Disusun Oleh:
Nama : Muhamad Fuji Hakiki
NIM : 17108040071
Prodi/Kelas : Akuntansi Syariah/B
Nomor HP : 085860034938
1
BAB I
IDENTITIFIKASI BUKU PRIMER
Maha karya sastra klasik Ibnu Atha’illah al-Iskandari1 yakni al-Hikam yang
berisikan kata-kata mutiara atau hikmah sudah banyak sekali disyarahi oleh para
ulama karena konteksnya yang mampu memaparkan tasawuf secara komprehensif.
Adapun buku yang direview penulis adalah syarah2 terjemahan dari syarah
Syekh Abdullah asy-Syarqawi.3 Beliau mensyarahi matan al-Hikam secara
1
Di dalam Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, Ibnu Atha’illah al-Iskandari
merupakan salah satu imam sufi besar abad ke-7 yang juga dikenal sebagai seorang dai, kiai tarekat,
ahli hadis, dan ahli fikih Mazhab Maliki. Beliau bernama lengkap Abu al-Fadl Ibnu Atha’illah al-
Iskandari. Beliau lahir di kota Iskandariah, Mesir. Beliau lahir di tengah lingkungan keluarga
bangsawan penganut Mazhab Maliki. Selain al-Hikam, beliau juga menulis buku-buku lain, seperti
Kitab Miftahul-Falah wa Misbahul-Arwah fi Dzikrillah al-Karim, al-Fattahul-Muraqqi ilal-Qadir,
‘Unwanut-Taufiq fi Ada’it-Thariq, dan al-Qaulul-Mujarrad fil-Ismil-Mufrad. Lihat Abdullah asy-
Syarqawi, Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, terj. Iman Firdaus, hlm. xvii-xviii.
2
Kitab yang ditulis untuk mengulas dan mensyarahkan matan (Kitab yang ditulis secara
ringkas) atau mukhtasar atau komentar terhadap kitab tersebut. Lihat, Tedi Sobandi, “Penulisan
Kitab Fiqih Matan dan Syarah” dalam http://kitab-islami.blogspot.com, diakses tanggal 12
Desember 2018.
3
Di dalam Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa, Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim
asy-Syafi’i al-Azhari yang dikenal dengan sebutan asy-Syarqawi, adalah seorang ulama besar pada
masanya, pernah menjabat sebagai Rektor al-Azhar, ahli nahwu, fikih, sejarah, hadits dan sebagian
ilmu yang lain. Lahir di utara Thuwailiyah yang terletak di sebelah timur Balbis pada tahun 1150 H.
Beliau pengikut aliran tarikat al-Khalwati. Beliau adalah syekh dan mufti Mazhab Syafi’i yang
2
menyeluruh yakni 266 hikmah yang dibagi menjadi dua jilid. Adapun isi dari buku
pertama yaitu terdapat 157 hikmah, sedangkan buku kedua terdapat 109 hikmah.
Di dalam buku ini terdapat pengantar penerbit, prolog, isi buku pertama dan kedua,
serta tambahan materi yakni doa-doa Ibnu Atha’illah al-Iskandari dan surat-surat
untuk sahabat-sahabatnya.
Penulis buku terjemah menyusun kerangka bukunya dengan dibagi menjadi dua
bagian, yakni konteks penjelasan yang ditulis penuh dengan bahasa Indonesia dan
konteks tulisan hikmah atau mutiara, doa-doa, serta surat-surat untuk sahabat-
sahabatnya yang ditulis dengan bahasa Arab.
“Al-Hikam adalah karya terbesar dalam khazanah ilmu kesufian. Semua yang
tersurat dan tersirat di dalamnya – dalam istilah sufi – disebut ilmu laduni, yaitu
ilmu yang langsung berasal dari Allah, berupa ilham yang diberikan oleh-Nya
kepada orang-orang saleh semacam Ibnu Atha’illah.” Begitulah paparan Al-Arif
Billah, Ahmad bin Muhammad Ajibah al-Husaini, dalam bukunya yang berjudul
Iqadhul Himam fi Syarhil Hikam li Ibnu Atha’illah al-Iskandari.
Namun, terdapat kisah menarik dari munculnya maha karya buku ini. Terdapat
satu sumber yang menyebutkan bahwa kitab ini sebenarnya bukan ditulis langsung
banyak menghasilkan karya di bidang fikih, hadis, dan akidah, di antaranya selain Syarh al-Hikam
ibnu Atha’illah, Risalah fi La Ilaha Illallah dan Mukhtashar asy-Syamail. Beliau meninggal pada
tahun 1127 H. Semasa hidupnya, dikenal sebagai orang yang sangat santun. Berbagai macam ahwal
telah beliau lalui, mulai dari pahitnya hidup miskin dan sulit hingga hidup dalam kemakmuran dan
kekuasaan. Namun, itu semua yang mengasahnya hingga menjadikannya pribadi yang mulia di
dunia dan didekatkan di akhirat. Lihat Abdullah asy-Syarqawi, Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang
Masa, terj. Iman Firdaus, hlm. 556.
