Karlina Supelli**
Apakah judul kuliah terbuka ini masuk akal? Apakah tersedia cukup alasan untuk mengatakan
ada ancaman terhadap ilmu pengetahuan? Bukankah yang terjadi sebaliknya? Aku menjelma
menjadi Kematian [Kla: Waktu], sang penghancur dunia, kata ahli fisika Robert
Oppenheimer (1965) mengutip seloka 32 Bab 11 kitab Bhagavad Gita, saat mengenang
kehancuran Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom, yang penelitian dan pembuatannya ia
pimpin. Bom atom adalah contoh paling konkret bagaimana ilmu pengetahuan murni dapat
menyediakan resep bagi tindakan ketika berjalin dengan teknologi yang tepat.
Apakah judul di atas dimaksudkan bagi situasi keilmuan di Indonesia yang banyak dikeluhkan
karens dana penelitian yang terbatas dan jumlah peneliti yang tidak banyak?1 Situasinya
bahkan lebih memprihatinkan lagi. Rata-rata pendidikan masyarakat berada di tingkat
menengah dan rendah. Hanya 18,4% penduduk berusia 19 - 24 tahun yang saat ini sedang
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hampir 50% angkatan kerja kita adalah lulusan
sekolah dasar; sebagian di antaranya bahkan tidak lulus SD.2 Sementara, sjarah keterlibatan
masyarakat Indonesia dengan ilmu pengetahuan relatif masih pendek dan belum
menumbuhkan kebiasaan khas yang diperlukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Situasi
itu merupakan kendala serius yang bisa menciutkan nyali orang yang bercita-cita
menghadirkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu penerang lorong-lorong pencarian
manusia. Namun, kuliah ini akan menyampaikan ancaman jenis lain.
Sebuah ancaman yang bertolak dari pemujaan kepada diri dan kelompok sendiri. Manusia yang
sibuk memuja dirinya sendiri atau kelompoknya akan menolak sumber-sumber pengetahuan
yang tidak sejalan dengan pahamnya pun ketika fakta pendukung tersedia di depan mata.
Sebaliknya, apa yang aku percayai atau apa yang kuinginkan dapat berubah menjadi
kebenaran mutlak. Bahwa faktanya tidak demikian, adalah perkara belakangan. Tak ada dusta
di dunia; hanya ada fakta alternatif.3 Itu di satu sisi. Di lain sisi, ada yang merayakan anti-
tesisnya. Baik atau buruk bergantung pada sudut pandang. Mereka menyangkal semua
kemungkinan untuk mendapat pengetahuan obyektif, seperti Hamlet yang terpenjara dalam
pikirannya sendiri. Bedanya, dalam drama karya Shakespeare itu Hamlet sedang pura-pura jadi
gila. Apa implikasinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan?
1
Lih. data jumlah peneliti di Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
2
Lih. data Angkatan Kerja Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2015).
3
Dalam Shakespeare, Hamlet (1600-1601), Scene 2, Act 2. Istilah fakta alternatif berasal dari Kellyane
Conway, Penasihat Kepresidenan Donald Trump, saat ditanya mengapa juru bicara Gedung Putih (Sean Spicer)
berdusta tentang inaugurasi Presiden Donald Trump yang sepi.
1
empiris berarti ada kesesuaian antara pernyataan dan fakta; logis berarti pernyataan-
pernyataannya koheren.
Pada mulanya seorang ilmuwan mungkin mencoba menyanggah penemuannya sendiri karena
ia tidak senang dengan konsekuensi teoretisnya. Johannes Kepler (1571-1630) sangat kecewa
ketika data posisi planet, alih-alih menghasilkan pergerakan melingkar yang indah seperti
diprediksi oleh Nikolaus Kopernik, justru mirip pipi tembem (Kepler 1609: 575). Berhentilah
bermain-main dengan bentuk! Demikian astronomiwan Denmark Christen Longomontanus
(1562-1647) menegur Kepler dengan keras. Ia menilai Kepler telah merusak tata langit.
Revolusi Kopernikan rupanya belum berhasil membuat para ahli falak zaman itu meninggalkan
tradisi fisika Aristoteles. Dalam argumen Aristoteles, gerak melingkar adalah gerak alami yang
paling sesuai bagi benda-benda langit yang bersifat ilahiah.
