Anda di halaman 1dari 20

KREDIBILITAS MUQATIL B.

SULAIMAN DALAM
PERIWAYATAN ISRAILIYYAT

Fawaidur Ramdhani (F02518191)


Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
bungsu.ketujuh@gmail.com

Abstrack: In the circle of Qur’an’s interpretation,


Muqatil b. Sulaiman is not a strange name. He is
included in the list of narrators of israiliyyat from tabi
tabiin. One of his works, Tafsir al-Kabir is often used as a
representation of interpretations which are full of
nuances of israiliyyat. This tafsir is also known as Tafsir
Muqatil b. Sulaiman. During his life, many negative
accusations were addressed to him. This accusation is
also the cause of the lack of interest from Muslim
scholars to study Tafsir al-Kabir. Despite the many
negative accusations he received, Muqatil’s expertise in
the field of Qur’an study could not be doubted. Hadis
practitioners and critics agree to reject every hadis
narrated by Muqatil. However, for the narration in the
story of israiliyyat, it seems that it survived the
rejection. This can be proven by the many
interpretations that quote the history of Muqatil. This
article will discuss how the credibility of Muqatil in the
narrative of the story of israiliyyat is. Will he be rejected
or vice versa.
Keywords: Muqatil b. Sulaiman, israiliyyat, tafsir

Pendahuluan
Dalam lintas sejarah tafsir al-Qur’an, Muqatil b. Sulaiman bukanlah nama yang
asing. Namanya cukup populer tidak hanya di antara kerumunan para pemerhati
kajian al-Qur’an dan tafsir, tetapi juga di dunia praktisi ilmu hadis dan kaum
teolog. Sebagai bagian dari generasi terbaik ke tiga, setelah era Rasulullah-sahabat
dan tabiin, kapasitas keilmuannya tentu tidak bisa sembarang diremehkan. Tafsir
al-Kabir atau yang lebih dikenal degan tafsir Muqatil b. Sulaiman adalah salah
satu karyanya yang paling sering menjadi sorotan. Oleh kebanyakan akademisi,
tafsir ini kerap dijadikan sebagai representasi dari tafsir yang sarat dengan nuansa
israiliyyat. Sang pemilik tafsir sendiri masuk dalam daftar nama-nama perawi
kisah israiliyyat perwakilan tabi’ tabi’in.
Muqatil merupakan sosok yang dianugerahi keterampilan dalam urusan
bedah-membedah kata. Tokoh sekaliber Imam Syafi’i sampai harus mengakuinya.
Ia menyebut Muqatil sebagai panutan bagi siapa saja yang ingin mengkaji al-

1
Qur’an.1 Tidak mau kalah, Ibnu Taimiyah, figur yang menyandang gelar Syaikh
al-Islam ini juga mengakui keahlian Muqatil.2 Ia bahkan dikukuhkan sebagai
peletak pertama kajian analisis gramatikal teks al-Qur’an dengan pendekatan
stilistik-linguistik.3 Kepakarannya di bidang kajian al-Qur’an ini juga dapat
dibuktikan dari sekian karyanya yang lebih banyak menyoal ulum al-Qur’an.
Walau demikian, tidak sedikit para pemikir muslim yang masih meragukan
sosok Muqatil. Khusunya, mereka-mereka yang memiliki otoritas dalam disiplin
keilmuan hadis. Dalam ranah periwayatan hadis, Muqatil dianggap “penyakit”
sehingga hadis yang diriwayatkannya wajib ditolak. Para kritikus hadis sepakat
untuk mencantumkan nama Muqatil dalam daftar “merah” perawi-perawi hadis.
Resolusi ini sepertinya telah dianggap final. Sehingga tidak ada seorang pun yang
berani dan sanggup memberi pembelaan terhadap dirinya.
Beberapa dari kalangan teolog bahkan meyakini Muqatil sebagai seorang
mujassimah. Kendatipun tudingan ini sebenarnya masih simpang-siur karena baru
diumumkan seratus tahun setelah Muqatil tutup usia, keyakinan mereka pada
kenyataannya telah diamini oleh banyak orang. Selain itu, tidak adanya bukti yang
cukup kuat menjadikan tuduhan ini mudah dipatahkan. Ibnu Taimiyah adalah
salah satu yang menyangkalnya.
Aneh tapi nyata, sekalipun berlipat-lipat penilaian negatif bersarang di
dalam diri Muqatil, namun masih banyak mufasir yang mengadopsi
penafsirannya. Tidak sedikit dari periwayatannya yang berkenaan dengan masalah
israiliyyat dan asbab al-nuzul juga dikutip. Sederet nama mufasir yang sempat
mengutip keterangan dari tafsir Muqatil b. Sulaiman antara lain adalah al-Sa’labi,
al-Mawardi, al-Wahidi, al-Baghawi, al-Jauzi, al-Razi, al-Zamakhsyari, al-Kurtubi,
Abu Hayyan b. Muhammad al-Andalusi, Ibnu Katsir dan al-Naisaburi.
Terlepas dari semua itu, yang patut diapresiasi adalah keberanian Muqatil
dalam mendobrak tradisi penafsiran al-Qur’an yang masih kaku. Di masa itu,
penafsiran al-Qur’an diberlakukan hanya untuk ayat-ayat yang dianggap perlu
penjelasan. Sementara dalam pandangan Muqatil, semua ayat al-Qur’an sejatinya
dapat dimengerti bahkan oleh orang awam sekalipun. Ini tentu dengan bantuan
para mufasir, baik melalui sebuah karya atau penjelasan langsung (oral). Maka
sudah menjadi tugas seorang mufasir, atau orang yang mumpuni di bidang tafsir
al-Qur’an untuk memberi pemahaman kepada mereka yang awam mengenai
pesan-pesan di balik untaian ayat-ayat al-Qur’an.
Tulisan ini akan membahas bagaimana sebenarnya
kredibilitas Muqatil dalam periwayatan israiliyyat. Pembuktian
mengenai hal ini akan dilakukan melalui penelusuran terhadap
jejak-jekak israiliyyat riwayat Muqatil di beberapa tafsir
setelahnya. Penilaian dari pada tokoh terhadap Muqatil juga
menjadi bagian pembahasan ini.
1
Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Vol. 5 (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-
Arabi, 2002), 51.
2
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Arsy, Vol. 1 (Madinah: al-Mamlakah al-Arabiyah al-
Su’udiyah, 2003), 143.
3
Kees Versteegh, “Tafsir Qur’an paling Awal: Tafsir Muqatil”, dalam jurnal ini berisi makalah-
makalah yang disampaikan dalam rangka kunjungan Menteri Agama RI, H. Munawwir Sjadzali,
M.A. ke Negeri Belanda (31 Oktober-7 November 1988), 206-207

2
Mengenal Muqatil b. Sulaiman dan Tafsirnya
Muqatil b. Sulaiman memiliki nama lengkap Muqatil b. Sulaiman b. Basyir al-
Balkhi al-Maruzi al-Khurasani. Tidak ada literatur yang menyebutkan secara pasti
kapan ia dilahirkan. Menurut sebagian literatur, ia lahir di Balkh pada tahun 80
H.4 Keterangan lain menyebutkan ia lahir pada kisaran tahun 60-70 H. 5 Muqatil
hidup pada masa akhir pemerintahan dinasti Umayyah dibawah kepemimpinan
Marwan b. Muhammad dengan Gubernur Nasr b. Sayyar. Pada masa mudanya,
Muqatil disinyalir pernah berguru kepada seorang pemuka tabiin, Mujahid b.
Zubair (w. 103 H).6
Pada abad 2-4 H, Khurasan merupakan suatu kawasan yang menjadi pusat
perkembangan peradaban keilmuan Islam. Dari daerah inilah banyak lahir pakar
hadis, pakar tafsir dan pakar fiqh. Berdasarkan pengamatan Abu Ubaid al-Bakri,
pengarang kitab Mu’jam ma Ista’jam, setengah dari para spesialis hadis di dunia
Islam berasal dari daerah Khurasan.7 Beberapa cendekiawan muslim yang
berdarah kelahiran Khurasan antara lain adalah Muhammad b. Ismail atau yang
populer dengan sebutan al-Bukhari, Abdullah b. Al-Kairm yang dikenal dengan
nama al-Razi, Abdullah b. Abdurrahman al-Samarqandi, Hasan b. Syuja’ al-Balkhi
dan lainnya.8
Demi mengejar dan mencari kepuasan intelektualnya, Muqatil rela
berkelana melanglang buana ke berbagai belahan bumi. Perjalanan keilmuannya
dimulai dari perkelanaannya ke berbagai tempat. Dari kota kelahirannya Balkh, ia
pindah ke Marw. Selesai dari Marw, perjalanannya dilanjutkan ke Irak dan
menetap di Basrah. Kemudian ia ke Baghdad dan pada akhirnya kembali lagi ke
Basrah hingga menghembuskan nafas terakhir.9
Tidak ada catatan lengkap mengenai bagaimana proses perjalanan karir
pendidikan Muqatil. Mulai dari nol hingga namanya kini melejit dan dikenal
bukan hanya oleh para pemikir Muslim, tapi juga non-muslim. Melihat latar
belakang dan realitas kehidupan serta kondisi wilayah pada saat itu, kemungkinan
Muqatil memanfaatkan kemajuan peradaban dan keilmuan Islam kala itu untuk
menimba ilmu dari beberapa tokoh di berbagai tempat.

