Disusun Oleh:
Nama : Muhamad Fuji Hakiki
NIM : 17108040071
Prodi/Kelas : Akuntansi Syariah/B
Nomor HP : 085860034938
BAB I................................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................4
BAB III.............................................................................................................................8
PEMBAHASAN...............................................................................................................8
C. Tujuan Penulisan................................................................................................18
D. Segmentasi..........................................................................................................19
BAB IV............................................................................................................................24
PENUTUP.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25
CURICULUM VITAE...................................................................................................26
1
BAB I
Maha karya sastra klasik Ibnu Atha’illah al-Iskandari 1 yakni al-Hikam yang
berisikan kata-kata mutiara atau hikmah sudah banyak sekali disyarahi oleh para
ulama karena konteksnya yang mampu memaparkan tasawuf secara
komprehensif.
Adapun buku yang direview penulis adalah syarah2 terjemahan dari syarah
Syekh Abdullah asy-Syarqawi.3 Beliau mensyarahi matan al-Hikam secara
1 Di dalam Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, Ibnu Atha’illah al-Iskandari merupakan
salah satu imam sufi besar abad ke-7 yang juga dikenal sebagai seorang dai, kiai tarekat, ahli
hadis, dan ahli fikih Mazhab Maliki. Beliau bernama lengkap Abu al-Fadl Ibnu Atha’illah al-
Iskandari. Beliau lahir di kota Iskandariah, Mesir. Beliau lahir di tengah lingkungan keluarga
bangsawan penganut Mazhab Maliki. Selain al-Hikam, beliau juga menulis buku-buku lain, seperti
Kitab Miftahul-Falah wa Misbahul-Arwah fi Dzikrillah al-Karim, al-Fattahul-Muraqqi ilal-Qadir,
‘Unwanut-Taufiq fi Ada’it-Thariq, dan al-Qaulul-Mujarrad fil-Ismil-Mufrad. Lihat Abdullah asy-
Syarqawi, Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, terj. Iman Firdaus, hlm. xvii-xviii.
2 Kitab yang ditulis untuk mengulas dan mensyarahkan matan (Kitab yang ditulis secara ringkas)
atau mukhtasar atau komentar terhadap kitab tersebut. Lihat, Tedi Sobandi, “Penulisan Kitab Fiqih
Matan dan Syarah” dalam http://kitab-islami.blogspot.com, diakses tanggal 12 Desember 2018.
3 Di dalam Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syafi’i
al-Azhari yang dikenal dengan sebutan asy-Syarqawi, adalah seorang ulama besar pada masanya,
pernah menjabat sebagai Rektor al-Azhar, ahli nahwu, fikih, sejarah, hadits dan sebagian ilmu
yang lain. Lahir di utara Thuwailiyah yang terletak di sebelah timur Balbis pada tahun 1150 H.
Beliau pengikut aliran tarikat al-Khalwati. Beliau adalah syekh dan mufti Mazhab Syafi’i yang
banyak menghasilkan karya di bidang fikih, hadis, dan akidah, di antaranya selain Syarh al-Hikam
ibnu Atha’illah, Risalah fi La Ilaha Illallah dan Mukhtashar asy-Syamail. Beliau meninggal pada
tahun 1127 H. Semasa hidupnya, dikenal sebagai orang yang sangat santun. Berbagai macam
2
menyeluruh yakni 266 hikmah yang dibagi menjadi dua jilid. Adapun isi dari
buku pertama yaitu terdapat 157 hikmah, sedangkan buku kedua terdapat 109
hikmah. Di dalam buku ini terdapat pengantar penerbit, prolog, isi buku pertama
dan kedua, serta tambahan materi yakni doa-doa Ibnu Atha’illah al-Iskandari dan
surat-surat untuk sahabat-sahabatnya.