Kepler marah besar. Mana mungkin orang seperti dia, yang mempersembahkan Mysterium
Cosmographicum (1596) sebagai himne kepada Sang Arsitek Dunia, melecehkan Nya dengan
membangun astronomi berbau kotoran kuda seperti tudingan Longomontanus?4 Kepler
mencoba pelbagai teknik matematika untuk menjauh dari bentuk elips. Akan tetapi, ada selisih
delapan menit busur antara data pengamatan dan perhitungan berdasarkan model. Seberapa
besarkah perbedaan itu bila dapat dilihat dari Bumi? Untuk mendapat jawaban, arahkanlah jari
kelingking Anda tegak lurus terhadap kaki langit sejauh rentang lengan. Lebar ujung
kelingking kira-kira 1 sampai 1,2 cm. Lebar ini mencakup busur langit sepanjang satu derajat.
Untuk delapan menit busur kira-kira 1,3 mm - 1,6 mm. Selisih posisi sebesar inilah yang
menjadi sumber kesengsaraan Kepler selama delapan tahun, sebelum akhirnya ia mendapatkan
persamaan bagi orbit elips. Dalam Astronomia nova ia menulis, kebenaran yang kutolak dan
kubuang jauh-jauh, menyelinap secara sembunyi-sembunyi lewat pintu belakang dengan
berkedok (1609: 575).
Kepler mengajarkan kesetiaan kepada fakta. Ia mengerti betul bahwa keteraturan pergerakan
benda-benda langit yang terejawantahkan ke dalam hukum-hukum empiris, tidak selalu
teramati langsung dalam gejala. Ia perlu menyimpulkannya dari data yang diambil berulang-
ulang menurut rentang waktu yang panjang. Untuk planet Mars, Kepler memakai data
pengeamatan Tycho Brahe selama 18 tahun. Almagest, karya Klaudios Ptolemaios (c.a. 100-
170), menggunakan data astronomi Babilonia yang sudah ada sejak abad ke-8 SM (lih.
Almagest, Appendix A). Ilmuwan tidak berhenti pada pencarian hukum-hukum empiris.
Mereka ingin menemukan aspek realitas yang tidak berubah dan untuk itu diperlukan bangunan
imajinatif yang lebih luas daripada kawasan tempat gejala empiris teramati. Di tataran teoretis
inilah Isaac Newton berhasil menunjukkan bahwa hukum-hukum Kepler bagi pergerakan
planet (dan hukum gerak Galileo bagi benda-benda di Bumi) merupakan konsekuensi logis dari
seperangkat hukum yang lebih mendasar. Dengan hukum-hukum itu Newton membangun teori
yang dapat menjawab pertanyaan Kepler: mengapa planet bergerak dalam orbit elips.
Dalam banyak kasus, ilmuwan ingin menemukan hubungan sebab-akibat agar pertanyaan
mengapa terjadi dapat dijawab. Namun, ini tidak mudah. Bisa saja gejala muncul sebagai
peristiwa kebetulan. Bisa saja penyebabnya bersifat acak. Bagaimana ilmuwan melacak
kausalitas?5 Tidak bisa lain kecuali melalui eksperimen berulang-ulang dengan hasil yang ajeg,
disertai pemahaman yang mendalam tentang kriteria kausalitas yang spektrumnya cukup lebar.
Ada sebab niscaya, sebab cukup, sebab komponen-cukup, dan sebab yang bersifat mentak.
Kerancuan memahami nuansa dalam spektrum itu tidak jarang menghasilkan penarikan
4
Petikan surat menyurat Kepler dengan Longomontanus dan ahli-ahli astronomi pada zamannya dapat dilihat
dalam James R. Voelkel (2001) dan Caspar (1993).
5
Di sini saya tidak perlu masuk ke perdebatan di kalanga filsuf tentang apakah kausalitas merupakan hubungan
sebab-akibat real di alam, kategori a priori rasio, ataukah semata-mata urut-urutan peristiwa.