4
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta), 354.
5
Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Vol. 5 (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-
Arabi, 2002), 24.
6
Afrohul Banat dan Siti Amilatus Sholihah, “Pandangan Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi (W. 150
H/767 M) tentang Muhkamat dan Mutashabihat” dalam AL-ITQAN, Vol. 3, No. 1 (Januari-Juli
2017), 26.
7
Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Juz V. 29.
8
Ibid.
9
Ishom Abd Zuhd, “Manhaj al-Imam Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi fi Tafsirih” (Tesis
Universitas Islam Ghaza, 2010), 5-6. Menurut keterangan A. H. John, sebelum kembali ke Basrah,
Muqatil pernah menjamah kota Makkah dan Madinah. Lihat juga: A.H John, “Muqatil bin
Sulaiman” dalam Oliver Leman (ed), The Quran: an Encyclopedia (New York: Routledge, 2006),
428.

3
Dalam catatan hidupnya, Muqatil juga terlibat aktif dalam perkiprahan
dunia politik. Ia dikenal memiliki relasi kuat dengan para elit pemerintahan dinasti
Umayyah. Salah satunya adalah Salim b. Ahwaz al-Mazini, seorang komandan
pasukan di Khurazan. Melalui relasi ini, Muqatil berhasil menyingkirkan
saingannya di bidang teologi, Jahm b. Safwan dari Balkh ke Tarmaz.10
Nama Muqatil semakin populer semenjak dirinya dihadiahi predikat
mujassimah (anthropomorphism) oleh kaum teolog –walau ini sebenarnya masih
membutuhkan verifikasi lebih mendalam. Hadiah inilah yang kemudian menjadi
salah satu alasan utama mengapa tafsir al-Kabir kurang diminati. Selama kurang
lebih enam abad, status mujassimah ini melekat pada diri Muqatil setelah akhirnya
Ibnu Taimiyah menunjukkan sikap protes. Ibnu Taimiyah adalah orang pertama
yang membelanya. Ia menyangkal tuduhan tajsim yang dialamatkan kepada
Muqatil dengan mengajukan alasan; bahwa tuduhan itu tidak memiliki dasar
argumentasi yang kuat. Sementara stetemen Asy’ari tentang ke-tasjiman Muqatil
adalah hasil kutipannya dari kitab-kitab Mu’tazilah. Sehingga, dimungkinkan ada
penyelewengan berita oleh beberapa orang dengan mengatasnamakan Muqatil.11
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Mun’im Sirry. Muqatil
seharusnya tidak dikatagorikan sebagai seorang yang ekstrim dalam tajsim.
Sebab, argumen yang diajukan sebenarnya tidak cukup kuat untuk mengatannya
sebagai seorang yang sangat menjismkan Allah SWT. Penilaian tajsim yang
diberikan kepada dirinya baru diproklamasikan oleh Asy’ari satu abad setelah
Muqatil dipindahkan ke liang lahat. Ini tentu menjadi sebuah dilema, bahwa
Asy’ari tidak mengetahui secara langsung bagaimana kehidupan Muqatil yang
sebenarnya.12
Selain itu, mungkin saja judgment ini berkaitan dengan stetemen para ahli
kalam yang tidak setuju dengan perspektif telologis yang diusung Muqatil. Maka
semestinya tuduhan mujassimah ini menjadi bahan kajian kembali untuk dilacak
kebenarannya. Namun sayangnya, predikat mujassimah yang diterima oleh
Muqatil sudah terlanjur menyebar luas dan mengakar kuat, hingga ia pun masyhur
dengan sebutan ini. Sementara dirinya sudah tidak memiliki kesempatan untuk
membela diri lantaran mengadap sang Ilahi.
Muqatil wafat pada tahun 150 H. Artinya ia hidup pada masa awal
pemerintahan Bani Abbasiyah (132-656 H/750-1298 M) di bawah tampuk
kepemimpinan Abu Abbas al-Saffah (132-136 H/750-754 M) dan Abu Ja’far al-
Mansur (136-158 H/754-775 M). Maka besar kemungkinan Muqatil juga
mengalami akhir pemerintahan Bani Umayyah (42-132 H/662-750 M).13
Semasa hidupnya, Muqatil pernah berguru kepada beberapa tokoh “papan
atas”. Di antara guru-gurunya adalah Sabit al-Banani (w. 123 H), Zaid bin Aslam
10
Sebelumnya, terjadi perdebatan panjang antara Muqatil dan Jahm perihal sifat-sifat Tuhan.
Selesai berdebat, keduanya sama-sama menulis sebuah buku yang berisikan kritikan terhadap satu
sama lain. Keunggulan Muqatil dalam hal relasi politik menjadi penentu berakhirnya perdebatan
itu dengan terusirnya Jahm dari kotanya. Lihat: Afrohul Banat dan Siti Amilatus Sholihah,
“Pandangan Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi”, 27.
11
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Arsy, 143.
12
Mun’im Sirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, dalamStudia Islamica, nouvelle
edition/new series, No. 3 (2012), 75-76.
13
Ibid, 44.

4
(w. 136 H), Sa’id al-Maqburi (w. 123 H), Syurahbil b. Sa’ad (w. 123 H), al-
Dahhak Ibn Muzahim (w. 106 H), Ubaidillah b. Abi Bakr b. Anas b. Malik (w. 124
H), Ata’ b. Abi Rabah (w. 114 H), Muhammad b. Muslim b. Syihab al-Zuhri (w.
124 H), Nafi’ Maula ibn Umar (w. 117 H), Atiyyah b. Sa’ad al-Aufi (w. 111 H),
Amr b. Syu’aib (w. 118 H), Mujahid b. Jabr al-Makki (w. 103 H), Muhammad b.
Sirin (w. 110 H), Abu Ishak al-Sabi’i (w. 128 H), Abu Zabair al-Makki (w. 126 H),
dan Abdullah b. Buraidah (w. 115 H).14
Muqatil juga berhasil mencetak murid-murid yang berkelas. Mereka antara
lain adalah Baqiyyah b. al-Walid (w. 197 H), Harami b. Umarah b. Abu Hafsah
(w. 201 H), Hammad b. Qirat al-Naisaburi, Hammad b. Muhammad al-Fazari (w.
230 H), Hamzah b. Ziyad al-Tusi, Sa’ad b. al-Salt, Abu Nusair b. Sa’dan bin Sa’id
al-Balkhi, Sufyan b. Uyainah (w. 198 H), Abd Razzaq b. Hammam (w. 211 H),
Abdullah b. al-Mubarak (w. 181 H), al-Walid b. Muslim (w. 195 H), Abu Haiwah
Syuraih b. Yazid al-Himsi, Abdurrahman b. Sulaiman b. Abi al-Jaun,
Abdurrahman b. Muhammad al-Muharibi, Abd al-Samad b. Abd al-Waris, Attab b.
Muhammad Syauzab, Ali b, al-Ja’d, Isa b. Abu Fatimah, Isa b. Yunus, Abu Nasr
Mansur b. Abd al-Hamid al-Bawardi, Nasr b. Hammad al-Warraq, al-Walid b.
Mazid al-Bairuti, Yahya b. Syibl, Yusuf b. Khalid al-Samti, Abu al-Junaid al-
Darir, Abu Yahya al-Himmani (w. 220 H) dan Syababah b. Sawwar (w. 206 H).15
Muqatil tergolong pribadi yang cukup produktif. Satu dari sekian banyak
karya yang paling monumental dan berhasil memancing perdebatan adalah Tafsir
al-Kabir atau lebih populer dengan nama Tafsir Muqatil b. Sulaiman. Tafsir ini
pertama kali disunting oleh Abdullah Mahmud Syahatah pada tahun 1966 dan
diterbitkan oleh percetakan Hai’at al-Amma dalam empat jilid di Kairo pada tahun
1980-1987. Hingga sekarang, Tafsir Muqatil mempunyai dua varian kitab, yakni
kitab yang ditahqiq oleh Abdullah Mahmud Syahatah dengan dihimpun menjadi
lima jilid. Sedangkan yang satu lagi ditahqiq oleh Muhammad Farid dan
dibukukan dalam tiga jilid.16
Meskipun para sarjana Barat dan Mesir sangat berminat pada karya ini,
namun karya ini belum diedarkan secara luas di pasaran. Karena isi kitab ini
masih banyak diperdebatkan oleh para ulama utamanya dalam hal teologis di
mana penafsiran Muqatil dianggap menyimpang dari dogma keesaan Allah SWT
yang kala itu banyak dianut oleh pengikut ideologi Muktazilah. 17 Sedangkan
Muqatil yang termasuk kelompok Syi’ah Zaidiyah 18 kemungkinan besar karena ia

14
Ibid, 48. Lihat juga, Yusuf al-Mizi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1994), 434-435.
15
Ibid, 435.
16
Dalam kajian ini, penulis menggunakan tafsir yang ditahqiq oleh Abdullah Mahmud Syahatah.
Tafsir ini memiliki 5 jilid. Jilid terakhir berisikan pengantar dan keterangan tambahan dari
pentahqiq.
17
Kees Versteegh, “Tafsir Qur’an Paling Awal: Tafsir Muqatil”, 205.
18
Syi’ah Zaidiyah adalah golongan Syi’ah yang netral dibandingkan dengan golongan Syi’ah
lainnya. Mereka dianggap paling dekat dengan Ahlu Sunnah dan paling lurus. Syi’ah Zaidiah juga
menerima keimanan tiga orang pertama yaitu Abu Bakar, Umar,dan Utsman. Tidak seperti Syi’ah
lainnya yang dengan keras menolak dan tidak mengakui Khalifah lainnya selain Ali dan
keluarganya. Lihat, Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012), 110-114.

