Anda di halaman 1dari 21

STUDI TAFSI<R AYA<T AL-AH{KA<M KARYA MUH{AMMAD ‘ALI> AL-SA<YIS

Muhammad Lutfi, Vina Annisa, Zahrotul Kamelia

Latar Belakang
Kitab fikih, menurut Nasr H{a>mid Abu> Zayd, ‚menyimpan banyak
keputusan para hakim dan ulama terkait perkara yang dialami umat sehari-hari.
Dari sana, dapat diketahui, sejauh mana agama hidup, sejauh mana pula ia teks
yang beku.‛1 Arikulasi yang demikian merumuskan bahwa, fikih adalah hasil
dialektika manusia—berikut segala latar belakangnya—dengan teks. Fakta bahwa
perbedaan ketentuan hukum dalam kasusu yang sama di tempat yang berbeda,
atau di satu tempat yang sama tetapi terjadi dalam waktu yang berbeda,2
menunjukkan fleksibelitas manusia berdialog dengan teks.
Titik sentral teks al-Qur’an dan sunnah, pada akhirnya mutlak
memerlukan berbagai pendekatan. Produk fikih terdahulu mencerminkan
instrumen ijtihad yang hingga kini terus dikembangkan. Dialog dengan teks
tersebut tidak mencerminkan hukum yang melulu legal-formal dan kaku, karena
bagaimanapun tiga aspek yang harus hadir dalam rumusan menjadi penyeimbang
yang penting: pemahaman makna teks, identifikasi sasaran dan tujuan, istibat dari
apa yang ada di balik teks.3
Menarik kemudian dilihat, bahwa yang melakukan dialog hingga
akhirnya teks al-Qur’an menjadi rumusan hukum, tidak hanya dilakukan oleh
imam madzhab. Lebih dari itu, sejarah Tafsir al-Qur’an merekam berbagai karya
ulama Tafsir di bidang fikih. Baik mengembangkan hukum imam madzhabnya,
atau pun melakukan rumusan hukum baru. Salah satu ulama abad ke-20 yang
menulis tentang Tafsir fikih, adalah Muhammad ‘Ali al-Sa>yis. Ulama terkemuka
dari Mesir yang fokus bidangnya adalah fikih. Karenanya, Untuk keperluan

1
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir jilid 12 (Jakarta: Tempo, 2017), 199-200.
2
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqliyya>t dan Evolusi Maqa>sid al-
Syari>’ah dari Konsep ke Pendekatan (Yogyakarta: LKiS, 2010), 2.
3
Abd Salam, ‚sambutan‛ dalam Muhammad al-Hudhari Bek, Ushul Fiqh terj Faiz el
Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), iii.

1
akademik, pembatasan kajian akan diperjelas, yakni menyentuh aspek biografi
mufassir, deskripsi kitab dan contoh terkait penafsirannya.
Sketsa Biografi Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis
Syekh Muhammad ‘Ali al-Sa>yis adalah seorang ulama yang berasal dari
Mesir. Beliau dilahirkan pada tahun 1319 H/1899 M di kota Matubis, salah satu
daerah yang dekat dengan laut, Mesir. Dan wafat di usia 77 tahun pada saat fajar
hari Rabu, 24 Nopember 1976 M (awal Dzulhijjah 1396 H). al-Sa>yis menerima
pendidikan agama sejak dirinya masih kecil, dan didikan tersebut berasal dari
lingkungan keluarganya. Al-Sa>yis menunjukkan bakat yang cemerlang semenjak ia
masih belia, belum genap sepuluh tahun—yakni sembilan tahun, ia sudah
menyelsaikan hafalan al-Qur’annya.
Al-Sa>yis menuntaskan pendidikan di Universitas Kairo, Mesir. Di usia 28
tahun beliau menjadi dosen di fakultas Ushuluddin, kemudian diangkat menjadi
dekan fakultas Ushuluddin di tahun 1954 M, dan menjadi dekan fakultas Syariah
pada tahun 1957 M. Beliau menerima sertifikat Internasional pada tahun 1926 dan
memperoleh gelar doktor pada tahun 1927 M dengan peringkat ‘al-imtiyaz’.
Beliau dianggap sebagai pelopor dalam bidang ilmu ushul dan merupakan anggota
dewan tertinggi Al-Azhar pada tahun 1954 hingga wafatnya di tahun 1976, serta
sebagai salah satu anggota dari ilmuwan senior. Disamping itu juga menjadi salah
satu ulama pembesar Mesir pada tahun 1950.4 Beliau juga pernah diangkat sebagai
sekretaris akademi Penelitian Islam yang kemudian pensiun di usia 65 tahun pada
tanggal 16 Juli 1964.
Sebagai ulama yang cemerlang, al-Sa>yis banyak menulis pemikirannya,
antara lain karya di bidang ilmu hadis, fiqih, us}ul. Diantara buku al-Sa>yis yang
paling terkenal adalah buku Fiqh al-Ijtiha>di>, tarikhul al-Tasyri’ al-Islamy.
Sedangkan kitab Tafsir A>ya>tul Ahka>m sebenarnya adalah literatur khusus yang
disusun oleh Muhammad Ali Al-Sayis untuk kalangan mahasiswa fakultas Syariah
di Universitas Kairo, Mesir. Kitab Tarikhul al-Tashri>’ al-Islamy ditulis ketika
beliau mengajar di fakultas Syariah. Dan beberapa ulama turut andil dalm

4
Muh}ammad ‘Ali Iyazi, al - Mufassiru>n H{aya>tuhum wa Manhajuhum juz 1 (Teheren:
Wazarah ats- Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami, 1386), 153.