2
kesimpulan yang keliru. Banyak anak remaja senang makan es krim. Banyak anak remaja
wajahnya berjerawat. Maka, es krim menyebabkan jerawat pada anak remaja. Namun, ada
banyak kasus lain yang tidak demikian. Masalah dengan penalaran itu adalah bahwa variabel-
variabel lain tidak diperhitungkan. Sebut saja perubahan hormon, pola tidur, faktor genetik,
kebersihan kulit dan lain sebagainya. Dalam kebanyakan gejala hampir-hampir tidak ada
penyebab tunggal.
Urusan jerawat tidak terlalu serius kalau dibandingkan dengan kepanikan orang tua sesudah
berbeda berita bahwa vaksinasi gondong, campak dan rubela (vaksin MMR) menyebabkan
autisme. Padahal, satu-satunya penelitian yang mengasosiasikan MMR dengan autisme
(Wakefield et al. 1998) sudah lama dicabut/dibatalkan dari Lancet (2010), jurnal yang
menerbitkannya. Namun, kampanye anti-vaksin kepalang menyebar kencang melalui internet.
Apalagi sesudah dilengkapi dengan teori yang paling mujarab dalam menjawab segala macam
persoalan: teori konspirasi. Faktanya, sampai hari ini, belum ada peneliti yang berhasil
mereplikasi temuan Wakefield. Urusan vaksin bertambah runyam karena cukup banyak orang
tua menolak dengan alasan agama, termasuk di Indonesia.
3
epistemiknya, tidak perlu dikenai tuntutan pembenaran berdasarkan langkah induktif-deduktif.
Kepercayaan tidak dapat menggantikan penalaran ilmiah. Kepercayaan tidak dapat membuat
prediksi tentang gejala-gejala di dunia. Kepercayaan dapat membuat ramalan dan nubuat, tetapi
kesahihannya juga didapat dari kepercayaan. Dalam epistemologi memang ada paham yang
mendefinisikan pengetahuan sebagai kepercayaan yang kebenarannya dapat dipertanggung-
jawabkan secara rasional (justified true belief). Akan tetapi, dalam epistemologi ilmu paham
ini jarang digunakan. Tuntutan bagi kesahihah ilmu pengetahuan melampaui tuntutan bagi
rasionalitas. Ada persoalan relasi antara teori dan dunia, ada persoalan keterujian publik, peran
asumsi, dan lain-lain.
Pertimbangan ini tentu terlalu berlebihan untuk menilai praktikum siswa sekolah menengah,
tetapi wajar dalam mengevaluasi karya mahasiswa. Eksperimen sejenis dari dua kelompok
mahasiswa menggunakan beberapa jenis suara sebagai pembanding, salah satunya adalah
lantunan Al Quran. Kesimpulannya sama: lantunan Al Quran dan suara orang mengaji
menimbulkan efek paling besar pada pertumbuhan kacang hijau jika dibandingkan musik
klasik, dangdut, langgam Jawa dan musik rock. Kedua peneliti menjelaskan perbedaan itu
sebagai efek perbedaan frekuensi bunyi-bunyian yang digunakan. Penjelasan semacam ini kita
temukan dalam belasan eksperimen serupa yang pernah dilakukan di pelbagai tempat di dunia,
baik dalam lomba ilmiah tingkat sekolah sampai riset di lembaga penelitian. Tanggapan dari
ahli botani yang kompeten banyak dan beragam, tetapi teknikalitasnya berada di luar
kewenangan akademik saya.
Perhatian saya lebih pada penjelasan dalam salah satu laporan eksperimen yang menyatakan
bahwa tumbuhan memiliki SQ (spiritual quotient). Inilah alasan mengapa tumbuhan lebih
tanggap terhadap lantunan Al Quran ketimbang musik klasik. Musik klasik tidak mempunyai
peran dalam pembentukan SQ. Sedikit iseng, saya bertanya-tanya. Tanggapkah kacang hijau
terhadap komposisi Monteverdi atau Pergolesi? Karena penasaran, saya pun mencari-cari
kepustakaan bagi SQ tumbuhan yang konon adalah penemuan tumbuhan bertasbih. Saya
memakai konon karena ternyata tidak berhasil menelusuri jurnal ilmiah berisi penemuan dan
hanya menemukan puluhan artikel di internet yang sudah beranak-pinak akibat salin-rekat. Ada
satu sumber berupa buku (Quranic Quotient, 2007) yang juga tidak menyebut sumber
rujukannya.
