Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KITAB TAFSIR MODERN AL-BAYANI KARYA AISYAH ABD AL-RAHMAN


BINT AL-SYAHTI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kitab Tafsir Modern
Diampu oleh : Mufida Ulfa, S.Th.I,M.Ag.

Oleh kelompok 10 :
Nur Afnani Fitria Maliki 212104010010
Maula Nabila Mahrus 212104010012
Luqman Khalifatur R. 212104010043

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM KH. ACHMAD SIDDIQ
JEMBER 2023
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................9
BAB I.........................................................................................................................................................9
PENDAHULUAN...................................................................................................................................13
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................................
C. TUJUAN PEMBAHASAN...................................................................................................................
BABII..........................................................................................................................................................
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI BINT AL-SYATHI’
B. BIOGRAFI KITAB TAFSIR AL-BAYANI
C. SISTEMATIKA PENULISAN
D. METODE DAN CORAK TAFSIR
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tafsir Al-Qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan
maksud-maksud ayat-ayat Al-Qur’an telah melahirkan sejumlah karya tafsir. Kitab al-
Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm merupakan karya seorang perempuan ahli tafsir
yang bernama Bint Al-Syati’. Kitab tafsir ini terdiri atas 2 jilid. Oleh karna itu dalam
perkembangan tafsir Al-Qur’an dari waktu kewaktu hingga masa sekarang dikenal
berbagai corak penafsiran, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dan
perkembangan zaman yang melingkupinya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Bint al Syathi’?
2. Bagaimana Biografi Kitab Al-bayani?
3. Bagaimana latar belakang penulisan kitab Al Tafsir Al bayani?
4. Bagaimana Sistematika Penafsiran?
C. Tujuan pembahasan
1. Memahami Biografi Bint al Syathi’
2. Memahami Biografi Kitab Al Tafsir Al bayani
3. Memahami latar belakang penulisan kitab Al tafsir Al bayani
4. Memahami sistematika penafsiran Bint al Syathi’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Bint Al-syathi
Nama asli beliau adalah Bint al-Syathi’ adalah A’isyah Abd ar-Rahman. Bint
alsyathi’ lahir pada tanggal 6 November 1913 di Dumyath, sebelah barat Delta Nil.
Bint al-Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh dari pasangan
Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ayahnya, ‘Abd ar-
Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Pendidikan Bint Al-syathi’
dimulai ketika berumur lima tahun, yaitu dengan belajar membaca dan menulis Arab
pada syaikh Mursi di Shubra Bakhum, tempat asal ayahnya. Selanjutnya, ia masuk
sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa Arab dan dasar-dasar kepercayaan
Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada 1939 ia berhasil
meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab, di Universitas Fuad,
Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Syathi’ menyelesaikan jenjang Master. Kemudian
pada tahun 1950 meraih gelar doktor pada bidang serta lembaga yang sama pula,
dengan disertasi berjudul al-Gufran li Abu al-A’la al-Ma’ari. Bint al-Syāṭi’ harus
berjuang keras untuk meraih gelar doktornya itu mengingat ia sulit sekali mengakses
pendidikan diluar rumah sebagai seorang gadis Mesir dan berayahkan seorang
konservatif. Akan tetapi, berkat ibu dan kakeknya yang berpandangan progresif ia
berhasil belajar di pendidikan formal. Ia mempublikasikan kitab tafsir bayaninya
pertama kali pada tahun 1962 dan telah dicetak ulang dua kali pada 1966 dan 1968.3
Minatnya terhadap kajian Tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan Prof. Amin al-
Khulli, seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya, ketika ia bekerja di
Universitas Kairo. Dari sini, lalu Bint al-Syāṭi’ mendalami tafsirnya yang terkenal,
al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim yang diterbitkan pada 1962. Karya-karya
Bint al-Syāṭi’ lainnya tentang tafsir antara lain Kitabina alakbar (1967); tafsir al-
Bayani li al-Qur’an II (1969); Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyyah (1969); al-
Qur’an wa al-Tafsir al-’Asyri (1970); Al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an (1968); asy-
Syakhshiyyah al-Islamiyyah Dirasah al-Qur’aniyyah (1973).
B. Karya-karya Bint al-syathi’
Selain kesibukannya mengemban jabatan-jabatan yang telah dipaparkan pada
biografi di atas, Bint al-Syāṭi’ tetap aktif menulis. Karir kepenulisannya dimulai
dengan artikel-artikel dan majalah-majalah perempuan di Mesir diakhir tahun 1932.
Karya-karyanya mencakup bidang Sastra, Fiqih dan Sejarah. Di antara karya-karya
yang dipublikasikan sebagai berikut :
1. I’jaz al-bayani al-qur’an (1968)
2. Lugatuna wa al-hayah (1969)
3. Al-tafsir al-bayani lil qur’an al-karim jilid 2
4. Al-qur’an wa al-tafsir al-’asri (1970)
5. Al-qur’an wa huququ al-insan (1971)
6. Nisa’ al-nabiy (1973)
7. Al-qur’an Wa al-fikr al-islami al-ma’ashir (1975)
Karya-karya yang ditulis pada makalah ini hanya sebagian saja dan masih
banyak lagi kitab karya bint syathi’ yang tidak ditulis pada makalah. Kemudian pada
awal bulan Desember tahun 1998 saat usia beliau mencapai 85 tahun bint syathi’
menghembuskan nafas terahkhirnya dan tulisan terakhir beliau sempat diterbitkan
oleh koran Ahram dengan judul “Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah” pada
tanggal 26 Februari 1998. Seluruh karyanya menjadi saksi akan kehebatan beliau.

