Jean Baptiste, ayah Sartre, merupakan seorang perwira Angkatan laut yang
meninggal dalam usia tiga puluh tahun dan menjadikan Sarte yatim pada
umur dua tahun. Ayah Jean Baptiste adalah seorang dokter yang tersohor
di Prancis sebagai pelopor kedokteran di pedalaman Afrika, khususnya di
Lambarene, Togo.
Karena suatu penyakit pada usia empat tahun, membuat Satre menderita
strabismus “mata juling”. Hal tersebut yang menyebabkan Sartre kecil
kerap mendapati olok-olok teman seusianya dan menjadikannya pribadi
yang “minder” serta “menyendiri”. Semasa kecil, Sartre tumbuh sebagai
pribadi yang terasing dan terkucil, ia sering menghabiskan waktunya
dengan berkhayal dan melamun. Namun , ia menemukan kesenangannya
pada perpustakaan pribadi kakeknya, Charles Swhweitzer yang dipenuhi
2
ratusan buku yang ditumpuk tak teratur. Melalui kakeknya pula Sartre
berkenalan dengan dunia “membaca” dan “menulis”. Melalui membaca,
imajinasi dan khayal Sartre pun berkembang sedemikian kaya dan dahsyat,
melalui menulis ia merasa memiliki “kuasa penuh” untuk menciptakan
dunia sebagaimana yang diinginkannya.
Tahun 1924, Sartre berhasil mencatat dirinya sebagai salah satu mahasiswa
Ecole Normale Superieure, sebuah perguruan Tinggi paling terkemuka dan
bergengsi di Prancis. Saat penundaannya di agregation kedua, Sartre
bertemu dengan mahasiswi filsafat yang cantik, pandai dan baik, Simone
de Bauvoir. Sejak saat itu mereka tidak terpisahkan. Mereka jatuh cinta dan
bersahabat hingga meninggal, tapi tak pernah menikah. Simone de
Bauvoir pada gilirannya dikenal sebagai tokoh terpenting dalam mahzab
pemikiran feminis berhaluan eksistensialisme (feminisme eksistensialisme).
Pada tanggal 15 April 1980, seantero dunia berduka, Jean Paul Sartre, filsuf
besar abad 20, seorang pemikir, penulis, dramawan, humanis dan aktivis
politik terkenal, meninggal dunia pada usia 75 tahun. Dan Satre menjadi
“is” sebagaimana konsep yang diuraikannya dalam eksistensialisme
mengenai maut...
Karya-karya Sastra
La Nausee – Rasa Muak (1938)
L’Age de Raison – Abad Pemikiran (1945)
Les Chemins de la Liberte – Jalan-jalan Kebebaan (1944, 1945, 1946)
Les Mots – Kata-kata (1963)
Karya-karya Drama
Les Mouches – lalat-lalat (1943)
Huis Clos – Pintu tertutup (1945)
Morts Sans sepulture – Orang Mati tanpa Terkubur (1946)
La Putain Respectueuse – Pelacur Terhormat (1946)
Les Mains Sales – Tangan Kotor (1948)
Le Diable et le Bon Dieu – Setan dan Allah yang Baik (1951)
Les Sequestres d’ Altona – Tahanan-tahanan dari Altona (1960)
Karya-karya Kecil
L’Imagination – Imaginasi (1936)
Esquisse d’une Theorie des Emotions – Garis Besar Teori-teori
tentang Emosi (1939)
L’ Imaginare – yag terimaginer (1940)
Baudelaire (1947)
Saint Genet : Comedian et Martyr – Santo Genet : Komedian dan
Martir (1952)
L’Idiot de la Famille – Si Idiot dalam Keluarga (1971)
5
Namun demikian, kasih sayang yang agak berlebihan diterima Sartre kecil
tidak menghindarkannya dari karakter negatif kepribadian. Sartre kecil
berubah sosok menjadi sosok yang “haus” akan pujian, sanjungan dan
bahkan dia tak segan-segan berakting baik untuk mendapatkannya pujian
atau sanjungan orang lain. Terlihat dari kata-kata yang terungkap pada
salah satu karyanya berjudul Les Mots – kata-kata. Faktual, hal tersebut
diperparah dengan kondisi Sartre yang berkecukupan (borjuis) yang
kurang mengajarinya berempati terhadap lingkungan sosial sekitar. Sartre
memiliki super ego yang kurang begitu baik.
Sartre kecil juga merupakan anak yang suka mengkhayal dan berimajinasi.
Kebiasaan tersebut makin parah berkembang setelah mendapatkan
penolakan dari teman-temannya, karena bermata juling. Merasa
diasingkan oleh teman-temannya. Keterasingan ini pula yang mendorong
Sartre kecil senang menghabiskan waktunya di perpustakaan pribadi sang
kakek....
Semenjak larut dalam membaca dan menulis, pribadi Sartre sebagai anak
penyendiri makin menjadi. Melalui menulis, ia memiliki “kuasa penuh”
untuk menciptakan dunianya.