“Al-Hikam adalah karya terbesar dalam khazanah ilmu kesufian. Semua yang
tersurat dan tersirat di dalamnya – dalam istilah sufi – disebut ilmu laduni, yaitu
ilmu yang langsung berasal dari Allah, berupa ilham yang diberikan oleh-Nya
kepada orang-orang saleh semacam Ibnu Atha’illah.” Begitulah paparan Al-Arif
Billah, Ahmad bin Muhammad Ajibah al-Husaini, dalam bukunya yang berjudul
Iqadhul Himam fi Syarhil Hikam li Ibnu Atha’illah al-Iskandari.
Namun, terdapat kisah menarik dari munculnya maha karya buku ini. Terdapat
satu sumber yang menyebutkan bahwa kitab ini sebenarnya bukan ditulis
langsung oleh Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Beliau hanya mendiktekannya kepada
salah seorang muridnya yang bernama Taqiyudin al-Subhi. Seperti Imam Syafi’i
ketika menulis Kitab al-Umm yang sedemikian tebal dan berjilid-jilid adalah hasil
pendikteannya kepada ar-Rabi.
ahwal telah beliau lalui, mulai dari pahitnya hidup miskin dan sulit hingga hidup dalam
kemakmuran dan kekuasaan. Namun, itu semua yang mengasahnya hingga menjadikannya pribadi
yang mulia di dunia dan didekatkan di akhirat. Lihat Abdullah asy-Syarqawi, Al-Hikam Kitab
Tasawuf Sepanjang Masa, terj. Iman Firdaus, hlm. 556.
3
Oleh karena penjelasan di atas, penyusun sangat menarik untuk mereview buku
terjemahan kitab Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Tentunya banyak
kekurangan dari review buku penyusun dan tidak akan direview secara
menyeluruh mengingat keterbatasan pengetahuan dari penyusun.
BAB II
Buku ini merupakan terjemahan dari Syarah al-Hikam yang ditulis oleh Maha
Guru Para Ulama Nusantara yakni KH. Sholeh Darat 4 (1820-1903 M). Beliau
mensyarah Matan Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah Al-Iskandari dengan
menggunakan bahasa Jawa. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1289 H/1868 H.
4 Di dalam Syarah al-Hikam, KH. Sholeh Darat bernama lengkap Muhammad Sholeh bin Umar
al-Samarani. Terdapat dua alasan mengapa beliau dipanggil KH. Sholeh Darat. Pertama, sebutan
“Darat” karena beliau tinggal di suatu Kawasan bernama “Darat”. Kedua, sesuai dengan akhir
surat yang beliau tunjukkan kepada penghulu Tafsir Anom, yaitu: “Al-Haqir Muhammad Salih
Darat”. Salah satu riwayat menyebutkan KH. Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng,
Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820 M. Beliau banyak belajar
di tanah Jawa maupun di Mekkah. Banyak ulama yang lahir atau yang pernah belajar kepada
beliau, seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Ahmad
Dahlan pendiri Muhammadiyah, Kiai Munawwir Krapyak, R.A. Kartini, dan lainnya. Lihat Sholeh
Darat, Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, hlm. xxv-xxxviii.
4
IDENTIFIKASI BUKU SEKUNDER II
Buku ini sebetulnya topik kajian DR. Anas Ahmad Karzon5 untuk disertasi
‘Doctoral’, dengan buku ini penulis meraih gelar Doktor dari Universitas Umm
al-Qurra Makkah Mukarramah. Selanjutnya penulis meringkas tema-temanya
agar dapat dipahami oleh pembaca.
5
Judul Asli : Mukhtashar Ihya ‘Ulumiddin
Penulis : Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi
Penerjemah : Moh. Yusni Amru Ghozaly
Cetakan :I
Penerbit : Wali Pustaka
Tahun : 2017
Buku Ikhtisar Ihya ‘Ulumiddin adalah hasil terjemahan dari Kitab Mukhtashar
Ihya ‘Ulumiddin karya sang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali6. Seperti halnya al-
Hikam kitab ini dijadikan sumber rujukan bagi kalangan ulama dalam hal ilmu
akhlak tasawuf. Buku ini merupakan ringkasan dari Kitab Ihya ‘Ulumiddin.