5
berasal dari golongan yang tersisih, banyak mendapat kritikan dan celaan atas
karyanya. Walaupun di sisi lain juga banyak ulama Mesir dan Barat yang sangat
tertarik pada karya ini.
Muqatil memiliki prinsip dasar, bahwa teks Al-Qur’an menyimpan jenis
dan maksud yang berbeda-beda. Seperti ‘am dan khas (bagi muslim dan musyrik),
‘am untuk semua manusia, mutashabihat, muhkamat, mufassar, mubham,
mudmar, tam, silah, nasikh mansukh, taqdim, ta’khir, wujuh wa nadza’ir, jawaban
untuk surah lain, perumpamaan yang dibuat untuk orang kafir dan berhala,
perumpamaan untuk dunia, hari kebangkitan, akhirat, cerita umat terdahulu, cerita
tentang surga dan neraka, khas khusus untuk umat musyrik tertentu, kewajiban-
kewajiban, hukum-hukum, hal yang ada dalam hati orang muslim dan orang
musyrik, khusumah musyrik Arab dan terakhir tafsir.19
Adanya pemetaan jenis dan varian teks sebagaimana yang dilakukan oleh
Muqatil ini merupakan sebuah inspirasi sekaligus terobosan yang cukup berani.
Tidak heran jika ia kemudian dinobatkan sebagai orang pertama yang
mengenalkan kajian analisis gramatikal teks al-Qur’an dengan pendekatan
stilistik-linguistik.20 John Wansbough dan Gordon Nickel mengatakan, bahwa
Tafsir Muqatil merupakan sebuah contoh bentuk penafsiran haggadic. Melalui
tafsirnya, Muqatil mencoba untuk memadukan al-Qur’an yang terpotong-potong
menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan begitu, akan memberikan kesan
kesinambungan dan penjelasan menyeluruh terhadap varietas teks.21
Patut diakui, kontribusi terbesar yang diberikan Muqatil adalah
keberaniannya dalam menelisik perubahan makna kata. Bila menyangkut soal
perubahan dan maksud suatu kata, tidak jarang mufasir generasi berikutnya yang
merujuk pada keterangan Muqatil. Sebut saja Al-Zamakhsyari (w. 538). Salah satu
tokoh yang terkenal di bidang gramatikal bahasa ini pada beberapa bagian
tafsirnya mengambil penafsiran dari Muqatil. Sebagai contoh misalnya penafsiran
al-Zamakhsyari terhadap kata al-Ardzalun pada QS. Al-Syu’ara ayat 111 yang
dimaknai salah satunya dengan al-Suflah.22
Ahmad b. Muhammad b. Ibrahim al-Sa’labi, atau lebih dikenal dengan
nama kauniyah al-Sa’labi juga memililki banyak penafsiran yang merujuk kepada
Muqatil. Misalnya ketika menafsirkan kata isbiru dalam QS. Ali Imran ayat 200.
Al-Sa’labi mengutip keterangan dari Muqatil, bahwa maksud dari kata ini adalah
Isbiru ala Amrillah Azza wa Jalla.23
Di eranya, Tafsir Muqatil memang sempat terasingkan dan kurang
diminati. Mungkin disebabkan oleh uniquenes kitab ini. Namun, tafsir ini mulai
muncul ke permukaan di era al-Maturidi (w. 333 H). Ia mulai merujuk kepada
tafsir Muqatil b. Sulaiman.24 Kemudian ada al-Sa’labi yang juga banyak mengutip
19
Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Juz V, 27.
20
Kees Versteegh, “Tafsir Qur’an paling Awal: Tafsir Muqatil”, 206-207.
21
Mun’im Sirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, 60.
22
Abu al-Qasim Mahmud b. Ahmad al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq Gawamid al-Tanzil,
Vol. 3 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tth), 324.
23
Ahmad b. Muhammad b. Ibrahim al-Sa’labi, al-Kasyf wa al-Bayan an Tafsir al-Qur’an, Vol. 3
(Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-Arabi, 2002), 338.
24
Mehmet Akif Koc, “A Comparison of The References to Muqatil b. Sulaiman (150/767) In The
Exegesis of al-Tha’labi (427-1036) With Muqatil’s Own Exegesis”, Jurnal of The Semitic Studies

6
riwayat ataupun penafsiran Muqatil. Pada generasi berikutnya, banyak mufasir
yang dalam beberapa hal mengambil rujukan pada tafsir Muqatil b. Sulaiman.
Israiliyyat dalam Lingkaran Perdebatan Panjang
Sejarah awal masuknya kisah israiliyyat ke dalam kehidupan umat Islam
secara umum, dan wilayah tafsir Al-Qur’an secara khusus diawali dengan
masuknya pengetahuan tentang kisah israiliyyat ke dalam pengetahuan bangsa
Arab pra-Islam. Pihak yang sangat berperan dalam kaitan ini tentunya adalah para
Ahli Kitab. Sebagian besar dari mereka terdiri dari orang Yahudi yang berimigrasi
secara besar-besaran ke Jazirah Arabia pada tahun 70 M. Sementara itu, orang-
orang Arab pra-Islam sering melakukan perjalanan niaga ke negeri Yaman pada
musim dingin, dan ke negeri Syam pada musim panas. 25 Di dua negeri itu banyak
bermukim Ahli Kitab yang mayoritas merupakan kalangan Yahudi sehingga dapat
dipastikan terjadi komunikasi yang cukup intens di antara mereka.
Setelah Islam datang dan berkembang hingga Rasulullah hijrah ke
Madinah, kontak semacam itu tetap berlangsung. Di Madinah pun banyak
berdiam kelompok Yahudi.26 Mereka juga membentuk sebuah forum kajian
bernama Midras. Di sana, para Ahli Kitab berdiskusi dan mengkaji pengetahuan
keagamaan yang mereka warisi secara turun-temurun, baik yang bersumber dari
kitab maupun dari pendeta mereka. Bahkan di antara para sahabat ada yang gemar
mendatangi majelis itu guna mendengarkan apa yang disajikan di sana.27
Di samping itu, masuknya sejumlah tokoh Yahudi ke dalam Islam seperti
Abdullah b. Salam, Abdullah b. Suriya, Ka’ab al-Akhbar, dan Abdullah b. Saba’
semakin memuluskan jalan periwayatan kisah israiliyyat. Mereka memiliki peran
penting dalam penyebaran israiliyyat di kalangan kaum muslimin. Menurut
keterangan Ibnu al-Nadzim, Abdullah b. Salam pernah melakukan alih bahasa
Kitab Taurat dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab. 28 Ini tentu juga menjadi salah satu
faktor pendukung penyebaran kisah israiliyyat semakin meluas. Sebab, dengan
hadirnya kitab Taurat versi bahasa Arab akan mempermudah orang Islam waktu
itu dalam mengakses kisah-kisah israiliyyat.
Israiliyyat mulai masuk ke dalam tafsir al-Qur’an di mulai sejak zaman
sahabat. Tercatat beberapa nama yang dikenal dalam periwayatan israiliyyat di
antaranya adalah Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Amr b. Ash, Tamim al-
Dari, Abdullah b. Salam dan lain-lain.29
Tamim al-Dari merupakan perawi yang berasal dari Nasrani. Ia memiliki
banyak pengetahuan tentang ke-Nasranian. Ia juga dianggap sebagai orang
pertama yang mengisahkan cerita Israiliyyat. Ia meminta izin kepada Umar bin
Khattab dan Umar mengizinkannya.30 Sedangkan Abdullah bin Salam adalah anak

LII/I Spring (2008), 70-71.