3
oleh Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Beliau hanya mendiktekannya kepada salah
seorang muridnya yang bernama Taqiyudin al-Subhi. Seperti Imam Syafi’i ketika
menulis Kitab al-Umm yang sedemikian tebal dan berjilid-jilid adalah hasil
pendikteannya kepada ar-Rabi.
Oleh karena penjelasan di atas, penyusun sangat menarik untuk mereview buku
terjemahan kitab Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Tentunya banyak
kekurangan dari review buku penyusun dan tidak akan direview secara menyeluruh
mengingat keterbatasan pengetahuan dari penyusun.
BAB II
IDENTIFIKASI BUKU SEKUNDER I
Buku ini merupakan terjemahan dari Syarah al-Hikam yang ditulis oleh Maha
Guru Para Ulama Nusantara yakni KH. Sholeh Darat4 (1820-1903 M). Beliau
4
Di dalam Syarah al-Hikam, KH. Sholeh Darat bernama lengkap Muhammad Sholeh bin
Umar al-Samarani. Terdapat dua alasan mengapa beliau dipanggil KH. Sholeh Darat. Pertama,
sebutan “Darat” karena beliau tinggal di suatu Kawasan bernama “Darat”. Kedua, sesuai dengan
akhir surat yang beliau tunjukkan kepada penghulu Tafsir Anom, yaitu: “Al-Haqir Muhammad Salih
Darat”. Salah satu riwayat menyebutkan KH. Sholeh Darat dilahirkan di Desa Kedung Cumpleng,
Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 1820 M. Beliau banyak belajar
di tanah Jawa maupun di Mekkah. Banyak ulama yang lahir atau yang pernah belajar kepada beliau,
seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah, Kiai Munawwir Krapyak, R.A. Kartini, dan lainnya. Lihat Sholeh Darat,
Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, hlm. xxv-xxxviii.
4
mensyarah Matan Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah Al-Iskandari dengan
menggunakan bahasa Jawa. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1289 H/1868 H.
Buku ini sebetulnya topik kajian DR. Anas Ahmad Karzon5 untuk disertasi
‘Doctoral’, dengan buku ini penulis meraih gelar Doktor dari Universitas Umm al-
Qurra Makkah Mukarramah. Selanjutnya penulis meringkas tema-temanya agar
dapat dipahami oleh pembaca.
5
Pernah menjabat Pimpinan Badan Internasional Penghafal al-Qur’an, lihat
https://www.facebook.com, diakses pada tanggal 14 Desember 2018
5
penghalang penyucian jiwa, dan terapinya, bab V : ekstremitas pada sebagian
pemahaman yang terkait dengan penyucian jiwa, dan bab VI : hasil-hasil penyucian
jiwa dengan metode Islam.
Buku Ikhtisar Ihya ‘Ulumiddin adalah hasil terjemahan dari Kitab Mukhtashar
Ihya ‘Ulumiddin karya sang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali6. Seperti halnya al-
Hikam kitab ini dijadikan sumber rujukan bagi kalangan ulama dalam hal ilmu
akhlak tasawuf. Buku ini merupakan ringkasan dari Kitab Ihya ‘Ulumiddin.
6
Di dalam buku Ikhtishar Ihya ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali (1054-1111 M) adalah salah
satu filsuf paling berpengaruh, teolog, ahli hukum, dan seorang sufi kenamaan dalam tradisi Sunni.
Beliau berguru kepada Imam al-Juwaini. Beliau hidup pada saat teologi Sunni sedang menghadapi
tantangan besar dari suburnya paham Syiah Ismaili dan berkembangnya aliran Aristotelian sebagai
akibat dari penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Ketika berguru kepada Imam
al-Juwaini di madrasah Nizamiya di Naisabur, wilayah timur laut Iran menumbuhkan kedekatannya
dengan Sultan Malik Syah dan Wazir Nizam al-Mulk. Sehingga tidak lama setelah berguru, Imam
al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan tertinggi di Lembaga keilmuan paling tersohor di dunia Islam
saat itu karena kadar keilmuannya yang luas dan mendalam di hampir semua disiplin ilmu. Lihat
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar Ihya’
Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly, hlm. xiii-xiv.