C. Biografi Kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm


Kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm merupakan karya seorang
perempuan ahli tafsir yang bernama Bint Al-Syati’. Kitab tafsir ini terdiri atas 2 jilid
dan memuat 14 surah pendek yang rata-rata diambil dari juz 30. Dengan demikian
masing-masing jilid terdiri dari 7 surah pendek. Jilid pertama diterbitkan pada tahun
1962 dan jilid kedua diterbitkan pada tahun 1969 oleh Dâr al-Ma‘arif Cairo, Mesir 1.
Kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm jilid pertama telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Mudzakkir Abdus Salam yang diberi judul “Tafsir
BintAl- Syati’”2. Belum ada alasan yang pasti mengapa kitab ini hanya membahas 14
suruah pendek saja yang semuanya dikategorikan sebagai surah Makiyah.Adapun ke-
14 surah tersebut yakni:
1
Wahyudin, Corak Dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syati’, Al-Ulum, Vol.11,
No.01, 2011, hal.88.
2
Ibid.
Jilid 1 (1962) Jilid 2(1969)
Ad-Dluha Al-Alaq
Al-Insyirah Al-Qalam
Az-Zalzalah Al-Ashr
Al-Adiyat Al-Lail
An-Nazi’at Al-Fajr
Al-Balad Al-Humazah
At-Takatsur Al-Fill

Belum ada alasan yang pasti mengapa kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-
Karîm ditulis. Namun, ada seorang sarjana Islam kontemporer dari belanda yakni
J.J.G. Jansen, ia menyebutkan bahwa kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm
karya Bintu al-Syati’ memilih 14 surah tersebut karena berisi dasar-dasar akidah,
keimanan dan tauhid yang disepakati oleh para ulama Muslim 3. Adapaun alasan lain
yang melatar belakangi kitab tafsir tersebut erat kaitannya dengan latar belakang
keluarga, pendidikan serta karir yang melingkupi kehidupan Bint Al-Syati’. Didalam
muqaddimah Kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, Bint Al-Syati’
mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang membuat beliau resah yakni Bintu
Syati’ melihat bahwa para penggiat sastra hanya memusatkan kajiannya hanya pada
seputar teks-teks syair, puisi, pidato, atau semacamnya. Menurut Bint Al-Syati’, jika
para pegiat sastra tersebut menginginkan hal yang maksimal dalam kajiannya, maka
objek kajian yang seharusnya dipakai adalah al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an terdapat
perumpamaan-perumpaan. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mengetahui
keindahan sastra Arab, maka hal tersebut dapat didapat dengan dia memahami
keindahan sastra al-Qur’an4.

Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan, Bint Syathi mendahulukan penafsiran mufasir
yang menafsirkan kata al Dhuha menurut pandangan dan metode masing-masing.
Dengan mengungkapkan penafsiran Muhammad Abduh, Bint Syathi menjelaskan
bahwa kata Dhuha itu menunjukkan terangnya wahyu pada hati Rasulullah.
Sebagaimana waktu dhuha yang membuat kehidupan semakin kuat dan membuat
tumbuhan semakin hidup. Kemudian kata Dhuha dilanjutkan dengan sumpah di