Catatan ini tidak bermaksud mematikan semangat meneliti di kalangan siswa/mahasiswa atau
mengecilkan arti eksperimen-eksperimen itu. Sebaliknya. Saya semata-mata mengemukakan
pedoman tidak tertulis yang melandasi penyelidikan ilmiah. Realitas yang dipelajari oleh ilmu
pengetahuan cukup terbatas bila dibandingkan dengan realitas dalam refleksi filosofis dan
realitas yang membangun kepercayaan religius dan kepercayaan mitis. Batas epistemik
keilmuan cukup tegas. Pernyataan-pernyataan ilmiah bukan saja harus dapat diuji (minimal
secara prinsip), melainkan juga perlu berada dalam realitas berbingkai ruang-waktu. Lugasnya,
ilmu pengetahuan menelaah gejala di dunia ini dan mencari penjelasan dalam proses dan
mekanisme dunia.
Batas ini sering disalahpahami, seakan-akan ilmuwan menolak adanya realitas metafisis
(religius atau bukan) dan segala kepercayaan akan hal-hal yang transenden, adialamiah
(supernatural). Tentu ada ilmuwan yang menolak itu semua. Akan tetapi, sikap ilmuwan tidak
sama dengan apa yang diperlukan untuk menjadikan ilmu pengetahuan adalah ilmu
pengetahuan. Dalam kegiatan ilmiah, batas antara yang alamiah dan adialamiah bersifat
metodologis.
Pada mulanya adalah Galileo Galilei (1564-1642) yang perlu merumuskan sifat-sifat obyek
fisika untuk membangun skema ontik, atau bahkan ruang ontologis, bagi filsafat alam. Skema
itu diperlukan agar pengetahuan yang dibangun tidak bercampur aduk dengan unsur-unsur
4
subyektif serta ide-ide antroposentris dan teologis. Galileo memilah corak terukur (kualitas
primer) dan corak tidak terukur (kualitas sekunder) yang ia andaikan ada dalam gejala-gejala
material (Galileo 1623: 309-313). Perkembangan ilmu pengetahuan memungkinkan realitas
alamiah dipahami tidak semata-mata berdasarkan corak materialnya. Realitas alamiah juga
mengandung hal-hal immaterial (pikiran, ingatan, mimpi, dan sebagainya).
Dalam salah satu kuliah umum beberapa waktu yang lalu, saya pernah menegaskan dua hal.
Perkenankan saya mengulang lagi keduanya. Pertama, ilmu pengetahuan bersifat sekular.
Sekularisasi adalah kesanggupan berpikir pada ranah dunia ini. Corak sekular ilmu
pengetahuan berarti bahwa upaya untuk mencari kebenaran ilmiah tidak mencampuradukkan
ranah imanen dengan ranah transenden. Segala perkara yang menjadi tanggung jawab manusia
dicari, diselesaikan dan diuji dalam ranah imanen berdasarkan kaidah kerja dunia itu. Kedua,
tanpa kesanggupan berpikir sekular, pelbagia peristiwa dengan mudah diklaim sebagai
tindakan ilahi. Segala macam tafsir dapat dinyatakan sebagai kehendak ilahi. Dialog publik
menjadi buntu. Nalar terbentur pada pemutlakan. Akalbudi menjadi tumpul terbius bujukan
surgawi.
Dalam kesempatan ini, perkenankan saya menambahkan satu lagi. Ilmu pengetahuan
membutuhkan sikap agnostik terhadap klaim-klaim yang mengacu ke realitas adialamiah.
Realitas itu ada atau tidak, bukan urusan ilmu pengetahuan (jangan dirancukan dengan urusan
ilmuwan sebagai pribadi). Ilmu pengetahuan tidak punya kepentingan untuk membangun sikap
tertentu terhadap komitmen akan ada/tidaknya realitas adialamiah. Ilmu pengetahuan dapat
dilaksanakan oleh ilmuwan yang percaya atau tidak percaya akan adanya realitas adialamiah.