25
Amin al-Khulli, Manahij al-Tajdid (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1961), 277.
26
Ahmad Khalil, Dirasah fi al-Qur’an (Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1973), 113.
27
Usman, “Memahami Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur’an” dalam Ulumuna, Vol. XV, No. 2
(Desember 2011), 294.
28
Ahmad Khalil, Dirasah fi al-Qur’an, 144.
29
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isra’iliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadis (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1990), 58.
30
Didin Hafidhuddin, Israiliyyat dalam Tafsir dan Hadis (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
1998), 106.

7
Yusuf b. Ya’kub dari golongan Bani Qainuqa’. Ia menyatakan ke-islamannya
ketika Rasulullah tiba di kota Madinah.31
Namun, apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar meminta
penjelasan kepada Ahli Kitab mengenai sebagian kisah al-Qur’an yang bersifat
mujmal disertai sikap tawaqquf, dan kehati-hatian mengenai hal-hal yang
memiliki kemungkinan benar atau dusta.32 Pada masa tabiin dan generasi
setelahnya, informasi dari kalangan Ahli Kitab banyak dikutip untuk dijadikan
sebagai informasi tambahan bagi sejumlah ayat. Ditambah dengan proses seleksi
yang longgar, cerita-cerita itu semakin bertebaran di mana-mana. Ini terjadi terus
menerus hingga masa kodifikasi tafsir Al-Qur’an.
Untuk perawi israiliyyat dari kalangan tabiin, ada nama Ka’ab al-Akhbar
dan Wahab b. Munabbih. Kedunya sama-sama petinggi Yahudi yang masuk Islam.
Ka’ab al-Akhbar berasal dari Yaman. Ia masuk Islam pada masa pemerintahan
Umar bin Khattab. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh Muawiyah, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Malik b. Amir dan lainnya. Sementara Wahab b. Munabbih
adalah tabiin miskin yang mendapat kepercayaan dari para ulama.33
Selain Muqatil, perawi kisah israiliyyat dari kalangan tabi’ tabi’in adalah
Abdullah Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Ia seorang bangsa Romawi yang
beragama Nasrani lalu masuk Islam. Ia memiliki banyak pengetahuan tentang
prinsip-prinsip ajaran Nasrani maupun cerita-cerita israiliyat.34
Dampak dari meluasnya kisah israiliyyat saat itu juga merambah ke
wilayah ilmu kalam. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Abu Manshur
al-Baghdadi, orang-orang Saba’iyyah, salah satu di antara sekte Syi’ah memiliki
keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak terbunuh melainkan diangkat ke langit
seperti halnya Nabi Isa as. Berita ini diselundupkan oleh Abdulah b. Saba’ yang
sempat menyusup ke dalam komunitas Syi’ah. 35 Maka, mengasumsikan Syi’ah
sebagai salah satu korban dari merembesnya pengaruh kisah israiliyyat adalah
sesuatu yang masuk akal.
Melihat kenyataan yang memprihatinkan ini –tak terbendungnya cerita
israiliyyat- sebagian ahli tafsir mulai melakukan kritik dan koreksi. Sebagai
tindakan preventif, mereka kemudian membuat klasifikasi dan persyaratan ketat.
Di antara mufasir yang melakukannya adalah Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H.).
Pada periode berikutnya muncul Ibnu Arabi (w. 543 H.) dengan kitabnya Ahkam
al-Qur’an. Dalam kitab ini, ia menegaskan sikapnya dalam menanggapi dan
mengoreksi kisah israiliyyat. Menurut pandangan Ibnu Arabi, kisah-kisah dari
Ahli Kitab yang boleh diriwayatkan hanyalah dalam hal cerita yang menyangkut
keadaan diri mereka. Ini dapat dimasukkan ke dalam kriteria “min bab al-iqrar al-
mar’i ala nafsih aw qaumih”. Sedangkan untuk riwayat mereka yang menyangkut
lainnya, membutuhkan penelitian lebih cermat.36
31
Ali Abdul Qadir, Al-Dakhil (Mesir: tp, 2006), 106.
32
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah,
1976), 169-170.
33
Didin Hafidhuddin, Israiliyyat dalam Tafsir dan Hadis, 122.
34
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah
(Kediri: Lirboyo Press, 2011), 267.
35
Abu Manshur al-Baghdadi, Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973), 223.
36
Ibnu Arabi, Ahkam al-Qur’an, Vol. 1 (Mesir: al-Bab al-Halabi, 1977), 23.

8
Gerakan kritik atau koreksi terhadap israiliyyat baru menjelma dalam
bentuk karya yang lebih terarah dan cermat dengan tampilnya Ibnu Taimiyah
kemudian disusul muridnya, Ibnu Katsir. Mereka berdua mengklasifikasikan
kisah-kisah israiliyyat menjadi tiga kelompok. Pertama, cerita israiliyyat yang
sesuai dengan syari’at Islam. Boleh dibenarkan dan boleh diriwayatkan. Kedua,
cerita israiliyyat yang bertentangan dengan syari’at. Israiliyyat model kedua ini
harus disingkirkan. Ketiga, kisah israiliyyat yang tidak termasuk bagian pertama
maupun kedua. Boleh diriwayatkan dengan catatan, tidak harus dipegangi tetapi
hanya untuk isti’nas (sebatas diketahui).37
Berkenaan dengan kriteria penerimaan kisah israiliyyat, al-Dimasyqi
menetapkan dua standar pokok. Pertama, tidak boleh menggunakan israiliyyat
untuk menjelaskan bagian-bagian al-Qur’an yang global apabila terdapat
keterangan Nabi yang menjelaskan keglobalannya. Kedua, bila israiliyyat tetap
akan digunakan, hendaknya bertujuan sebagai pelengkap (istisyhad) semata atas
kebenaran al-Qur’an.38
Standar pokok yang ditetapkan oleh al-Dimasyqi ini erat kaitannya dengan
rahasia dibalik ke-globalan kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur’an. Menurut al-
Syirbashi, cerita-cerita itu sejatinya dimaksudkan sebagai bahan pelajaran dan
nasihat bagi manusia. Sehingga, tidak dibutuhkan penjelasan yang mendetail. Ia
mengatakan:

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an tidak dimaksudkan sebagai uraian


sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa-bangsa atau pribadi-
pribadi tertentu. Melainkan dimaksudkan sebagai bahan pelajaran
umat manusia. Sebab, di dalam kisah-kisah itu terdapat nasihat dan
suriteladan bagi mereka yang mau berpikir.39

Pernyataan yang hampir senada juga dikemukakan oleh al-Dzahabi. Menurutnya,


dalam menyikapi israiliyyat, para mufasir setidaknya harus benar-benar
memperhatikan tiga hal. Pertama, bersikap kritis terhadapnya dengan
mempergunakan ruh al-Qur’an secara tepat dan kejernihan akal. Kedua, tidak
boleh menggunakannya manakala Rasulullah telah menjelaskan keglobalan kisah-
kisah tertentu. Ketiga, tidak boleh menggunakannya kecuali untuk kebutuhan
yang sangat mendesak, seperti untuk pembenaran terhadap al-Qur’an. Kalaupun
memang terpaksa, boleh saja dikutip dengan catatan harus dijelaskan kualitas
periwayatannya. Tetapi sedapat mungkin hendaknya dihindari. Sebab
dikhawatirkan akan membawa kesia-siaan yang pada akhirnya keluar dari maksud
al-Qur’an yang sebenarnya.40
Tidak sedikit juga para pemikir Muslim yang memiliki pandangan sinis
terhadap keberadaan israiliyyat. Israiliyyat dianggap sebagai sekumpulan cerita
yang kental dengan nuansa khurafat dan tahayyul. Mereka dengan keras menolak

37
Khalil, Dirasah fi al-Qur’an, 150.
38
Muhammad Munir al-Dimasyqi, Irsyad al-Raghib fi Kasyf Ayat al-Qur’an al-Mubin (Damaskus:
Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyyah, t.t.), 35.
39
Al-Syirbashi, Qishshah al-Tafsir (Beirut: Dar al-Qalam, 1972), 55.
40
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 182-183.