3
Wali Ramadhani, Bintu Syati’ Dan Penafsirannya terhadap Surah Al-‘Asr Dalam Kitab At-Tafsir Al-
Bayani Lil Qur’anil Karim, At-Tibyan, Vol. 03, No.2, 2018, hal.269.
4
Aghnia Faradist, Studi Kritis atas “al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm”, Jurnal At-Tahfizh Jurnal
Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, Vol.4, No.01, 2022, hal. 64
malam hari yang sunyi yang mengisyaratkan agar semua jiwa bisa beristirahat buat
mempersiapkan esok hari menghadapi pekerjaan. Sebagai contoh bahwa pada
awalnya Rasulullah saw. menerima wahyu dengan kesulitan, disaat wahyu datang
terlambat, bahwasanya itu hanya untuk mengokohkan dan menguatkan jiwa dalam
memikul beban yang dihadapi.5
Setelah mengutip dari pendapat terdahulu, Bint syathi mengomentari perihal
pertimbangan bayani dari penafsiran yang dapat menyesatkan di tengah pembicaraan,
bahwa pada waktu Dhuha dapat diartikan sebagai kehidupan penguat dan tumbuhan
menggeliat. Sedangkan pada malam hari dapat diartikan sebagai kekuatan beristirahat
dan jiwa untuk bersiap-siap menghadapi esok hari. Begitu pula dengan penafsiran Ibn
Qayyim Al Jauziyyah dan Ibnu Jarir Al Thabari yang menurut Bint Syathi‟ belumlah
menjelaskan secara detail makna al Dhuha. Setelah membandingkan penafsiran
mengenai dhuha, Bint Syathi‟ menafsirkan dhuha dengan kemahiran linguistiknya.

Waktu Dhuha berarti waktu tertentu di antara pagi dan siang hari, di mana
sunnah shalat Dhuha juga dilakukan di waktu tersebut. Kemudian kata Dhuha juga
berarti unta yang disebut Al Dhahiyah adalah unta yang minum pada waktu Dhuha.
Jika mereka mengatakan Dhuha fulan ghanamah maka kalimat berarti si Fulan
mengembala kambingnya pada waktu dhuha. Dan dhuha bi al syah jika dia
mengurbankan kambingnya di waktu dhuha pada hari kurban. Ini asal kata menurut
lisanul Arab.

Petunjuk yang jelas bahwa petunjuk yang tampak dalam semua pemakaian
kata itu secara konkret pada materinya. Misalnya, dhahiyah adalah langit, dan dari sini
dikatakan bahwa apa yang tampak dan jelas adalah dhahiyah. Dan mudhah adalah
daerah yang disinari matahari. Dan dhuha al thariq adalah jalan yang tampak dan
jelas. Mereka mengatakan orang yang muncul dari arah sinar matahari dengan dhaha,
dhahwan, dhuhuwwan dan dhuhiyyan.
Dari ihwal kejelasan dan ketampakan yang tersirat di dalam penggunaan-
penggunaan yang konkrit bagi materi ini, dikatakan bahwa fa’ala fulan kadza
dhahiyatan (Si Fulan melakukan ini secara terang-terangan). Namun penggunaan kata
dhuha yang paling banyak yaitu untuk menunjukkan waktu tertentu dari awal siang,

5
Muhammad Abduh, Tafsir Juzz Amma, hlm. 95
yang lebih sedikit dari naiknya siang, ketika matahari telah sempurna terangnya.
Karena itu dikatakan adhha fulan apabila seseorang berada pada waktu dhuha.

Setelah menjelaskan kata dhuha melalui pemahaman linguistik berlanjut


kepada pengumpulan ayat-ayat Al-Quran – penggunaan Qurani – yang didalamnya
terdapat kata dhuha. QS Al Naziat: 46 kata dhuha sebagai lawan kata ‘asyiyyah (senja
hari), QS Al Naziat: 29 membandingkan siang yang terang benderang dengan malam
gelap gulita, QS Al A‟raf digunakan sebagai zharf zaman (keterangan waktu) bagi
sebagian waktu siang hari dan QS Thaha: 59 dengan waktu matahari sepenggalahan
naik. QS Thaha ini menjauhkan tafsiran waktu dhuha sebagai siang seluruhnya.

Pengertian semacam ini juga dijauhkan oleh ayat dalam surah Al Syam. Disitu
tidak terlihat makna menjadi sempurna jika menafsirkannya dengan siang hari.
Sehingga dikatakan bahwa “Demi matahari dan siang harinya.” Tetapi dhuha adalah
“waktu membentangnya matahari” seperti Al Raghib dalam Mufradatnya. Atau ia
adalah “permulaan siang ketika matahari naik dan tampak kekuasaannya” seperti kata
Al Naisaburi di dalam Gharaibnya.