Ilmu pengetahuan tidak menyangkal kemungkinan terbentuknya pengetahuan intuitif tentang
realitas tersebut. Meski demikian, ilmu pengetahuan berjalan dengan premis seakan-akan
dunia yang ditelaahnya ini tertutup; seakan-akan tidak ada campur tangan kekuatan-kekuatan
adialamiah ke dalam dunia ini. Apakah betul demikian? Sejauh ini, ilmu pengetahuan tidak
mempunyai perangkat untuk menyanggah atau meneguhkannya.
Kerendahan-hati intelektual
Ilmu pengetahuan terancam mati jika tidak ada pagar yang memilah pernyataan ilmiah dari
klaim-klaim adialamiah. Ilmuwan tidak lagi dapat menjelaskan informasi yang dihimpunnya
selain mengatakan bahwa semua itu adalah hasil campur tangan kekuatan yang tidak dapat ia
deskripsikan. Ilmu pengetahuan tidak memiliki sarana untuk mengevaluasi gejala yang tidak
dapat diamati,7 diukur, ditata menurut prosedur keilmuan. Tanpa mengikuti prosedur itu, sulit
membayangkan ilmuwan yang berbeda-beda dapat saling menguji dan mengoreksi teori. Tanpa
proses intersubyektif, kesahihan penjelasan ilmiah tidak lagi dapat diandalkan. Tanpa proses
intersubyektif, tidak mungkin ada kritik. Tanpa kritik, tidak ada ilmu pengetahuan.
Pembatasan yang terkesan dogmatik dan seringkali menimbulkan salah paham ini sebetulnya
dapat dilihat sebagai ekspresi kerendahan hati intelektual yang mengaukui bahwa pengalaman
manusia teramat kaya dan pelik. Ilmu pengetahuan tidak mengklaim dapat menjelaskan semua
pengalaman itu dan pengetahuan ilmiah bukan segala-galanya.
7
Di sini saya perlu menambah catatan bahwa pengertian dapat diamati dalam ilmu pengetahuan sangat pelik
dan tidak mengacu ke kriteria pengamatan inderawi menurut positivisme. Ilmu pengetahuan bekerja dengan
banyak sekali wujud-wujud yang tidak teramati langsung; ada yang dapat dilacak melalui efeknya, ada yang
hanya dapat disimpulkan melalui metode retrodiktif, dan ada pula yang secara prinsip tidak teramati tetapi
kehadirannya muncul sebagai konsekuensi teori. Ilmu-ilmu empiris tidak selalu berarti ilmu-ilmu positivistik.
Ini salah kaprah absurd yang beredar luas di perguruan tinggi di Indonesia. Seandainya ilmu-ilmu empiris setia
kepada doktrin positivisme August Comte dan positivisme-logis Lingkaran Wina, tidak mungkin ada
kosmologi, fisika partikel, biologi molekuler, dan lain-lain yang sekarang justru berkembang pesat.
5
Ilmu pengetahuan juga tidak mempermasalahkan motivasi yang mendorong lahirnya suatu
penemuan. Kekul bermimpi tentang seekor ular yang menggigit ekornya sendiri dan bergegas
menuliskan rumus benzena. Pemerintah Hindia-Belanda membangun observatorium
meteorologi di Batavia dengan motivasi untuk melayani kepentingan strategis pemerintah
kolonial. Akan tetapi, tidak berarti bahwa isi kognitif klimatologi ikut mengangkut kepentingan
kolonial. Petaka muncul kalau motivasi ikut mengarahkan kesimpulan yang akan dipakai untuk
membangun penjelasan. Contoh bukannya tidak ada. Salah satunya adalah rasisme yang
melahirkan teori tentang superioritas ras.
Motivasi untuk menemukan keajaiban dalam Kitab Suci atau ajaran-ajaran religius lainnya
juga melahirkan bermacam-macam gerakan mulai dari Bucailleisme, mistisisme kuantum,
baraminologi sampai sientologi, dan sebagainya. Gerakan-gerakan semacam itu cepat
memukau. Kerinduan spiritualitas manusia memang menggetarkan. Masalahnya, kebenaran
pengetahuan ilmiah bersifat tentatif. Menaruh bukti penciptaan alam semesta pada peristiwa
Big Bang amat riskan. Paling-paling kita dapat menyebutnya sebagai moment of genesis.
