Anda di halaman 1dari 18

Identitas Matakuliah dan Dosen

Nama Mata kuliah : Isu-Isu Islam Indonesia Kontemporer


Jurusan : Sejarah Peradaban Islam
SKS/Semester : 2 SKS /90 menitI/
Nama Dosen : Ali Muhdi, M.Si
NIP : 197206262007101005
Alamat Rumah : Perum Puri Surya Jaya K-8 Gedangan Sidoarjo
Ponsel : 081-737-2003
Alamat Email : am_unair@yahoo.co.id
Alamat Blog : http://blog.sunan-ampel.ac.id/alimuhdi/
TEMA PERTEMUAN KEDUA
AKAR KEMUNCULAN ISLAM
KONTEMPORER DI INDONESIA
Dalam Buku
Konteks Berteologi di Indonesia:
Pengalaman Islam.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Paramadina, Jakarta, 1999
Sepintas kelihatan bahwa teologi orang Islam
Indonesia berjalan relatif konstan atau tidak
mengalami perubahan. Padahal Azra
memandang ada perubahan atau setidaknya
pergeseran.
Perubahan atau pergeseran tsb banyak
dipengaruhi oleh kondisi dan situasi historis
tertentu yang dialami oleh Umat Islam Indonesia
yang kemudian direspon oleh para pemikir,
cendekiawan dan Ulama’ oleh karena menurut
mereka tidak sejalan dengan konteks berteologi
yang selama ini mereka ikuti.
Perubahan dan pergeseran tsb bisa berupa
konsepsi dan atau empiris.
•Teologi Predestinasi
Secara historis, aliran teologi Islam yang dominan di
Indonesia sejak perkembangan awal Islam di wilayah ini
adalah aliran teologi asy’ariyah. Aliran teologi asy’ariyah
tentu saja merupakan aliran utama (mainstream school of
theology) yang dalam mahzab ahl al-sunnah wa al jamaah
(sunni) yang diikuti mayoritas kaum muslim di muka bumi
ini. Selain aliran teologi asy’ariyah di dalam madzhab sunni
terdapat aliran-aliran teologi lainnya, seperti khususnya
aliran mu’tazilah. Tetapi dalam perkembangan sejarah
aliran teologi mu’tazilah, yang sangat menekankan pada
kebebasan berpikir dan berkarya, setelah tidak lagi menjadi
teologi resmi dinasi Abbasiyah, kemudian dipandang
sebagai semacam ‘teologi sempalan’ dalam tradisi sunni.
Ini terlihat dari cukup banyaknya literatur sunni yang
mengecam mu’tazilah, sembari mengingatkan kaum
muslim untuk tidak ‘tersesat’ mengikuti paham teologis ini.
Teologi Asy’ariah, sebagaimana kita ketahui,
merupakan tandingan atau respon terhadap
aliran teologi Mu’tazilah. Kontras dengan teologi
Mu’tazilah, Asy’ariah menekankan pada
ketundukan manusia kepada takdir yang telah
ditentukan Tuhan (predestination) sejak zaman
azali. Meski manusia mempunyai potensi untuk
mewujudkan keinginan dan perbuatannya (kasb),
tetapi perwujudannya kembali sangat tergantung
pada keinginan, kemauan dan kekuasaan Tuhan.
Dengan demikian, dalam pandangan teologi
Asy’ariah terkesan bahwa manusia hanya
merupakan semacam ‘wayang’ ditangan
sutradara yang agung, Tuhan.
Teologi Asy’ariah semakin berkembang dan menjadi mapan
di Indonesia ketika sejumlah ulama yang belajar di timur
tengah, terutama di Makkah dan Madinah, kembali ke
Indonesia sejak abad ke-17. Mereka ini, yang secara sosial
dan intelektual termasuk ke dalam jaringan ulama di Timur
Tengah, seperti bisa diduga, mempelajari dan mengikuti
aliran teologi Asy’ariah, yang selanjutnya mereka sebarkan
melalui kitab-kitab yang mereka tulis keberbagai tempat di
Indonesia, atau melalui medium-medium lain yang bisa
mereka manfaatkan, seperti dakwah oral dan pengajaran
pada lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan Islam.