2
penulisan kitab tersebut, diantaranya: Muh}ammad Husayn al-Dhahabi> dan Doktor
Yusu>f al-Qard}awy.5
Fokus pemikiran al-Sa>yis adalah tentang fiqh dan shari’ah, termasuk di
dalamnya maqasid al-shari’ah. Karena, bagi al-Sa>yis shari’ah, sebagaimana
dimaksudkan oleh para ulama, adalah hukum Tuhan untuk hamba agar menjadi
orang Islam yang baik serta menjadi faktor kebahagiaannya baik di dunia maupun
di akhirat—bagi yang mengamakan shari’ah.6 Meskipun maqa>sid al-shari’ah tidak
terdapat dalam karya tafsirnya, sekurang-kurangnya, karya ini masih terkait
dengan fokus kajian al-Sa>yis—fiqh.
Deskripsi dan Metode Kitab Tafsir Ayat Ahkam Ali al-Sayis

Kitab Tafsir Ayat al-ahkam karya Ali al-Sayis ini merupakan satu dari
banyak sekali kitab tafsir ayat ahkam lainnya, seperti kitab Ahkam al-Qur’an karya
al-Jassas, Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-Arabi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya
Qurtubi, Rawai’ al-Bayan karya ‘Ali al-Sabuni, Tafsir al-Munir karya Wahbah al-
Zuhayli, dan banyak lagi kitab tafsir ahkam lainnya. Kitab tafsir ini tidak begitu
tebal dibandingkan dengan kitab tafsir yang lain, hanya sekitar kurang lebih 800
halaman, karena sejak semula kitab ini disusun dan disesuaikan dengan kurikulum
fakultas Syari’ah di al-Azhar.
Melihat beberapa kutipan yang digunakan oleh al-Sa>yis, terlihat bahwa
sistematika, metode, dan rujuan dalam tafsirnya adalah sebagi berikut:
1. Melalui tafsir bil ma’tsur yang merupakan penafsiran yang berdasarkan
pada riwayat hadist. Hal ini dapat dilihat pada salah satu rujukan yang
digunakan Ali al-Sayis, yaitu tafsir Imam al-Suyuti dan Ibn Jarir al-Thabari.
2. Melalui tafsir bi al-ra’yi yang merupakan penafsiran berdasarkan
pengambilan hukum dengan pemikiran akal. Hal ini dapat dilihat pada salah
satu rujukannya, yaitu tafsir karya al-Ra>zi, al-Zamakhsyari, dan lainnya.

5
Fahd ibn ‘Abd al-Rah}man ibn Sulaima>n al-Ru>mi>, Ittijahat at-Tafsir fi al-Qorn al-Ra>bi’
Ashr juz 2 (Saudi: Mamlak al-‘Arabiyyah al-Sa’u>diyyah, 1986), 463.
6
Muhammad ‘Ali al-Sa>yis, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atha>ruhu (Kairo: Majma’ al-
Buhuth al-Isla>miyyah, 1970), 8.

3
3. Dari segi hukum-hukum, kitab tafsir ini dikuatkan dengan kitab Imam al-
Qurtubi dan imam al-Jas}s}as.
Fokus penafisran al-Sa>yis adalah diskursus fiqh, yang ditulis beliau untuk
para mahasiswanya yang belajar pada kuliah Syariah Universitas al-Azhar selama
empat tahun ajaran. Karenanya, pada masa awal terbit, tafsir tersebut terbagi atas
empat jilid dalam satu kitab yang diberikan dalam empat tahap tahun ajaran sesuai
dengan pengajaran kuliah syariah Universitas al-Azhar. Kitab tafsir ini dicetak
pertama kali pada tahun 1954 M (empat jilid). Sedangkan memasuki abad ke-21,
tafsir tersebut dicetak dalam satu jilid saja, sehingga lebih ringkas dan
memudahkan pembaca.
Pada awal cetakan, tafsir al-Sa>yis memiliki jumlah halaman sebanya 814
yang terbagi dalam empat sanah, yang pertama 176, yang kedua 238, yang ketiga
192 dan yang keempat 208. Muatan hukum dalam tafsir ini mengacu pada ahlu
sunnah wal jama’ah atau madzhab empat, dan disajikan mengikuti urutan mushaf.
Tidak menggunakan bab-bab seperti dalam kitab fiqih, akan tetapi seluruh ayat-
ayatnya berhubungan dengan hukum. Beliau tidak memberikan kata pengantar
ataupun menjelaskan metode yang beliau pakai ketika menulis tafsir ini, akan tetapi
tafsir ini menyertakan seluruh pendapat ulama madzhab empat dan juga pendapat
yang paling kuat dan dalam tafsir ini tidak didapati pendapat beliau yang lebih
condong kepada salah satu madzhab seperti halnya ulama-ulama fiqh yang kadang
lebih condong kepada apa yang diyakininya ataupun yang dipelajarinya7.
Sebagaimana dengan kitab fiqih, kitab ini merujuk pendapat imam
madzhab, berdasarkan madzhab Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Adapun secara
susunan kittab, disusun berdasarkan urutan ayat dan surah, tidak berdasarkan bab-
bab fiqih. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sesungguhnya tafsir ini tersusun
secara mushafi (mushaf usmani), sedangkan isi kitab memuat ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan hukum.
Kitab ini dimulai dengan penjabaran makna isti’a>dah. Setelah itu al-
Fa>tih}ah secara menyeluruh. Dilanjutkan dengan al-Baqarah (102-103), (106-108),
(144), (158-160), (173), (178-203), (215-242), (275-283). Surah A<li ‘Imra>n (28),

