Anda di halaman 1dari 25

1

Biografi dan Pemikiran Sartre

Sekilas Perjalanan Hidup Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre


Lahir di Paris, Prancis, 21 Juni 1905

Ibunya bernama Anne-Marie Schweitzer,


puteri dari Charles Schweitzer, seorang guru
bahasa dan satra Jerman serta penulis buku-
buku pelajaran yang sukses di Alsace. Ibu
Sartre merupakan sepupu dari Albert
Schweitzer yakni seorang teolog, misionaris
dan ahli musik kenamaan asal Jerman.

Jean Baptiste, ayah Sartre, merupakan seorang perwira Angkatan laut yang
meninggal dalam usia tiga puluh tahun dan menjadikan Sarte yatim pada
umur dua tahun. Ayah Jean Baptiste adalah seorang dokter yang tersohor
di Prancis sebagai pelopor kedokteran di pedalaman Afrika, khususnya di
Lambarene, Togo.

Karena suatu penyakit pada usia empat tahun, membuat Satre menderita
strabismus “mata juling”. Hal tersebut yang menyebabkan Sartre kecil
kerap mendapati olok-olok teman seusianya dan menjadikannya pribadi
yang “minder” serta “menyendiri”. Semasa kecil, Sartre tumbuh sebagai
pribadi yang terasing dan terkucil, ia sering menghabiskan waktunya
dengan berkhayal dan melamun. Namun , ia menemukan kesenangannya
pada perpustakaan pribadi kakeknya, Charles Swhweitzer yang dipenuhi
2

ratusan buku yang ditumpuk tak teratur. Melalui kakeknya pula Sartre
berkenalan dengan dunia “membaca” dan “menulis”. Melalui membaca,
imajinasi dan khayal Sartre pun berkembang sedemikian kaya dan dahsyat,
melalui menulis ia merasa memiliki “kuasa penuh” untuk menciptakan
dunia sebagaimana yang diinginkannya.

Sartre belajar dirumah hingga usianya mencapai 10 tahun. Pada saat


Sartre berusia 12 tahun ibunya menikah lagi, Satre merasakan pernikahan
tersebut sebagai bentuk “kehilangan” dan “pengkhianatan”. Segera
setelahnya Sartre mendiktumkan bahwa “Allah tidaklah ada”, ia secara
terbuka menentang pandangan kakek dan ayah tirinya, sebagai bentuk
“balas dendam”.

Tahun 1924, Sartre berhasil mencatat dirinya sebagai salah satu mahasiswa
Ecole Normale Superieure, sebuah perguruan Tinggi paling terkemuka dan
bergengsi di Prancis. Saat penundaannya di agregation kedua, Sartre
bertemu dengan mahasiswi filsafat yang cantik, pandai dan baik, Simone
de Bauvoir. Sejak saat itu mereka tidak terpisahkan. Mereka jatuh cinta dan
bersahabat hingga meninggal, tapi tak pernah menikah. Simone de
Bauvoir pada gilirannya dikenal sebagai tokoh terpenting dalam mahzab
pemikiran feminis berhaluan eksistensialisme (feminisme eksistensialisme).

Ketika Perang Dunia II (1939-1942) meletus, Sartre bergabung menjadi


tentara dibagian meteorologi yang bertugas meluncurkan balon udara
guna menguji arah angin. Di usianya ke 35 tahun (21 Juni 1940), Sartre
ditawan tentara Nazi-Jerman. Tahun 1941, Sartre berhasil melarikan diri
dan secara diam-diam pulang ke paris.
Semasa menjadi tawanan perang tentara Jerman, Sartre menulis
mahakarya filsafat yang berjudul Being dan Nothingness (Prancis : L’etre et
le Neant) “Ada dan Ketiadaan” yang terbit pada tahun 1943. Masa
3

berkecambuk Perang Dunia II merupakan periode produktif bagi Sartre.


Karya lain dari Sartre masa itu adalah The Psychology of Imagination
(L’Imangination) dan Transcendence of the Ego (La Transcendance de
l’Ego) serta tiga buah novel besar berjudul Nausea (La Nausee), The Age of
Reason (L’Age de Raison) dan Road to Freedom (Les Chemins de la
Liberte).

Di tengah-tengah kepopuleran Sartre atas eksistensialisme, berbagai


diskusi dengan Maurice Merleau-Ponty (tokoh marxis Prancis) begitu
mempengaruhinya, sampai pada akhirnya Sartre pun meninggalkan
eksistensialisme dan beralih ke haluan “sayap kiri”, menyatakan diri
Critique de la Raison Dialetictique (Critique of Diaclectical Reason).

Pada tanggal 15 April 1980, seantero dunia berduka, Jean Paul Sartre, filsuf
besar abad 20, seorang pemikir, penulis, dramawan, humanis dan aktivis
politik terkenal, meninggal dunia pada usia 75 tahun. Dan Satre menjadi
“is” sebagaimana konsep yang diuraikannya dalam eksistensialisme
mengenai maut...