Dalam Being and Nothingness, realita yang terjadi saat itu yakni perang
10
Menurut Sartre, setiap manusia selalu hendak menjadi etre en soi dan etre
pour soi sekaligus. Dengan kata lain, manusia selalu ingin “sempurna”
sekaligus “kesadaran”. Ditambahkannya sempurna dan kesadaran
merupakan sifat Tuhan semata sehingga mustahil bagi manusia untuk
mencapainya. Sartre dengan tragis mengungkapkan akan keberadaan
manusia dan kehidupannya di dunia adalah Man is useless passion!
“manusia adalah hasrat kesia-siaan”.
bentuk yang lebih mengesankan sebagai oposisi biner yang tak mungkin
terintegrasi satu sama lainnya, yaitu filsafat eksistensialisme bercorak
“theistik atau agamais” dan filsafat eksistensialisme yang bercorak
“atheistik atau anti agamis (anti Tuhan)”.
Soren Kierkegaard didaulat sebagai pelopor filsafat eksistensialisme
bercorak theistik, sedangkan Nietzshe dikukuhkan sebagai perintis mahzab
eksistensialisme atheisteik. Meskipun perbedaan mendasar ditemukan di
keduanya, namun terdapat beberapa tema yang menyatukan mereka
dalam arus pemikiran eksistensialisme, yaitu subyektivitas, eksistensi,
individualitas, gairah, kebebasan, pilihan dan tanggung jawab.
Kierkegaard adalah filsuf asal Denmark yang hidup abad ke-19 yang
dibesarkan dalam iklim keluarga kristiani yang religius, hal tersebut
pulalah yang menyebabkan ia menjadi seorang melankolis yang terjangkiti
rasa bersalah dan kemurungan religius.
Menurut Kierkegaard, manusia berada dalam keterasingan mutlak seperti
keterbuangan Sartre. Kierkegaard menegaskan “ketika kita berpaling dari
Allah, justru kita berpaling dari kebebasan kita sendiri”. Dengan
mengungkapakan “individualisme” dan “keterasingan” sebagai “kepastian
pilihan”. Sartre dan Kierkegaard menolak filsafat “dialektika” Hegel.
mengenai suatu hal, sifat dasar, fungsi atau program atas sesuatu. Dalam
hal ini dapat dirumuskan bahwa segala sesuatu yang berkesistensi pastilah
beresensi, namun segala sesuatu yang beresensi belum tentu
bereksistensi.
Other is Hell
Orang lain adalah neraka. Merupakan ide yang ditawarkan eksistensialisme
Sartre. Bagi Sartre penajisan orang lain sebagai neraka dikarenakan
16
eksistensinya yang selalu mengobjekan diri kita. Hal tersebut dapat terjadi
mengingat aspek kesadaran etre pour soi yang dimiliki oleh individu lain
layaknya diri kita sehingga tak khayal berpotensi membentuk penilaian
ataupun menstruktur eksistensi kita.
Other is hell memunculkan anggapan eksistensialisme sebagai filsafat
antisosial, individualis maupun borjuis.
Faktisitas
Faktisitas merupakan pemikiran Satre dalam eksistensialisme atas fakta-
fakta yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia.fakta tidak bisa
ditiadakan, namun mampu sedemikian rupa dilupakan, diolah atau
dimanipulasi. Faktisitas pada akhirnya menempatkan dalam konsep Sartre
tentang psikoanalisi eksistensial, yakni metode terapi psikologis guna
menemukan proyeksi diri.
Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru
tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada
pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia
akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan
kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.
Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan
21
Penutup
Setelah sedikit mengenal filsafat eksistensialisme serta implikasinya
terhadap pendidikan, dapat dikemukakan sedikit refleksi sebagai berikut.
Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya,
demikian pula dengan eksistensialisme. Eeksistensialisme
mengedepankan otonomi manusia dalam berhadapan dengan
perkembangan sains dan teknologi. Secara epsitemologis, ada hal yang
menarik dari eksistensialisme, bahwa manusia hendaknya menjadi manusia
yang autentik, yang jujur dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya
secara bertanggung jawab dengan rasionalitas dan perasaannya, tidak
mencari justifikasi dan legitimasi dari sesuatu yang seakan-akan berada di
luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah kehendak diri yang dibalut norma
sosial atau norma agama.
Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan.
Pendidikan yang kembali kepada otonomi manusia atas alam, otonomi
atas kehidupan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan, maka tidak boleh
direduksi menjadi sekrup dalam mesin ilmu pengetahuan dan teknologi.
Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak
semestinya membelenggu manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk
yang bebas dan kreatif, maka pendidikan harus pula menjadi wahana
pembebasan dan kreativitas manusia. Dengan kata lain, pendidikan yang
diilhami oleh eksistensialisme adalah pendidikan yang membumi, yang
berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi
manusia. Hal ini ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi
24
DAFTAR PUSTAKA
Fasli Jalal & Dedi Supriadi. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta; Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya
Nusa