6
Kitab ini terbentuk ketika Imam al-Ghazali mulai mengabdikan diri sepenuhnya
pada pendidikan non-pemerintah dengan mendirikan lembaga pendidikan dan
majelis sufi (1095 M).7
Buku yang dipegang penyusun berisikan peta buku yang didesign penulis untuk
menggambarkan alur buku, pengantar penerbit, mukadimah penulis, dan empat
bagian pembahasan yang masing-masing memiliki sepuluh sub pembahasan.
7
Di dalam buku Ikhtishar Ihya ‘Ulumiddin, setelah menjabat di Madrasah Nizamiyah
selamat empat tahun al-Ghazali memutuskan untuk keluar karena kesadarannya bahwa “standar
etika yang tinggi dalam nilai keseluruhan agama tidak bias dengan menjadi pembantu sultan, wazir
dan khalifa. Karena mendapat keuntungan dari kekayaan para elite menandakan keterlibatan dalam
pemerintahan yang korup dan menindas yang akan memperlambat penyucian di akhirat kelak”. Pada
tahun 1095 beliau pergi meninggalkan Baghdad menuju ke Damaskus dan Yerusalem untuk
mengadu pada makam Ibrahim. Lalu beliau melaksanakan ibadah haji, selepasnya beliau kembali
ke kampung halamannya Tus hingga lahirlah karya monumental Ihya ‘Ulumiddin. Lihat Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Mukhtashar Ihya’ Ulumiddin,
terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly, hlm. xiv-xv.
7
Buku yang dipegang penyusun adalah buku terjemahan yang mendalami Kitab
Ihya ‘Ulumiddin dengan menelusuri secara khusus dua bab yang menjadi ciri khas
ajaran etikanya. Bagian Pertama membahas tentang diagnosis dan terapi bagi
akhlak yang buruk, yang dipandang sebagai katarak spiritual bagi mata batin yang
digunakan oleh manusia untuk dapat melihat Tuhan, sedangkan Bagian Kedua
secara lebih teliti mencermati dua di antara penyakit semacam itu yang paling
terkenal: sifat rakus dan hawa nafsu yang tak terkendalikan.8
BAB III
PEMBAHASAN
Buku babon (induk), itulah gelar yang pantas disandarkan terhadap kitab al-
Hikam karya Ibnu Atha’illah al-Iskandari. Bagaimana tidak? buku ini sering
dijadikan sebagai acuan bagi kaum sufi untuk mendalami ilmu tasawuf. Apalagi
pada zaman sekarang khususnya yang banyak mencederai tasawuf dengan
puritanisme.9 Tidak sedikit pengajian-pengajian modern sekarang bersumber pada
kitab al-Hikam, seperti yang dilakukan Emha Ainun Nadjib, Aa’ Gym (KH.
Abdullah Gymnastiar, hingga motivator kondang seperti Mario Teguh. Buku ini
sering disandingkan dengan karya monumental sang Hujjatul Islam Imam Abu
Hamid Al-Ghazali yakni Ihya ‘Ulumiddin.
8
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi
Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan Pustaka,
2014), hlm 5-6.
9
Di dalam KBBI, Puritanisme adalah paham dan tingkah laku yang didasarkan atas ajaran
kaum puritan (orang yang hidup saleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai
dosa).
8
ِ jamak dari al-hikmah (ُ)الح ْك َمة
Al-Hikam (ُ)الحكَم ِ yang berarti kebijaksanaan, kata-
kata mutiara, peribahasa, pepatah, dan filsafat.10 Banyak sekali pondok pesantren
yang mewajibkan kurikulumnya untuk mengkaji kitab al-Hikam. Mulai dari
matannya hingga syarahnya. Menurut KH. Rosidi Tamam, setidaknya sebelum
mengaji kitab al-Hikam, seorang santri di pesantren harus membaca terlebih dahulu
kitab Sullamut Taufiq dan kitab Bidayatul Hidayah. Kedua kitab tersebut menurut
beliau merupakan landasan dasar untuk lebih memahami kitab al-Hikam.
Adapun Syarah al-Hikam yang ditulis oleh KH. Sholeh Darat berisikan
ringkasan 1/3 (137 hikmah dari 266 hikmah) dari kitab aslinya Matan Al-Hikam
10
Kamus Arab-Indonesia Almaany
11
Di dalam Syarah Al-Hikam, KH. Sholeh Darat menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa
dengan tulisan Arab pegon (tulisan Arab gundul tapi berbahasa Jawa) memiliki dua alasan. Pertama,
untuk memudahkan masyarakat ketika itu. Kedua, untuk terlepas dari larangan penjajah yang
melarang penerjemahan-penerjemahan khususnya al-Qur’an. Karya pertama yang dibuat KH.