Dominasi Teologi Asy’ariah dengan beberapa karakteristik
yang dikemukakan secara singkat di atas, mendorong
sementara pengamat dan peneliti mengambil kesimpulan,
bahwa aliran teologi ini bertanggung jawab atas
keterbelakangan sosial ekonomi kaum muslim di Indonesia.
Aliran Asy’ariah yang bersifat jabariyah (predestinasi)
dipandang telah melemahkan etos sosial ekonomi umat
Islam, sehingga mereka lebih cenderung menyerah kepada
takdir daripada melakukan usaha-usaha kreatif untuk
memperbaiki dan memajukan diri dan masyarakat mereka.
Kesimpulan atau argument tentang teologi Asy’ariah sebagai penyebab
keterbelakangan kaum muslim ini kemudian dikaitkan pula dengan
kenyataan populernya ajaran-ajaran tasawuf (mistisme Islam), apakah
yang dipraktikkan secara individual maupun komunal melalui organisasi
tarekat. Menurut argument ini, lebih lanjut, terdapat semacam ‘kesesuaian’
antara fatalism Asy’ariah dengan ajaran sufisme yang menekankan sikap
zuhud (asketisme) dan pengunduran diri (uzlah) dari kehidupan sosial.
Dengan beberapa kesesuaian dan pertemuan antara aspek-aspek ajaran
Asy’ariah dan sufisme seperti itu, maka sempurnalah justifikasi teologis
kaum muslim untuk bersikap predeministik dan fatalistic.
Argumen yang mengecam teologi Asy’ariah yang berkelindan dengan
sufisme seperti di atas mendapatkan dukungan kuat pada saat Indonesia
memulai program modernisasinya yang dilaksanakan secara bertahap
melalui pembangunan ekonomi. Mengikuti teori-teori tentang beberapa
prasyarat modernisasi dan kemajuan ekonomi, sebagaimana terlihat
dalam pengalaman Eropa, sementara pengamat menilai bahwa aliran
teologi Asy’ariah dan sufisme tidak kondusif bagi tumbuh dan
kembangnya etos kerja yang diperlukan dalam modernisasi dan
pembangunan ekonomi. Karena itu, sesuai dengan kerangka ini,
beberapa pemikir muslim di Indonesia mulai berbicara tentang perlunya
perumusan suatu ‘teologi baru’ yang lebih kondusif bagi dan mendukung
program modernisasi dan pembangunan ekonomi. Usulan ini secara
implisit menghendaki pengembangan suatu teologi yang lebih kontekstual
dengan perkembangan situasi dan kondisi.
•Berubah Teologis
Dalam segi-segi tertentu argumen bahwa paham teologi semacam
Asy’ariah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam masyarakat Islam
belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis anggapan atau argumen
itu mungkin benar. Namun, pada tingkat praktis dan empiris, boleh jadi
terdapat kenyataan lain, yang berlawanan dengan asumsi teoritis tersebut.
Sebab itu, kecuali dominannya paham teologi, Asy’ariah dalam
masyarakat sunni secara keseluruhan, terdapat pula kenyataan lain yang
perlu diperhitungkan, yakni adanya aktivitisme ditengah dominasi aliran
teologis ini disebabkan muncul dan bekerjanya berbagai faktor tertentu
yang pada gilirannya menuntut respon teologis baru pula.
Untuk konteks Indonesia, perubahan atau pergeseran dari pandangan
teologis Asy’ariah itu bisa disaksikan terjadi sedikitnya sejak abad ke 18.
Penting diketahui, sejak abad ke 17 mulai berkembang paham
neosufisme, yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang baru
kembali dari menuntut ilmu di timur tengah. Yang paling menonjol di
antara ulama ini pada abad ke 17 adalah Nur al-Din al Raniri, Abd al-Ra’uf
Singkili (keduanya menjadi mufti di Kesultanan Aceh), dan Muhammad
Yusuf al-Maqassari (menjadi mufti di Kesultanan Banten). Neosufisme
yang mereka anut yang telah dimurnikan dari praktek-praktek yang eksesif
dan antinomian, sehingga menjadi lebih selaras dengan tuntunan hukum
Islam (syariah atau fiqh). Salah satu tema pokok neosufisme adalah
rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim melalui aktivitas dan upaya
kaum muslim sendiri, tanpa harus menunggu campur tangan eskatologis.