9
israiliyyat. Muhammad Abduh adalah termasuk yang paling gencar mengkritik
kebiasaan sebagian mufasir masa awal yang banyak menggunakan israiliyyat
sebagai penjelasan al-Qur’an. Bahkan, salah satu motivasi penulisan tafsirnya
adalah untuk menghindari kebiasaan mereka tentang itu.41 Abduh menolak
mentah-mentah validitas ulama tafsir generasi awal yang menghubungkan al-
Qur’an dengan cerita israiliyyat. Menurutnya, cara itu telah mendistorsi
pemahaman terhadap ajaran Islam.42 Sikap keras serupa juga diperlihatkan oleh
muridnya, Muhammad Rasyid Ridla. Ia mengatakan bahwa kisah israiliyyat yang
secara ekstrim diriwayatkan oleh sebagian ulama sebenarnya telah keluar dari
konteks al-Qur’an.43
Begitu pula Ahmad Musthafa al-Maraghi. Ia memandang bahwa sebagian
kitab-kitab tafsir telah dikotori oleh israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya.
Menurutnya, israiliyyat tidak lain adalah suatu cerita yang ditransfer oleh Ahli
Kitab untuk menipu orang-orang Arab.44 Sikap kontra israiliyyat juga perlihatkan
oleh Mahmud Syalthut. Ia menilai, Israiliyyat dapat menghalangi umat Islam
untuk menemukan petunjuk al-Qur’an. Kesibukan dalam mempelajari dan
mengumpulkan israiliyyat itu telah memalingkan mereka dari “intan dan mutiara”
yang terkandung di dalam al-Qur’an.45 Menurut Abu Zahrah, sebagaimana dikutip
Hasbi al-Shiddieqi, seluruh israiliyyat itu harus dibuang karena tidak berguna
dalam memahami makna al-Qur’an.46 Abd al-Aziz Jawisyi, sebagaimana dikutip
Abdurrahman Sulaiman al-Rumi, bahwa israiliyyat pada dasarnya telah
menyesatkan akal dan menjauhkan umat Islam dari makna al-Qur’an.47
Tidak ketinggalan, Ahmad Muhammad Syakir juga turut memberikan
tanggapan. Menurutnya, sekalipun ada materi Israiliyyat yang sejalan dengan
Islam itupun jumlahnya sedikit dan tidak dibutuhkan sebagai rujukan dalam
penafsiran al-Qur’an.48 Kemudian tampil al-Biqa’i dengan membawa pandangan
sedikit menakutkan. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip al-Qasimi, bahwa
israiliyyat merupakan sesuatu yang paling munkar.49
Walaupun sudah sejak lama kalangan ahli tafsir memperingatkan serta
mengusahakan agar kisah-kisah israiliyyat itu dihindari, terutama israiliyyat yang
bertentangan dengan Islam, namun tidak semua mufasir dapat terhindar dari
pengaruh kisah israiliyyat itu sendiri. Muhammad Abduh adalah termasuk di
antaranya. Bukti yang dapat ditunjukkan dalam kaitannya dengan itu adalah ketika
ia menjelaskan firman Allah QS. al-Naml ayat 40. Abduh menyatakan, bahwa
yang dimaksud dengan lafal: “Alladzi Indahu Ilm min al-Kitab” (yang memiliki

41
Muhammad Abu Zahrah, “Taqdim”, dalam Abdullah Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imam
Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo: Nasyr al-Rasail al-Jami’iyyah, 1963), iii.
42
J.J. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1984), 27.
43
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Hilal, 1963), 10.
44
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Vol. 9 (Beirut: Dar al- Fikr, t.t.), 24.
45
Mahmud Syaltut, Fatwa-Fatwa, ter. Bustami A. Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 95
46
Hasbi al-Siddieqy, Tafsir al-Bayan, Vol. 1 (Bandung: Bulan Bintang, 1977), 95.
47
Abdurrahman Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aliyyah al- Hadisah fi al-Tafsir
(Mesir: Mu’assasah al-Risalah, 1981), 93.
48
Ahmad Muhammad Syakir, Umdah al-Tafsir, Vol. I (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1956), 15.
49
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 45.

10
ilmu dari Ahli Kitab), namanya adalah Ashif.50 Pendapat Abduh ini memang tidak
dikemukakan dalam suatu kitab tafsir. Namun, setidaknya ini menunjukkan bahwa
sikapnya kali ini kurang konsisten.
Begitu pula muridnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla yang dengan
gigih menolak dikemukakannya israiliyyat, khususnya dalam menafsirkan al-
Qur’an, juga ditemukan sekian banyak israiliyyat dalam tafsirnya. Hal ini dapat
dijumpai antara lain dalam uraiannya ketika menafsirkan QS. al-An’am ayat 157
dan QS. al-A‘raf ayat 24.51 Hanya saja bedanya dari yang lain –khususnya para
mufasir terdahulu- adalah, 1) israiliyyat yang dikemukakannya bukan sebagai
dasar penafsiran, tetapi sekedar sebagai tambahan penjelasan dalam rangkaian
menguatkan penafsirannya. 2) kekhawatiran diterimanya israiliyyat tersebut oleh
umat Islam adalah sangat kecil karena secara tegas dinyatakan bersumber dari
kitab-kitab Perjanjian Baru dan Lama. Sehingga secara pasti pembaca akan
bersikap hati-hati dalam menerimanya. Berbeda halnya bila riwayat itu dikutip
tanpa menyebut sumbernya, sebagaimana yang sering dilakukan oleh para mufasir
sebelumnya.
Ibnu Khaldun merespon informasi mengenai semaraknya periwayatan
kisah israiliyyat dengan mengembalikannya pada dua pertimbangan. Pertama,
pertimbangan kemasyarakatan (al-I’tibarat al-Ijtima’iyyah), yakni karena
kesederhanaan pemikiran orang-orang Arab pada umumnya ketika itu disamping
kecenderungannya untuk mengetahui hal-hal yang menarik hati sebagai tuntutan
jiwa kemanusiaan. Kedua, pertimbangan keagamaan (al-I’tibarat al-Diniyyah),
yakni karena cerita-cerita yang dinukilkan itu bukan masalah hukum yang
membutuhkan penelitian dalam menguji nilai kebenarannya.52
Bila mencermati pertimbangan yang diajukan oleh Ibnu Khaldun ini, maka
keberadaan narasi israiliyyat dalam beberapa tafsir semestinya tidak perlu terlalu
dibenci atau sebaliknya. Pada dasarnya, ini bukanlah kenyataan pahit yang harus
disesali. Melainkan ini semua adalah bagian dari rangkaian kesejarahan tafsir al-
Qur’an dalam upayanya mencari “relevansi” bagi masing-masing masa atau
periode. Setidaknya, realitas ini juga dapat menjadi bukti bahwa kajian al-Qur’an
terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
“kesederhanaan pemikiran orang-orang Arab” dalam pandangan Ibnu
Khaldun di atas, memberikan gambaran bagaimana kondisi waktu itu yang belum
tersentuh ilmu pengetahuan. Ketika dihadapkan pada fenomena alam, mereka
tidak memikirkan bagaimana prosesnya menurut standar ilmiah.
Membayangkannya pun mungkin tidak pernah. Dalam kondisi seperti ini, satu-
satunya pilihan adalah keterangan israiliyyat.
Sikap Ibnu Khaldun ini juga bisa menjadi solusi untuk menengahi
perdebatan panjang perihal eksistensi israiliyyat. Di sinilah perlunya memahami
secara cerdas dan dengan akal yang jernih tanpa rasa benci, bahwa kondisi
peradaban Islam –termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan- di era generasi awal
50
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 55. Lihat
juga: Muhammad Abduh, Risalah al-Tawhid (Kairo: Dar al-Hilal, 1963), 245.
51
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Vol. 7, 245-246; Vol. 8, 205, 513.
52
Abdurrahman b. Muhammad Khaldun, Muqaddimah (Mesir: Dar al-Bayan, t.t.), 439. Lihat juga:
Amin al-Khulli, Manahij al-Tajdid, 227.

11
jelas berbeda dengan kondisi saat ini. Di era modern ini, ayat-ayat kauniyah dan
fenomena alam sangat mungkin untuk dipahami dan didekati melalui kacamata
ilmu pengetahuan. Sehingga, hasilnya pun akan ilmiah dan rasional.

