Anda di halaman 1dari 19

METODELOGI STUDI ISLAM

Model Kajian Teks-teks Keislaman: Studi Isalam


Dosen Pengampu: Drs. Zakkyudin Baedlowi

Disusun Oleh :

Febri Ari Sandi

(11310010)

Emma Amalia

(11310009)

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
SALATIGA
2011/2012

MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS


Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hadis merupakan Sumber utama Islam kedua setelah Al-Quran, karena itu perdebatan hadis
bukanlah sesuatu yang asing antara sarjana muslim, kritikus hadis, dan sarjana barat. Dan hal ini
terus terjadi hingga sekarang. Pada akhir abad-20, studi hadis mencatat kemajuan yang berarti
dan semakan banyak memperoleh perhatian dari kalangan dunia Isalam dan Barat. Hal ini
disebabkan karena begitu banyaknya penemuan-penemuan sumber baru dan perkembangan
dalam dalam metodelogi.
Studi hadis adalah dua pendekatan yang dapat membedakan: pertama, analisis isnad terhadap
hadis-hadis yang ahad, demikian herald motzki(1992)menyebutnya, yang terbukti menjadi alat
peneliti yang sangat kuat. Kedua, pendekatan yang fokus terhadap analisis teks(matn) hadis yang
dikembangkan melalui penyelidikan varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis
teks dan isnad. Hal inilah yang mendorong setudi islam untuk mengkaji Model teks-teks
keislaman studi hadis.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Kajian Orientalis Tentang Hadis
Kata orientalis berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata
oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan
timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Secara geografis kata orient bermakna
dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus
ilmiah populer orientalis adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Yakub menyatakan bahwa orientalis adalah orang
yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur,
terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya,
agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain. Dan dalam kata orientalis terkandung
sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya
apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka
ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok
Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasabahasa Timur serta kesustraannya.
Dalam kajian-kajian orientalis dengan berbagai diskursus studi keislaman ini, sebenarnya
bisa diberi pengertian bahwa mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja menyerang
keyakinan umat Islam dan mendiskreditkan Islam, sedangkan mempelajari tradisi Islam
merupakan topeng an sich. Pengertian ini didasarkan pada peristiwa Perang Salib, dimana
bangsa Barat mengalami kekalahan atas bangsa Timur dalam memperebutkan kawasan
Palestina, tempat ziarah kaum Nasrani, yang di menangkan tentara Islam pimpinan
Salahuddin al-Ayubi (1169-1193). Dari sinilah, orientalis kemudian tertuju kepada penjajahan
dunia Islam, dengan berkedok menggali dan mempelajari khazanah Islam, yang muara
akhirnya hanyalah untuk menghancurkan Islam.
Memang masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis,
bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh
sebagian umat. Islam Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karyakarya mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka. Sebagai bukti dalam bidang
hadis mereka menyusun sebuah kamus besar guna melacak kebenaran sebuah hadis
berdasarkan teks utama dari hadist tersebut dalam enam buku koleksi hadis kanonik, Sunan

Al-darimi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad Ibn Hambal dengan judul Concordace Et
Indices De La Tradition Musulmane ( al-Mujam al-Mufahras li Alfaz) Al Hadith al-Nabawi
dalam tujuh jilid. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan
oleh A.J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini A. J. Wensinck juga menyusun kamus
hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Miftah Kunuz Al-Sunnah.
Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para orientalis jelek,
bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput dari motivasi sentimen
keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya
saja, dari masa ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari
subyektivisme yang dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori
oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual. Kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis
dan garapan studi hadis ini adalah tentang:
1. Teori Sistem Isnad
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran, atau sesuatu yang kita jadikan
sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah,
terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru. Menurut ulama hadits, kedudukan
sanad sangat penting dalam riwayat hadits. Maka apabila suatu berita tidak memiliki
sanad, menurut ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits tetapi dapat
disebut hadits palsu atau hadits maudlu, walaupun seseorang menyatakannya sebagai
hadits. Abdullah bin al-Mubarak memberi pernyataan bahwa sanad hadits merupakan
bagian dari agama. Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas
dalam menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan
pentingnya sanad dalam kualitas hadits
Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun kontemporer
tentang persamaan atau perbedaan antara isnad dan sanad, posisi isnad dan sanad sangat
urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir,
hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam
buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan
menisbatkan kepemilikananya, terutama dalam bidang hadis.
Apabila hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam menyatakan
sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan pentingnya sanad dalam
kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat diterima selagi sanadnya berkualitas sahih.
Sebaliknya apabila sanad tidak sahih, maka hadits tersebut harus ditinggalkan. Imam
Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadits dengan sanadnya ibarat hubungan hewan
dengan kakinya. Sanad dijadikan sebagai obyek penelitian karena banyak sanad yang