6 Di dalam buku Ikhtishar Ihya ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali (1054-1111 M) adalah salah satu
filsuf paling berpengaruh, teolog, ahli hukum, dan seorang sufi kenamaan dalam tradisi Sunni.
Beliau berguru kepada Imam al-Juwaini. Beliau hidup pada saat teologi Sunni sedang menghadapi
tantangan besar dari suburnya paham Syiah Ismaili dan berkembangnya aliran Aristotelian sebagai
akibat dari penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Ketika berguru kepada Imam
al-Juwaini di madrasah Nizamiya di Naisabur, wilayah timur laut Iran menumbuhkan
kedekatannya dengan Sultan Malik Syah dan Wazir Nizam al-Mulk. Sehingga tidak lama setelah
berguru, Imam al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan tertinggi di Lembaga keilmuan paling
tersohor di dunia Islam saat itu karena kadar keilmuannya yang luas dan mendalam di hampir
semua disiplin ilmu. Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
ath-Thusi, Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly, hlm. xiii-xiv.
7 Di dalam buku Ikhtishar Ihya ‘Ulumiddin, setelah menjabat di Madrasah Nizamiyah selamat
empat tahun al-Ghazali memutuskan untuk keluar karena kesadarannya bahwa “standar etika yang
tinggi dalam nilai keseluruhan agama tidak bias dengan menjadi pembantu sultan, wazir dan
khalifa. Karena mendapat keuntungan dari kekayaan para elite menandakan keterlibatan dalam
pemerintahan yang korup dan menindas yang akan memperlambat penyucian di akhirat kelak”.
Pada tahun 1095 beliau pergi meninggalkan Baghdad menuju ke Damaskus dan Yerusalem untuk
mengadu pada makam Ibrahim. Lalu beliau melaksanakan ibadah haji, selepasnya beliau kembali
ke kampung halamannya Tus hingga lahirlah karya monumental Ihya ‘Ulumiddin. Lihat Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar Ihya’
Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly, hlm. xiv-xv.
6
Buku yang dipegang penyusun berisikan peta buku yang didesign penulis
untuk menggambarkan alur buku, pengantar penerbit, mukadimah penulis, dan
empat bagian pembahasan yang masing-masing memiliki sepuluh sub
pembahasan.
7
Kedua secara lebih teliti mencermati dua di antara penyakit semacam itu yang
paling terkenal: sifat rakus dan hawa nafsu yang tak terkendalikan.8
BAB III
PEMBAHASAN
Buku babon (induk), itulah gelar yang pantas disandarkan terhadap kitab al-
Hikam karya Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Bagaimana tidak? buku ini sering
dijadikan sebagai acuan bagi kaum sufi untuk mendalami ilmu tasawuf. Apalagi
pada zaman sekarang khususnya yang banyak mencederai tasawuf dengan
puritanisme.9 Tidak sedikit pengajian-pengajian modern sekarang bersumber pada
kitab al-Hikam, seperti yang dilakukan Emha Ainun Nadjib, Aa’ Gym (KH.
Abdullah Gymnastiar, hingga motivator kondang seperti Mario Teguh. Buku ini
sering disandingkan dengan karya monumental sang Hujjatul Islam Imam Abu
Hamid Al-Ghazali yakni Ihya ‘Ulumiddin.
8 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi Disciplining the
Soul: Breaking the Two Desire, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan Pustaka, 2014), hlm 5-6.
9 Di dalam KBBI, Puritanisme adalah paham dan tingkah laku yang didasarkan atas ajaran kaum
puritan (orang yang hidup saleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa).
8
tersebut menurut beliau merupakan landasan dasar untuk lebih memahami kitab
al-Hikam.