Menyoal Kredibilitas Muqatil b. Sulaiman


Sebagai sosok yang hidup di era tabi’ tabi’in –salah satu di antara tiga kurun
terbaik- sudah barang tentu kapasitas keilmuan yang dimiliki Muqatil tidak bisa
sembarang diremehkan. Karya-karya yang lahir dari jerih payahnya dengan
jumlah yang tidak sedikit sudah cukup untuk membuktikannya.
Salah satu keberhasilan yang dicapai Muqatil adalah menerobos
paradigma masyarakat waktu itu yang menganggap bahwa tafsir al-Qur’an hanya
boleh dilakukan pada ayat-ayat yang memang perlu dan butuh penjelasan. Bila
dibandingkan dengan tafsir sezamannya seperti Tafsir karya Sufyan al-Sauri dan
Tafsir milik Ibnu Juraij, tafsir Muqatil b. Sulaiman memiliki gaya bahasa maupun
sistematika yang lebih maju. Kelebihan yang nampak dari tafsir Muqatil bila
dibandingkan dengan dua tafsir lainnya ini adalah dalam hal pemaknaan kata.
Dalam tafsirnya, Muqatil memiliki perhatian besar dalam perubahan makna kata.
Keahlian Muqatil di bidang tafsir diakui sendiri oleh Imam Syafi’i. Ia
menyebut Muqatil sebagai panutan bagi siapa saja yang ingin belajar Tafsir al-
Qur’an. Abdullah Ibnu Mubarak, salah satu murid Muqatil yang terkenal sebagai
seorang sufi dermawan menyebut Tafsir Muqatil sebagai tafsir yang sangat
berbobot andai disertai dengan sanad yang jelas.53 Tak pelak, Ibnu Taimiyah pun
turut memberikan komentar. Menurut Syaikh al-Islam ini, kapastitas Muqatil
dalam urusan tafsir Al-Qur’an memang tidak bisa diragukan.54
Apresiasi positif yang diberikan kepada Muqatil tentu bukan dengan tanpa
alasan. Yang memberi apresiasi pun bukan sembarang tokoh. Kepakarannya
dalam bidang kajian al-Qur’an juga dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang
lebih banyak menyoal Alqur’an dan ulum al-Qur’an. Dari sepuluh karya, hanya
satu yang bukan kajian al-Qur’an. Karya-karya itu antara lain Tafsir al-Kabir, al-
Ayat al-Mutasyabihat, al-Aqsam wa al-Lugat, Tafsir al-Khomsumi’ah Ayat min
al-Qur’an, al-Taqdim wa al-Ta’khir, al-Jawabat fi al-Qur’an, al-Qira’at, al-
Nasikh wa al-Mansukh, dan al-Wujuh wa al-Nazair fi Al-Qur’an.
Walau demikian, kredibilitas Muqatil dalam ranah periwayatan hadis
masih disangsikan. Banyak penilaian negatif yang dialamatkan kepadanya. Mulai
dari matruk al-hadis hingga pendusta. Sampai-sampai Ibrahim bin Ya’kub al-
Jauzajani terang-terangan menyebutnya “dajjal yang lancang”. Imam Bukhori
menyandangkan status mungkar al-hadis untuk Muqatil. Dari kalangan
Ushuliyyin ada Imam Ahmad bin Hambal yang juga tidak berselera meriwayatkan
apapun darinya.55 Ini artinya, pengadilan para praktisi dan kritikus hadis telah
menvonis Muqatil b. Sulaiman sebagai orang yang telah dianggap cacat sehingga
hadisnya pun harus ditolak.
Sekalipun Muqatil diragukan kredibilitasnya dalam periwayatan hadis,
namun perhatian dan kemapanan ilmunya dibidang kajian al-Qur’an tidak
53
Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Vol. 5, 51.
54
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Arsy, Vol. 1, 143.
55
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isra’iliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadis, 89.

12
diragukan lagi. Menurut Ibnu Taimiyah, kasus Muqatil ini sama seperti halnya
Imam Abi Hanifah. Kalaupun banyak yang berbeda pendapat dengannya dalam
banyak hal dan juga banyak yang mengingkarinya, perihal keilmuan Abi Hanifah
dibidang fiqh tidak ada seorang pun yang meragukannya.56
Sebagai tafsir yang ditulis di era tabi’ tabi’in, masa di mana Israiliyyat
tumbuh subur, maka bukan sebuah kemustahilan jika tafsir Muqatil b. Sulaiman
banyak memuat kisah-kisah israiliyyat. Bagaimanapun juga tafsir adalah sebuah
produk pemikiran yang sedikit banyak dipengaruhi oleh realitas kehidupan
penulisnya.
Secara garis besar, periwayatan israiliyyat yang dikutib Muqatil di dalam
tafsirnya tidak menyertakan sanad secara lengkap. Hal ini bisa ditemukan hampir
di setiap periwayatannya mengenai kisah israiliyyat. Ia juga termasuk katagori
seorang mufasir yang menerima secara mutlak, tanpa kritik, kadang tanpa sanad
dan tanpa penjelasan apakah riwayat israiliyyat yang dikutipnya sahih atau
sebaliknya.
Sebelum merangkak lebih jauh, ada yang menarik dari keterangan Ahmad
Khalil. Menurutnya, yang pertama kali memprakarsai dan mendorong penyebaran
kisah-kisah israiliyyat adalah penguasa Bani Umayyah. Ini dilakukan agar umat
Islam tidak lagi tertarik untuk memikirkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan khalifah.57 Tidak mengherankan di kala itu para juru kisah dapat menarik
opini masyarakat dan dalam beberapa hal dapat menggusur pengaruh ulama.
Ironisnya, para ulama bahkan menjadi korban kemarahan massa akibat keberanian
mereka menyingkap kebohongan para juru kisah sebagaimana yang dialami oleh
Amir al-Sya’bi, Yahya ibn Ma’in, dan lain-lain.58
Hasil pembacaan Ahmad Khalil ini bisa menjadi salah satu alasan dari titik
awal masifnya penyebaran cerita israiliyyat. Di balik semua itu, kebijakan politik
yang diusung penguasa Bani Umayyah secara tidak langsung memiliki andil besar
dalam memobilisasi riwayat israiliyyat. Boleh jadi kebijakan ini berdampak
kepada Muqatil. Sehingga mau tidak mau ia harus tunduk pada kebijakan
pemerintah dan ia pun “terpaksa” menyertakan israiliyyat ke dalam tafsirnya. Ini
mungkin saja terjadi dan benar adanya. Mengingat, Muqatil hidup di saat cucu-
cucu Muawiyah itu bertahta.
Kemungkin lainnya adalah, penyertaan cerita israiliyyat dalam tafsirnya
merupakan salah satu upaya Muqatil untuk memberikan keterangan se-
komprehensif mungkin bagi pembaca. Ini bisa saja terjadi jika dikaitkan dengan
prinsip dasar yang diusung oleh Muqatil, bahwa sudah menjadi tugas seorang
mufasir untuk memberikan keterangan yang sesuai dengan kondisi dan latar
belakang yang tepat, walaupun membutuhkan bantuan dari kisah-kisah israiliyyat.
Dengan begitu, common believers dapat memahami maksud ayat sebagaimana
yang dikehendaki oleh Mutakallim.59

56
Muhammad b. Khalifah al-Tamimi, Muwaqif al-Tawaif min Tauhid al-Asma’ wa al-Sifat, Vol. I
(Riyad: al-Mamlakah al-Arabiyah, 2002), 135.
57
Ahmad Khalil, Dirasah fi al-Qur’an, 144.
58
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadis, 45-6.
59
Mun’im Sirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, 58-60. Lihat juga Kees Versteegh,
“Tafsir Qur’an Paling Awal: Tafsir Muqatil”, 206.

13
Tidak dapat dipungkiri, titik kelemahan terbesar tafsir karya Muqatil ini
adalah tidak adanya penyertaan sanad secara lengkap pada riwayat-riwayat yang
dikutip. Tentu bagi pengkaji tafsir Al-Qur’an ini merupakan kesalahan yang fatal.
Sebab, tidak adanya penyebutan perawi secara lengkap akan menyulitkan untuk
mengetahui kualitas periwayatannya. Kondisi ini diperburuk oleh stigma negatif
yang melekat pada diri Muqatil sehingga ini juga mengurangi daya tarik bagi
generasi berikutnya untuk mengkaji dan mendalami tafsir Muqatil b. Sulaiman.
Namun, penyertaan sanad secara lengkap dalam periwayatan israiliyyat
sebenarnya tidak menjamin kesahihan apa yang diriwayatkan. Pada kenyataannya,
cukup banyak tafsir yang mengutip riwayat israiliyyat dengan sanad yang lengkap
tapi masih dipermasalahkan keotentikannya. Atau, tafsir-tafsir itu menetapkan
kriteria dan persyaratan tertentu, tapi dilanggar. Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-
Qur’an karya Ibnu Jarir al-Tabari misalnya. Tafsir yang oleh Imam Nawawi
disanjung tidak ada duanya ini,60 pada kenyataannya memuat beberapa riwayat
israiliyyat yang dianggap tidak sahih. Riwayat itu banyak berasal dari Ka’ab al-
Akhbar, Wahab b. Munabbih, Ibnu Juraij, al-Sudi dan lain-lain. 61 Menurut para
muhaqqiqnya, seharusnya al-Tabari tidak menukil riwayat-riwayat israiliyyat
yang belum jelas kesahihannya. Walau begitu, al-Tabari selalu menulis dengan
urutan sanad yang lengkap.
Begitu juga al-Baghawi. Ma’alim al-Tanzil adalah satu karyanya di bidang
tafsir yang cukup mendunia. Di dalam tafsir ini, sekalipun ia telah berusaha
selektif mungkin, tapi di sebagian tempat terkadang ia menyertakan israiliyyat.
Tanpa memberikan alasan, kritik dan komentar.62 Bahkan ada juga yang tanpa
menyebutkan sanad.63
Kasus yang hampir sama terjadi pada Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-
Tanzil karya al-Khazin. Ketika menukil cerita-cerita israiliyyat, seringkali al-
Khazin tidak menyebutkan dari mana sumbernya. Ia juga sering tidak memberikan
komentar apapun, meski cerita-cerita itu kadang tidak rasional.64 Terkadang, al-
Khazin justru malah mengkritik sanad yang jelas-jelas shahih dan dicari-cari celah
kelemahannya lalu mengingkarinya.65
Sekalipun di dalam tafsir-tafsir itu didapati riwayat-riwayat israiliyyat
yang tidak sahih, baik dari segi matan atau sanadnya, pada kenyataannya tidak
mengurangi daya tarik sarjana Muslim untuk menelaahnya. Keadaan ini
berbanding terbalik dengan tafsir Muqatil b. Sulaiman yang sempat tenggelam di
awal-awal. Kalaupun ada yang berminat, itupun jumlahnya dapat dihitung. Karya
Muqatil ini justru lebih “laku” di kalangan akademisi Barat.