Adapun sumpah Allah pada ayat kedua dengan kata Al-Lail idza Saja adalah
kenyamanan dan ketenangan malam. Begitulah makna yang sesuai dengan situasi
bayani, bukan dating dan perginya waktu malam seperti halnya yang dikemukakan
oleh mufassir klasik. Tidak ada penggunaan kata saja pada ayat yang lain selain di
ayat ini pada surat Adh-Dhuha. Bintu Syathi‟ membuat pengertian bahwa jika kata
saja adalah lawan kata dari dhuha, maka waktu malam yang dimaksudkan adalah
ketenangan dan keheningan malam sesuai apa yang dikenal dalam bahasa Arab dalam
penggunaan kata saja pada kalimat tharfun sajin (pandangan yang tenang) dan bahrun
sajin (laut yang tenang).
Bintu Syathi‟ memberikan kesimpulan perihal sumpah Allah dengan
menggunakan waktu dhuha dan waktu malam yang tenang, merupakan penjelasan
yang konkrit dan merupakan sebuah realita yang dapat dilihat, yang dipersiapkan
untuk sebuah kondisi waktu yang sebanding tapi tidak konkrit dan tidak nyata, yaitu
terhentinya wahyu sesudah muncul dan terang.
Corak dan Metode al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm
Dalam karyanya ini, Bint Syathi menafsirkan al-Bayani li al-Qur’an al-Karim
secara bahasa dan sastra kemudian menafsirkan ayat sesuai dengan urutan kronologis
nya dan tidak terlalu terpacu pada urutan surat dalam Al-qur’an. Menurut beliau, dala
m menafsirkan Al-qur’an hendaknya seorang mufassir mengurutkan runtutan surat be
rdasarkan tertib turunnya ayat-ayat tersebut.6
Secara umum prinsip Bint Syathi dalam penafsiran nya, berpegang teguh pada tiga
hal, yakni
1. Al-qur’an menafsirkan dengan dirinya sendiri (Al-qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dan).7
2. Memposisikan Al-qur’an sebagai satu kesatuan yang mempunyai ciri
penyampaian dengan gaya bahasa yang khas sehingga harus dipelajari secara
keseluruhan.
3. Menyepakati bahwa Al-qur’an memiliki susunan kronologis yang dapat
menjelaskan sejarah mengenai isinya tanpa mengesampingkan kelaziman
nilainya.8
Berdasarkan tiga diktum atau basis pemikiran di atas, Bint al-Syathi mengajukan
metode tafsirnya, sebuah metode untuk memahami Al-qur’an secara obyektif dan
mengakui mengikuti metode gurunya sekaligus suaminya yang terdiri dari empat
langkah.9
1. Mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di
beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Namun dengan pengembangan
induktif (istiqra’i). Kemudian diperinci per-ayat. Akan tetapi perincian ini
berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik)
yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu
surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat dan
dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa.
Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan
perbedaan dalam penggunaannya.