Sholeh Darat yaitu Tafsir Faid ar-Rahman, kitab tersebut dijadikannya hadiah untuk R.A. Kartini
dalam acara tasyakuran pernikahannya dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Lihat
Sholeh Darat, Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, hlm. xxxix.
9
supaya dapat mempermudah masyarakat awam untuk memahaminya. Kitab ini
beliau terjemahkan ke dalam bahasa Jawa agar lebih mempermudah pemahaman
orang yang mempelajarinya.12
Adapun buku Tazkiyatun Nafs karya Dr. Anas Ahmad Karzon, Penulis
memahami urgensi yang harus dipenuhi terkait metode Islam dalam Penyucian
Jiwa. Karena dalam hantaman gelombang berbagai aliran pemikiran dan akidah
pada zaman sekarang, tidak sedikit jalan sesat yang bermunculan. Penulis mencoba
dengan segenap kemampuannya untuk menguraikan metode Penyucian Jiwa
dengan metode ilmiah yang sederhana, dengan mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Merangkum al-Qur’an, as-Sunnah, serta qaul yang terkait dengan seluruh tema
kajian ini.
2. Merinci peristiwa-peristiwa pada sejarah nabi. Khususnya yang berkaitan
dengan tema Penyucian Jiwa. Karena banyak sekali penyimpangan-
penyimpangan sejarah maupun hadis-hadis yang kualitasnya sudah tercampur.
12
Sholeh Darat. Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, (Bogor:
Arya Duta, 2017), hlm. 1.
13
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi
Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan Pustaka,
2014), hlm 6.
10
B. Kedalaman dan Keluasan
Dari segi Bahasa kata al-Hikam disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak
19 kali yang berasal dari kata kerja hakama. Al-Hikam dapat didefinisikan
sebagai keadilan, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan.14
Dari sudut isi, kitab ini hanya berisi puluhan kata hikmah yang
merupakan hasil pengalaman atau permenungan Ibnu Atha’illah al-
Askandari selama berspiritual. Tidak demikian dengan kitab lain yang
beliau tulis seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus yang
syarat dengan kutipan al-Qur’an maupun as-Sunnah. Terlebih lagi, beliau
konsisten terhadap ajaran gurunya tentang tasawuf akhlaqi tidak hanya
tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi yang sulit dipahami. Tetapi
juga diimbangi dengan unsur-unsur tasawuf amali berupa pengalaman
ibadah dan suluk, yang berarti jalan antara syari’at, tarekat, dan hakikat bisa
dengan mudah ditempuh dengan cara yang dapat ditiru dan metodis.15
Ia berusaha untuk memadukan antara syariat dan hakikat. Ini terlihat
ketika ia menafsirkan ayat al-Qur’an, iyyaka na’bu wa iyyaka nasta’in.
Menurutnya, iyyaka na’budu itu adalah syariat, sedangkan iyyaka nasta’in
adalah hakikat; iyyaka na’budu itu adalah Islam, sedangkan iyyaka nasta’in
adalah ihsan; iyyaka na’budu itu adalah ‘ubudiyah, sedangkan iyyaka
nasta’in adalah ‘ubudah.16
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa isi kitab ini hanya berisikan
kumpulan hikmah, akan tetapi di dalamnya dibahas tentang maqamat
spiritual seperti tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan ridha. Beliau juga
membahas tentang ahwal seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan syukur.
Bahkan, Ibn Atha’illah membahas tentang ma’rifat, fana-baqa, dan
mahabbah walaupun tidak secara sistematis.
Adapun tentang maqamat. Dijelaskan oleh Ibnu Atha’illah al-Iskandari
sebagai berikut.
1. Tobat
11
“min ‘alamat mawt al-qalb ‘adam al-khuzn ‘ala ma fataka min al-
muwafaqat wa tark al-nadam ‘ala ma fa’altahu min wujud al-zalla17”
(di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas
ketaatan yang kau lewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas
kesalahan yang kau lakukan).
Seorang Salik (orang yang berjalan menuju Allah) harus terlebih
dahulu membersihkan diri dari dosa-dosa (taubat) bagi Ibnu Atha’illah
al-Iskandari.
Taubat sendiri menurut Imam al-Ghazali adalah meninggalkan dosa
saat ini juga, bertekad tidak mengulanginya di masa mendatang dan
melupakan masa lalu. 18
ُُُُُRasulullah saw. bersabda,
ُالنَّدَمُت َ ْوبَة
14
Mhd Faizal Mhd Ramli (dkk), “Keserasian Lafaz Gaya Bahasa Jinas dalam Kitab Al-
Hikam Al-‘Atha’iyyah : Kajian Nilai Estetika”, Issues In Language Studies, Vol. 4, No. 2, hlm. 2.