Kondisi fisika tak-terdefinisi di kawasan itu barangkali merupakan batas pengetahuan kita
sejauh ini, bukan lokus penciptaan. Internet penuh dengan bujukan ilmu utak-atik seperti itu.
6
menembus lingkaran tertutup keduanya. Relativisme membuat ilmu pengetahuan menjadi
program manusia yang mustahil. Bagi penganut relativis, tidak ada cara obyektif untuk
membedakan mana pernyataan ilmiah yang berterima dan mana yang tidak. Pengetahuan,
termasuk ilmu pengetahuan, dipandang sebagai sistem kepercayaan belaka yang diterima atas
dasar kesepakatan ilmuwan, tanpa acuan ke dunia.
Para relativis memanfaatkan sifat tentatif kebenaran ilmiah. Oleh karena bukti-bukti ilmiah
yang menjadi dasar untuk mendukung sebuah teori tidak pernah konklusif dan pernyataan
ilmiah selalu terbuka untuk dinyatakan salah, cara terbaik untuk mengevaluasi teori adalah
mempertanyakan siapa yang paling diuntungkan jika klaim ilmiah diterima sebagai benar.
Obyek-obyek yang muncul dalam teori (elektron, atom gravitasi, DNA, dsb), karena itu, perlu
dilihat sebagai hasil konstruksi tekstual belaka.8 Saya sendiri mengalami kesulitan yang luar
biasa untuk membayangkan bagaimana suatu konstruksi tekstual dapat menghancurkan
Hiroshima dan Nagasaki dalam sekejap mata.
Relativisme epistemik di Indonesia tidak terlalu populer kecuali di ruang-ruang diskusi filsafat,
sastra dan teori-teori kebudayaan. Saya tidak terlalu mengkhawatirkan perkembangannya
terutama karena fundamentalisme diam-diam bergerak semakin kuat. Kendati demikian,
relativisme yang tampak jinak ini bisa berbahaya ketika gagasan-gagasannya mempengaruhi
kebijakan publik atau menimbulkan reaksi masyarakat atas nama pluralisme budaya.
Kita dapat menyimaknya dari cerita Martha Nussbaum tentang pertemuan World Institute for
Development Economics Research. Muncul perdebatan panas ketika seorang antropolog
menyesalkan program vaksinasi cacar pemerintah kolonial Inggris di India pada abad ke-19.
Program itu dianggap telah menggusur ritual pemujaan terhadap Dewi Sitala yang berjalin
dengan praktik tradisional inokulasi cacar. Ketika Nussbaum protes (bukankah orang lebih baik
hidup daripada mati; Nussbaum 1999, 36), antropolog itu mengatakan bahwa komentar
Nussbaum mencerminkan ciri universalistik ilmu pengetahuan Barat dan superioritas sistem
pengetahuan yang hegemonistik, yang tidak menghargai perbedaan budaya. Masyarakat India
tidak mengenal oposisi biner, dikhotomi sakit atau sehat. Sitala adalah penyakit sekaligus
penyembuhannya.
Apabila usaha untuk menjernihkan kepercayaan budaya dengan perspektif asing senantiasa
dipandang sebagai penghancuran otonomi budaya, apakah berarti pandangan kedokteran
modern juga dianggap secara kultural tidak layak, misalnya, untuk mengubah kepercayaan
tentang mutilasi genital perempuan dalam masyarakat tradisional? Apakah penolakan terhadap
nilai-nilai objektif dan nilai-nilai universal sedemikian berharganya sampai-sampai kesehatan
dan nyawa layak dikalahkan? Jangan-jangan kita gagal membedakan kebudayaan dengan
tradisionalisme. Dengan tegas Meera Nanda mengajak masyarakat dunia ketiga untuk menolak
tawaran epistemik itu (1998, 301).
7
tanpa penafsiran ulang sesuai konteks zaman, tanpa kesalahan dan tanpa pelunakan sedikit pun.
Maka pembacaannya bersifat literal.
Sementara kaum relativis menolak kemungkinan adanya sumber yang andal bagi pengetahuan
karena setiap aspeknya dibentuk oleh dan hanya dapat dipahami melalui konteks sosio-kultural,
kaum fundamentalis agama hanya menerima Kitab Suci yang mereka tafsirkan secara literal
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Di luar itu tidak ada pengetahuan yang sahih.