6
H. Muchlis Nadjamuddin, “Kontribusi Penafsir Wanita (Suatu Kajian Metodologis Tafsir Bint
usy Syathi‟)”, MUSAWA, (Vol.6, No.2, Desember 2014), hlm.323
7
Al-Suyuthi, Dur al-Mansur, (Kairo: Dar al-Ma‟arif, 1313 H), hlm. 7.
8
Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi‟, at -Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, Juz I, terjemahan.
Mudzakir Abdussalam, hlm. 35-36.
9
Muhammad Amin, A Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill), hlm. 32.
1. Memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat
sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan
diturunkannya ayat- ayat Al-qur'an pada waktu itu.
2. Memahami dalalah al-Lafadz. Maksudnya, indikasi makna yang
terkandung dalam lafadz-lafadz Al-qur’an, apakah dipahami sebagaimana
dhahirnya ataukah mengandung arti majaz dengan berbagai macam
klasifikasinya. Kemudian di tadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat
khusus dalam satu surat.
3. Memahami rahasia ta’bir dalam Al-qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian
sastra, dengan mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa pentakwilan
yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad tanpa mengkesampingkan
kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian balaghahnya.
Selanjutnya, didalam penulisan tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim memiliki
corak sastra dan metode tafsir bil-adabi. Tafsir Adabi adalah analisa teks yang
mengungkap sisi sastra yang terkandung di dalam Al-qur’an. Metode ini lebih
cenderung kepada metode kritis dalam memahami Al-qur’an.
Bint al-Syathi mengakui bahwa metode tafsir yang dikembangkan dan
diterapkannya di dapat dan dipelajari dari profesornya di universitas Kairo, almarhum
sang guru. Atas dasar mengikhtisar prinsip tersebut disusunlah empat langkah
penafsiran Bint Syati yaitu; 10
a. Pemilihan setiap ayat yang berkaitan dengan satu tema, hal ini dilakukan
untuk mencapai makna yang tepat dan sesuai
a. Ayat-ayat yang akan dikaji diklarifikasikan berdasarkan tartib nuzuli, agar
konteks turunnya ayat dapat diketahui. Riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan asbab-Nuzul tetap perlu dipertimbangkan derngan catatan bahwa
asbab al-Nuzul itu hanya merupakan keterangan-keterangan kontekstual
yang berkaitan dengan pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang
digunakan, bukan pada kekhususan sebab peristiwa pewahyuan. (prinsip
al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh, la bi khushush al-sabab).
b. Keyakinan bahwa kata-kata didalam al-Qur’an tidak memiliki sinonim. Ia
mengungkapkan bahwa penggunaan sinonim akan menghilangkan
efektifitas, ketepatan, esensi dan keindahan al-Qur’an.

10
Issa J. Bouiata. Op.Ci,. h .. 7.
c. Untuk memperoleh pemahaman yang benar terhadap teks Al-qur’an, maka
arti kosakata yang termuat dalam Al-qur’an harus dilacak dari linguistic
aslinya melalui bahasa arab. Ia juga mengungkapkan bahwa yang dituntut
pertama-tama dari mufassir adalah memahami kosa kata (mufradat) dan
gaya bahasa Al-qur’an Seluruh penafsiran yang bersifat sekterian dan
israiliyyat sangat dihindari.11
Untuk mempertahankan keaslian dan ciri khas linguistik Al-qur’an, Bint Syathi’ memberikan
beberapa metode untuk menghilangkan factor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi penafsiran
Al-qur’an. Pertama, Bint Syathi menolak adanya israiliyyat untuk turut serta dalam penjelasan arti
yang terkandung dalam Al-qur’an. Karena Al-qur’an memakai bahasa yang universal dengan
menyampaikan moral-moral yang baik, bukan dengan penyampaian bahasa yang bersifat mistis dan
historis. Kedua, menjauhkan penafsiran isi Al-qur’an dengan mengaitkannya pada sains modern karena
isi Al-Qur‟an mempunyai makna sendiri yang intristik dan hanya bisa dimengerti dengan mendalami
konteksnya sendiri, bukan sebagai bukti teks yang beriringan dengan penemuan sains modern. 12
Beliau sangat khawatir dengan adanya paham sekterian dan israilliyat yang masuk ke dalam
tafsir para mufasir klasik. Karena riwayat israiliyyat sudah pasti akan memberikan pengaruh pada
penafsiran terhadap Al-Qur‟an. Hal ini trerjadi karena para mufassir menggunakan riwayat-riwayat
tersebut tanpa menyertakan cita rasa bahasa Arab yang murni sebagai bangsa yang berposisi sebagai
penerima wahyu tersebut. Akibatnya, penafsiran yang mucul pun berbeda jauh dari maksud dan tujuan
Al-qur’an itu sendiri hanya karena kesalahan metodologis dan pemahaman yang dangkal. 13
Meskipun begitu, Bint Syathi tidak mengingkari hasil karya mufasir sebelumnya. Karena
ulama-ulama tafsir tersebutlah yang sudah memberikan kontribusinya untuk berkhidmah pada kitab
suci ini meskipun belum secara objektif. Bint Syathi mengatakan

11
Lihat kata pengantar cetakan kelima Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-K
arim, (Kairo: Dar Al-Ma‟arif, 1990 hlm. 10-11.
12
Issa J Boulatta, Dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintu Syathi’, hlm. 18-19.
13
Aisyah Abdurrahman, Tafsir AL-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1990),
hlm. 15
Merupakan hal utama dalam metode ini adalah kemampuan menguasai tema yang akan dikaji dalam
penafsiran kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama mengikuti kelaziman
lafadz-lafadz dan ungkapan-ungkapan sesudah membatasi makna bahasa.