palsu. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kontrofersi antara sarjana barat dan
timur yang mereka saling menguatkan pendirian mereka masing-masing tentang system
sanad dalam sebuah hadist
Berkaitan dengan relasi antara isnad dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni
sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnad bersamaan dengan proses
periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja
mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isnad, sebuah sistem periwayatan hadis
handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Mubarak merupakan bagian dari Islam. Bahkan
mereka berbeda pendapat secara tajam.
2. Evolusi Historis
Teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena
isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari
asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi
pandangannya tentang evolusi historisitas hadis, apakah kemunculan isnad bersamaan
dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi
saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari
Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu
dikemukakan. Sebab, menurut Muhammad Mustafa al-Azami, buku ini ibarat kitab suci
pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat,
sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam
yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era
selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan
doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat
disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari
Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau
refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim
selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda
dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga
dikenal dengan nama backward-projection theory atau nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li
al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak
memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur
Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Shabi (w.
110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka

hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Shabi. Hukum Islam
baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qadi) yang baru dilakukan pada
masa Dinasti Umayyah.
Keputusan-keputusan yang diberikan pada qadi ini memerlukan legitimasi dari
orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak
menisbatkan

keputusan-keputusan

itu

kepada

dirinya

sendiri,

melainkan

menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih


kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam
tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan hadis
pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di tangan para qadi
yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan
kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang
setelahnya.
3. Problem Validitas Hadis
Bila teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, maka
dua hal itu juga sangat memengaruhi problem validitas hadis. Sebab sistem isnad adalah
sistem untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai
valid atau tidak. Dengan kata lain, validitas hadis sangat bergantung pada penilaian
terhadap akurasi penerapan sistem isnad .
Sementara itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat membantu
pelacakan otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain, apakah keadaan
sebuah hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis atau tidak. Oleh sebab itu,
hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga hal tersebut sangat memengaruhi hasil
kajian yang lain.
Contoh terbaik untuk tesis tersebut adalah dua argumentasi dari empat argumentasi
Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis Nabi saw. Pertama, koleksi hadis
belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnad yang
lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua,
perkembangan hadis secara massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan
tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Dua argumentasi itu sangat berkaitan
dengan tiga aspek sekaligus.
Argumentasi pertama mengandung tiga kemungkinan yang saling berkaitan satu sama
lain. Pertama, aspek isnad yang menurutnya menggunakan istilah-istilah periwayatan
dengan lisan, bukan periwayatan tertulis. Secara tidak langsung, ia berpendapat bahwa
periwayatan tertulis lebih kuat daripada periwayatan lisan. Kedua, aspek historisitas hadis

yang menurutnya koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya.


Sumber tertulis merupakan sumber historis yang cukup memadai untuk dipercaya sebagai
salah satu dukomen yang bernilai tinggi. Ketiga, aspek validitas hadis yang bisa
ditangkap secara tersirat bahwa ketika sebuah hadis tidak memiliki sumber tertulis atau
direkam sejarah serta lebih banyak dilakukan secara lisan, maka validitas hadis itu sangat
diragukan.
Argumentasi kedua juga mengandung tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain.
Pertama, aspek isnad yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa ada semacam
keterputusan dan pelebaran sanad antara koleksi hadis yang lebih awal dengan koleksi
hadis belakangan. Dua hal itu menyebabkan perbedaan jumlah koleksi hadis yang
seharusnya sama antar generasi. Kedua, aspek historisitas hadis yang dapat ditangkap
secara tersirat bahwa sejarah pembukuan hadis tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan
membengkak. Ini terbukti dengan adanya perluasan materi atau koleksi hadis yang
semakin hari semakin banyak. Ketiga, aspek validitas hadis yang dapat ditangkap secara
tersirat bahwa pembengkakan jumlah hadis dari generasi ke generasi menimbulkan
asumsi bahwa hadis tersebut bukan berasal dari Nabi saw., tetapi berasal dari generasigenerasi setelahnya.
Di antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan studi hadis adalah
Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905), Ignaz Goldziher (1850-1921), David
Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens (1862-1937), Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone
Caetani (1869-1926), Josef Horovitz (1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred
Guillaume (1888- ), James Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-1969), G. Weil, R. P. A. Dozy,
Michael A. Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T.
Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson Charles J. Adams,
Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John Wansbrough, Burton, Hinds,
Hawting, Uri Rubin, J. Fck, H. A. R. Gibb, W. M. Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan
Harald Motzki.
Dengan mencermati ide-ide utama mereka, kita berkesimpulan bahwa mereka seakan-akan
terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat saling mewarisi ide, mengembangkan,
merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya habis-habisan.
B.