Dengan kata lain, sejarah pewahyuan tidak dipahami sebagai suatu perjumpaan dengan yang
Ilahi dalam pengalaman religius manusia, tetapi sebagai peristiwa turunnya perintah-perintah.
Dalam perspektif fundamentalis, iman dipahami bukan sebagai tanggapan pribadi atas
pengalaman orang yang merasa disapa oleh yang Ilahi, tetapi sebagai ketaatan kepada perintah-
perintah tersebut. Tuhan dimengerti sebagai pengatur segala sesuatu, termasuk segala tetek
bengek dalam kehidupan kita sehari-hari. Di luar pengaturan itu, semua salah. Kiranya menjadi
jelas mengapa kaum fundamentalis agama menolak upaya-upaya untuk menafsirkan Kitab
Suci melalui perspektif keilmuan, linguistik, hermeneutika teks, dan sebagainya. Sumber
epistemik ilmu pengetahuan tidak dianggap sahih, kecuali ilmu pengetahuan yang secara literal
bertopang ke Kitab Suci.
Apa yang masuk akal dan masih berterima dari fundamentalisme adalah komitmen kepada
asas-asas moral mendasar yang melampaui pertimbangan terbatas manusia. Apa yang keliru
dan tidak dapat diterima adalah keyakinan bahwa sumber moralitas dan nilai-nilai mendasar
itu dapat dipahami secara mutlak melalui nalar terbatas manusia, sehingga tidak perlu
ditafsirkan melalui pelbagai jalan dan kesesuaian konteks.
Barangkali saya keliru, tetapi pada hemat saya, kaum fundamentalis tergolong kelompok yang
terjebak dalam pemujaan terhadap kekuatan penalaran dan penafsirannya sendiri. Mereka
begitu yakin dengan kesahihan penalaran dan kekokohan penafsiran sendiri, serta kebenaran
klaim-klaimnya. Pertanyaannya, bagaimana mengetahui bahwa klaim-klaim yang dikaitkan
dengan yang ilahiah itu benar? Bahwa sesuatu itu benar adalah satu hal, tetapi mengetahui
kebenarannya adalah hal yang sama sekali lagi. Seandainya benar sama dengan tahu bahwa
itu benar, cara paling gampang untuk membuat di Indonesia bebas korupsi adalah dengan
membubarkan KPK seperti pendapat seorang politisi. Kalau tidak ada KPK, tidak ada
korupsi, demikian politisi itu mencoba meyakinkan masyarakat. Dalam teori pengetahuan,
kesesatan penalaran terjadi karena ia mengacaubalaukan realitas dengan pengetahuan tentang
realitas.
8
terhadap kritik, kesediaan bekerja sama untuk membangun proses intersubyektif, kebiasaan
mencari kebenaran, penghormatan pada kemerdekaan berpikir, kemerdekaan untuk
menyelidiki, kemandirian berpendapat dan keberanian untuk meragu-ragukan.
Dengan melatih kebiasaan itu seorang ilmuwan pelan-pelan belajar. Ilmu pengetahuan tidak
mengajarkan kepastian. Ilmu pengetahuan melatihnya untuk berani meragu-ragukan setiap
pernyataan bahkan yang sudah teruji secara ilmiah; dan meragu-ragukannya dengan cara
yang kejam. Di hadapannya berdiri tembok realitas yang ketebalannya tak seorang pun
mengetahuinya. Ilmu dapat berkembang karena terus menerus dibenturkan pada tembok itu
melalui pengujian-pengujian yang terbuka. Filsuf Karl Popper pernah berujar. Persembahan
terbesar kepada seorang ilmuwan adalah mengritik gagasannya. Melalui kritik ia, atau orang
lain, akan memperbaiki atau mengembangkan gagasannya. Melalui kritik itulah kita semua
belajar dari kesalahan dan kekeliruan kita.