Kemudian dalam pelaksanaan metode penafsiran baik itu metode tahlili maupun maudhu’i dan metode-
metode lainnya, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pentingnya mengetahui petunjuk suatu kata
dengan mengkaji lebih dalam makna bahasa Arab yang asli. Sebagai contoh, pendapat yang diuraikan
Bintu Syathi dalam menafsirkan serta Adh-Dhuha dengan mendahulukan riwayat tentang asbabun
nuzul surat tersebut berikut dengan perselisihan yang ada dan menyertakan kesimpulan bahwa asbabun
nuzul hanyalah unsur konteks pada seputar nash. Prinsip beliau tentang ababun nuzul adalah sebagai
berikut:

‫هن‬SS‫ وهي تاعتراف االقدهيي ًأفس‬,‫ فأسثاب اٌلزول ال تعدو اى تكىى قرائي هوا حىل اٌلص‬,‫والً قف ٌع دها اختلفىا فيه‬
‫ام‬SS‫اً زلت إال أي‬SS‫ا ه‬S‫ ًأه‬,‫ثاب اٌل زول‬S‫ه قىلهن فى اس‬SS‫ا ًاتهى الي‬SS‫ة ه‬S‫ وخالص‬,‫ واالختالف فيها قدين‬,‫ال تخلى هي وهن‬
14
‫ توٌع ى السثثية الحكوية العلية‬,‫ وليس السثة فيها‬,‫وقىعه‬
Tidak perlu adanya pembahasan tentang perselisihan pendapat mengenai ayat tersebut, karena
asbabun nuzul hanyalah unsur eksternal daripada nash. Menurut ulama terdahulu, asbabun
nuzul tidak lebih dari sekedar hal yang tidak jelas. Perbedaan pendapat mengenai hal ini sudah
terjadi sejak dulu. Pendapat mereka tentang asbabun nuzul adalah bahwa hal itu hanyalah
peristiwa yang dengan itu, ayat Al-Qur’an tidak turun kecuali pada saat terjadinya peristiwa
tersebut dan bukan merupakan sebab utama mengapa ayat tersebut turun dalam hukum sebab
akibat.

Menurut Bint Syathi, metode yang dimaksud ialah untuk mendobrak


metode klasik yang menafsirkan Al-qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara
berurutan, karena menurutnya metode klasik ini setidaknya mengandung dua
kelemahan: pertama, memperlakukan ayat secara atomistik, individual yang
terlepas dari konteks umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur‟an adalah satu

14
Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al-Quran Al Karim, hlm.23
kesatuan yang utuh, di mana ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling
terkait, dan kedua, kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai
dengan maksud ayat yang sebenarnya.
Ketika berbicara tentang penafsiran sastra (al-tafsir al-adabi), maka tidak
boleh menafikan konsep i’jaz Al-qur’an, bagaimana relasi antara sastra Arab di
satu sisi, dan i’jaz Al-qur’an di sisi lain. Al-Zamakhsyari misalnya, berkesimpulan
bahwa penguasaan terhadap sastra Arab (balaghah) dengan segala uslubnya tidak
hanya akan membantu memahami aspek-aspek kemukjizatan sastra Al-qur’an,
tetapi juga dapat membantu mengungkapkan makna-makna dan rahasia-rahasia
yang tersembunyi di baliknya.
Sastra tematik yang dimaksud di sini adalah corak tafsir kontekstual yang
menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajian
dikhususkan pada membahas sastra bahasa dalam satu surat. Beliau tidak
mengambil seluruh surat dalam al-Qur‟an. Namun, beberapa surat pendek saja di
juz amma pada buku pertama: Adh-Dhuha, Asy-Syar’, Az-Zalzalah, Al-Adiyat,
An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan tujuh surat pendek lainnya pada buku
kedua: Al-‘Alaq, AlQalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al-Fajr, Al-Humazah, dan Al-
Ma’un.

Contoh Penafsiran
Berikut penafsiran dari at-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim Bint Syathi,
dalam surah al-Zalzalah:

Artinya: “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). dan bumi
telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia
bertanya:“Mengapa bumi (menjadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan
beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian
itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan
bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. Qs. al-Zalzalah: 1-8.

Bintu Syati menjelaskan bahwa surah al-zalzalah merupakan surah yang


membahas prihal adanya hari akhir, surah al-zalzalah adalah surah ke enam dan
tergolong dalam surah madaniyyah.15 Surah al-Zalzalah ini cenderung terhadap
pengulangan ayat. Padahal pengulangan biasanya hanya dalam surah yang panjang.
Menurut Bintu Syaţi, pengulangan tersebut merupakan fenomena uslub (gaya bahasa)
di dalam al-Qur’an untuk pemantapan, penetapan dan penegasan. Setelah
menjelaskan gambaran surah al-zalzalah ini bintu syati menerangkan bahwa dalam al-
Qur’an yang menjelaskan tentang peristiwa hari akhir, dengan menggunakan fi’il
mabniy majhul. Diantaranya surah al-zalzalah, surah an-Naba’, surah al-waqi’ah, dan
surah alHaqaah.16

Dalam hal fi’il majhul menunjukkan adanya kepentingan dan penekanan, yaitu
adanya ketiba-tibaan yang akan terjadi ketika hari akhir nanti. Yang mana dalam
ketiba-tibaan tersebut tidaklah membutuhkan perintah atau pelaku (sebagaimana
yang ditafsirkan mayoritas ulama klasik).17

Bintu Syati juga menyertakan arti suatu kata secara bahasa, menurutnya al-
Zalzalah berarti “gerakan yang keras dan guncangan yang dahsyat”. Bahwa kata
15
‘Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim, Jilid I hlm. 79.
16
Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim, Jilid I hlm. 80.
17
‘Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim, Jilid I hlm. 81.
ini digunakan pada hal-hal yang dapat diindera. Seperti kata-kata zalzala al-ibila
(jika dia menuntun unta dengan keras, maka guncanglah jalannya), tazalzalat al-
ardhu (jika bumi berguncang dan bergetar). Kemudian ia digunakan dalam hal-hal
yang keras dan menakutkan. Menurut Bintu Syaţi’, kata alzilzal (keguncangan)
digabungkan dengan kata al-ardh (bumi) sejalan dengan spontanitas yang tampak
pada ayat sesudahnya, yaitu pengeluaran bumi akan beban-beban dan
pembicaraan-pembicaraan tentangnya. Selanjutnya, dengan diaktifkannya kalimat
zulzilat al-ardhu (bumi diguncangkan) dan kuatnya efektivitas yang diperoleh
secara langsung dari ikhraj (pengeluaran), tahaddus (skenario kejadian) dan al-
zalzalah (guncangan) kepada bumi, maka tidak ada alasan bagi perkiraan
perantaraan para malaikat untuk menyampaikan “wahyu” kepada bumi yang
berguncang dengan guncangannya yang hebat; mengeluarkan kandungannya dan
menceritakan berita-beritanya.18

Pada ayat ke -6, Bint Syathi menafsirkan kata yaumaidzin (pada hari itu)
diulang-ulang, untuk menghubungkan urutan-urutan keadaan, serta
mengembalikan perhatian pendengar kepada ayat-ayat sebelumnya, serta
mengulangi peringatan-peringatan yang telah mantap di benaknya.
Selanjutnya pada kata yashduru al-nas, Bint Syathi menilai mayoritas
mufasir berpendapat bahwa yashduru al-nas (manusia keluar dari kuburnya) di sini
bermakna mereka keluar dari kuburan atau mereka berpaling dari keadaan hisab

18
‘Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’, Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Qur’an Al-Karim, Jilid I hlm. 82.
seperti dalam penafsiran Thobary.19 Berbeda dengan penafsirannya, Bintu Syati’
mengungkapkan bahwa yashduru (mengeluarkan) jika disamakan dengan kata
“keluar” atau “berpaling” maka, ia akan kehilangan inspirasi kata di dalam rasa
bahasa Arab. Lebih jauh ia menerangkan bahwa yashduru di sini lebih ekspresif,
dan orang Arab juga sudah biasa menggunakan kata tersebut dan berlakulah
kebiasaan mereka, bahwa al-warid (orang yang kembali) harus mengetahui
bagaimana dia yashdur (keluar). Jika tidak, dia pasti akan tersesat.
Beranjak dari contoh penafsiran diatas, penulis menemukan beberapa
kejanggalan dalam penafsirannya ketika menafsirkan surah yang lain (al-Dhuha).
Bahwa kendati Bint al-Syathi berupaya menghindari terlibat jauh dalam hal
perbedaan-perbedaan pendapat sekitar riwayat-riwayat tentang asbâb al-nuzûl
suatu ayat (lihat prinsip-prinsip penafsirannya). Akan tetapi sewaktu menafsirkan
surah al-Dhuha tampaknya ia mengutip sejumlah riwayat yang berkaitan dengan
sebab turunnya, hal ini memperlihatkan ketidak kon-sistenannya dalam
menerapkan teori-teori yang ditetapkannya sendiri. Berikut penulis sertakan
contoh penafsirannya dalam surah al-Dhuha