Fokus Kajian Orientalis

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits,
yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian
hadits:

1. Aspek Perawi Hadis


Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang
banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. seperti yang kita ketahui
bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para
sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasulullah
seperti

Abu

bakar,

Umar,

Usman

dan

Ali.

Namun

yang

banyak

meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena


mereka adalah orang baru dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar
sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh
sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti
Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu
hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil
meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan
lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian
Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi
menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana
orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan
ketetapan

beliau

juga

perlu

direkontruksi

ulang.

Sesuatu

yang

berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan
dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak
untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari
status lain seorang Muhammad.
3. Aspek Pengklasifikasian Hadits
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka.
Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi
Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut
mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian
hadits

secara

verbal,

sebagaimana

yang

dikatakan

Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini:


Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak
terdokumentasikan

dalam

bentuk

tulisan

semasa

Ia

oleh
pernah

hidup

atau

sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan,


setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit

banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam


permainan telpon-telponan anak kecil.
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam ,
lebih spesifik lagi tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan
pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis,
sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan
dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh
jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka
karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil
penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama,
terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.

C.

Perbedaan Metodelogi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Timur

Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis muslim dan hadis Barat adalah
perbedaan fundamental pendekatan terhadab tradisi Islam secara keseluruhan.
Sikap muslim tradisional terhadab hadis dapat dilihat sebai berikut
sunnah, atau hadis Nabi.. merupakan sumber utama kedua dalam hokum
Islam, benar, selamanya, dan kehidupan nabi merupakan teladan yang harus diikuti
oleh muslim tanpa memandang waktu dan ruang. Untuk alas an ini, para sahabat,
bahkan yang hidup pada masa nabi, mulai mengembangkan pengetahuan tentang
sunnah dan hal ini dianjurkan oleh Nabi sendiri. ( Azami, 1977:46).
Dengan kata lain hadis memiliki peran utama dalam Islam. Hal ini lah yang
mendorong Nabi dan para sahabat untuk mememelihara hadis secara akurat, dan
dalam pandangan tradisonal Anas Binmalik yaitu dengan cara mungkin sekitar 60
orang duduk bersama dan Nabi akan mengajarkan kepada mereka Hadis dan jika
Nabi pergi karena ada keperluan maka mereka akan menghafalkan hadis tersebut
dengan benar menanamkan hadis tersebut sampai kejiwa. Bagia sarjana muslim
Islam telah ditegakan oleh Allah jadi Nabi pasti akan selalu dan sangat
mempehatikan bentuk agamanya yang akan dielaborasi secara penuh beberapa
abad kenudian.
sampaikanlah

apa-apa

ayat(HR.Bukhari).

Allah

yang

menyinari

berasal

dariku

orang-orang

meskipun

yang

hanya

satu

medengarkan

hadis

dariku,jagalah ia dengan hati-hati, dan sampaikanlah kepada yang lain(HR. Ibn


Hambal). hadis ini dapat kita implementasikan sebagai langkah awal untuk
memelihara hadis dan menjaganya dengan hati-hati. Telah diterangkan bahwa
hadits mempunyai unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka obyek penelitian
hadits merujuk pada keduanya. Dalam melakukan penelitian hadis, banyak hal
penting yang perlu dikaji dalam Sanad dan matan hadist sebagai berikut:
1. Sanad

Menurut ulama hadits, kedudukan sanad sangat penting dalam


riwayat hadits. Maka apabila suatu berita tidak memiliki sanad, menurut
ulama hadits berita tersebut tidak bisa disebut dengan hadits tetapi dapat
disebut

hadits

menyatakannya

palsu

atau

sebagai

hadits

hadits.