Pada abad ke-18, berbarengan dengan terjadinya konsolidasi
kolonialisme Belanda, neosufisme di Indonesia mengalami proses politisasi dan
radikalisasi. Pada tingkat konseptual, perkembangan ini terlihat dari pemikiran
tasawuf yang dikembangkan para ulama dan pemikir tasawuf lainnya. sulit dicari
presedennya dalam masa sebelumnya di Indonesia, Syekh Abd al Shamad al
Palimbani, seorang ulama dan pemikir tasawuf khususnya tasawuf Ghazalin
mengembangkan pemikiran tentang keutamaan (virtues) bagi kaum muslim untuk
melakukan perang (jihad) melawan penjajah (dalam hal ini Belanda), yang
mengancam eksistensi kaum muslim. Semua dituliskannya dalam sebuah buku
khusus yang berjudul Fahda’il al-Jihad (keutamaan jihad). Tidak cukup sampai di
situ, al Palimbani bahkan mengirim surat-surat pribadi (yang terinterpretasi
Belanda), yang menyeru penguasa musli Mataram untuk melakukan jihad
terhadap penguasa mataram, karena terlanjur diantisipasi Belanda yang begitu
mewaspadai setiap gerak langkah kaum muslim. Tetapi, aktivitasme dan
radikalisasi sufifsme di Indonesia tidak pernah mati; salah satu puncaknya adalah
pemberontakan kaum tarekat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah di Cilegon, Banten
pada 1888.
Teologi jihad dengan warna sedikit lain juga muncul dalam gerakan Diponegoro
yang memunculkan perang jawa (1825-1830). Tetapi, teologi jihad melawan
colonialis Belanda yang dimunculkan Diponegoro ini sekaligus berbau sufistik,
mahdiis, dan mesianis. Pangeran Diponegoro ini sekaligus yang mengalami
semacam intensifikasi keislaman dan kesufian melalui pengembaraannya dari satu
pesantren ke pesantren lain, menyatakan diri sebagai sultan ngabdulhamid
Herucakra Kabiril Mukminin Kalipatullah ing Tanah jawa sayyidin pantogomo,
penegak kembali agama Islam di jawa, dan sekaligus sebagai Ratu Adil yang
bertugas untuk melenyapakan kekacauan, ketidakadilan, dan penindasan yang
dialami kaum muslim di jawa. Dengan demikian, berbeda dengan gerakan-
gerakan neosufisme pada umumnya, unsur-unsur eskatologis sangat menonjol
dalam gerakan Diponegoro.
Teologi radikal lainnya juga muncul dari Syekh Ahmad Rifai,
dari Kalisalak, Pekalongan, pada abad ke 19. Setelah belajar
belasan tahun di Mekkah, Ahmad Rifai kembali ke desanya.
Di sini, ia mengembangkan teologi dan ajaran radikal. Ia dan
pengikutnya ‘hijrah’ dari kaum muslim lain dengan
membentuk kelompok eksklusif yang kemudian dikenal
sebagai kelompok ‘santri tarjumlah’. Ahmad Rifai mengecam
keras dan menolak otoritas penghulu, yakni pejabat agama
yang diangkat Belanda untuk mengelola urusan-urusan
keagamaan kaum muslim. Menurut Ahmad Rifai tidak sah
berimam kepada penghulu yang diangkat oelh penguasa non
muslim. Dan tidak sah pula melakukan perkawinan melalui
penghulu dan, sebagai konsekuensinya, pernikahan yang
dilakukan melalui penghulu harus diulangi kembali. Lagi-lagi,
hanya kewaspadaan pemerintah kolonial Belanda yang
membuat gerakan Ahmad Rifai tidak berkembang lebih lanjut
dari gerakan eksklusif menjadi gerakan jihad melawan para
penghulu dan kolonialisme Belanda.