Karya-karya Jean Paul Sartre


Sartre diakui sebagai pemikir yang begitu prouktif selama hidupnya.
Karya-karya sartre mencangkup berbagai eksemplar dalam bidang filsafat,
sastra, naskah-naskah drama dan lain sebagainya. Berikut adalah karya-
karya Jean Paul Sartre :
Karya-karya Filsafat
 La Transcedance de l’Ego – Transedansi Ego (1936)
 L’Etre et le Neant – Ada dan Ketiadaan (1943)
 L’Existentialisme est un Humanisme – Eksistensialisme adalah
Humanisme (1946)
4

 Question de Methode – Persoalan-persoalan Metode (1957)


 Critique de la Raison Dialectique – Kritik atas Rasio Dialektis (1960)

Karya-karya Sastra
 La Nausee – Rasa Muak (1938)
 L’Age de Raison – Abad Pemikiran (1945)
 Les Chemins de la Liberte – Jalan-jalan Kebebaan (1944, 1945, 1946)
 Les Mots – Kata-kata (1963)

Karya-karya Drama
 Les Mouches – lalat-lalat (1943)
 Huis Clos – Pintu tertutup (1945)
 Morts Sans sepulture – Orang Mati tanpa Terkubur (1946)
 La Putain Respectueuse – Pelacur Terhormat (1946)
 Les Mains Sales – Tangan Kotor (1948)
 Le Diable et le Bon Dieu – Setan dan Allah yang Baik (1951)
 Les Sequestres d’ Altona – Tahanan-tahanan dari Altona (1960)

Karya-karya Kecil
 L’Imagination – Imaginasi (1936)
 Esquisse d’une Theorie des Emotions – Garis Besar Teori-teori
tentang Emosi (1939)
 L’ Imaginare – yag terimaginer (1940)
 Baudelaire (1947)
 Saint Genet : Comedian et Martyr – Santo Genet : Komedian dan
Martir (1952)
 L’Idiot de la Famille – Si Idiot dalam Keluarga (1971)
5

Latar belakang Kelahiran Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Konsep “Manusia-Sentris” dari masa ke masa :


Telaah Pemikiran Filsafat dari Klasik hingga Postmodern

Manusia adalah dinamika


Atau dengan kata lain dinamika merupakan realitas dalam manusia.
Mengindikasikan bahwa manusia merupakan manusia yang tak pernah
stagnan atau berhenti dan selalu dalam keaktifan.

Pengkajian berbagai filsuf mengenai manusia, pada periode filsafat klasik


ditemui Epicurus yang memiliki pandangan bertolak belakang dengan
Plato, “manusia adalah mahluk sosial”. Epicurus menegaskan “manusia
adalah mahluk individu”, ia sepenuhnya bebas dan tujuan utamanya di
dunia adalah mencari kesenangan berikut keniukmatan yang sebesar-
besarnya. “kebebasan” manusia yang didewakan Epicurus berbenturan
pula dengan Zeno, filsuf dengan konsepsi manusia merupakan “skenario”
Tuhan.
Pemikiran Zeno diadopsi juga oleh beberapa filsuf skolatis diabad
pertengahan seperti Agustinus dan Thomas Aquinas.

Eropa, abad 15-18, renaissance “pencerahan” yang mendewakan


kebebasan berpikir dan melakukan penolakan keras atas doktrinkanonisasi
lembaga gereja. Ditokohi oleh Niccolo, Machiavelli, Giordano Bruno dan
Thomas Hobbes.
Hobbes dalam Leviathan nya mengatakan bahwa manusia adalah mahluk
hewani yang berperilaku layaknya “hewan”. Melalui penyataannya, Hobbes
dikukuhkan sebagai “Bapak Matrerialisme Modern”. Hal ini menandai
dimulainya era Filsafat Modern.
Nietzsche yang condong pada pragmatis Machiavelli menghasilkan
6

konsep will to power “kehendak akan kuasa” sebagai bentuk skeptis


interaksi antar manusia yang dinilai syaat dengan muatan kepentingan.
Nietzsche menggunakan istilah “pembalikan nilai dan norma”. Nietzsche
menguraikannya dalam The Birth of Tragedy yang berkesimpulan Thus
Spoke of Zarathustra “Allah telah mati”.
Kemiripan antara pola pikir Machiavelli dan Nietzsche adalah keduanya
menyakini berbagai motif dan kepentingan tersembunyi dengan
menjadikan pihak lain sebagai objek atau benda. Machiavelli menjadi
pendobrak di ambang modernitas dan pelopor pragmatis, pola pikir
pragmatis.
Filsuf anti pencerahan abad 19 yang mendiktum “kematian Allah” ditandai
di abad 17-18 adanya pergeseran pola pikir “teosentris” ke
“antroposentris” dimana manusia menjadi pusat permasalahan dan
pembicaraan.
Ecce Homo nya Nietzsche adalah
Mengapa AKU demikian bijak,
Mengapa AKU demikian pintar
Mengapa AKU menulis buku-buku yang begitu bagus.....