maudlu,

Abdullah

bin

walaupun

seseorang

al-Mubarak

memberi

pernyataan bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama. Apabila


hadits tersebut tidak ada sanadnya, maka seseorang bebas dalam
menyatakan sesuai dengan kehendaknya. Pendapat tersebut menjelaskan
pentingnya sanad dalam kualitas hadits. Dengan demikian hadits dapat
diterima selagi sanadnya berkualitas sahih. Sebaliknya apabila sanad tidak
sahih,

maka

hadits

tersebut

harus.

ditinggalkan.

Imam

Nawawi

menyatakan bahwa hubungan hadits dengan sanadnya ibarat hubungan


hewan dengan kakinya.
Sanad dijadikan sbagai objek penelitian karena banyak sanad yang
palsu. Adapun tanda-tanda sanad yang palsu yaitu:
a. Perawi hadits yang diketahui banyak orang adalah seorang
pembohong

b. Seorang perawi mengakui bahwa hadits yang diriwayatkan


adalah palsu

c. Seorang perawi mengaku mendapatkan hadis dari seorang


syekh, tetapi tidak dapat dipastikan pernah menemui syekh
tersebut

d. Kepalsuan hadits yang diketahui dari keadaan perawi dan


dorongan psikologisnya

Krtitik eksteren sanad, dalam penelitian sanad dikenal dengan istilah kritik
ekstren yaitu kritik terhadap rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada
matan hadis. Dalam meneliti sanad,agar lebih muda untuk menilai sanad apakah itu
dapat dijadikan sahih atau tidak. Adapun bagian-bagian yang dapat diteliti sbb:
a. Nama-nama seseorang perawi yang meriwayatkan hadis
b. Lambang-lambang yang digunakan para dalam meriwayatkan hadis seperti
samitu, akhbaroni, an, dan anna,dll.
Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesahihan hadis
tergantung pada kualitas sanad. Selain itu juga ada unsur sanad dalam hadis yang
sangat penting karena sanad dijadikan sandaran. Unsur kritik kaidah sanad adalah:

a. Unsur kaidah mayor yang pertama. Sanad bersambung, mengandung


unsure-unsur kaidah minor: Mutthasil (bersambung), marfu (bersandar
pada Nabi saw), mahfuz (terhindar dari syudzudz), dan bukan muall
(bercacat).
b. Unsur kaidah mayor yang kedua. Perawi bersifat adil, mengandung
unsure-unsur kaidah minor: Beragama Islam, mukalaf ( balig dan berakal),
Melaksanakan ketentuan agama Islam), dan memelihara muruah (adab
kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada
tegaknya kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan)
c. Unsur kaidah mayor yang ketiga. Perawi bersifat dhabith atau adbath,
mengandung unsur-unsur kaidah minor: hafal dengan baik hadis yang
diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang
dihafalkan kepada orang lain, terhindar dari syudzudz dan terhindar dari
illat. Dengan acuan kaidah mayor dan minor bagi sanad tersebut, maka
penelitian sanad hadist dilakasanakan. Sepanjang semua unsure diterapkan
secara benar cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad
dengan tingkat akurasi tinggi.
Sendangkan bagi sarjana Barat, ungkapan hadis Allah menyinari orang yang
mendengarkan hadis dariku, mejaganya dengan hati-hati, dan menyampaikannya
kepada yang lain, adalah salah satu bukti hadis yang tidak pernah diucapkan oleh
Nabi Muhammad saw. Bagi mereka hadis ini dibuat setelah kehidupan Nabi dengan
tujuan untuk mendukung upaya-upaya pengumpulan hadis. Bukan hanya sarjana barat
saja yang mempersoalkan tentang otensitas sebagian hadis karena ada banyak hadis
palsu yang merupan hal fakta yang diakui oleh sarjana muslim maupun sarjana barat.
1.

