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam AL-Quran
tanpa bersandarkan pada mazhab fiqih yang ada. Karena ituibu kandung semua ilmu keagamaan
adalah hadis, yang dimana hadis juga digunakan sebagai sumber kedua setalah Al-Quran dalam
pemgacuan berbagai hukum. Menurunya penalaran secara idepende harus dikeluarakan dari
proses ini: kritik matan harus benar-benar menjadi ilmu formal, yang perlu ditantakan adalah
Sanad.
Sebagai metodenya al-Albani menghasilkan fatwa-fatwa yang bertentanga dengan ijma
Isalam pada umumnya khususnya terhadap mazhab fiqih Hambali. Contohnya, dia menyatakan
bahwa mihrab masjid yang menunjukan arah mekkah adalah bidah, dan dia juga menyatakan
kebolehan sholat dimasjid dengan sepatu. Pandangan yang lebih controversial adalah penduduk
palestina tidak boleh meninggalkan tanah palestina yang sedang dijajah karena ibadah iman itu
lebih penting dari pada sejengkal tanah. Akhirnya al-Albani mengambil posisi menentang terlibat
dalam masalah politik. Dan dia lebih memilih persaudaraan Isalam.
Pendekatan al-Albani ini juga mendapatkan pertentangan terutama dari kaum Wahabbi yang
tidah setuju bahkan menyerangnya. Kontroversi ini makin menegang saat diterbitkanya buku
yang berjudul Jilbab Perempuan Muslim yang dima Labani berargumen bahwa jilbab
perempuan muslim tidak harus menutupi wajahnya. Penentangan antara al-Albani pun terjadi,
tidak hanya dalam intelektual saja bahkan Agama juga menjadi pertentanga yang mencolok
diantara mereka, yang dimana menurut Al-Albani tradisi baik segi agama,hokum dll telah
dimonopoli oleh sekelompok kecil aristocrat dari Najd yang hidup disekiar Muhammad bin
Abdul Wahab dan pengikutnya.
Yang dimana ilmu menururut tradisi wahabi, adalah hasil dari proses warisan dan tergantung
pada sejumblah ijaz yang diberikan seorang ulama kepada muridnya. Dan menurur al-Albani
warisan semacam ini tidak penting sama sekali, karena setiap hadis itu terbuka untuk dikritik dan
suatu hadis yang di riwayatkan oleh ulama terhormat sekalipun tidak menjamin keasliannya.
Sebaiknya proses yang penting salah akumulasinya.Artinya seorang ulama hadis adalag seorang
yang meghafal sejumblah besar hadis dan lebih penting lagi adalah biografi sejumblah besar
periwayat. Jadi, ilmu hadis dapat diukur menurut criteria objektif yang tidak berhubungan dengan
kelurga, suku, atau,keturunan yang mengesampingkan meritokrasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang
kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang m
emandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang
menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan
orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said
menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:
1.
2.
3.
Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan),
namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Tidak hanya itu dalam pengkajian hadis Sanad dan matan harus benar-benar digunakan
secara mendalam untuk meninjau sebuah hadis.Karena tidak hanya sedikit hadis-hadis yang
bersifat masih rancu sehingga pengkajiannya benar-benar harus lebih teliti, dan harus diakui
bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak
yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti
misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan
sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang
berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap
kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.