15
Sholeh Darat. Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah, (Bogor:
Arya Duta, 2017), hlm. xv.
16
Abdul Moqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Iskandari Kajian
Terhadap Kitab al-Hikam al-‘Aththa’iyah”, Tashwirul Afkar, No. 32, hlm. 150.
17
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm. 455-456.
18
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi,
Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly,(Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm.
474.
19
Anas Ahmad Karzon, Tazkiyatun Nafs, terj. Emiel Threeska (Jakarta: Akbar Media,
2012), hlm. 168.
12
orang yang sudah mencapai tingkatan tersebut yakni ahli iradah (orang
yang dikehendaki dan dicintai Allah).20
Ibnu Atha’illah al-Iskandari melanjutkan bahwa banyaknya dosa
yang dilakukan seseorang tidak boleh menyebabkan seseorang putus
harapan kepada Allah swt. “la ya’zhumu al-dzanbu ‘indaka ‘azhamatan
tashudduka ‘an husn al-zhann bi Allah ta’ala. Fa inna man ‘arafa
rabbahu, istashghara fi janbi karamihi dzanbuhu21” (dosa besar tak
boleh menghalangimu untuk berbaik sangka kepada Allah. Sebab, siapa
yang mengenal Tuhannya, akan tahu bahwa dosanya kecil belaka
dibanding kemurahan Allah). Selanjutnya, ia berkata, “idza waqa’a
minka dzanbun fala yakun sababan liya’sika min hushul al-istiqamah
ma’a rabbika faqad yakunu dzalika akhira dzanbin quddira ‘alaika22”
(Jika kau terjatuh pada dosa, janganlah hal itu membuatmu putus asa
untuk beristikamah bersama Tuhanmu karena bisa jadi itulah dosa
terakhir yang diterapkan atasmu). Begitu pun dosa kecil yang menurut
beliau jangan sampai dilengahkan oleh kita. “la shaghirata idza
qabalaka ‘adluhu wa la kabirata idza wajahaka fadhluhu23” (tak ada
dosa kecil (yang tak akan diadili) bila dihadapkan keadilan Tuhan, dan
tak ada dosa besar jika dihadapkan pada karunia-Nya).
2. Zuhud
Zuhud di dunia dan tidak cenderung kepadanya adalah ciri-ciri
orang-orang saleh dan derajat yang tinggi yang didapat oleh orang-orang
yang menjalani penyucian jiwa dan menyiapkan diri ke negeri akhirat.
(Karzon, 2012)
20
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 76.
21
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 456.
22
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 488.
23
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 456.
13
Menurut Imam al-Ghazali hakikat zuhud adalah tidak menyenangi
sesuatu dan cenderung pada selainnya. Barang siapa meninggalkan
kelebihan dunia dan tidak menyenanginya serta menginginkan akhirat,
maka dia adalah orang zuhud terhadap dunia.24 Zuhud menurut beliau
dibagi menjadi tingkatan. Pertama, berupaya keras untuk zuhud
terhadap dunia dan berjuang meninggalkan hawa nafsu beserta hasrat
dan keinginannya. Kedua, zuhud terhadap dunia dengan suka rela
karena menganggap rendah dunia bila dibandingkan dengan apa yang
diinginkannya. Ketiga, berlaku zuhud dengan senang hati, bahkan
zuhud terhadap kezuhudannya sendiri.
Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “innama ja’alaha mahallan li
al-aghyar wa ma’dinan li alakdar tazhidan laka fiha25” (Allah sengaja
menjadikan dunia sebagai tempat perubahan dan sumber kekeruhan agar
kau tidak terpaut dengannya). Oleh karena itu, perkara kefanaan dan
kemusnahan dunia yang membuat patut bagi seseorang untuk berzuhud.
Menurut asy-Syarqawi zuhud tidak serta-merta terjadi karena nasihat
dan peringatan para dai atau kiai, akan tetapi bisa juga dengan musibah
dan ujian. Lantas Ibnu Atha’illah al-Iskandari melanjutkan ucapannya,
“’alima annaka laa taqbalu an-nashha al-mujarroda, fadzawwaqoka
min dzawaaqihaa maa sahhala ‘alaika wujuuda firaaqihaa26”. (Allah
mengetahui bahwa kau sulit menerima nasihat begitu saja. Oleh karena
itu, Dia membuatmu bisa merasakan pahitnya musibah agar kau mudah
meninggalkan dunia). Hanya dengan cara itu, maka urusan duniawi tak
memenuhi seluruh sanubari salik. Karena itu, Ibnu Atha’illah al-
Iskandari berkata, “farrigh qalbaka min al-aghyar yamla’uhu bi al-
24
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi,
Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly,(Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm.