Matan
Obyek penelitian yang kedua yaitu matan hadits. Penelitian ini diperlukan karena
keadaan matan tidak bisa dipisahkan dari keadaan sanad hadits. Selain itu matan
hadits diriwayatkan dalam makna (Riwayah bil Mana) karena semua rawi belum
tentu memenuhi syarat sah meriwayatkan hadits secara makna. Penelitian matan
hadits dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan bahas, rasio,
sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Tetapi walaupun banyak pendekatan

yang digunakan, masih sulit meneliti keadaan matan hadits.Kesulitan tersebut


disebabkan:
1. Adanya periwayatan secara makna.
2. Pendekatan yang dijadikan acuan bermacam-macam
3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits sulit diketahui
4. Kandungan petunjuk hadits yang bersangkutan dengan hal yang supra rasional
5. Kitab-kitab yang membahas kritik matan masih langka
Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa meneliti matan itu sangatlah sulit. Maka
dari itu untuk melakukan penelitian matan, seorang perawi harus jeli dan memerlukan
kecerdasan dalam memetakkan masalah, dan pendekatan mana yang relevan dengan
masalah yang akan diteliti tersebut.
Kritik Intren Matan
Dalam penelitian matan hadits dikenal istilah kritik intern adalah mengkritiki
materi yang bersandar pada Nabi berkaitan dengan nilai-nilai konteks. Maka untuk
memahami hadits Nabi harus memperhatikan konteks informasi. Adapun unsur-unsur
kaidah kritik matan sbb:

Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang tidak pernah diucapkan
oleh seorang ahli retorik atau penulur bahasa yang baik.

Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang


aksiomatik, yang sekitarnya tidak mungkin ditakwilkan

Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan


akhlak.

Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.

Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran


dan ilmu pengetahuan.

Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang tentunya agama tidak


membenarkannya.

Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal (rasional) dalam


prinsip-prinsip kepercayaan (aqidah) tentang sifat-sifat Allah dan para
Rasul-Nya.

Tidak bertentangan dengan Sunnatullah dalam alam dan manusia.

Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh
manusia yang berpikir.

Tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran atau dengan Sunnah yang


mantap, atau yang sudah terjadi ijma padanya, atau yang diketahui agama
secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung kemungkinan tawil.

Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang


diketahui dari zaman Nabi SAW.

Tidak

boleh

bersesuaian

dengan

mazhab

rawi

yang

giat

mempropagandakan mazhabnya sendiri.

Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian
sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang
meriwayatkannya.

Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi


meriwayatkannya.

Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan


kecil atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai perberdaan antara sarjana Muslin dengan
sarjana Barat. Sudah dijelaskan baibana cara sarjana muslim menentukan suatu hadis namun
memang tidak dapat dipungkiri juga ada banyak hadis yang bersifat masih rancu. Ibn Qayyim
(w. 1350) menulis hadis proses penolakan hadis berdasarkan muatanya. Menurutnya sebuah

hadis yang menyatakan Tidak ada Tuhan Selain Allah, yang merupakan bagian pertama dari
syahadat, Tuhan menciptakan dari hal ini seekor burung dengan 70000 bahasa, adalah hadis
yang rancu, dan kontradiksi dengan sunnah, bertentangan dengan dengan Al-Quran. Hadis ini
lebih menyerupai perkataan mistikus (Garden,2005:16-17)
Sehingga pada akhirnya standart yang ditetapkan untuk menilai periwayatan hadis ada
sekitar 12, sejak siqatun sabitun hingga kazzab sehingga hadis dibagi menjadi dua kelompok
hadis maqbul dan hadis mardud, dengan masing-masing kategori yang terbagi kedalam
beberapa tingkatan. Berdasarkan system kritik hadis yang mapan ini, para mistikus Muslim
dapat mengkodifikasi hadis-hadis shahih yang terkumpul dalam kitab Bukhari dan Muslim,
dan banyak hadis lainnya yang tidak dipandang sahih, namun memiliki keaslian yang dapat
diterima sehingga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan hokum dan ibadah.
Sementara itu, para sarjana Barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode-metode
untuk menentukan keaslian hadis berdasarkan Isnad. Mereka cenderung menginginkan untuk
kembali kepada matan atau muatan dari sebuah hadis. Karena mereka memiliki alas an utuk
meragukan adanya hadis yang tidak berasal dari Nabi karena hadis itu membicarakan
persoalan-persoalan setelah masa kewafatan Nabi. Hal ini didukung oleh fakta bahwa
sebagian kaum muslim belakangan berusaha untuk menemukan dukungan bagi kelompok
atau ajaran mereka dengan menyandarkan pandangan mereka kepada perkataan Muhammad.
Sebagai contoh adalah masalah suksesi kepemimpinan. Ada sekelompak yang merasa
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang tepat untuk mengantikan Nabi sebagai khalifah
pertama, bukan sebagai khalifah keempat. Dari kelompok ini munculah syiah. Jadi, para
sarjana Barat mejumpai suatu hadis yang mengatakan: ketika Nabi masih hidup di antara
kami, kami tidak membandungkan seorangpun dengan Abu Bakar, sesudahnya Ummar, dan
kemudian Usman. Kami tidak membeda-bedakan antara sahabat-sahabat Nabi yang
ada(HR.Abu Daud). Sarjana Barat berpendapat bahwa Hadis ini beredar setelah Nabi wafat
dengan tujuan untuk melegalitimasi klaim Ali sebagai khalifah. Juga ada hadis yang memiliki
pesan bertentangan, bahwa Muhammad saw. Bermaksud agar agar Ali menjadi penggantinya.
Muhammad saw. Dikatakan telah bersabda: Barang siapa yang ingin jadi patronku, maka Ali
juga patronnya HR. Ahmad Ibn Hambal). Dari contoh ini, jelas system metode isanad
belumlah cukup.