Semua kasus di atas secara jelas dapat dikatakan merupakan serangkaian
pergeseran atau barangkali “penyimpangan’ bagian tertentu masyarakat.
muslim dari kerangka doktrin teologis Asyariah yang dipandang dominan
dalam membentuk pandangan dunia mereka. Dalam kasus Gerakan Padri
dan Ahmad Rifai, orang dengan justifikasi yang cuku kuat bisa berargumen,
bahwa teologi kedua gerakan ini lebih mirip dengan teologi khawarij
ketimbang teologi Asyariah. Sebagaimana diketahui, teologi Khawarij
mengabsahkan penggunaan kekerasan dan pemakluman jihad terhadap
kaum muslim lain yang berbeda dalam pandangan dan praktik kesilaman
mereka. Dalam konteks ini, aliran khawarij menyusun kerangka yang cukup
sistematis, pertama takfir, yakni mengkafirkan orang-orang muslim lain yang
mempunyai perbedaan pandangan dengan mereka; kedua hijrah, yakni
berimigrasi dari wilayah yang dikuasai oleh muslimin lain; ketiga; jihad,
memaklumkan perang terhadap orang-orang muslim lain yang menolak
untuk mengikuti pandangan mereka.
Lebih jauh, para pelaku yang terlibat dalam gerakan-gerakan tersebut sangat
boleh jadi menganggap, bahwa mereka tetap berpegang kepada doktrin
teologi Asyariah, tetapi aktivitas dan gerakan mereka secara implicit
menunjukkan terjadinya pergeseran atau ‘penyimpangan’ tertentu dari
kerangka doktrin Asyriah. Dan pergeseran itu, sebagaimana terlihat dalam
kasus-kasus di atas, banyak disebabkan faktor-faktor tertentu yang bekerja
dalam masyarakat dan karena itu, menuntut respon-respon tertentu pula.
Dengan demikian, konteks berteologi dapat pula kita berada dalam semua
kasus tersebut. Dengan pion yang sama dapat pula dikatakan, pemahaman
teologis yang ada tidaklah selalu statis atau stagnan, tetapi dalam segi-segi
tertentu bisa menjadi sangat dinamis dan sekaligus kontekstual.
•Konteks Kontemporer
Kompleksitas persoalan itu, misalnya, segera akan terlihat sejak bangsa Indonesia
mulai mempersiapkan kelahiran negara bangsa Indonesia negara bangsa
Indonesia merdeka. Perdebatan-perdebatan yang terjadi diantara berbagai
kelompok mengenai dasar negara yang akan dibentuk itu sebenarnya secara
tersirat mengindikasikan terjadinya “pergulatan” berbagai pandangan dunia
tertentu yang dibentuk atau diwarnai prinsip teologis tertentu pula mengenai
eksistensi dan posisi negara tersebut vis-à-vis doktrin agama.
Perubahan atau pergeseran pandangan teologis tertentu dalam masyarakat Islam
Indonesia terlihat lebih jelas lagi sejak 1970-an, berbarengan dengan dimulainya
program modernisasi ekonomi dan sosial oleh pemerintah Order Baru.
Modernisasi yang berlangsung sejak saat itu memunculkan tidak hanya kemajuan-
kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi juga
sejumlah masalah dan tantangan yang menghendaki respon para pemikir agama.
Perubahan atau pergeseran pandangan teologis yang terjadi dalam kalangan
kaum muslim Indonesia dapat dikatakan sangat kompleks dan beragama dan
karena itu terlalu luas untuk dibahas satu per satu secara rinci. Sebab itu, untuk
kepentingan tulisan ini kita terpaksa melakukan “penyederhanaan’ dengan
mencoba membuat beberapa tipologi pandangan teologis kalangan Islam yang
muncul dan berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Tipologi-tipologi itu adalah; modernisasi, transformasi, insklusifvisme,
fundamentalisme, dan neotradisionalisme. Patut ditugaskan lebih dahulu, bahwa
penggolongan ini tidakah berlaku secara ketat (watertight). Penggolongan ini pada
esensinya hanya mencoba menangkap pandangan teologis terkuat di dalam
masing-masing tipologi. Dengan kata lain, dalam setiap tipologi sangat mungkin
terdapat unsur-unsur tipologi lain.