Adapun Syarah al-Hikam yang ditulis oleh KH. Sholeh Darat berisikan
ringkasan 1/3 (137 hikmah dari 266 hikmah) dari kitab aslinya Matan Al-Hikam
supaya dapat mempermudah masyarakat awam untuk memahaminya. Kitab ini
beliau terjemahkan ke dalam bahasa Jawa agar lebih mempermudah pemahaman
orang yang mempelajarinya.12
11 Di dalam Syarah Al-Hikam, KH. Sholeh Darat menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan
tulisan Arab pegon (tulisan Arab gundul tapi berbahasa Jawa) memiliki dua alasan. Pertama, untuk
memudahkan masyarakat ketika itu. Kedua, untuk terlepas dari larangan penjajah yang melarang
penerjemahan-penerjemahan khususnya al-Qur’an. Karya pertama yang dibuat KH. Sholeh Darat
yaitu Tafsir Faid ar-Rahman, kitab tersebut dijadikannya hadiah untuk R.A. Kartini dalam acara
tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Lihat Sholeh
Darat, Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, hlm. xxxix.
12 Sholeh Darat. Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, (Bogor: Arya
Duta, 2017), hlm. 1.
9
Adapun buku Tazkiyatun Nafs karya Dr. Anas Ahmad Karzon, Penulis
memahami urgensi yang harus dipenuhi terkait metode Islam dalam Penyucian
Jiwa. Karena dalam hantaman gelombang berbagai aliran pemikiran dan akidah
pada zaman sekarang, tidak sedikit jalan sesat yang bermunculan. Penulis
mencoba dengan segenap kemampuannya untuk menguraikan metode Penyucian
Jiwa dengan metode ilmiah yang sederhana, dengan mengikuti langkah-langkah
berikut:
13 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi Disciplining the
Soul: Breaking the Two Desire, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan Pustaka, 2014), hlm 6.
10
B. Kedalaman dan Keluasan
Dari sudut isi, kitab ini hanya berisi puluhan kata hikmah yang
merupakan hasil pengalaman atau permenungan Ibnu Atha’illah al-
Askandari selama berspiritual. Tidak demikian dengan kitab lain yang
beliau tulis seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus
yang syarat dengan kutipan al-Qur’an maupun as-Sunnah. Terlebih lagi,
beliau konsisten terhadap ajaran gurunya tentang tasawuf akhlaqi tidak
hanya tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi yang sulit dipahami.
Tetapi juga diimbangi dengan unsur-unsur tasawuf amali berupa
pengalaman ibadah dan suluk, yang berarti jalan antara syari’at, tarekat,
14 Mhd Faizal Mhd Ramli (dkk), “Keserasian Lafaz Gaya Bahasa Jinas dalam Kitab Al-Hikam
Al-‘Atha’iyyah : Kajian Nilai Estetika”, Issues In Language Studies, Vol. 4, No. 2, hlm. 2.
11
dan hakikat bisa dengan mudah ditempuh dengan cara yang dapat ditiru
dan metodis.15
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa isi kitab ini hanya
berisikan kumpulan hikmah, akan tetapi di dalamnya dibahas tentang
maqamat spiritual seperti tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan ridha. Beliau
juga membahas tentang ahwal seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan
syukur. Bahkan, Ibn Atha’illah membahas tentang ma’rifat, fana-baqa,
dan mahabbah walaupun tidak secara sistematis.
1. Tobat
“min ‘alamat mawt al-qalb ‘adam al-khuzn ‘ala ma fataka min al -
muwafaqat wa tark al-nadam ‘ala ma fa’altahu min wujud al-zalla 17”
(di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas
ketaatan yang kau lewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas
kesalahan yang kau lakukan).
Seorang Salik (orang yang berjalan menuju Allah) harus terlebih
dahulu membersihkan diri dari dosa-dosa (taubat) bagi Ibnu Atha’illah
al-Iskandari.
15 Sholeh Darat. Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, (Bogor: Arya
Duta, 2017), hlm. xv.
16 Abdul Moqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Iskandari Kajian Terhadap
Kitab al-Hikam al-‘Aththa’iyah”, Tashwirul Afkar, No. 32, hlm. 150.
17 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm. 455-456.
12
Taubat sendiri menurut Imam al-Ghazali adalah meninggalkan dosa
saat ini juga, bertekad tidak mengulanginya di masa mendatang dan
melupakan masa lalu.
Rasulullah saw. bersabda,
الننكدمم تككوبكةة
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar
Ihya’‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly,(Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm. 474.
18 Anas Ahmad Karzon, Tazkiyatun Nafs, terj. Emiel Threeska (Jakarta: Akbar Media, 2012), hlm.
168.
19 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 76.
20 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 456.
13
‘alaika21” (Jika kau terjatuh pada dosa, janganlah hal itu membuatmu
putus asa untuk beristikamah bersama Tuhanmu karena bisa jadi itulah
dosa terakhir yang diterapkan atasmu). Begitu pun dosa kecil yang
menurut beliau jangan sampai dilengahkan oleh kita. “la shaghirata
idza qabalaka ‘adluhu wa la kabirata idza wajahaka fadhluhu 22” (tak
ada dosa kecil (yang tak akan diadili) bila dihadapkan keadilan Tuhan,
dan tak ada dosa besar jika dihadapkan pada karunia-Nya).
2. Zuhud
Zuhud di dunia dan tidak cenderung kepadanya adalah ciri-ciri
orang-orang saleh dan derajat yang tinggi yang didapat oleh orang-
orang yang menjalani penyucian jiwa dan menyiapkan diri ke negeri
akhirat. [ CITATION Kar12 \l 1057 ]
Menurut Imam al-Ghazali hakikat zuhud adalah tidak menyenangi
sesuatu dan cenderung pada selainnya. Barang siapa meninggalkan
kelebihan dunia dan tidak menyenanginya serta menginginkan akhirat,
maka dia adalah orang zuhud terhadap dunia.23 Zuhud menurut beliau
dibagi menjadi tingkatan. Pertama, berupaya keras untuk zuhud
terhadap dunia dan berjuang meninggalkan hawa nafsu beserta hasrat
dan keinginannya. Kedua, zuhud terhadap dunia dengan suka rela
karena menganggap rendah dunia bila dibandingkan dengan apa yang
diinginkannya. Ketiga, berlaku zuhud dengan senang hati, bahkan
zuhud terhadap kezuhudannya sendiri.
Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “innama ja’alaha mahallan li
al-aghyar wa ma’dinan li alakdar tazhidan laka fiha24” (Allah sengaja
menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan
agar kau tidak terpaut dengannya). Oleh karena itu, perkara kefanaan
21 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 488.
22 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 456.
23 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar
Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly,(Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm. 525.
24 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 515.
14
dan kemusnahan dunia yang membuat patut bagi seseorang untuk
berzuhud. Menurut asy-Syarqawi zuhud tidak serta-merta terjadi
karena nasihat dan peringatan para dai atau kiai, akan tetapi bisa juga
dengan musibah dan ujian. Lantas Ibnu Atha’illah al-Iskandari
melanjutkan ucapannya, “’alima annaka laa taqbalu an-nashha al-
mujarroda, fadzawwaqoka min dzawaaqihaa maa sahhala ‘alaika
wujuuda firaaqihaa25”. (Allah mengetahui bahwa kau sulit menerima
nasihat begitu saja. Oleh karena itu, Dia membuatmu bisa merasakan
pahitnya musibah agar kau mudah meninggalkan dunia). Hanya
dengan cara itu, maka urusan duniawi tak memenuhi seluruh sanubari
salik. Karena itu, Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “farrigh
qalbaka min al-aghyar yamla’uhu bi al-ma’arif wa al-asrar 26”
(kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain Allah, maka Allah akan
memenuhinya dengan pengetahuan dan rahasia).
3. Sabar
احننكماَ يمكونفىَّ ال ص ص...
صبحمركوكن اككجكرهمكم بحكغكيحر ححكساَ ب
ب
“... hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan
pahalanya tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10)
Sabar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan
dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan
mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang mempunyai
nilai tinggi dan mencerminkan ketetapan jiwa orang yang memilikinya.
Semakin tinggi kesabaran yang seseorang miliki maka semakin kokoh
juga ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Sabar juga sering dikaitkan dengan tingkah laku positif yang
ditonjolkan oleh individu atau seseorang.27
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.,
bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
25 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 515.
26 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 507.
15
ب ك نككفكسهم حعكنكد اكلكغ ك
ض ح صكركعحة إحننكماَ النشحدكيمد النحذ ك
ي يككملح م س النشحدكيمد حباَل ن
لككي ك
“Orang kuat itu bukanlah orang yang pandai bertarung. Namun orang
kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.”28
... كع ص سسىَّ اككن تككككرهمكوا كشكيـــاَ نوهمكو كخكيةر لنمككم ْ كوكع ص سسىَّ اككن تمححبِبكوا كشكيـــاَ نوهمكو كشرَر
لنمككم ْ كو ص ص
ام يككعلكمم كواككنتمكم كل تككعلكممكوكن
“... boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 216)
4. Tawakal
28 Anas Ahmad Karzon, Tazkiyatun Nafs, terj. Emiel Threeska (Jakarta: Akbar Media, 2012), hlm.
248.
29 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 473-474.
16
Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “min ‘alamat al-najahi fi al-
nihayat al-ruju’ ila Allah fi al-bidayat30” (di antara tanda keberhasilan
di akhir adalah kembali kepada Allah di awal). “ila al-masyi’ati
yastanidu kullu syai’in, wa la tastanidu hiya ila syai’in31” (kepada
kehendak-Nya segala sesuatu bergantung, sementara kehendak-Nya
tidak bergantung pada sesuatu).
KH. Sholeh Darat menambahkan seseorang yang akan bahagia di
akhir perjalanannya ketika wushul (sampai) kepada Allah. Yakni ketika
perjalanan murid diawali dengan perjalanan suluk menuju Allah yaitu
kembali kepada Allah dan tawakal kepada Allah serta tidak bersandar
pada amalnya.32
Abu Abdullah al-Qarsyi pernah ditanya tentang makna tawakal.
Beliau mengatakan, “Menggantungkan diri pada Allah dalam setiap
keadaan.” Orang yang bertanya padanya meminta, “Tambahilah!”
beliau mengatakan, “Meninggalkan semua sebab yang tidak
membuatmu sampai kepada Allah.”33
Tawakal memiliki tiga tingkatan. Pertama, ketika keyakinan
seseorang pada Allah swt seperti keyakinannya pada seseorang wakil
yang sudah dikenal kejujuran, amanah, perhatian, petunjuk, dan kasih
sayangnya. Kedua, ketika kondisi batin seseorang senantiasa bersama
Allah seperti anak kecil bersama ibunya. Ketiga, seperti penyakit
kuning, terkadang menetap dan terkadang hilang.
5. Rida
Rida atau kerelaan yakni diterimanya takdir atau pun putusan Allah
swt secara tenang. Imam al-Ghazali mengisyaratkan agar mampu
tenang dalam menerima takdir, seseorang diharuskan untuk
30 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 445.
31 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 496.
32 Sholeh Darat, Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah (Bogor: CV. Arya
Duta, 2017), hlm 54-55.
33 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar
Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly (Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm. 553-554.
17
mendisiplinkan dan memanfaatkan pasukan-pasukan hati34 dengan
menggunakan pengetahuan, kebijaksanaan, dan pikiran.
Bentuk nyata dari rida yang minimal adalah tidak iri-dengki
terhadap karunia yang diberikan Allah untuk orang lain. Ibnu
Atha’illah al-Iskandari berkata, “al-‘atha` min al-khalq hirman wa al-
man’u min Allah ihsan35” (pemberian dari makhluk adalah
keterhalangan, sedangkan penangguhan pemberian dari Allah
merupakan karunia). Apabila ada rasa sedih atau iri-dengki, menurut
beliau hal tersebut menunjukkan adanya ketidak-pahaman seseorang
kepada Allah swt (innama yu`limuka al-man’u li’adami fahmika ‘an
Allah fihi36).
Akhir dari perjalanan tahapan spiritual adalah perjumpaan dan
penyatuan diri dengan Allah swt. Dengan demikian sufi dapat melihat
Allah swt (makrifat), lebur (fana-baqa), dan mencintai Allah
(mahabbah) secara tepermanai37.
Menurut Ibnu Atha’illah al-Iskandari, keinginan kuat seorang arif
untuk selalu bersama Allah tak pernah hilang, dan bila ia bertumpu
kepada selain-Nya tak pernah tenang (al-‘arif la yazulu adhthiraruhu
wa la yakunu ma’a ghair Allah qararuhu38). Para sufi ingin selalu
bersama Allah. Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “ghayyib nazhr
al-khalq ilaika bi nazhr Allah ilaika, wa ghib ‘an iqbalihim ‘alaika bi
35 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 468.
36 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 470.
38 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 473.
18
syuhudi iqbalihi ‘alaika39” (hilangkan pandangan manusia terhadapmu
karena kau telah puas dengan penglihatan Allah kepadamu, dan
abaikan perhatian mereka kepadamu karena kau telah tahu bahwa
Allah selalu memperhatikanmu).40
Ketika sudah mencapai makrifat akan menyaksikan Allah dalam
segala hal atau pun sesuatu. Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “man
‘arafa al-Haq syahidahu fi kulli syai’n. wa man faniya bihi ghaba ‘an
kulli syai’in. Wa man ahabbahu lam yu’tsir ‘alaihi syai’an41” (siapa
yang mengenal Allah, ia akan menyaksikan-Nya dalam segala sesuatu.
Siapa yang mencintai-Nya, ia tidak akan mengutamakan selain-Nya).
Lalu beliau melanjutkan, “laysa al-muhibb alladzi yarju min
mahbubihi ‘iwadhan aw yathlubu minhu ‘aradhan. Fa inna al-muhibb
man yabdzulu laka. Laysa al- muhibb man tabdzulu lahu42” (pencinta
bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari
kekasihnya. Sejatinya, pecinta adalah yang mau berkorban untukmu,
bukan yang menuntut pengorbanan darimu).
C. Tujuan Penulisan
39 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 493.
40 Abdul Moqsith Ghazali. Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Iskandari Kajian Terhadap Kitab
al-Hikam al-‘Aththa’iyah. 2013. Hlm. 155.
41 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 493.
42 Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 519.
19
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, DR. Anas Ahmad Karzon
menulis topik kajian Tazkiyatun Nafs ini semata untuk disertasinya.
Namun dengan kesadarannya terhadap urgensi zaman, beliau
menyederhanakan topik pembahasan lalu dijadikan suatu buku.
Al-Ghazali meringkas kitabnya Ihya ‘Ulumiddin untuk mudah dibawa
kemana-mana bagi pembacanya. Disamping itu, kitab Ihya ‘Ulumiddin
beliau dedikasikan untuk pengabdiannya terhadap Pendidikan non-
pemerintah dan majelis sufi.43
Adapun buku Metode Menaklukan Jiwa hasil terjemahan dari
Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, al-Ghazali ingin
mengspesifikkan pembahasan kedua bab yang sudah di paparkan di atas.
D. Segmentasi
43 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar
Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly (Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm. xvii.
44 Di dalam buku Balaghoh Praktis, Jinas adalah dua lafadz yang sama pelafadzannya namun
beda maknanya. Lihat, Muhammad Zamroji, Balaghoh Praktis Jauharul Maknun Saku, (Kediri:
Lirboyo Press, 2017), hlm. 439.
45 Mhd Faizal Mhd Ramli (dkk), “Keserasian Lafaz Gaya Bahasa Jinas dalam Kitab Al-Hikam
Al-‘Atha’iyyah : Kajian Nilai Estetika”, Issues In Language Studies, Vol. 4, No. 2, hlm. 9-10.
20
Akan tetapi hasil pensyarahan KH. Sholeh Darat yang hanya 1/3 dari
Kitab Al-Hikam dengan Bahasa Arab pegon ditujukan khusus untuk
mempermudah bagi kaum awam untuk mempelajari kitab al-Hikam.
Berbeda dengan pensyarah lainnya yang masih syarat akan keluasan
Bahasa.
Dengan tema yang sudah diringkas oleh penulis, Tazkiyatun Nafs
diharapkan bisa dijadikan sebagai referensi bagi seluruh entitas. Akan
tetapi, tetap perlu adanya mursyid untuk dijadikan tempat bertanya apabila
adanya ketidak-pahaman kita terhadap suatu materi.
Seperti halnya buku Tazkiyatun Nafs, Ikhtisar Ihya ‘Ulumiddin
ditujukan untuk seluruh elemen masyarakat. Karena hasil ringkasannya
Imam al-Ghazali yang cukup singkat dan jelas. Namun, apabila ditinjau di
ranah pondok pesantren. Ikhtisar Ihya ‘Ulumiddin biasa dikaji bagi santri
yang sudah memahami kitab-kitab dibawahnya dan ilmu nahwu-shorofnya
yang sudah memadai.
Untuk buku Metode Menaklukan Jiwa, penyusun menghimbau
segmentasinya untuk kalangan akademik. Dikarenakan terjemahan
langsung dari bahasa Inggris sehingga gaya bahasanya yang sukar untuk
dimengerti bagi masyarakat umum.
Bagi penyusun, kelebihan dari kitab al-Hikam adalah dari segi bahasa
dan pendalaman materinya yang sangat luas, hanya saja akan sulit bagi
21
orang awam untuk mengkajinya secara khusus. Oleh karena itu, perlu
dukungan buku tambahan seperti buku sekunder yang penyusun pilih.
Seperti masalah sistematika, di dalam kitab al-Hikam tidak disusun secara
sistematis maka pembaca perlu buku lain untuk mengkorelasikannya.46
46 Abdul Moqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Iskandari Kajian Terhadap
Kitab al-Hikam al-‘Aththa’iyah”, Tashwirul Afkar, No. 32, hlm. 150.
22
Untuk memudahkan penjelasan pada pembahasan ini (bab ketiga), maka penyusun menyederhanakan dalam tabel berikut:
PENUTUP
Dengan book review tersebut pula setidaknya kita mampu sedikit memahami
antara maqamat spiritualitas seperti tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan rido serta
ahwal seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan syukur yang menjadikan kita
dapat lebih dekat kepada Allah swt.
Saran dari penyusun yaitu untuk mulai membaca buku-buku tersebut alangkah
baiknya mempelajari terlebih dahulu sesuatu yang bersifat dzohir seperti ilmu
fikih dan akhlak atau etika serta ilmu sastra seperti nahwu, shorof, balaghoh, dan
mantiq. Karena tanpa didasari fikih, akhlak, dan sastra akan sulit untuk
memahaminya maupun praktiknya.
Wallahu a’lam.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
CURICULUM VITAE
Riwayat Pendidikan :
Pengalaman Organisasi :
28