Banyak sarjana barat yang melihat matan sekaligus isnad untuk menentukan keaslian
suatu hadis, begitu pula mereka menentukan keaslian suatu hadis berdasarkan isanad dan
matanya. Sebagai mana mereka memandang bahwa isnad tumbuh belakangan artinya, pada
sumber-sumber awal, suatu hadis dijumpai dengan system isnad yang luas hingga abad ke-8.
Asumsi para sarjana barat adalah karena pentingnya pertumbuhan hadis dan ilmu yang
mengritikanyapun juga sudah semakin cangih, yang menuntut asal-usaul hadis dari Nabi
sendiri, hadis yang dihiasi isnad pada akhirnya tersambung dengan Nabi Muhammad saw.
Dan perbedaan-perbedaan dalam mendekati hadis ini bermula dari berbagai pendekatan yang
mendasar pada tradisi keagamaan secara keseluru

D. Kajian Sadrjana Muslim Modern


Kajian sarjana muslim modern cenderung kepada pengkajian persoalan kritik teks yang pada
akhirnya akan meragukan beberapa catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid
Ridha, Mahmoud Abu Rayyah, Ahmad Amin, dan Ismail Ahmad Adham. Yang masingmengatakan
Membahas kritik matan, tidak dapat menerima hadis jika hadis-hadis tersebut
tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis atau jika hadis-hadis itu
bertentangan dengan hadis(Ridha,19928:40)
Hadis pada umumnya harus dikaji secara luas agar dapat dipertanggung jawabkan
reliabilitas teksnya, dan metode penelitian dan kajian hadis tidak dapat berubah.
(Mahmoud Abu Rayyah)
Para Srjana meletakkan berbagai aturan yang sangat hati-hati untuk mengeritik
dan menilai hadis yang terlampau rinci. Namun intinya metode mereka lebih
memerhatikan untuk melihat periwayat dari pada periwayat itu sendiri.(Ahmad
Amin)
Para Sarjana hadis dan kritik mereka tidak mengarah pada kritik teks yang
dilakukan secara ilmiah.(Ismail Ahmad Adham)
Sehingga keempat sarjana muslim diatas mendapatkan respon dari sarjana muslim yang
lainnya, dari sudut pandang merekalah terjadi pengelohan penjelasan-penjelasan tentang karya