7
Iyazi, al - Mufassiru>n H{aya>tuhum..., 155.

4
(96-97), (130-132). Al-Nisa>’ (1-36), (43), (58-59), (92-94), (101-106), (127-130),
(176). Surah al-Ma>’idah (1-8), (33-35), (38-39), (42-45), (87-97), (103), (106-108).
Surah al-An’a>m (118-121), (141), (145). Al-A’ra>f (204-206). Surah al-Anfa>l (1),
(15-16), (41), (72-75).Surah al-Taubah (6-7), (17-18), (28-29), (36-37), (60), (84),
(103), (122-123). Surah al-Nah}l (67), (98), (106). Surah al-Isra>’ (78-79). Surah al-
H{ajj (27-39), (77-78). Surah al-Nu>r (1-10), (27-34). Surah Luqma>n (14-15). Surah
al-Ah{za>b (4-6), (49-59). Surah Saba’ (13). Surah S{a>d (44). Surah al-Ah}qa>f (15-16).
Surah Muh}ammad (4), (33). Surah al-H{ujura>t (6-12). Al-Wa>qi’ah (75-80). Surah
al-Muja>dalah (1-4), (9-13). Surah al-H{ashr (6-7). Surah al-Mumtah}anah (8-11).
Surah al-Jum’ah (9-11), surah al-T{ala>q (1-7). Surah al-Tah}ri>m (1-2). Surah al-
Muzammil (1-8), (20).
Secara umum, sistematika dan metode yang digunakan Ali al-Sayis dalam kitab
tafsir ini adalah:
1. Beliau mengawali penafsiran dengan menyebut satu sampai tiga ayat
hukum yang hendak dikaji. Dan tidak memulai dengan tema-tema kajian
dahulu (seperti Rawai’ul Bayan karya Ali As-Shabuni) baru kemudian
mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema, melainkan
menyebutkan sesuai urutan surah dan ayatnya terlebih dahulu. Seperti pada
surah al-Baqarah ayat 102-103 yang merupakan ayat tentang sihir.
2. Kemudian ia mengurai kata-kata teknis yang harus dipahami terlebih
dahulu. Tafsir ini disebut pula dengan tafsir mufrodat.
3. Langkah berikutnya, beliau mulai menafsirkan frase-frase ayat yang
memiliki kandungan hukum. Dalam hal ini, Ali al-Sayis mengkolaborasi
kajian dengan mengungkapkan pendapat para mufassir baik dari kalangan
mufassir klasik maupun kontemporer.
4. Pada bagian akhir, Ali al-Sa>yis melakukan istinbath hukum yang
disederhanakan dari ulasan ayat-ayat tersebut.
Secara eksplisit, al-Sa>yis tidak mengemukakan terkait metode yang
digunakan. Namun, dengan melihat pola penafisran, dan meninjau pola tersebut
dari paradigma metode yang dirumuskan al-Farmawi, maka tafsir al-Sa>yis

5
menggunakan metode tahlili,8 hal ini dilihat dari penyebutan suatu ayat dalam al-
Qur’an, kemudian ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan permasalahan yang
terkait. Meskipun al-Sa>yis belum menyebutkan metode penafsiran seperti apa yang
digunakan, namun secara umum, beberapa langkah yang digunakan dalam
penafsiran tersebut adalah:
1. Disebutkan ayat tertentu dalam surah tertentu. Apabila ayat tersebut
terdapat asba>b al-nuzu>l, hal itu disajikan dalam tafsirnya.
2. Terkait dengan gramatika bahasa, suatu ayat yang disebutkan dan dijelaskan
berdasarkan kata perkata yang merupakan kalimat inti secara rinci.
3. Terdapat pemaparan aspek balaghiyah (bahasa), sehingga mampu
memperindah dalam pemaknaan.
4. Disebutkan munasabah dengan ayat dan surah lain baik yang sebelum atau
yang sesudahnya.
5. Untuk memperkuat argumen yang muncul dalam penafsiran disebutkan
hadis-hadis shahih terkait dengan ayat yang ditafsirkan.
6. Terdapat pendapat ulama yang disebutkan, terkait dengan pembahasan suatau
hukum yang terdapat dalam ayat yang menjadi pokok bahasan.
7. Terdapat syair-syair membantu menjelaskan dari aspek bahasa.
8. Disebutkan istinbath hukum yang terdapatkan dari ayat yang ditafsirkan.

Sampel Bentuk, Metode, dan Perangkat ‘Ulu>m al-Qur’a>n dalam Tafsir Al-Sa>yis
Perlu diklarifikasi, bahwa yang dimaksud bentuk dan metode di sini
mengacu pada rumusan Nashruddin Baidan. Menurut klasifikasinya, bentuk tafsir
ada dua: ma’thu>r dan ra’y. Karena bentuk ra’y dalam tafsir ini tetap banyak
mengacu pada riwayat maupun pendapat guru al-Sa>yis, maka yang menjadi fokus
deskripsi adalah bentuk ma’thur. Sedangkan yang dimaksud metode di sini adalah
pengembangan dari sub-bab sebelumnya, yang menyangkut deskripsi dua hal: pola
pengutipan, dan deskripsi istinbat hukum.

8
Metode tahlili dalam arti menjelaskan bagian ayat demi ayat-surah. Kandungan ayat
tersebut dibedah dari berbagai sisi: bahasa, sabab nuzul, munasabah, dan penjelasan
dengan naql. Lihat ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Muqaddimah fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>
(Kairo: H{ad}ara>t al-‘Arabiyyah, 1997), 24.

6
Metode yang akan dijelaskan tidak mengacu pada Nasruddin Baidan.
Karena metode (tahlili) akan dijelaskan pada bab ‚contoh‛. Dengan kata lain,
yang dimaksud metode di sini hanya bersifat pengembangan dari bab sebelumnya.
Pemilihan pola pengutian dan istinbat hukum dilatari dua alasan. Pertama,
deskripsi pola pengutipan selain menjadi sampel pola, juga menjadi analisis terkait
kitab tafsir al-Sa>yis. Kedua, pemilihan deskripsi istinbat diambil karena dalam bab
‚contoh‛ yakni surah al-Fa>tih}ah, al-Sa>yis lebih memaparkan penyebab perbedaan
para ulama terkait satu hal tertentu. Karenanya, deskripsi istinbat menjadi contoh
pelengkap. Yang terakhir, deskripsi perangkat ulumul qur’an yang digunakan oleh
al-Sa>yis.
Bentuk tafsir ma’thur, menurut Nashruddin Baidan, adalah mengutip ayat
lain dan pendapat generasi awal Islam untuk menjelaskan kandungan ayat al-
Qur’an.9 mengacu pada rumsan tersebut, al-Sayis menggunakannya pada beberapa
tempat, ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 234, ditafsirkan dengan ayat
keempat surah al-T{ala>q. Menurut teks al-Qur’an al-Baqarah ayat 234 tersebut,
iddah wajib dilakukan selama empat bulan sepuluh hari. Kecuali wanita hamil,
sebagaimana dijelaskan surah al-T{ala>q ayat empat, yang masa iddahnya adalah
selama masa kandungan.10
Al-Sa>yis juga menggunakan hadis ketika menafsirkan al-Baqarah ayat
173, yang artinya, ‚sesungguhnya dia telah mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan hewan sembelih dengan menyebut nama selain Allah...‛11 ayat
tersebut memiliki beberapa pengecualian, misalnya tidak semua bangkai adalah
haram, sebagaimana hadis nabi yang banyak di kutip: ‚laut itu suci airnya, halal
bangkainya.‛12 Selain itu, al-Sa>yis juga mengutip pendapat sahabat, seperti ketika
menafsirkan ayat sembilan dari surah al-Nisa>’:

9
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
370-372.
10
Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m (Kairo: Maktabah al-‘As}riyyah, 2002),
165.
11
Departemen Agama Ri, Al-Hikam: Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro,
2008), 26.
12
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t..., 52.