525.
25
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 515.
26
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 515.
14
ma’arif wa al-asrar27” (kosongkan hatimu dari segala sesuatu selain
Allah, maka Allah akan memenuhinya dengan pengetahuan dan
rahasia).
3. Sabar
ُساب
َ ُح ّٰ اِنَّ َماُي َوفَّىُال...
ِ ص ِبر ْونَ ُا َ ْج َره ْمُ ِبغَي ِْر
“... hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan
pahalanya tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar [39]: 10)
Sabar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan
dalam situasi sulit dengan tidak mengeluh. Sabar merupakan kemampuan
mengendalikan diri yang juga dipandang sebagai sikap yang mempunyai
nilai tinggi dan mencerminkan ketetapan jiwa orang yang memilikinya.
Semakin tinggi kesabaran yang seseorang miliki maka semakin kokoh juga
ia dalam menghadapi segala macam masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Sabar juga sering dikaitkan dengan tingkah laku positif yang ditonjolkan
oleh individu atau seseorang.28
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.,
bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
27
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 507.
28
Wikipedia, “Sabar” dalam Wikipedia bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, hlm. 1
29
Anas Ahmad Karzon, Tazkiyatun Nafs, terj. Emiel Threeska (Jakarta: Akbar Media,
2012), hlm. 248.
15
aqdar huwa alladzi ‘awwadaka husna alikhtiyar30” (agar ujian terasa ringan,
engkau harus mengetahui bahwa Allahlah yang memberimu ujian. Dzat yang
menetapkan beragam takdir atasmu adalah Dzat yang selalu memberimu
pilihan terbaik).
4. Tawakal
Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “min ‘alamat al-najahi fi al-
nihayat al-ruju’ ila Allah fi al-bidayat31” (di antara tanda keberhasilan
di akhir adalah kembali kepada Allah di awal). “ila al-masyi’ati
yastanidu kullu syai’in, wa la tastanidu hiya ila syai’in32” (kepada
kehendak-Nya segala sesuatu bergantung, sementara kehendak-Nya
tidak bergantung pada sesuatu).
KH. Sholeh Darat menambahkan seseorang yang akan bahagia di
akhir perjalanannya ketika wushul (sampai) kepada Allah. Yakni ketika
perjalanan murid diawali dengan perjalanan suluk menuju Allah yaitu
30
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 473-474.
31
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 445.
32
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman
Firdaus (Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 496.
16
kembali kepada Allah dan tawakal kepada Allah serta tidak bersandar
pada amalnya.33
Abu Abdullah al-Qarsyi pernah ditanya tentang makna tawakal.
Beliau mengatakan, “Menggantungkan diri pada Allah dalam setiap
keadaan.” Orang yang bertanya padanya meminta, “Tambahilah!”
beliau mengatakan, “Meninggalkan semua sebab yang tidak
membuatmu sampai kepada Allah.”34
Tawakal memiliki tiga tingkatan. Pertama, ketika keyakinan
seseorang pada Allah swt seperti keyakinannya pada seseorang wakil
yang sudah dikenal kejujuran, amanah, perhatian, petunjuk, dan kasih
sayangnya. Kedua, ketika kondisi batin seseorang senantiasa bersama
Allah seperti anak kecil bersama ibunya. Ketiga, seperti penyakit
kuning, terkadang menetap dan terkadang hilang.
5. Rida
Rida atau kerelaan yakni diterimanya takdir atau pun putusan Allah
swt secara tenang. Imam al-Ghazali mengisyaratkan agar mampu tenang
dalam menerima takdir, seseorang diharuskan untuk mendisiplinkan dan
memanfaatkan pasukan-pasukan hati35 dengan menggunakan
pengetahuan, kebijaksanaan, dan pikiran.
Bentuk nyata dari rida yang minimal adalah tidak iri-dengki terhadap
karunia yang diberikan Allah untuk orang lain. Ibnu Atha’illah al-
Iskandari berkata, “al-‘atha` min al-khalq hirman wa al-man’u min
33
Sholeh Darat, Syarah al-Hikam, terj. Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah (Bogor:
CV. Arya Duta, 2017), hlm 54-55.
34
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi,
Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly (Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm.
553-554.