klasik hadis para periwayat terhormat telah dilakukan oleh sarjana muslim modern Abu Rayyah.
Ratuhan halaman ditulis untuk mempertahankan sunnah dari penolaknya, khususnya yang
berkaitan dengan persoalan kritik matan. Dikatakan hadis tidak boleh berisi pernyatanpernyataan yang rancu atau bertentangan dengan ajaran dari sumber-sumber yang lebih otoriatif
seperti Al-quran. Sehingga para kritikus berpendapat bahwa kajian mereka tentang muatan hadis
dan upayanya tidak bermana jika tidak diperkokoh dengan ilmu dirayah. Ilmu dirayah adalah
ilmu yang memuat studi analitik dan sejarah perkataan, perbuatan Nabi. Ilmu ini bermaksud
untuk menyelidiki syarat-sayarat perawi dan yang diriwayatkan (marwi). Al-Ghazali mencatat
dua prinsip kritik matan hadis sebagai berikut: 1. Matan harus bebas dari syuzuz, yakni
bertentangan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya, 2. Matan harus bebas dari catatan
serius (illah qabibah).(syekh Muhammad Al-Ghazali). Dua sayarat ini, menurutnya menjamin
secara terpercaya tentang kebenaran suatu hadis jika diterapkan dengan sebenar-benarnya.
Itulah penjelasan pembahasannya yang dibahas oleh banyak kaum orientalis dan beberapa
sarjana dan kritikus Muslim modern yang merutnya muhandisun masa awal telah memberikan
tekanan terhadap isnad dan saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telelah mengabaikan
kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima dan keliri. Yang sesunggunya para
muhandisun sudah melakukan pengritikan baik dari sehi isnad maupun matannya.
E. Pendekatan Revolusioner: al-Albani
Menurut al-Alnbani penempatan hadis itu sebgai pilar utama dalam proses yuridis, karena
hadis menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam AL-Quran
tanpa bersandarkan pada mazhab fiqih yang ada. Karena ituibu kandung semua ilmu keagamaan
adalah hadis, yang dimana hadis juga digunakan sebagai sumber kedua setalah Al-Quran dalam
pemgacuan berbagai hukum. Menurunya penalaran secara idepende harus dikeluarakan dari
proses ini: kritik matan harus benar-benar menjadi ilmu formal, yang perlu ditantakan adalah
Sanad.
Sebagai metodenya al-Albani menghasilkan fatwa-fatwa yang bertentanga dengan ijma
Isalam pada umumnya khususnya terhadap mazhab fiqih Hambali. Contohnya, dia menyatakan
bahwa mihrab masjid yang menunjukan arah mekkah adalah bidah, dan dia juga menyatakan
kebolehan sholat dimasjid dengan sepatu. Pandangan yang lebih controversial adalah penduduk
palestina tidak boleh meninggalkan tanah palestina yang sedang dijajah karena ibadah iman itu

lebih penting dari pada sejengkal tanah. Akhirnya al-Albani mengambil posisi menentang terlibat
dalam masalah politik. Dan dia lebih memilih persaudaraan Isalam.
Pendekatan al-Albani ini juga mendapatkan pertentangan terutama dari kaum Wahabbi yang
tidah setuju bahkan menyerangnya. Kontroversi ini makin menegang saat diterbitkanya buku
yang berjudul Jilbab Perempuan Muslim yang dima Labani berargumen bahwa jilbab
perempuan muslim tidak harus menutupi wajahnya. Penentangan antara al-Albani pun terjadi,
tidak hanya dalam intelektual saja bahkan Agama juga menjadi pertentanga yang mencolok
diantara mereka, yang dimana menurut Al-Albani tradisi baik segi agama,hokum dll telah
dimonopoli oleh sekelompok kecil aristocrat dari Najd yang hidup disekiar Muhammad bin
Abdul Wahab dan pengikutnya.
Yang dimana ilmu menururut tradisi wahabi, adalah hasil dari proses warisan dan tergantung
pada sejumblah ijaz yang diberikan seorang ulama kepada muridnya. Dan menurur al-Albani
warisan semacam ini tidak penting sama sekali, karena setiap hadis itu terbuka untuk dikritik dan
suatu hadis yang di riwayatkan oleh ulama terhormat sekalipun tidak menjamin keasliannya.
Sebaiknya proses yang penting salah akumulasinya.Artinya seorang ulama hadis adalag seorang
yang meghafal sejumblah besar hadis dan lebih penting lagi adalah biografi sejumblah besar
periwayat. Jadi, ilmu hadis dapat diukur menurut criteria objektif yang tidak berhubungan dengan
kelurga, suku, atau,keturunan yang mengesampingkan meritokrasi.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang
kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang m
emandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang
menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan
orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said
menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:
1.

Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia


Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient).

2.

Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang


kebudayaan Arab dan Islam.

3.

Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan),
namun ia berfungsi untuk tujuan politik.

Tidak hanya itu dalam pengkajian hadis Sanad dan matan harus benar-benar digunakan
secara mendalam untuk meninjau sebuah hadis.Karena tidak hanya sedikit hadis-hadis yang
bersifat masih rancu sehingga pengkajiannya benar-benar harus lebih teliti, dan harus diakui
bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak
yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti
misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan
sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang
berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap
kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.

Anda mungkin juga menyukai