7
‚dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu bertakwalah keada
Allah, dan hendakya mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.‛
Dalam penjelasannya al-Sa>yis mengutip pendapat Ibn Abba>s yang
mengatakan, yang dimaksud ayat tersebut adalah orang sakaratul maut, yang
segera menydekahkan hartanya untuk raja, maupun di jalan Allah. hendaknya
orang yang sakaratul maut tidak melakukan hal demikian, adapun sedekah dalam
kondisi tersebut diperuntukkan unutuk anaknya, maupun kerabat terdekat.13
Sedangkan untuk metode pengutipan, al-Sa>yis sangat banyak
menggunakan argumen berlandaskan kitab-kitab terdahulu, baik di bidah hadis
maupun tafsir. Sebagai misal, mufassir yang banyak dijadikan rujukan dalam tafsir
ini adalah al-Qurt}ubi dan al-Jas}s}a>s. Al-Sa>yis di satu tempat mengutip dengan
menyebut nama mereka langsung,14 selain itu, nama Zamakhsha>ri, Abi H{ayya>n
juga kerap disebut langsung. Namun di beberapa tempat, hanya menyebut ‚para
mufassir‛, ‚sebagian mufassir‛, ‚sebagian besar mufassir‛.15
Dalam mengutip hadis, al-Sa>yis banyak merujuk kitab induk, seperti al-
16
Bukhari, Muslim,17 Abu> Dawu>d, al-Tirmidhi. Dan kitab hadis terkenal lainnya.
Namun, setelah diteliti lebih lanjut, beberapa teks atau redaksi yang dikutip
memiliki kelainan redaksi dengan teks induk.18 Bahkan beberapa hadis disebutkan
tanpa menyebut rawi dan dari mana hadis tersebut dikutip. Untuk hadis semacam
itu, akan lebih baik jika dilacak lebih lanjut. Selain itu, al-Sa>yis juga menyebut
beberapa kitab yang membahas aspek bahasa Arab, seperti ibn Fa>ris dan Fairu>z.
Sedangkan untuk contoh istinbat hukum, adalah sebagaimana berikut:

13
Ibid., 225.
14
Lihat misalnya Ibid., 6, 24, 32, 306.
15
Lihat misalnya Ibid., 30, 86, 119, 164, 215.
16
Iihat misalnya Ibid., 35, 52, 61, 89, 119.
17
Lihat Ibid., 12, 21, 50, 59, 70, 81.
18
Lihat contoh penafsiran al-Fa>tih}ah di tulisan ini.

8
‚wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.‛19
Dalam mengambil istinbat hukum, al-Sa>yis mengatakan bahwa, Allah
melarang bagi seorang mu’min untuk memakan harta orang lain secara batil. Dan
memakan harta sendiri secara batil. Memakan harta sendiri termasuk ke dalam
maksiat. Memakan harta orang lain termasuk di dalamnya adalah riba, judi,
merugikan, mengurangi. Adapun yang dimaksud batil adalah bertetangan dengan
syariat. 20
Sedangkan untuk wilayah perangkat ulumul qur’an, al-Sa>yis cukup
variabel dalam menerapkan dalam tafsirnya. beberapa kaidah yang digunakan
antara lain: asba>b al-nuzu>l, Isra>iliya>t, muna>sabah, qira’at. Untuk itu, tafsir ini
cukup menerapakan metode ulumul qur’an secara menyeluruh, meskipun tidak
setiap ayat yang ditafsirkan memuat semua metode yang disebut di atas. Berikut
beberapa sampel metode ulumul qur’an yang digunakan dalam tafsir al-Sa>yis:
1. Asba>b al-Nuzu>l
Asba>b al-nuzu>l, sebagaimana diketahui, menjadi penopang yang
signifikan terhadap pemahaman kondisi historis sebuah ayat. Karenanya, al-Sa>yis
menggunakan asba>b al-nuzu>l di beberapa ayat yang ia tafsirkan.21 Sebagai misal,
ayat li’a>n surah al-Nu>r. Al-Sa>yis menjabarkan asba>b nuzul ayat tersebut dengan
mengutip langsung dari kitab imam al-Buka>ri>. Diceritakan bahwa, Hila>l ibn
Umayyah mengadu kepada Nabi bahwa istrinya berzina, Nabi meminta bukti
padanya atau Hila>l sendiri yang akan dicambuk. Hila>l berkata, ‚ya Rasulullah!

19
Agama Ri, Al-Hikam: Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), 83.
20
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t..., 271.
21
Penyertaan asba>b al-nuzu>l, sejauh pembacaan penulis, setidaknya ada 27, yang tersebar
di seluruh tafsirnya, antara lain: lihat penafsiran surah al-Baqarah ayat 178-203; A>li
‘Imra>n ayat 96-96; al-Nisa>’ ayat 43, 127-130; al-Ma>’idah ayat 87-97; al-An’a>m ayat 145;
al-Anfa>l ayat 1; al-taubah: 122-123; surah al-Nu>r ayat 58-61; al-H{ujura>t ayat 12.

9
Sekiranya salah seorang dari kami melihat laki-laki lain bersama istrinya, apakah
ia harus mencari istri terlebih dahulu?‛ Nabi tetap meminta bukti atau ia sendiri
akan dicambuk. Hila>l berkata: ‚demi Allah, yang mengutus engkau dengan hak,
sesungguhnya aku lah yang benar. Mudah-mudahan Allah akan menurunkan
sesuatu yang akan melepaskanku dari hukum cambuk. Berkenaan dengan kejadian
tersebut, turun surah al-Nu>r ayat enam:

‚dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak


mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-
masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa
sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar.‛22
Pada kesempatan yang lain, al-Sa>yis juga menyajikan sabab nuzul surah
al-Nu>r ayat 33:

‚dan orang yang tidak mampu menikah hedaklah menjaga kesucian


(dirinya), sampai Allah memberi kemampuan pada diri mereka dengan
karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan
perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, dan
berikanlah pada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan kepadamu.
Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri menginginkan kesucian...‛23
Al-Sa>yis mengutip beberapa riwayat yang menjelaskan aspek sabab nuzul
ayat di atas, salah satunya yang bercerita mengenai ‘Abdullah ibn Ubay yang
memaksa hamba sahayanya untuk melacur, karenanya, hamba tersebut mengadu
pada rasulullah dan turunlah ayat tersebut. sedangkan riwayat yang lain
menceritakan hal yang secara substansial sama. Adapun penarikan makna dari