Teologi Modernisasi
Yak pelak lagi kemunculan teologi modernism
didorong motivasi untuk memodernisasi atau
memajukan kaum muslim. Dalam satu dan
lain hal, baik secara langsung atau tidak,
teologi modernism diilhami oleh dan
mempunyai konteks yang kuat dengan
program modernisasi yang dilancarkan
pemerintahan orde baru. Diantara protagonist
terkemuka teologi modernisasi ini adalah
Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Teologi
modernism pada intinya berargumen bahwa
modernisasi dan pembangunan umat Islam
Indonesia harus dimulai dari pembaruan
teologis dan aspek-aspek pemikiran lainnya.
Teologi Transformasi
Dalam batas tertentu, teologis transformative
dapat dikatakan “bagian’ dari teologi modernism,
dalam pengertian bahwa teologi transformative
ingin mewujudkan transformasi masyarakat
muslim sehingga dapat mencapai kemajuan.
Sebaliknya teologi transformative memandang
bahwa pembaruan itu harus dimulai dari
masyarakat paling bawah (grassroots).
Para protagonist utama teologis transfromatif ini,
bisa diduga, adalah mereka yang terutama
terlibat dalam lembaga swadaya masyarakat
(LSM), seperti M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono,
Hadimulyo, dan banyak aktivis LSM lainnya.
Teologi inklusivisme
Teologi inklusivisme dalam segi-segi tertentu
tumpang tindih dengan teologi modernisasi.
Teologi inklusivisme ini dapat pula disebut
sebagai “teologi kerukunan keagamaan”, baik di
dalam satu agama tertentu maupun antara satu
agama dengan lainnya.
Tema sentral dari teologi inklusivisme adalah
pengembangan paham dan kehidupan
keagamaan yang inklusif, toleran dan respek
terhadap pluralism keagamaan, sehingga para
penganut berbagai aliran keagamaan atau
agama-agama dapat hidup berdampingan secara
damai (peaceful co-exixtence).
Teologi Fundamentalisme
Teologi fundentalisme (kontemporer) atau
neofundamentalisme untuk membedakannya
dengan fundamentalisme ‘klasik’ seperti gerakan
Wahhabi) dalam banyak segi muncul sebagai reaksi
terhadap teologi modernisme yang dipandang telah
‘mengorbankan” Islam untuk kepentingan
modernisasi yang oleh kalangan fundamentalis
dianggap nyaris identik dengan westernisasi.
Sistem teologi fundamentalisme yang khas
Indonesia sebenarnya belum terumuskan secara
komprehensif dan rinci. Karena itu, para pendukung
teologi fundamentalis yang berkembang di timur
tengah. Sebagian besar pedukung teologi
fundamentalisme ini adalah kalangan mahasiswa
dan anak-anak muda yang membentuk kelompok-
kelompok eksklusif (usrah) di bawah pimpinan
“imam’ atau ‘amir’
KESIMPULAN
(+) Secara historis, aliran teologi Islam yang dominan di
Indonesia sejak perkembangan awal Islam di wilayah ini
adalah aliran teologi Asy’ariah yang merupakan aliran
utama yang dalam mazhab ah-al-sunnah wa al-jama’ah
dan yang diikuti mayoritas kaum muslim. Selain aliran
Asy’ariyah di dalam mazhab sunni terdapat aliran-aliran
teologi lainnya seperti aliran Mu’tazilah yang sangat
menekankan kepada kebebasan berfirki dan berkarya
(+) Perubahan atau pergeseran pandangan teologis yang
terjadi dalam kalangan kaum muslim Indonesia dapat
dikatakan sangat kompleks dan beragama. Beberapa
tipologi pandangan teologis kalangan Islam yang muncul
dan berkembang dalam beberapa dasawarsa diantaranya:
• Teologi modernisme
• Teologi transformatif
• Teologi inklusivisme
• Teologi fundamentalisme
• Teologi neotradisionalisme
SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai