Anda di halaman 1dari 8

Filsafat Postkolonialisme

Postkolonialisme.
Umumnya didefinisikan sebagai teori yang lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah
yang memperoleh kemerdekaannya. Sedangkan kajian dalam bidang kolonialisme mencakup
seluruh intekstual nasional. Poskolonialisme sering juga disebut pascakolonial merupakan
intelektual modern yang merupakan reaksi dari dampak-dampak kolonialisme.
Poskolonialisme merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas kolonialisme. Poskolonialisme
menggabungkan berbagai disiplin keilmuan mulai dari filsafat, cultural studies, politik, bahasa
sastra, ilmu sosial, sosiologi, dan feminisme. Poskolonial bukan berarti setelah kemerdekaan,
tetapi poskolonial dimulai ketika kontak pertama kali penjajah dengan masyarakat pribumi.

Teori postkolonialisme.
Secara umum teori postkolonialisme sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya
sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam,
meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan, diantaranya politik, ideologi, agama, pendidikan,
sejarah, antropologi, kesenian etnisitas, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di
lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan
berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Oleh karena itu, teori postkolonialisme, khususnya postkolonialisme Indonesia melibatkan tiga
pengertian. Pertama, abad berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia. Kedua, segala tulisan
yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial sejak abad ke-17 hingga sekarang.
Ketiga, segala tulisan yang ada kaitannya dengan paradigma superioritas Barat terhadap
inferioritas Timur, baik sebagai orientalisme maupun imperialisme dan kolonialisme.
Pengertian pertama memiliki jangkauan paling sempit, postkolonialisme semata-mata sebagai
wakil masa postkolonial. Di Indonesia mulai pertengahan abad ke-20, sejak proklamasi
kemerdekaan tahun 1945 hingga sekarang. Pengertian kedua lebih luas, meliputi semua tulisan
sejak kedatangan bangsa-bangsa barat di Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan
kedatangan bangsa Portugis dan Spayol awal abad ke-16 disusul oleh bangsa Belanda awal abad
ke-17. Pengertian ketiga paling luas, dimulai sebelum kehadiran bangsa Barat secara fisik di
Indonesia, tetapi telah memiliki citra tertentu terhadap bangsa timur.

Cara pandang postkolonialisme.


Sebagai cara pandang baru, postkolonialisme telah mampu menjelaskan objek secara berbeda,
sehingga menghasilkan makna yang berbeda. Sebagai negara yang pernah menjadi kolonisasi
selama hampir tiga setengah abad, jelas dalam khazanah kultural Indonesia terkandung berbagai
masalah yang perlu dipahami sesuai dengan teori postkolonial.

Definisi teori pOstkolomialisme.


Teori postkolonialisme memiliki arti sangat penting, dimana teori ini mampu mengungkap
masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan
beberapa pertimbangan yaitu:
Pertama, secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial.
Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa
Indonesia yang merdeka baru setengah abad. Jadi, masih sangat banyak masalah yang harus
dipecahkan, bahkan masih sangat segar dalam ingatan bangsa Indonesia.
Kedua, postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan kita sendiri juga
sedang diperhadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan
bertanah air. Teori postkolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-
masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan
golongan di atas kepentingan pribadi.
Ketiga, teori poskolonialisme memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah
sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan.
Keempat, membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik,
melainkan psikologis.
Tidak kalah pentingnya juga bahwa teori postkolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan
suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus dilakukan, seperti
memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik
material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.
Masalah-masalah sebagaimana dijelaskan diatas sebagian besar merupakan fakta-fakta ilmu
pengetahuan dengan kualitas obyektivitas, yang dengan sendirinya didasarkan atas sejarah
perjuangan bangsa. Ilmu pengetahuan seperti ini sudah umum, dipahami sekaligus diterima oleh
masyarakat luas, bahkan sudah dianggap sebagai indoktrinasi dalam rangka mempertebal rasa
kebangsaan.