22
Departemen Agama Ri, Al-Hikam: Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro,
2008), 350.
23
Ibid., 354.

10
penyajian asba>b al-nuzu>l ini, al-Sa>yis berpandangan bahwa, meskipun ayat ini
turun berkenaan dengan ibn Ubay, namun berlaku secara umum. Dengan kata lain,
al-Sa>yis menggunakan kaidah ‚patokan memahami ayat adalah redaksi ayat yang
umum, bukan khusus terhadap sebab turunnya‛. Asba>b al-nuzu>l pada ayat di atas
digunakan sebagai variabel memahami ayat dari berbagai sisinya. Karena, banyak
ayat yang meskipun memiliki konteks spesifik, namun akhirnya berlaku
universal.24
2. Isra>’i>liya>t
Pengutipan riwayat isra>iliyat dalam penafisran, mendapat pandangan
negatif. Agaknya, karena isra>’i>liya>t kerap diatribusikan kepada kaum Yahudi,
sebagaimana diungkap H{usayn al-Dhahabi.25 Namun, betapapun debatebel dalam
penggunaan perangkat tafsir, riwayat tersebut sedikit banyak dapat memberi
kekayaan paradigma, dengan catatan tetap dalam koridor penafsiran dan tidak
bertentangan dengan syara’. Riwayat tersebut juga digunakan oleh al-Sa>yis dalam
batas yang wajar, dan dengan menjelaskan bahwa riwayat tersebut tidak
bersumber dari riwayat yang sahih.
Riwayat tersebut ia gunakan antara lain saat menafsirkan surah al-
Baqarah: 102, terkait dengan Harut dan Marut. Dalam riwayat yang ia kutip,
dijelaskan kisah bahwa, telah berkata seorang ahli kisah (isra>’i>liya>t) yang dikutip
oleh para mufassir, Harut dan Marut diturunkan di antara manusia, yang
sebeumnya adalah malaikat. Allah menyertakan keduanya syahwat, maka dengan
syahwat itu keduanya berzina, meminum khamr, dan menjadi kafir kepada Allah.
karena hal yang mereka perbuat tersebut, Allah hendak menghukum mereka,
keduanya memilih untuk mendapat hukuman di dunia, maka Babil memulai
mengajari keduanya tentang sihir.26
3. Muna>sabah

24
Badr al-Di>n Muh}ammad al-Zarkashi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Kitab al-‘Arabiyah, 1957), 24.
25
Muh}ammad Husayn al-Dhahabi, al-Isra>iliyya>t fi> al-Tafsir wa al-Hadith, (Mesir: Maktab
Wahbah, 1992) 13.
26
Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m..., 31.

11
Menjelaskan keterkaitan satu ayat dengan ayat yang lain, yang masyhur
disebut munasabah, juga digunakan oleh al-Sa>yis dalam tafsirnya. Munasabah itu
digunakan antara lain pada ayat berikut:

195

‚dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah jatuhka dirimu


sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah.
Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.‛27
Dalam memhami ayat tersebut, menurut al-Sa>yis, harus dihubungkan dengan ayat
sebelumnya, yakni ayat tentang diperbolehkannya perang di bulan haram ketika
umat Islam diserang. Karena ayat 195 di atas, masih berbicara tentang tema yang
sama. Menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan termasuk berdiam diri tidak
melawan ketika diperangi.28
4. Qiraat
Al-Sa>yis menyajikan ragam bacaan yang beredar di dalam tafsirnya.
Adapun beberapa ayat yang memuat aspek qiraat, seperti ayat 144 dari surah al-
Baqarah. Pada ujung ayat tersebut tertulis (dengan huruf awal ya’) ibn ‘A<mir

dan Kisa>’i> membacanya dengan (dengan ta’).29 Pada ayat yang lain, al-Sa>yis

menyebut perbedaan qiraat tanpa menyebut nama qari’, namun menyebut


golongan wilayah. Misalnya saat membahas ayat 29 surah al-Nisa>’:

golongan kufah membaca kata tijarah dengan nasab. Sedangkan golongan


al-Baqu>n membacanya dengan cara rafa’. Implikasi maknanya, menurut al-Sa>yis,
jika dibaca nasab adalah tijarah bermakna harta yang populer dan banyak
digunakan antar manusia. Adapun jika dibaca rafa’ maka bermakna janganlah
bermaksud memakan harta dengan jalan yang batil.30 Sedangkan pada ayat yang
lain, penyajian ragam bacaan tidak menyebut nama imam qiraat maupun tempat,

27
Depag, Al-Hikam: Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 30.
28
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m..., 100.
29
Ibid., 41.
30
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m..., 271.

12
namun hanya mencantumkan redasi quri’a. Seperti saat menjelaskan bacaan kata
ma>lik, al-Sa>yis menjelaskan bahwa lafad tersebut dapat dibaca malik (pendek).31

Contoh Penafsiran al-Sa>yis: Surah al-Fa>tih}ah

4 3 2 1
6 5
7

Al-Sa>yis membuka pemaparan surah ini dengan pernyataan bahwa, ulama


sepakat menyatakan basmalah adalah bagian dari ayat al-Qur’an. Namun,
pertanyaannya, apakah basmalah merupakan bagian awal ayat dari semua surah,
atau sebalinya? Al-Sa>yis mengutip beragam hadis yang dijadikan rujukan para
ahli fikih, karenanya, hadis yang dimuat cenderung berbeda (baca: kontradiktif).
Antara lain hadis yan digunakan oleh golongan Shafi’i:

‚diriwayatkan dari ‘Abd al-H{ami>d ibn Ja’far, dari Nu>h} ibn Abi> Bila>l, dari
Sa’i>d al-Maqbari>, dari Abu> Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: ‚Alhamd
lillah rab al-‘alami>n (al-Fa>tih}ah) terdiri dari tujuh ayat, salah satunya bism
Allah al-rah}man al-rahim.‛

‚diriwayatkan dari al-Timidhi> dan Abu> Dawu>d, dari ibn ‘Abba>s Ra, bahwa
Rasulullah saw memulai salatnya dengan bacaan bismillah.‛
Adapun beberapa hadis yang memuat hal sebaiknya al-Sa>yis kutip dari
ulama kalangan Maliki, yang mengatakan bahwa penduduk Madinah tidak

31
Ibid., 17.
32
Muh}ammad ‘Ali> al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m (Kairo: Maktabah al-‘As}riyyah, 2002),
11.
33
Ibid., 11.