60
Muhammad Ali al-Sabuni, Mukhtasar Tafsir Ibnu Kathir (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, t.th),
190.
61
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi Tafsir wa al-Hadis, 97.
62
Abu Muhammad al-Husain b. Mas’ud, Muqaddimah Tafsir al-Baghawi, Vol. I (ttp: Dar Tayyibah,
1997), 10.
63
Muhammad b. Shalih al-Usamain, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an (Semarang: Dina Utama,
1989), 78.
64
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2004), 112.
65
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadis , 131.

14
Jejak-jejak Israiliyyat Riwayat Muqatil b. Sulaiman
Konsensus yang dikeluarkan oleh para praktisi hadis sepakat “mengetuk palu”
untuk menolak riwayat dari Muqatil. Lalu, bagaimana status periwayatan Muqatil
yang berkaitan dengan kisah israiliyat? Apakah ia juga masih diragukan dan
tertolak sebagaimana periwayatannya di bidang hadis.
Jika hadis dan kisah israiliyyat sama-sama diposisikan sebagai bagian dari
sumber penafsiran al-Qur’an, maka jelas eksistensi hadis jauh berada di atasnya.
Salah satu otoritas hadis adalah sebagai mubayyin a-Qur’an. Berbeda dengan
cerita israiliyyat yang berperan sebagai pelengkap dari narasi-narasi kisah yang
terlampir di dalam al-Qur’an. Sebab, andaipun penting, sudah pasti al-Qur’an
akan menjelaskan kisah-kisah itu secara detail.
Terlepas dari itu semua, bila melihat jejak-jejak israiliyyat riwayat Muqatil
di beberapa tafsir, reputasinya dalam periwayatan israiliyat sepertinya tidak
seburuk reputasinya dalam hal periwayatan hadis. Ini dapat dibuktikan dengan
tidak sedikitnya tafsir-tafsir setelahnya yang mengutip riwayat israiliyat Muqatil.
Sebut saja al Al-Samarqandi. Ia mengambil riwayat kisah israiliyat dari Muqatil
ketika menafsirkan QS. Al-Naml mengenai kisah Ratu Bilqis yang
mempermalukan dirinya dengan menyingkap roknya ketika hendak melewati
kolam ikan yang sengaja dibangun Nabi Sulaiman untuk menerima
kedatangannya. Ketika mengetahui bahwa kolam itu dilapisi lantai kaca Ratu
Balqis merasa malu dan mengakui kelalaiannya dengan menyembah matahari.
Hatinya pun luruh, dan ia masuk dalam golongan orang yang beriman.66
Al-Sa’labi juga mengambil riwayat dari Muqatil. Misalnya mengenai
kisah kelahiran Isa as. Disebutkan bahwa Maryam hamil sekali seumur hidup,
menggoncang pohon kurma sekali dan melahirkan dalam sesaat yaitu ketika
matahari mulai terbenam. Pada saat itu Maryam seorang gadis berumur 13 tahun
dan ia hanya mengalami menstruasi dua kali dalam hidupnya sebelum
mengandung Isa as.67
Informasi seputar kehamilan Maryam riwayat Muqatil ini juga dikutip
oleh beberapa mufasir lain seperti Abu al-Qasim Burhanuddin al-Karimi dalam
tafsirnya Gharaib al-Tafsir wa Ajaib al-Ta’wil,68 al-Baghawi dalam tafsirnya
Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an .69 al-Jauzi Zad al-Masir fi Ilm al-Tafsir.70
dan al-Mudhari dalam tafsirnya tafsir al-Mudhari.71
Al-Zamaksyari pada beberapa kesempatan mengutip israiliyyat riwayat
Muqatil. Salah satu contohnya adalah kisah diujinya Nabi Ayyub AS dengan
hilangnya semua kebahagiaan dunia yang sebelumnya dianugerahkan oleh Allah.

66
Abu al-Lais Al-Samarqandi, Bahr al-Ulum, Juz II, T.t. 585. Lihat juga Muqatil bin Sulaiman,
Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Vol. III (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-Arabi, 2002), 309.
67
Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Sa’labi, Al-Kasyf wa Al-Bayan an Tafsir Al-Qur’an, Vol.
VI, 210. Lihat juga Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Vol. III, 308-309.
68
Abu al-Qasim Burhanuddin al-Karimi, Gharaib al-Tafsir wa Ajaib al-Ta’wil, Vol. 2 (Beirut:
Muassasah Ulum al-Qur’an, tth), 692
69
Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Vol. 3 (Beirut:
Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi, 1420 H), 229.
70
Jamaluddin al-Jauzi, Zad al-Masir fi Ilm al-Tafsir, Vol. 3 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1422 H),
125.
71
Al-Mudhari, Tafsir al-Mudhari, Vol. 6 (Bakistan: al-Maktabah al-Rusydiyah, 1412 H), 89.

15
Dikisahkan bahwa Nabi Ayyub dikaruniai tujuh anak laki-laki dan tujuh anak
perempuan, limpahan harta ternak dan ratusan budak, kemudian Allah
mencobanya dengan menghilangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut selama
tujuh tahun tujuh bulan.72
Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an buah tangan al-Qurtubi juga ditemukan
di dalamnya kisah israiliyyat riwayat Muqatil. Tepatnya ketika menjelaskan
kronologi “perang” sihir antara Musa as. melawan Firaun. Menurut keterangan
Muqatil, Kelompok sihir Firaun diketuai oleh seseorang bernama Syam’un.73
Selain israiliyyat, periwayatan Muqatil dalam hal asbab al-nuzul juga
sepertinya selamat dari kata “tertolak”. Ini bisa dilihat dari beberapa tafsir yang
mengutip riwayat Muqatil. Al-Jauzi misalnya, ia mengutip riwayat Muqatil bahwa
asbab al-nuzul QS. al-Baqarah ayat 236 adalah berkenaan dengan seorang laki-
laki dari kalangan sahabat Ansar yang menikahi wanita Bani Hanifah. Laki-laki
itu mentalak si wanita sebelum menunaikan mahar dan sebelum menggaulinya. 74
Al-Mawardi juga mengutip riwayat asbab al-nuzul Muqatil. Misalnya pada QS.
al-Zalzalah ayat 7. Asbab al-nuzul ayat ini di antaranya adalah merespon sikap
sebagian golongan dari Madinah yang “enteng” terhadap dosa-dosa kecil seperti
ghibah (gosip), melirik wanita yang bukan mahram dengan satu lirikan, atau
menyentuhnya dengan sekali sentuhan. Sebaliknya, mereka beranggapan bahwa
ancaman Allah hanya berlaku untuk pelaku dosa-dosa besar saja.75
Secara umum, apa yang mereka kutip dari Muqatil adalah keterangan-
keterangan yang berkaitan dengan makna suatu kata yang masih mubham atau
global, penafsiran terhadap maksud dari suatu kalimat atau ayat. Sederet nama
mufasir yang pernah mengutip keterangan dari Muqatil dalam tafsirnya adalah al-
Sa’labi, al-Mawardi, al-Wahidi, al-Baghawi, al-Jauzi, al-Razi, al-Kurtubi, Abu
Hayyan b. Muhammad al-Andalusi, Ibnu Katsir dan al-Naisaburi.
Sekalipun banyak merujuk kepada keterangan, riwayat ataupun penafsiran
dari Muqatil, namun mereka juga tidak segan-segan untuk menolak. Biasanya,
penolakan itu diutarakan bila menyangkut riwayat hadis dari Muqatil. Sebut saja
al-Baghawi yang menyebut muqatil sebagai pembohong. 76 Pada kesempatan lain,
ia menyebutnya sebagai matruk al-hadis.77 Kemudian ada Ibnu Katsir yang pada
beberapa lampiran tafsirnya menyatakan menolak riwayat hadis Muqatil dengan
alasan status hadisnya gharib.78
Semua ini menandakan, betapapun buruknya Muqatil b. Sulaiman dalam
kacamata para kritikus hadis pada umunya, bukan berarti pemikiran –termasuk

72
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq Gawamid al-Tanzil, Vol. III, 130. Lihat juga Muqatil b.
Sulaiman, Tafsir Muqatil b. Sulaiman, Vol. III, 89.
73
Abu Abdillah Muhammad b. Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Vol. 7 (Mesir: Dar
al-Kutub al-Misriyyah, 1964), 258
74
Jamaluddin al-Jauzi, Zad al-Masir fi Ilm al-Tafsir, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1422 H),
211-212.
75
Abu al-Hasan Ali b. Muhammad al-Mawardi, Tafsir al-Mawardi, Vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, tth), 321.
76
Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, Vol. 2, 41
77
Ibid, 240.
78
Abu al-Fida’ Ismail b. Umar b. Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Vol. 3/6 (ttp: Dar Tayyibab li
al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999), 176/561.