poskolonialisme dalam karya sastra

A.      Prawacana
Karya sastra telah menjadi semacam estetika yang melekat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi
semacam wahana dalam mengaktualisasikan diri terhadap kondisi sosio-politik maupun sosio-budaya
oleh pembuatnya. Karya sastra juga menjadi ajang penumpahan perasaan dan inspirasi tentang pandangan
hidup dan kehidupan pribadi penulisnya.  Tentunya membicarakan karya sastra secara defintif sangat
luas. Namun dalam hal ini, karya sastra tidak sekedar sebagai ekspresi jiwa sang penulis seperti dalam
definisi kaum romantic namun juga cerminan masyarakat, alat perjuangan social, alat menyuarakan
aspirasi dan nasib kaum tertindas, seperti yang terdapat dalam gagasan mengenai realism, naturalism, dan
realism sosialis (Faruk, 2010: 45).
Sebagai fenomena budaya, karya sastra tentu tidak lahir dari suatu ruang hampa dimana sebuah karya
sastra baik itu novel, puisi, ataupun cerpen selalu merangkum fenomena social dalam kehidupan
penulisnya. Bahkan dalam kacamata teori Marxis yang menganggap ekonomi sebagai basis dari
superstruktur masyarakat, melihat karya sastra dan seni sebagai fenomena superstruktur yang menempati
peran yang signifikan terutama dalam membangun peradaban. Seperti dinyatakan Stuart Sim dan Borin
Van Loon (2008:22), “hal ini menjadi sumber perdebatan dalam teori Marxis. Beberapa teoritikus
menduga bahwa kegiatan-kegiatan tertentu dalam superstruktur- khususnya seni- mempunyai ‘otonomi
relative’ dari basis”.
Thwaites, Davies, dan Mules (2009:1)  mendefinisikan budaya sebagai "kumpulan praktek-praktek sosial
yang melaluinya  makna diproduksi, diedarkan, dan dipertukarkan". Dalam definisi ini secara implisit
mereka menjelaskan bahwa ada hubungan dialektis terjadi dalam proses sosial dalam suprastruktur.
Bahkan bahasa menjadi sangat penting sebagai ciptaan media. Jadi terjadi proses produksi makna, itu
berarti ada semacam tanda bermain di sini.Oleh karena itu, ketika melihat fenomena kesusastraan dari
sudut pandang yang kebudayaan yang berbeda misalnya barat dan timur terasa begitu kontradiktif
terutama dari segi sudut pandang penulisnya.
            Penulis yang berlatar belakang barat biasanya menganggap orang timur sebagai ‘the other’.
Sehingga dalam karya mereka, orang timur cenderung dideskripsikan mistis, kumuh, dan tertinggal.
Orang barat bahkan dengan entengnya mengklaim objektif karya mereka tentang timur dengan perspektif
mereka sendiri tanpa menggubris bagaimana fakta-fakta yang terjadi di timur. Pembenaran sepihak barat
dengan legitimasi objektifitasnya tersebut telah membawa jurang dikotomis yang mendalam, dimana
barat adalah superior dan timur itu inferior. Edward Said menyebut cara pandang barat tersebut sebagai
orientalisme (Edkin dan Wiliams (Ed.), 2010:386). Dimana terdapat semacam ideology kolonialisme
yang dikonstruksikan untuk mendominasi bangsa timur melalui wacana. Lebih lanjut Said (Edkins dan
Wiliams (Ed.), 2010:386) menerangkan bahwa “dengan cara menulis tentang timur, hal tersebut
merupakan gaya barat dalam mendominasi, merestrukturisasi dan merebut otoritas atas orient”.
Karya sastra menjadi ajang pertarungan ideology untuk mendominasi kelompok yang lain. Terutama gaya
barat dengan politik kolonialismenya. Sementara itu, ketika penulis timur yang menulis tentang barat
justru membenarkan barat sebagai titik sentral peradaban dengan superioritas dan kemajuannya.
Sehingga, dengan sendirinya karya sastra menjadi tidak bebas-nilai karena ia telah disusupi ideology
tertentu yang sengaja dikonstruksikan untuk melegitimasi kekuasaan. Hal ini tentu memiliki sejarah
tersendiri, terutama barat dengan egosentrismenya untuk menguasai dunia. Secara historis hal tersebut
merupakan warisan ideology pencerahan dimana “cogito ergo sum” telah menjadi adagium barat untuk
menaklukkan alam atau dalam bahasa Max Weber yaitu rasionalitas teknis. Theodor Adorno seorang
teoritisi Frankfurt school (Edkins dan Williams, 2010:9) bahkan secara sinis menganggap pencerahan
adalah totalitarian dimana “hidup telah menjadi ideology bagi ketidakhadirannya sendiri”.
                Fanon (Edkins dan Williams (Ed.), 2010:202) tidak hanya menamai kekerasan sistematis barat
ini sebagai colonial, tetapi ia juga menolak- atas nama kemanusiaan yang sangat beragam- menjadi subjek
yang terfragmentasi dari kekerasan cengkeraman colonial. Implicit dalam pendapat Fanon tersebut
menjelaskan bagaimana ideology colonial telah memecah kesadaran kaum terjajah atas kondisi
keterjajahanya, dimana kekerasan sistematis baik secara simbolik melalui wacana maupun secara
langsung melalui perbuatan telah menghilangkan harkat kemanusiaan orang timur sebagai manusia
seutuhnya.

B. Pembahasan
Pertentangan antara budaya barat dan timur memang selalu berbentur dengan keadaan sebenarnya,
dimana latar belakang keduanya sangat mempengaruhi perkembangan bagi negaranya masing-masing.
Khususnya orang-orang barat yang pada dari dulu rajin mencari sumber kekayaan dari dunia timur dan
akhirnya menjadi sebuah koloni, kata lain yang bisa dikatakan adalah “menjajah”. Akan tetapi kedatangan
orang-orang barat ke dunia timur yang pada awalnya untuk menjadi koloni banyak disalahgunakan
dengan exploitasi dari mereka sendiri. Lantas keadaan ini sangat merugikan tuan rumah itu sendiri,
meskipun tidak disadari secara langsung akan tetapi dampak seperti ini akan terasa setelah kolonialisme
ada.
Dalam hal ini semangat kolonialisme ala barat tersebut tidak melulu dilakukan melalui senjata dan
perang. Namun melalui konstruksi wacana yang sengaja dioperasikan atau dalam bahasa Frantz Fanon
yaitu introyeksi. Introyeksi (Sim dan van Loon, 2008:138) adalah proses pengadopsian gagasan atau
perilaku sebagai ‘yang lain’ secara tidak sadar. Introyeksi bekerja dalam kesadaran psikologis manusia
sehingga mempengaruhi perilaku dan tidakan. Politik kolonialisme ala barat tersebut jelas mengandung
ideology tersendiri. Dimana secara ideologis barat mencoba menjinakkan timur, tidak hanya secara
ideologis namun sebagai suatu cara yang tepat untuk mendesakkan kontrol politiknya atas timur. Secara
tegas Said (Sim dan Van Loon, 128:137) mengatakan bahwa “berbagai kritik yang dialamatkan pada
fenomena ini harus secara tegas bermotivasi politis”.
Maka dari itu dalam diskusi ini penulis akan membagi pembahasan dalam kerangka Ideologi, dan
Poskolonialisme. Sehingga diharapkan duduk perkara dari pokok permasalahan yang terangkum diatas
dapat terdeskripsikan secara jelas. Terutama bagaimana ideology kolonialisme yang diterapkan barat
melalui karya sastra dan seninya. Stuart Sim dan Borin van Loon (2008:137) menegaskan “dari abad ke-
18 dan seterusnya, sastra dan seni barat terlibat dalam program penundukan colonial ini”. Jadi karya
sastra pun menjadi semacam wahana tersendiri untuk menerapkan politik kolonialisme barat untuk
menjinakkan timur sebagai ‘the other’.
1.            Ideologi
Ideology merupakan konsepsi manusia atas dunianya, ia menjadi semacam prinsip untuk melakukan
tindakan secara praksis. Bahkan ideology selalu menyelubungi tiap kehidupan manusia dimanapun
manusia itu berada dalam ruang dan waktu yang melingkupinya. Ideology ada dalam wacana, bahasa,
tanda, maupun perangkat-perangkat social lainnya. Bahkan secara kualitatif ia memberikan identitas
tersendiri dalam suatu kelompok social.
Dilihat secara definitive ideology sangat relative. Dalam artian banyak teoritikus yang mendefinisikannya
secara berbeda baik berkonotasi positif maupun negative. Dalam perspektif Marxian misalnya, ideology
diartikan cenderung berkonotasi negative yaitu sebagai kesadaran palsu. Namun secara umum Thwaites,
Davies, dan Mules mendefinisikan ideology sebagai:
“ideology adalah tentang ‘ide’ yang dipegang bersama dalam suatu kelompok social dalam kehidupan
sehari-harinya. Ideology juga mengisyaratkan bahwa ide diorganisir dengan cara tertentu. Ideology adalah
‘logika’ ide, mengindikasikan kelompok yang memegang ideology memersepsi dan memahami dunia
dengan cara tertentu yang konsisten”. (Thwaites; Davis; dan Mules, 2009:234). 
Dari definisi tersebut terdapat semacam keterkaitan antara ide sebagai sebuah konsep dalam logika
pemikiran rasional oleh manusia dalam memersepsi dunianya dan praksis atau tindakan dalam kehidupan
material. Ia menjadi semacam unsure dasar untuk menjalankan kehidupan dengan prinsip yang konsisten.
Dimana ideology mempengaruhi pandangan hidup seseorng ataupun kelompok untuk menciptakan
dunianya.
2.            Post-colonialisme
Apa itu poskolonialisme? Tentu sebelum membicarakan apa itu poskolonialisme kita akan melacak
pijakan awal mengapa poskolonialisme itu sendiri tercetus. Mengapa? Karena awalan “post” yang
melekat dalam kata tersebut menyiratkan sesuatu yang muncul karena sebab tertentu. Tentunya awalan
“post” itu sendiri memiliki jejak historis tersendiri mengapa ia ‘hadir’ sebagai awalan kata kolonialisme.
Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya yang kerap menggunakan istilah “post” seperti post-
modernisme, post-strukturalisme, maka post-kolonialisme juga berarti “setelah” kolonialisme. Semangat
wacana post-colonial hendak menunjukkan kepada Barat (sebagai penjajah) perlawanan negara non-Barat
sebagai bekas koloni.
Nyoman Kuta Ratna (2008:77) menjelaskan bagaimana sebenarnya poskolonialisme itu sendiri tercetus.
Menurutnya, poskolonialisme mempunyai hubungan erat dengan posmodernisme dan postsrukturalime.
Posmodernisme sendiri merupakan era atau zaman sebagai kontunuitas, sedangkan poststrukturalisme
merupakan teori-teori yang digunakan untuk menganalisis objek postmodern itu sendiri.  Sementara itu
Agger (dalam Kuta Ratna, 2008:77) membedakan posmodernisme dan posstrukturalisme melalui
pemanfaatan teori. Posmodernisme didominasi teori budaya, sedangkan posstrkturalisme teori sastra.
Jika wacana postcolonialisme ditelaah lebih dalam, maka secara akademis ide-idenya banyak dipengaruhi
oleh kritik-kritik post-strukturalisme. sebagaimana dikemukan Nyoman Kuta Ratna:
“Poskolonialisme dengan demikian dapat menjadi teori atau tradisi intelektual sekaligus kontinuitas ruang
dan waktu dalam rentang sejarah. Sebagai teori ia menjadi relative dalam batas-batasnya, sementara
sebagai  zaman atau era ia memiliki batas-batas yang pasti. Sebagai teori poskolonialisme merupakan
varian dari posstrukturalisme dimana ia sejajar dengan teori teori lain seperti semiotika, resepsi, interteks,
feminism, hegemony, interaksi simbolik, actor jaringan, dekonstruksi dan berbagai teori yang menolak
narasi besar”. (Nyoman Ratna, 2008:77-78)
             Dari penjelasan tersebut begitu jelas, poskolonialisme sebagai teori merupakan varian dari
postsrukturalisme dalam tradisi intelektual. Konsep dasar poskolonialisme sama dengan post-
structuralism seperti penolakan terhadap narasi besar, oposisi biner, dan proses sejarah yang terjadi secara
monolitik. Salah satu cara yang ditawarkan adalah melalui dekonstruksi. Upaya dekonstruksi itu menjadi
penting, sebagaimana dikemukan Gayatri C. Spivak dalam pengantar buku Derrida berbahasa Inggris, Of
Grammatology, seperti dikutip Madhan Sarup, yakni sebagai upaya untuk:
“…menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat
dipastikan dengan alat penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti;, agar
dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis.” (Sarup, 2004:85-86).
Dengan dekonstruksi, postkolonialisme menjadi kritik atas “kerangka pikiran” Barat yang mapan,
superiorior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat yang terbelakang sehingga mesti diarahkan,
dicerahkan, diterjemahkan menurut standar “humanisme Barat”. Upaya pem-barat-an ini dilakukan secara
lembut, dari kurikulum pendidikan di sekolah hingga narasi ekonomi-politik-globalisasi internasional
oleh imperialisme. Eksploitasi intelektual dan mental “Dunia Ketiga” diarahakan dengan sistematis oleh
“Dunia Pertama”.
Pemikir seperti Ferdinand de Saussure meletakkan konsep “oposisi biner” untuk men-dekonstruksi
wacana yang terstruktur dalam politik, kekuasaan dan kesadaran pengetahuan. Oposisi itu akhirnya
berubah menjadi kebenaran yang di mitoskan. Ide oposisi menjadi tambahan pisau analisa bagi teori
postcolonial, yang akan membongkar bangunan wacana, pengetahuan dan bahasa yang sangat bias hirarki
kekuasaan. Derrida sendiri sang bapak dekonstruksi (Sim, Van Loon, 2008:88) yang mengawali
pembongkaran oposisi biner menemukan semacam asumsi “metafisika kehadiran” yaitu makna penuh
sebuah kata harus diupayakan ‘hadir’ pada pembicara, penulis, dan dalam pikiran mereka. Lebih lanjut
Derrida menegaskan:
“Dekonstruksi bertujuan untuk mendestabilisasi oposisi biner dan otoritas yang terkait dengan suatu
istilah yang dominan- karenanya, tuntutan dekonstruksi membuat teori itu memiliki implikasi politis”
(Derrida on Sim, Van Loon, 2008:90)
Dari penjelasan Derrida tersebut mengenai dekonstruksinya dapat kita kawinkan dengan diskursus
poskolonialisme. Dimana barat yang dengan cara pandang oposisi biner menampilkan diri sebagai
superioritas peradaban dan menganggap timur menjadi ‘yang lain’. Derrida sendiri sebenarnya mencoba
membongkar dominasi tersebut agar oposisi biner yang cenderung memarjinalkan ‘yang lain’ menjadi
seimbang atau setara. Menurut Derrida:
“Saya bisa merespons hanya satu…, yaitu pada, ‘other’ dengan mengorbankan pihak-pihak lain dengan
yang satu itu. Saya bertanggung jawab kepada siapapun (atau pada setiap ‘others’) hanya dengan cara
gagal memenuhi tanggung jawab saya pada semua yang lain, pada generalitas etika atau politik. Saya
tidak pernah bisa membenarkan pengorbanan ini, saya harus selalu memegang perdamaian saya tentang
hal itu” (Derrida on Edkins and Williams (Ed.), 2010:196-197)
Dari ketidak seimbangan oposisi biner tersebut, barat juga menjalankan misi ideologis lain untuk
mendominasi melalui pengetahuan. Dalam soal pengetahuan misalnya, mengaju pemikiran Michel
Foucault dalam manuskrip terkenalnya The Archaeology of Knowledge, Foucault telah membuka tabir
superstruktur sistem dominasi atas diskursus, dan relasi kuasa dengan pengetahuan. Nyoman Kuta Ratna
mengutip Foucault menjelaskan bahwa:
“Pengetahuan bukan semata-mata sebagai ilmu melainkan kolonialisme itu sendiri, pengetahuan untuk
mempertahankan kekuasaan, pengetahuan dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis” (Kuta Ratna,
2008:84)
Salah satu cara yang ditawarkan adalah membongkar struktur ideology adalah melalui mekanisme
arkeologi dan genealogi (Kuta Ratna, 2008:78). Dengan pandangan Foucault ini teori postcolonial akan
menunjukkan bagaimana Barat yang mendominasi pengetahuan orang-orang Timur dengan berbagai cara.
Menurut Foucault (Kuta Ratna, 2008:79) “objek kajian yang dimaksudkan disebut arsip, seperangkat
wacana yang diungkapkan secara actual, baik dengan cara ditulis, disusun, diucapkan, dan diungkapkan
kembali maupun ditransformasikan”. Misalnya dengan mengontrol buku teks, majalah, surat kabar,
televisi, dan media lainnya. Media Barat mencuci otak negara bekas jajahan. Bagaimana MTv dan pop
culture lainnya dengan mudahnya masuk dan melakukan penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran
anak muda di negara Dunia Ketiga.
            Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan Amerika) terhadap dunia
Islam, Timur Tengah dan “Timur” hingga kini misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini.
Karya besarnya “Orientalism” (1978), menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku kultural dan
epistemologis Barat yang ingin terus menguasai “Timur”. Kerja keras Said terutama karena upayanya
membongkar muatan ideologis di balik konsep Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.
Menurut Said, “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan citra Eropa sebagai
pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana
pembenaran Eropa untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan
‘the others’.
Upaya pelanjangan politik jahat orientalisme yang dilakukan Said merangsang kesadaran baru bagi
negara-negara berkembang untuk bangkit melawan. Sejak tahun 80-an para intelektual terlibat dalam
diskusi intensif mempertimbangkan gagasan Said yang mengkritik bekerjanya kolonialisme modern.
Yang juga semakin menajamkan gagasan sebelumnya yang pernah dikemukan oleh Frantz Fanon. Fanon
(Kuta Ratna, 2008:84) menyimpulkan bahwa melalui dikotomi colonial , yaitu kelompok penjajah dan
terjajah, wacana orientalisme telah melahirkan alienasi dan marjinalisasi psikologis yang sangat dahsyat.
Sehingga ideology kolonialisme barat telah menancap dalam kesadran orang timur sebagai makhluk
‘lain’.
Berkaitan dengan ideology, postcolonialism sebagai analisis ideologis mencurahkan perhatiaannya pada
masalah-maslah superstruktur yang dalam perpektif Marxian diterjemhkan sebagai fenomena kesadaran
berupa budaya, politik, agama, hukum, pendidikan, dan seni. Sehingga terlihat pola ideologis maupun
politis yang jelas bagaimana ideology kolonialisme ditanamkan sehingga dapat bertahan sampai sekarang.

C.            penutup
Dari berbagai permasalahan dan diskusi diatas dapat disimpulkan beberapa point terutama bagaimana
politik kolonialisme ala barat yang melakukan ekspansinya ke bangsa timur melalui pejajahan. Penjajahan
yang mereka lakukan tidak sekedar melakukan gerakan represif melalui senjata dan kekerasan, namun
lewat konstruksi wacana dengan penyusupan ideology agar bangsa timur mudah dikendalikan secara
psikologis.
Karya sastra pun akhirnya menjadi sesuatu yang bermuatan politis dan ideologis, dimana isi ceritanya
sengaja mendeskripsikan bangsa barat sebagai supeioritas peradaban dan bangsa timur sebagai inferior.
Karya sastra juga dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan barat dengan status quo-nya. Secara
ideologis karya sastra membuat semacam dominasi dan hegemoni barat atas bangsa-bangsa timur dan
dengan sengaja dan perlahan-lahan identitas kebudayaan bangsa timur tersebut dilucuti.

D.            Bibliography
Amir Piliang, Yasraf, 2003. Hipersemiotika: tafsir cultural studies atas matinya makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
Edkins, Jenny and Nick Vaughan Williams (Ed.), 2010. Teori-Teori Kritis: Menantang Pandangan Utama
Studi Politik Internasional. Yogyakarta, Baca.
Faruk, 2010.  Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Stukturalisme Genetik sampai Post-modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha, 2008. Postkolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, Listiono,dkk, 2010. Epistemology kiri . Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Sarup, Madhan, 2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Yogyakarta:
Jalasutra.
Sim, Stuart and Borin van Loon. 2008, Memahami Teori Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
Sugiharto, Bambang, 1996. Postmodernisme: tantangan bagi filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Thawaites, Toni and Lloid Davis and Warwick Mules, 2009. Introducing Cultural Studies and Media
Studies. Yogyakarta: Jalasutra.

Pendekatan Teori Poskolonialisme dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori


diposting oleh delmarrich-fib12 pada 21 March 2015
di Umum - 0 komentar
Kehadiran karya sastra dalam kehidupan, tidak lah berasal dari ruang hampa, dari
kekosongan. Karya sastra hadir sebagai konsekuensi logis atas terjadinya problematika
hidup. Representasi pemikiran manusia atas kehidupan yang diaplikasikan pada
rangkaian kata, membentuk suatu wacana yang kemudian diserap oleh pembaca. Oleh
karena karya-karya sastra itu tidak hadir dalam kemurnian, penelaahan akan suatu
karya sastra memiliki perkembangan yang signifikan. Berbagai teori hadir guna
mengupas dan mengorek segala hal yang terselubung dalam suatu karya sastra.

Salah satu teori yang bekerja pada karya sastra yang mengungkapkan jejak
kolonialisme adalah teori poskolonialisme. Secara umum, karakter karya sastra
poskolonialisme dapat dilihat dari hal implisit yang membangunnya. Bill Ashcroft, dkk
(2003:xxiii) berpendapat bahwa kesusastraan-kesustraan tersebut memiliki banyak
persamaan satu sama lainnya; pertama, dalam bentuk paling mutakhirnya, mereka
terlahir dari pengalaman kolonisasi; dan kedua, pernyataan-pernyataannya
mengungkapkan ketegangan-ketegangan yang mereka alami berkaitan dengan
hadirnya kekuatan imperial, dan sekaligus menekankan perbedaannya dengan asumsi-
asumsi yang dibangun oleh pusat imperial.

Selain dibentuk dari latar belakang kolonialisasi dan kekuatan imperial, karya sastra
poskolonialisme dibangun atas unsur-unsur yang menyuarakan problem-problem
poskolonial. Unsur tersebut antara lain yaitu terdapatnya relasi kuasa di dalam teks,
terpaparnya hubungan antara barat dan timur, orientalisme, oksidentalisme, eksotika,
ambivalensi atau sikap ambigu terhadap penjajah, hibrida, mimikri atau peniruan, liyan
(the other), dan diaspora. Keberadaan unsur-unsur ini dalam suatu karya sastra,
membuat karya sastra tersebut pantas dikaji dengan menggunakan teori poskolonial.