13
membaca basmalah pada salat mereka. Golongan Maliki berpendapat bahwa
basmalah bukan bagian dari al-Fa>tih}ah. Salah satu hadis yang dikutip adalah:

‚Dari ‘A<ishah Ra, beliau berkata: ‚Rasulullah Saw memulai salatnya dengan
takbir, dan kemudian membaca alhamd lillah...‛
Tidak hanya penjelasan dari Shafi’i dan Maliki, al-Sa>yis mengutip juga
pendapat imam H{anafi. Bahkan, dalam pernyataannya, al-Sa>yis berpendapat
bahwa argumentasi H{anafiah yang lebih ia pegang. Golongan ini memiliki
pandangan bahwa ditulisnya basamalah dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa
lafad tersebut adalah bagian dari al-Qur’an. tetapi tidak menunjukkan bahwa lafad
tersebut bagian dari semua surah. Dan hadis yang menunjukkan bahwa rasulullah
tidak membacanya dalam salat menunjukkan bahwa basamalah bukan bagian dari
al-Fa>tih{ah. Karenanya, satu-satunya tempat basmalah dalam al-Qur’an terletak di
surah al-Naml ayat 30.35 Imam Maliki juga berpendapat bahwa, penulisan
basmalah di awal surah tersebut adalah perintah dari Nabi.
Setelah menjabarkan persoalan apakah basmalah adalah bagian dari
setiap surah tersebut, al-Sa>yis memaparkan aspek perbedaan pendapat imam
menyangkut kewajiban membaca basmalah pada salat. Al-Sa>yis menjabarkan
pendapat imam Malik yang tidak membaca basmalah pada salat, baik salat jahr
maupun sirr. Sedangkan imam Hani>fah membaca basmalah di setiap awal surah
namun dengan samar. Imam Shafi’i dan Ah}mad, mewajibkan membacanya, jika
dalam salat jahr dibaca jelas, dan sebaliknya, pada saat salat sirr dibaca samar.36
Penyebab perbedaan tersebut adalah hadis yang digunakan acuan—yang
telah tertulis di atas. Konsekuensi dari anggapan bahwa basmalah adalah awal
surah, masing-masing berimplikasi ada wajibnya membaca basmalah pada salat.
Jika imam Malik menganggap bahwa basmalah bukan bagian dari al-Fa>tih}hah,
34
Ibid., 12. Hadis serupa juga termuat dalam kitab imam Muslim, hadis no 498, dengan
jalur transmisi yang lengkap. Lihat Muslim Bin H{ajjaj Abu> al-H{usain al-Qus}airi al-
Naisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah}i>h Muslim Juz 1 (Beirut: Da>r al-Ihya>’, tt.), 357.
35
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t..., 13.
36
Ibid., 14.

14
maka tidak wajib membacanya. sebaliknya, imam Shafi’i berpegang pada hadis
yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari al-Fa>tih}ah, karenanya
menjadi wajib dibaca ketika salat—apapun jenisnya.37 Lebih lanjut, al-Sa>yis
mengutip beberapa hadis terkait yang berbeda dengan hadis di atas:

‚ibn Mughaffal berkata: ayahku telah mendengar aku membaca basmalah


(ketika salat), maka, dia berkata, ‚wahai anakku, waspadalah kamu terhadap
bid’ah, sesungguhnya aku telah salat bersama Rasulullah, Abu> Bakr dan
‘Umar, aku tidak mendengar salah seorang dari mereka membaca basmalah.
Abu> ‘Umar berkata, ibn Mughaffal adalah seorang yang bodoh.‛

1
‚Ma>lik meriwayatkan hadis dari Anas, ia berkata: aku berdiri di belakang
Abu> Bakar, ‘Umar dan ‘Uthman, mereka semua tidak membaca basmalah
ketika membuka (mulai) salat.‛

37
Ibid., 14.
38
Ibid., 14. Hadis di atas dikutip oleh al-Sa>yis dari al-Tirmidhi>. Dalam kitabnya, hadis
tersebut dinyatakan hasan, dengan lima rawi, antara lain Ah}mad ibn Mani>’ dan Isma>’i>l
ibn Ibra>him. Hadis no 244. Catatan: dalam kitab al-Tirmidhi yang ditahkik oleh Basha>r
‘Awa>d Ma’ru>f, redaksi hadis disebutkan sedikit berbeda dengan yang dikutip al-Sa>yis.
Dan tidak ada komentar dari Abu> ‘Umar yang mengatakan ibn Mughaffal adalah lelaki
bodoh. Lihat Muh}ammad ibn ‘Isa> al-Tirmidhi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r Sunan al-Tirmidhi> juz 1
(Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998), 326.
39
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t..., 14. Lihat juga Ma>lik bin Anas al-Madani, Muwat}t}a>’ (Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Turath al-‘Arab, 1985), 81.
40
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t..., 15.