35
Di dalam buku Metode Menaklukkan Jiwa, Imam al-Ghazali menjelaskan pasukan-
pasukan hati terdiri dari anggota tubuh yang dapat dilihat dan yang tidak dapat dlihat. Adapun yang
tidak dapat dilihat seperti gagasan-gagasan dan pendapat-pendapat. Para pasukan hati juga dapat
dibagi sesuai dengan kategorinya. Yakni, (1) iradah (kehendak); (2) qudrah (kekuatan); (3) al-‘ilm
wa al-idrak (pengetahuan dan persepsi). Lihat Imam Abu Hamid Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Metode Menaklukkan Jiwa: Pengendalian Nafsu
dalam Perspektif Sufistik, terj. Rahmani Astuti, hlm. 310.
17
Allah ihsan36” (pemberian dari makhluk adalah keterhalangan,
sedangkan penangguhan pemberian dari Allah merupakan karunia).
Apabila ada rasa sedih atau iri-dengki, menurut beliau hal tersebut
menunjukkan adanya ketidak-pahaman seseorang kepada Allah swt
(innama yu`limuka al-man’u li’adami fahmika ‘an Allah fihi37).
Akhir dari perjalanan tahapan spiritual adalah perjumpaan dan
penyatuan diri dengan Allah swt. Dengan demikian sufi dapat melihat
Allah swt (makrifat), lebur (fana-baqa), dan mencintai Allah
(mahabbah) secara tepermanai38.
Menurut Ibnu Atha’illah al-Iskandari, keinginan kuat seorang arif
untuk selalu bersama Allah tak pernah hilang, dan bila ia bertumpu
kepada selain-Nya tak pernah tenang (al-‘arif la yazulu adhthiraruhu
wa la yakunu ma’a ghair Allah qararuhu39). Para sufi ingin selalu
bersama Allah. Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “ghayyib nazhr al-
khalq ilaika bi nazhr Allah ilaika, wa ghib ‘an iqbalihim ‘alaika bi
syuhudi iqbalihi ‘alaika40” (hilangkan pandangan manusia terhadapmu
karena kau telah puas dengan penglihatan Allah kepadamu, dan abaikan
perhatian mereka kepadamu karena kau telah tahu bahwa Allah selalu
memperhatikanmu).41
Ketika sudah mencapai makrifat akan menyaksikan Allah dalam
segala hal atau pun sesuatu. Ibnu Atha’illah al-Iskandari berkata, “man
‘arafa al-Haq syahidahu fi kulli syai’n. wa man faniya bihi ghaba ‘an
kulli syai’in. Wa man ahabbahu lam yu’tsir ‘alaihi syai’an42” (siapa
36
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 468.
37
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 470.
38
Di dalam KBBI, tepermanai adalah tiada terbilang
39
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 473.
40
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 493.
41
Abdul Moqsith Ghazali. Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Iskandari Kajian Terhadap
Kitab al-Hikam al-‘Aththa’iyah. 2013. Hlm. 155.
42
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 493.
18
yang mengenal Allah, ia akan menyaksikan-Nya dalam segala sesuatu.
Siapa yang mencintai-Nya, ia tidak akan mengutamakan selain-Nya).
Lalu beliau melanjutkan, “laysa al-muhibb alladzi yarju min mahbubihi
‘iwadhan aw yathlubu minhu ‘aradhan. Fa inna al-muhibb man
yabdzulu laka. Laysa al- muhibb man tabdzulu lahu43” (pencinta
bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya.
Sejatinya, pecinta adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang
menuntut pengorbanan darimu).
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis Al-Hikam Kitab Tasawuf Sepanjang Masa
berharap untuk dijadikan referensi bagi santri yang kurang memahami
secara langsung dari kitab al-Hikam.
Sedangkan berdasarkan latar belakang penulisan, KH. Sholeh Darat
menulis Syarah Kitab Al-Hikam untuk memudahkan orang awam ketika
zamannya yang mana masih kurangnya pemahaman bahasa Arab. Sehingga
beliau mensyarahnya dengan Arab Pegon.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, DR. Anas Ahmad Karzon menulis
topik kajian Tazkiyatun Nafs ini semata untuk disertasinya. Namun dengan
kesadarannya terhadap urgensi zaman, beliau menyederhanakan topik
pembahasan lalu dijadikan suatu buku.
Al-Ghazali meringkas kitabnya Ihya ‘Ulumiddin untuk mudah dibawa
kemana-mana bagi pembacanya. Disamping itu, kitab Ihya ‘Ulumiddin
beliau dedikasikan untuk pengabdiannya terhadap Pendidikan non-
pemerintah dan majelis sufi.44
43
Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Atha’illah al-Iskandari, terj. Iman Firdaus
(Jakarta: Turos Pustaka, 2018), hlm 519.
44
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi,
Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin, terj. Moh. Yusni Amru Ghozaly (Jakarta: Wali Pustaka, 2017), hlm.
xvii.