16
penafsiran di dalam tafsirnya- dan riwayat israiliyyat darinya sepenuhnya ditolak.
Bagaimanapun –layaknya mufasir lain- ia juga memiliki sisi positif yang
seharusnya diapresiasi sebagai bagian dari sejarah pemikiran dunia Islam.
Kini, sejarah telah membuktikan bahwa tafsir Muqatil b. Sulaiman
merupakan salah satu warisan penting dalam mengisi kekosongan khazanah tafsir.
Warisan ini tentu juga bernilai sebagai kontribusi Muqatil dalam membuka
wawasan generasi berikutnya demi menjaga kelangsungan sejarah penafsiran al-
Qur’an.

Penutup
Dari apa yang sudah dipaparkan di dalam tulisan ini, setidaknya dapat
disimpulkan beberapa point penting antara lain; kepakaran Muqatil dalam kajian
al-Qur’an adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. Kepedulian Muqatil dan
perhatian besarnya terhadap perubahan makna kata merupakan kontribusi
terbesarya dalam mengembangkan wacara penafsiran al-Qur’an. Namun, untuk
urursan periwayatanya hadis, riwayat darinya tertolak. Dan ini hukumnya wajib
menurut hampir semua kritikus hadis.
Perlu dicatat, riwayat israiliyyat dari Muqatil tidak semuanya ditolak.
Berkenaan dengan ini, riwayat yang ditolak adalah riwayat israiliyyat yang
memuat konten yang tidak senafas dengan syari’at Islam. Tentu, ini berlaku bukan
hanya untuk Muqatil saja, tetapi juga untuk semua mufasir. Menyangkut soal
kredibilitas Muqatil dalam ranah periwayatan israiliyyat, sepertinya tidak menjadi
persoalan yang terlalu menuai pro dan konta. Maka tidak heran, jika mufasir
generasi berikutnya banyak mengambil riwayat darinya.

Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad. 1963. Risalah al-Tawhid (Kairo: Dar al-Hilal)

al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain. 1420 H. Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-


Qur’an, Vol. 3 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi)

al-Baghdadi, Abu Manshur. 1973. Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah)

al-Dimasyqi, Muhammad Munir. Tt. Irsyad al-Raghib fi Kasyf Ayat al-Qur’an al-
Mubin (Damaskus: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyyah)

al-Dzahabi, Muhammad Husain. 1976. al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-


Kutub al-Hadisah)

--------- 1990. al-Isra’iliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadis (Kairo: Maktabah Wahbah)

--------- 2003. al-Arsy. Vol. 1 (Madinah: al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah)

al-Jauzi, Jamaluddin. 1422 H. Zad al-Masir fi Ilm al-Tafsir. Vol. 3 (Beirut: Dar al-
Kitab al-Arabi)

17
al-Karimi, Abu al-Qasim Burhanuddin. Tth. Gharaib al-Tafsir wa Ajaib al-Ta’wil.
Vol. 2 (Beirut: Muassasah Ulum al-Qur’an)

al-Khulli, Amin. 1961. Manahij al-Tajdid (Kairo: Dar al-Ma’rifah)

al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tt. Tafsir al-Maraghi. Vol. 9 (Beirut: Dar al- Fikr)

al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali b. Muhammad. Tth. Tafsir al-Mawardi. Vol. 6


(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)

al-Mizi, Yusuf. 1994. Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal (Beirut: Muassasah al-
Risalah)

Al-Mudhari. 1412 H. Tafsir al-Mudhari. Vol. 6 (Bakistan: al-Maktabah al-


Rusydiyah)

al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din. 1984. Mahasin al-Ta’wil. Vol. 1 (Beirut: Dar
al-Fikr)

al-Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad b. Ahmad. 1964. al-Jami’ li Ahkam al-


Qur’an. Vol. 7 (Mesir: Dar al-Kutub al-Misriyyah)

al-Rumi, Abdurrahman Sulaiman. 1981. Manhaj al-Madrasah al-Aliyyah al-


Hadisah fi al-Tafsir (Mesir: Mu’assasah al-Risalah)
al-Sa’labi, Ahmad b. Muhammad b. Ibrahim. 2002. al-Kasyf wa al-Bayan an
Tafsir al-Qur’an. Vol. 3 (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-Arabi)

al-Sabuni, Muhammad Ali. Tth. Mukhtasar Tafsir Ibnu Kathir (Beirut: Dar al-
Qur’an al-Karim)

Al-Samarqandi, Abu al-Lais. Bahr al-Ulum. Juz II, T.t.

al-Siddieqy, Hasbi. 1977. Tafsir al-Bayan. Vol. 1 (Bandung: Bulan Bintang)

Al-Syarbashi, Ahmad. 1972. Qishshah al-Tafsir (Beirut: Dar al-Qalam)

al-Tamimi, Muhammad b. Khalifah. 2002. Muwaqif al-Tawaif min Tauhid al-


Asma’ wa al-Sifat. Vol. I (Riyad: al-Mamlakah al-Arabiyah)

Usman. 2011. “Memahami Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur’an”. Dalam


Ulumuna. Vol. XV, No. 2 (Desember)

al-Usamain, Muhammad b. Shalih. 1989. Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an


(Semarang: Dina Utama)

18
al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud b. Ahmad. Tth. al-Kasysyaf an Haqaiq
Gawamid al-Tanzil. Vol. 3 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi)

Arabi, Ibnu. 1977. Ahkam al-Qur’an. Vol. 1 (Mesir: al-Bab al-Halabi)

Banat, Afrohul dan Siti Amilatus Sholihah, “Pandangan Muqatil bin Sulaiman al-
Balkhi (W. 150 H/767 M) tentang Muhkamat dan Mutashabihat” dalam
AL-ITQAN, Vol. 3, No. 1 (Januari-Juli 2017), 26.

Hafidhuddin, Didin. 1998. Israiliyyat dalam Tafsir dan Hadis (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa)

Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)

Jansen, J.J. 1984. The Interpretation of The Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J.
Brill)
John, A.H. 2006. “Muqatil bin Sulaiman”. Dalam Oliver Leman (ed), The Quran:
an Encyclopedia (New York: Routledge)

Katsir, Abu al-Fida’ Ismail b. Umar b. 1999. Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Vol. 3/6
(ttp: Dar Tayyibab li al-Nasyr wa al-Tauzi’)

Khaldun, Abdurrahman b. Muhammad. Tt. Muqaddimah (Mesir: Dar al-Bayan)

Khalil, Ahmad. 1973. Dirasah fi al-Qur’an (Mesir: Dar al-Ma’rifah)

Koc, Mehmet Akif. 2008. “A Comparison of The References to Muqatil b.


Sulaiman (150/767) In The Exegesis of al-Tha’labi (427-1036) With
Muqatil’s Own Exegesis”. Dalam Jurnal of The Semitic Studies LII/I
Spring

Mas’ud, Abu Muhammad al-Husain b. 1997. Muqaddimah Tafsir al-Baghawi.


Vol. I (ttp: Dar Tayyibah)
Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka)

Qadir, Ali Abdul. 2006. Al-Dakhil (Mesir: tp)

Ridla, Muhammad Rasyid. 1963. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Vol. 1 (Beirut: Dar
al-Hilal)

Shihab, M. Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka


Hidayah)

19
Sirry, Mun’im. 2012. “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”. Dalam
Studia Islamica, nouvelle edition/new series. Vol 3. No 60

Sulaiman, Muqatil b. 2002. Tafsir Muqatil b. Sulaiman (Beirut: Muassasah al-


Tarikh al-Arabi)

Syahatah, Abdullah Mahmud. 2002. Tafsir Muqatil b. Sulaiman. Vol. 5 (Beirut:


Muassasah al-Tarikh al-Arabi)

Syakir, Ahmad Muhammad. 1956. Umdah al-Tafsir. Vol. I (Mesir: Dar al-Ma’arif)

Syaltut, Mahmud. 1977. Fatwa-Fatwa. Ter. Bustami A. Gani (Jakarta: Bulan


Bintang)

Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. 2011. al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan
Tafsir Kalamullah (Kediri: Lirboyo Press)

Versteegh, Kees. 1988. “Tafsir Qur’an Paling Awal: Tafsir Muqatil”. Dalam jurnal
ini berisi makalah-makalah yang disampaikan dalam rangka kunjungan
Menteri Agama RI, H. Munawwir Sjadzali, M.A. ke Negeri Belanda. 31
Oktober-7 November

Yusuf, Muhammad dkk. 2004. Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: TERAS)

Zahrah, Muhammad Abu. 1963. “Taqdim”. Dalam Abdullah Mahmud Syahatah,


Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Kairo:
Nasyr al-Rasail al-Jami’iyyah)

Zuhd, Ishom Abd. 2010. “Manhaj al-Imam Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi fi
Tafsirih”. (Tesis Universitas Islam Ghaza)

20

Anda mungkin juga menyukai