15
‚Nu’aim bin ‘Abd Allah berkata: aku salat di belakang Abu> Hurairah, maka ia
membaca basmalah sebelum al-Fa>tih}ah, sebelum surah. Dia berkata,
sesungguhnya salatku menyerupai salat Rasulullah.‛
Setelah mengurai mengenai pendapat ulama fiqh dan hadis terkait, al-
Sa>yis juga menyajikan analisis kebahasaan mufradat inti. Termasuk ketika
mengurai al-Fa>tih}ah. Dalam tafsirnya ia menjelaskan bahwa ism dalam baslamalah
adalah lafad yang menjadi tanda awal dari sebuah hiasan dan kehormatan. Kata
tersebut berasal dari al-sumuw, berarti tinggi, berhubungan dengan kemulyaan,
yakni kedudukan atau pangkat. Allah adalah dzat yang—menggunakan istilah
tauhid—wajib wujud.41 Berasal dari kata ilah erat kaitannya dengan ibadah,
karenanya Allah adalah dzat yang disembah.
al-Rah}man adalah pemilik kasih sayang yang luas hingga meliputi segala
sesuatu. Sedangkan al-rah}i>m, memliki seakar kata dengan al-rah}man, yakni
rahima. Al-Sa>yis juga mengutip pendapat bahwa al-rah}man adalah kenikmatan
agung yang meliputi orang kafir maupun mukmin. Sedangkan al-rah}im lebih
menitikberatkan pada nikmat untuk orang beriman.42
Al-Hamd adalah memuji dengan lisan atas sebuah keindahan maupun
yang lain. Pujian tersebut dapat digunakan dalam konteks seperti seorang yang
memuji sesuatu karena anugrah yang ia dapat darinya. Rabb, secara bahasa dapat
memiliki dua makna: tuan dan pembaharu/pendamai. Kata tersebut juga dapat
berari pemilik atau raja dari sesuatu. Karenanya, rabb dapat digunakan dalam
konotasi: pemilik tanah, pemilik harta. Al-‘a>lami>n, adalah seluruh alam. Kata
alam tersebut sudah menunjukkan arti jamak, alam manusia dan alam gaib.
Bahkan, alam manusia masih dapat dikategorikan menurut waktunya. Alam
manusia sekarang adalah sama sekali dengan alam manusia 14 abad yang lalu, hal
tersebut masuk dalam cakupan kata alam.43 Ma>lik yang disandarkan pada lafad
yaum bermakna raja (baca: penguasa). Spesifiknya, adalah pemilik urusan pada
hari pembalasan.

41
Ibid., 15.
42
Ibid., 15.
43
Ibid., 17.

16
Makna keseluruhan dari ayat di atas adalah memuji dan berterimakasih
pada Allah—tidak selain padanya—atas berbagai karunia yang telah diperoleh
manusia, baik berupa rizki, keselamatan, maupun kebahagiaan—dunia dan akhirat.
Dan maksud dari rabb adalah sebagaimana yang telah dipaparkan, yakni pemilik
yang memelihara dengan baik. Lebih dari itu, salah satu fungsi rabb adalah
pendamai pertikaian yang terjadi di seluruh alam—manusia, jin, tumbuhan,
hewan. Rabb oleh al-Sa>yis dimetaforkan dengan matahari, yang tanpanya sukar
akan terjadi kehiupan, dan menjalankan fungsinya sendirian. Dan makna ma>lik
adalah bukan berarti pemiliki seperti yang ada di dunia, melainkan pemilik
tunggal pada hari kiamat. Al-Sa>yis mengutip surah Gha>fir ayat 16 untuk
memperkuat argumennya. Dan jika lafad tersebut dibaca pendek malik, maka
dapat berarti bahwa, saat hari pembalasan, hanya hukum Allah yang berlaku,
sebagaimana menurut ibn ‘Abbas. 44
Kemudian al-Sa>yis melanjutkan dengan pertanyaan, apakah ayat al-hamd
lillah menunjukkan bahwa Allah memuji dirinya sendiri? Untuk menjawabnya, al-
Sa>yis memaparkan kebiasaan orang Arab, yang jika menuturkan subjek masyhur,
atau diasumsikan bahwa pendengar mengerti pada subjek, maka subjek tersebut
dapat dibuang. Karenanya, subjek tersebut bisa diasumsikan manusia, bahwa
manusia mengakui bahwa segala pujian itu ditujukan untuk Allah. ayat tersebut
menunjukkan bahwa, pujian adalah hal yang melekat dan mengikuti Allah—
pemilik pujian yang sempurna.45
Na’budu bermakna kita mengakui kerendahan diri dan tidak memiliki
apapun. Karena esensi dari penyembahan adalah pengakuan bahwa diri seseorang
adalah rendah dibanding yang di sembah. Na’budu juga dapat berarti jalan atau
cara menyembah. Dengan mengutip al-Kashsha>f, al-Say>is menulis bahwa, al-‘iba>d,
menunjukkan ketundukan seorang hamba, yang menjadi pakaian seorang hamba
dan menjadi semangat terdalam. Karenanya kata tersebut tidak digunakan selain
untuk menyembah Allah.46 al-Zamakhsari lebih lanjut berkomentar dalam

44
Ibid., 18.
45
Ibid., 18.
46
Ibid., 18.

17
kitabnya, bahwa ketundukan semacam itu hanya pantas ditujukan untuk tuan yang
paling agung, dan na’budu menunjukkan muatan iltifat sebagaimana dibahas oleh
ilmu bayan.47
Nasta’i>n bermakna meminta. Pada ayat tersebut didahulukan maf’ulnya
dengan beberapa alasan, antara lain untuk meringkas. Ihdina berarti sesuaikan.
Sira>t} bermakna jalan yang lebar, kata sirat} banyak digunakan dalam bahasa Arab
dengan berbagai konteksnya, namun sirat} yang dimaksud ayat tersebut adalah
jalan religius atau jalan agama Islam. Da>l mengandung arti tidak sadar dari jalan
mana yang ditempuh, karenanya, dalam kaitannya dengan ayat terakhir surah al-
Fa>tih}ah, ketidaksadaran dari jalan Islam. Dalam satu pendapat, da>l diberi arti
orang Nasrani, sedangkan al-Maghdu>b adalah Yahudi, hal tersebut bedasarkan al-
Ma>’idah ayat 60 dan 77.48
Menurut al-Sa>yis makna ayat tersebut secara garis besar adalah mencari
hidayah menuju jalan agama yang benar. Lebih dari itu, seorang hamba hendaknya
meminta untuk tetap dan selalu bertambah kualitas hidayahnya, sehingga tidak
tergelincir tergolong orang yang tersesat (maghdu>b-da>l).49
Setelah mengurai kandungan makna mufradat inti, al-Sa>yis menarik
kesimpulan hukum yang terkandung dalam surah al-Fa>tih}ah, yakni tentang hukum
bacaan al-Fa>tih}ah ketika salat. Dalam kitabnya, al-Sa>yis menulis:

47
Abu> Qa>sim Mah}mu>d al-Zamakhshari, al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq Ghawa>mid al-Tanzi>l juz
1 (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1986), 13.
48
al-Sa>yis, Tafsi>r Aya>t..., 20.
49
Ibid., 20.
50
Ibid., 20.