19
Adapun buku Metode Menaklukan Jiwa hasil terjemahan dari
Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, al-Ghazali ingin
mengspesifikkan pembahasan kedua bab yang sudah di paparkan di atas.
D. Segmentasi
Seperti yang diketahui, di dalam kitab al-Hikam terdapat kandungan
hikmah-hikmah yang indah dan syarat akan sastra yang tinggi. Sehingga
segmentasinya hanya ditujukan kepada santri atau orang yang sudah
memahami betul kaidah nahwu, shorof, balaghoh, mantiq, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu tidak sedikit yang mensyarahnya, salah satunya
yaitu ulama nusantara KH. Sholeh Darat.
Ibnu Atha’illah al-Iskandari menuliskan al-Hikam dengan gaya bahasa
jinas45 membuktikan bahwa sifat kreatif seorang pengkhotbah dan
kemampuannya untuk memanfaatkan unsur-unsur gaya kecantikan.
Penggunaan gaya bahasa jinas telah memainkan peran penting dalam
menyampaikan pesan lebih efektif daripada penggunaan gaya bahasa biasa
terutama dalam menulis dakwah.46 Dengan demikian, perlu pemahaman
mendalam terkait ilmu bahasa.
Akan tetapi hasil pensyarahan KH. Sholeh Darat yang hanya 1/3 dari
Kitab Al-Hikam dengan Bahasa Arab pegon ditujukan khusus untuk
mempermudah bagi kaum awam untuk mempelajari kitab al-Hikam.
Berbeda dengan pensyarah lainnya yang masih syarat akan keluasan
Bahasa.
Dengan tema yang sudah diringkas oleh penulis, Tazkiyatun Nafs
diharapkan bisa dijadikan sebagai referensi bagi seluruh entitas. Akan
tetapi, tetap perlu adanya mursyid untuk dijadikan tempat bertanya apabila
adanya ketidak-pahaman kita terhadap suatu materi.
45
Di dalam buku Balaghoh Praktis, Jinas adalah dua lafadz yang sama pelafadzannya
namun beda maknanya. Lihat, Muhammad Zamroji, Balaghoh Praktis Jauharul Maknun Saku,
(Kediri: Lirboyo Press, 2017), hlm. 439.
46
Mhd Faizal Mhd Ramli (dkk), “Keserasian Lafaz Gaya Bahasa Jinas dalam Kitab Al-
Hikam Al-‘Atha’iyyah : Kajian Nilai Estetika”, Issues In Language Studies, Vol. 4, No. 2, hlm. 9-
10.
20
Seperti halnya buku Tazkiyatun Nafs, Ikhtisar Ihya ‘Ulumiddin ditujukan
untuk seluruh elemen masyarakat. Karena hasil ringkasannya Imam al-
Ghazali yang cukup singkat dan jelas. Namun, apabila ditinjau di ranah
pondok pesantren. Ikhtisar Ihya ‘Ulumiddin biasa dikaji bagi santri yang
sudah memahami kitab-kitab dibawahnya dan ilmu nahwu-shorofnya yang
sudah memadai.
Untuk buku Metode Menaklukan Jiwa, penyusun menghimbau
segmentasinya untuk kalangan akademik. Dikarenakan terjemahan
langsung dari bahasa Inggris sehingga gaya bahasanya yang sukar untuk
dimengerti bagi masyarakat umum.
47
Abdul Moqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al-Iskandari Kajian
Terhadap Kitab al-Hikam al-‘Aththa’iyah”, Tashwirul Afkar, No. 32, hlm. 150.
21
Untuk memudahkan penjelasan pada pembahasan ini (bab ketiga), maka penyusun menyederhanakan dalam tabel berikut:
Dengan book review tersebut pula setidaknya kita mampu sedikit memahami
antara maqamat spiritualitas seperti tobat, zuhud, sabar, tawakkal, dan rido serta
ahwal seperti khauf-raja’, tawadhu’, ikhlas, dan syukur yang menjadikan kita dapat
lebih dekat kepada Allah swt.
Saran dari penyusun yaitu untuk mulai membaca buku-buku tersebut alangkah
baiknya mempelajari terlebih dahulu sesuatu yang bersifat dzohir seperti ilmu fikih
dan akhlak atau etika serta ilmu sastra seperti nahwu, shorof, balaghoh, dan mantiq.
Karena tanpa didasari fikih, akhlak, dan sastra akan sulit untuk memahaminya
maupun praktiknya.
Wallahu a’lam.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
CURICULUM VITAE
Riwayat Pendidikan :
Pengalaman Organisasi :
27