Mayoritas mufassir mengemukakan bahwa sabab an-Nuzul surah ini


berbicara mengenai penuduhan orang-orang kafir bahwa Muhammad telah
ditinggalkan Allah sehubungan dengan terputusnya wahyu untuk sementara
waktu.20 Riwayat lain menyebutkan bahwa pada saat itu, sang istri Sayyidah
Khodijah mengadu kepada Roaulullah tentang terputusnya wahyuDalam hal ini
Bintu Syati’ menjelaskan bahwa periode adanya dan tidak adanya wahyu. Rosul
berkata: “Sesungguhnya Tuhanku telah meninggalkan aku dan membenciku”
19
Abi Ja’far Muhammad Bin Jarir Thobary, jami’ al-Bayan, Maktabah Shameela.
20
Beirut: Mu’assisah al-Kutub asTsiqofiyyah, 2002) hal. 296.
Khadijah berkata: “Tidak! Demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, Allah
tidak memulai kemuliaan ini kepadamu kecuali Dia ingin menyempurnakannya
untukmu. Maka turunlah ayat ini (Ma Wadda’aka Robbuka Wama Qola)
Pada akhir analisisnya Bintu Syati’ menyebutkan bahwa tafsir perihal ayat
tersebut berisi tentang dua anak anjing yang dibawa oleh Hasan dan Husen. 21 Dari
contoh tersebut sangat jelas sekali bahwa Bintu Syati’ mengutip beberapa riwayat
sabanun Nuzul. Namun demikian terlepas dari kekurangannya, diakui Bintu Syati’
telah memberikan nuansa baru dalam dunia penafsiran, ia telah berhasil
membuktikan kompetensinya sebagai seorang mufassir yang handal.

Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Al-Bayani


Keistimewaan:
a. Bint Syathi merupakan intelektual Islam yang banyak memberikan
sumbangsih pikirannya untuk kemajuan ilmu tafsir. Analisa teks yang beliau
terapkan dalam tafsirnya, banyak diikuti oleh penafsir-penafsir saat ini.
Metode ini lebih relevan dan realistis untuk diterapkan, karena disamping
lebih tepat dengan kondisi sosial masyarakat saat ini, juga dapat memahami
gagasan dalam Al Qur‟an secara utuh (tidak parsial).
a. Dalam tafsirnya, beliau kerap kali menyebutkan komentar-komentar
beberapa ulama zaman dahulu seputar analisa teks mereka, kemudian
memberikan koreksi dan pembenaran. Terutama dalam pembahasan diksi
dalam Al-qur’an.
b. Ayat-ayat yang setema disusun berdasarkan kronologi pewahyuannya.
Kelemahan:
a. Jika pemahaman lafaz Al-qur’an harus dikaji lewat pemahaman Bahasa
Arab yang merupakan bahasa “induknya”, maka perlu melihat realita yang
ada. Karena tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak
dipakai oleh Al-qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring
masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman Al-qur’an;
sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.
a. Bint al-Shati‟ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang
ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis
semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat
pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang
ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Di sinilah
Bint al-Shati‟ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode
yang dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang

21
Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. (Tiara Wacana Jogja: 1997), hal 114-115.
ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus
metode tematik.22

22
Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 136.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bint Syathi merupakan intelektual Islam yang banyak memberikan
sumbangsih pikirannya untuk kemajuan ilmu tafsir. Karya-karyanya sangat banyak
bahkan sebelum beliau wafat masih ada karya tulisnya yang dipublish oleh koran.
Kitab al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm merupakan karya seorang perempuan
ahli tafsir yang bernama Bint Al-Syati’. Kitab tafsir ini terdiri atas 2 jilid dan memuat
14 surah pendek yang rata-rata diambil dari juz 30.
Kelemahan pada kitab tafsirnya adalah Bint al-Shati‟ kurang konsisten dengan
metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih
pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat
pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan,
kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Di sinilah Bint al-Shati‟ banyak
menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan
demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia
tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.
No Analisa Klasifikasi

1. Sumber Penafsiran Bil Ra’yi

2. Metode Penafsiran Mudhu’i

3. Corak Penafsiran Al-Tafsir Al-Adabi

Anda mungkin juga menyukai