18
‚ulama berbeda pendapat terkait membaca al-Fa>tih}ah dalam salat, sebagian
berpandangan wajib membacanya, sedangkan ulama yang lain
berpandangan tidak wajib membacanya, tetapi tetap wajib membaca (ayat
al-Qur’an). sebagian yang berpendapat demikian adalah Abu> H{ani>fah,
wajib membaca tiga ayat pendek atau panjang. Dan ulama yang
berpandangan wajib membaca al-Fa>tih}ah ketika salat masih berselisih,
sebagian berkata wajib membacanya di setiap rakaat, sebagian berkata
wajib dalam sebagian besar salat. Pandangan pertama tersebut diwakili
oleh imam Sha>fi’i dan imam Ma>lik, dengan berpegang pada riwayat, ‘jika
membacanya di dua rakaat pada salat berjenis empat rakaat maka aku
memberi pahala padanya’ H{asan al-Bas}ri berpendapat bahwa boleh
membaca al-Fa>tih}ah pada rakaat pertama dari salat.‛

Perbedaan tersebut—masih menurut al-Sa>yis—muncul dari penggunaaan


hadis yang berbeda-beda. Ulama yang mewajibkan membaca al-Fa>tih}ah berpegang
pada hadis yang artinya, ‚tidak sah salat seseorang yang tidak membaca al-
Fa>tih}ah‛. Sedangkan ulama yang berpandangan sebaliknya berpegang pada hadis
yang artinya, ‚ketika kamu hendak salat, ambillah wudu’, kemudian
menghadaplah kiblat dan bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al-Qur’an yang
mudah bagimu....‛51
Penafsiran tentang al-Fa>tih}ah, ditutup oleh al-Sa>yis dengan mengungkap
hikmah yang bisa diambil dari surah tersebut, yakni bagaimana cara kita memuji
dan bagaimana seorang berdoa pada Allah. seyogyanya, seorang hamba yang
berdoa pada Allah dimuali dengan pujian padanya, bisa dengan menggunakan
kalimat al-hamd lilla>h rabb al-‘a>lami>n.52
Simpulan
Syekh Muhammad ‘Ali al-Sa>yis lahir tahun 1899 M di kota Matubis,
salah satu daerah yang dekat dengan laut, Mesir. Dan wafat di usia 77 tahun pada
saat fajar hari Rabu, 24 Nopember 1976 M. al-Sa>yis menerima pendidikan agama
sejak kecil, dan berhasil menghafal al-Qur’an saat usia sembilan tahun Di usia 28
tahun beliau menjadi dosen di fakultas Ushuluddin, kemudian diangkat menjadi
dekan fakultas Ushuluddin di tahun 1954 M, dan menjadi dekan fakultas Syariah

51
Ibid., 21.
52
Ibid., 22.

19
pada tahun 1957 M. Beliau menerima sertifikat Internasional pada tahun 1926 dan
memperoleh gelar doktor pada tahun 1927 M dengan peringkat ‘al-imtiyaz’. Dan
beliau terus menunjukkan kualitas intelektual hingga menjadi ulama berpengaruh.
Kitab tafsir al-Sa>yis memuat setidaknya 800 halaman yang memuat surah
al-Fa>tih{ah hingga al-Muzammil. Tidak semua ayat ditafsirkan oleh al-Sa>yis. Rata-
rata, ayat dalam satu surat dikelompokkan menjadi dua atau lebih, sesuai dengan
tema sentral yang terkait. Metode yang digunakan adalah tahlili, dengan bentuk
dominan ma’thur, adapun coraknya adalah fiqhi. Melihat kitab tafsirnya, al-Sa>yis
menulis dengan sangat komprehensif terkait menjabarkan isi hukum ayat al-
Qur’an. semua aspek yang tekandung dijabarkan sesuai porsinya, hingga kitab ini
layak menjadi rujukan pembaca. Kaidah yang digunakan al-Sa>yis dalam tafsirnya
cukup variabel, menyangkut aspek riwayat, penggunaan ulumul qur’an.

Daftar Rujukan
Baidan, Nashruddin. 2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Bek, Muhammad al-Hudhari. 2007. Ushul Fiqh terj Faiz el Muttaqien. Jakarta:
Pustaka Amani
al-Dhahabi, Muh}ammad Husayn. 1992. al-Isra>iliyya>t fi> al-Tafsir wa al-Hadith.
Mesir: Maktab Wahbah

al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. 1997. Muqaddimah fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>. Kairo:


H{ad}ara>t al-‘Arabiyyah

Iyazi, Muh}ammad ‘Ali. 1386 H. al-Mufassiru>n: H{aya>tuhum wa Manhajuhum.


Teheran: Wazarah ats-Thaqafah wa al-Irsyad al-Islami,

Mohamad, Goenawan. 2017. Catatan Pinggir 12. Jakarta: Tempo

Mawardi, Ahmad Imam. 2010. Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqliyya>t dan Evolusi
Maqa>sid al-Syari>’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKiS

al-Madani, Ma>lik bin Anas. 1995. Muwat}t}a>’. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Turath al-‘Arab

al-Naisa>bu>ri>, Muslim Bin H{ajjaj Abu> al-H{usain al-Qus}airi. Tt. al-Musnad al-S{ah}i>h
Muslim. Beirut: Da>r al-Ihya>’

20
al-Ru>mi>, Fahd ibn ‘Abd al-Rah}man ibn Sulaima>n. 1986. Ittijahat at-Tafsir fi al-
Qorn al-Ra>bi’ Ashr. 1986. Saudi: Mamlak al-‘Arabiyyah al-Sa’u>diyyah

Ri, Departemen Agama. 2008. Al-Hikam: Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:


Diponegoro
al-Sa>yis, Muhammad ‘Ali. 1970. Nash’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atha>ruhu. Kairo:
Majma’ al-Buhuth al-Isla>miyyah

al-Sa>yis, Muh}ammad ‘Ali>. 2002.Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m. Kairo: Maktabah al-


‘As}riyyah

al-Tirmidhi, Muh}ammad ibn ‘Isa>. 1998. al-Ja>mi’ al-Kabi>r Sunan al-Tirmidhi>.


Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>

al-Zarkashi, Badr al-Di>n Muh}ammad. 1957. al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut:
Da>r Ih}ya>’ al-Kitab al-‘Arabiyah

al-Zamakhshari, Abu> Qa>sim Mah}mu>d. 1986. al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq Ghawa>mid


al-Tanzi>l.Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>

21

Anda mungkin juga menyukai