Dengan adanya unsur-unsur tersebut yang termuat dalam karya sastra, dapatlah
diketahui bahwa bentuk jajahan kini sangatlah halus. Jajahan tidak lagi dikemas dalam
bentuk politis, namun juga dapat dikemas dalam bingkai budaya, termasuk
penerapannya dalam karya sastra. Salah satu contoh karya sastra yang dapat dikupas
menggunakan penelaahan teori poskolonialisme adalah novel Pulang kaya Leila S.
Chudori. Novel ini mengangkat kisah yang berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah:
Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.

Kolonisasi yang ada di Indonesia, memberikan dampak psikologis terhadap bangsa


jajahannya. Dibuktikan dalam novel ini, penjajahan dikemas bukan lagi dalam wujud
bangsa lain yang menjajah, namun bangsa tanah air yang menjajah bangsa setanah
airnya sendiri. Penjajahan yang dimaksudkan dalam novel ini adalah ketika kekuasaan
sang Jendral yang sangat kuat harus membabat habis segala hal yang berhubungan
dengan gerakan Partai Komunis Indonesia. Tak peduli berkaitan langsung atau tidak,
segala hal yang disebut-sebut memiliki hubungan dengan PKI akan dimusnahkan dari
muka bumi. Sungguh novel ini menceritakan tindakan sporadis yang sadis, melahirkan
sosok-sosok tertindas sekaligus terabaikan yang suara-suaranya terbungkam pada saat
itu.
Novel Pulang karya Lela S. C. mengemas suara-suara terbungkam yang tidak dapat
diutarakan pada masa kepemimpinan presiden Indonesia periode 1976-1998.
Penyajian tokoh-tokohnya yang merupakan saksi bisu kekejaman pemerintahan saat
itu, menyuguhkan bacaan yang tidak hanya menimbulkan hiburan, namun melukai hati
dan perasaan bilamana mengingat kehidupan Indonesia pada orde baru. Dikisahkan,
kehidupan seorang eksil politik yang bernama Dimas Suryo harus mengasingkan diri ke
luar Indonesia dan tidak dapat lagi kembali ke negara asalnya. Problematika ini
mengisyaratkan tragisnya pemerintahan kala itu. Kesewenangan akan hak seseorang
sungguh-sungguh diambil alih. Meskipun orang tersebut tidak bersalah sepenuhnya,
bahkan tidak bersalah sama sekali.

Tokoh Dimas Suryo dalam novel ini memiliki guncangan batin yang tak berkesudahan.
Meskipun ia menjalani kehidupan yang aman karena ia tinggal di kota Paris, ia tetap
merasakan kekhawatiran yang mendalam terhadap sanak saudara maupun teman-
temannya yang tinggal di Indonesia. Pasalnya kehidupan Indonesia saat itu sedang
carut marut, “Dari hari ke hari, bahkan setiap tiga jam, kami mendengar berbagai berita
buruk silih berganti. Anggota partai komunis, keluargga partai komunis diburu habis-
habisan. Bukan hanya ditangkap, tapi terjadi eksekusi secara besar-besaran di
seantero Indonesia.” (hlm 72).

Penguasaan satu pihak atas pihak lain mengidentifikasikan adanya unsur relasi kuasa,
kaitannya dengan kolonialisme dalam suatu karya sastra. Novel Pulang menjadi salah
satu objek yang patut dikaji dengan menggunakan teori poskolonialisme. Penggunaan
teori dalam suatu penelaahan sastra, menghasilkan pemahaman atas makna
terselubung yang sangat berguna bagi pembaca.

Dalam teks-teks poskolonial, pemaknaan menempati posisi yang sangat penting. “Ini
disebabkan karena ‘peristiwa’ pemaknaan mengisi celah sosial yang ada diantara
tindakan menulis dan membaca, suatu ruang diskursif di mana penulis dan pembaca
sebagai aktor-aktor sosial tidak pernah bertemu.” (Aschroft, dkk, 2003:288). Selain
mendapatkan pemahaman, pembaca juga dapat merasakan ekstase ruang dan waktu
yang berujung pada pemaknaan melalui tiga lapis interaksi: antara situasi, pengarang,
dan pembaca.

Anda mungkin juga menyukai