Ilmuwan sejati tidak mengklaim kebenaran mutlak. Ia merasa gemetar seperti ahli fisika-cum
filsuf ilmu Henri Poincar ketika menyadari betapa kebenaran ibarat hantu yang berkelibat;
kebenaran tak pernah dapat dijerat. Apakah itu berarti ilmu pengetahuan membuat harapan
akan kebenaran, yang begitu berharga bagi manusia, membuat kita semua ibarat orang yang
mau menjaring angin? Kendati bangkai teori-teori yang usang terus menumpuk, Poincar tidak
meratapinya sebagai kemalangan (The Value of Science, 1906). Ia memandangnya sebagai
penanda bagi pencarian yang tidak pernah berhenti dan tidak boleh berhenti.
Namun, pencarian akan terhenti apabila syarat utamanya, yaitu keberanian untuk
menyangsikan aneka perkara dan keterbukaan terhadap kritik tidak mendapat ruang. Dengan
pertimbangan itu dan dengan merefleksikan situasi berikut ini:
1. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat seperti dikutip di muka,
2. Sistem pendidikan yang secara konseptual merancukan kompetensi ilmiah dengan
pendidikan karakter dan pendidikan rohani melalui kurikulum yang menjadikan
penghayatan dan pengalaman agama sebagai tolok ukur utama (Kompetensi Inti 1; KI-
1) bagi setiap bidang ilmu di semua jenjang pendidikan, dari SD sampai S3,
3. Tradisi ilmiah yg belum tumbuh mantap
4. Masyarakat yang dimanjakan oleh algoritme mesin pencari di internet, sehingga semua
hal-hal yang tidak disukai dan kelompok yang bukan-kawan serta gagasan-gagasan
yang berbeda akan tersaring,
5. Aneka fakta alternatif menyebar luas dan bebas dipilih sesuai selera,
saya kira pertanyaan di atas dapat terjawab. Ilmu pengetahuan akan terancam
perkembangannya kecuali kita bersama-sama menahan laju pelbagai unsur yang akan
menjadikan masyarakat ini sebagai masyarakat yang tertutup. Masyarakat tertutup
mempertahankan keberadaannya melalui ketaatan mutlak kepada perintah yang diyakini benar,
terlepas dari apakah kebenaran itu sudah teruji. Pengujian itu mustahil karena masyarakat
tertutup tidak menghendaki tafsir.
Tujuan masyarakat tertutup hanya satu: membangun jejaring untuk melanggengkan tradisi
yang menurut pandangannya paling murni. Mereka bersiaga menyerang apa dan siapa saja
yang mencoba membuka ketertutupan itu. Ilmu pengetahuan sebagai proses imajinatif yang
penuh kebebasan dan kesetiaan kepada fakta, tidak mungkin tumbuh dalam masyarakat seperti
tertutup.
Kepustakaan:
Algarotti, Francesco. Sir Isaac Newton's Philosophy Explain'd for the Use of the Ladies: In Six Dialogues on
Light and Colours, vol. 2 in two volumes. London: 1739.
http://www.newtonproject.ox.ac.uk/view/texts/normalized/OTHE00111
Caspar, Max. Kepler. Translated and edited by C. Doris Hellman. London; New York: Abelard-Schuman, 1959.
9
Galilei, Galileo. The Assayer (Il Saggiatore) [1623]. In Galileo Galilei, H. Grassi, M. Guiducci, and J. Kepler,
The Controversy on the comets of 1618. Translated by S. Drake and C. D. Omalley, 131-336.
Kepler, Johannes. New astronomy. Translated by William H. Donahue. Cambridge: Cambridge University
Press, 1992.
Martha C. Nussbaum, Sex and Social Justice (Oxford, Oxford University Press, 1999),
Nanda, Meera. The epistemic charity of the social constructivist critics of science and why the third world
should refuse the offer. In A house built on sand: Exposing postmodernist myths about science. edited
by Noretta Koertge. Oxford: Oxford University Press, 1998.
Oppenheimer, R. The Decision to Drop the Bomb. Produced by Fred Freed in NBC White Paper. New
York: NBC Universal, 1965.
Voelkel, James Robert. The composition of Kepler's Astronomia nova. Princeton: Priceton University Press,
2001.
*
Disampaikan dalam Kuliah Terbuka 22 September 2017 di Aula Pascasarjana Universitas Katolik
Parahyangan atas kerja sama Qureta, Rumpun Indonesia, GITA dan Universitas Katolik Parahyangan.
**
Dosen tetap di Program Pascasarjana Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
10