Filsuf-filsuf lain yang menganut dan mendukung paham “manusia sentris”


pada masa sebelum Sartre diantaranya Max Weber dengan Verstehen-nya,
Berger melalui konsep “objektivasi”, Mead melalui dialektika
interaksionisme simbolik-nya, Jacques Derrida yang memperkenalkan
metode “dekontruksi”. Pemikiran tokoh-tokoh tersebutlah yang
menegaskan eksistensi manusia sebagai entitas sui generic “apa adanya”,
bebas berikut penempatkannya sebagai satu-satunya yang “riil” atau
“fakta” yang dapat diselidiki. Sartre lah yang meradikalkan pemahaman
eksistensialisme tersebut tepatnya di era pra-filsafat postmodern. Sartre
mengusung konsep atau pemikiran atas manusia hingga ke batasnya. Ia
menekankan manusia sebagai mahluk yang bebas sebebas-bebasnya. Hal
7

tersebut yang kemudian menyebabkan eksistensialisme Sartre didaulat


sebagai puncak pemikiran Barat atas semangat individualisme, kebebasan
dan semangat anti-Tuhan.

Konteks sosial-internal dan sosial-eksternal kelahiran filsafat


Eksistensialisme Jean Paul Sartre.

Dalam pengkajian latar belakang kelahiran filsafat eksistensialisme Sartre,


konteks sosial-internal dan sosial-eksternal dari Sartre sangatlah
mempengaruhi. Konteks sosial-internal yang dimaksud ini adalah sebuah
bentuk analisa atas dinamika dan perjalanan hidup Sartre dari masa ke
masa, secara “pribadi”, sebagai individu “entitas individu” yang mana
didalamnya mencangkup berbagai peristiwa atau kejadian penting dalam
hidupnya serta diuraikan sebab musababnya sejauh mana hal tersebut
berpengaruh secara psikologis membentuk kepribadian hingga menelisik
berbagai kemungkinan pertautannya dengan pemikiran-pemikiran yang
dicetuskannya sebagai intelektual kenamaan abad 20.

Konteks sosial-internal kelahiran filsafat Eksistensi Jean Paul Sartre


Sebagaimana telah diuraikan singkat tentang perjalanan hidup Jean Paul
Sartre di atas, kematian muda ayahnya, Jean Baptiste, menyebabkan ibu
Sartre, Anne Marie, mencurahkan perhatian dan kasih sayang yang begitu
besar pada Sartre. Selain ibunya, Sang kakek pun, Charles Schweitzer kerap
memanggil Sartre dengan sebutan “anak emasku”, “anak ajaibku” atau
“mungilku”. Dengan kata lain Srtre adalah bocah yang benar-benar
merasakan kepenuhan kasih sayang keluarganya. Secara ekplisit terlihat
betapa dirinya penuh rasa cinta dan kasih sayang orang-orang
sekelilingnya sehingga Sartre pun merasa haknya telah terpenuhi, bahkan
merasa seakan tak memiliki kewajiban yang membebani.
8

Namun demikian, kasih sayang yang agak berlebihan diterima Sartre kecil
tidak menghindarkannya dari karakter negatif kepribadian. Sartre kecil
berubah sosok menjadi sosok yang “haus” akan pujian, sanjungan dan
bahkan dia tak segan-segan berakting baik untuk mendapatkannya pujian
atau sanjungan orang lain. Terlihat dari kata-kata yang terungkap pada
salah satu karyanya berjudul Les Mots – kata-kata. Faktual, hal tersebut
diperparah dengan kondisi Sartre yang berkecukupan (borjuis) yang
kurang mengajarinya berempati terhadap lingkungan sosial sekitar. Sartre
memiliki super ego yang kurang begitu baik.

Sartre kecil juga merupakan anak yang suka mengkhayal dan berimajinasi.
Kebiasaan tersebut makin parah berkembang setelah mendapatkan
penolakan dari teman-temannya, karena bermata juling. Merasa
diasingkan oleh teman-temannya. Keterasingan ini pula yang mendorong
Sartre kecil senang menghabiskan waktunya di perpustakaan pribadi sang
kakek....
Semenjak larut dalam membaca dan menulis, pribadi Sartre sebagai anak
penyendiri makin menjadi. Melalui menulis, ia memiliki “kuasa penuh”
untuk menciptakan dunianya.

Beberapa hal tersebut kiranya yang menjadi latar belakang pemikiran


dalam filsafat eksistensialisme Sartre dilihat dari konteks sosial-
internalnya.

Konteks sosial-eksternal kelahiran filsafat eksistensialisme Jean Paul


Sartre.
Pada konteks sosial-eksternal ini penekanan pada kondisi diluar pribadi
Sartre atau diluar entitasnya sebagai individu.
Sebagaimana diketahui bahwa pada masa-masa Perang Dunia II
9

merupakan periode produktif bagi Sartre. Being and Nothingness,


The Psychology of Imagination (L’Imangination) dan Transcendence of the
Ego (La Transcendance de l’Ego) adalah karya filsafat Sartre serta tiga buah
novel besar berjudul Nausea (La Nausee), The Age of Reason (L’Age de
Raison) dan Road to Freedom (Les Chemins de la Liberte).
Dalam karya Sartre tersebut ditemui bahwa Perang Dunia II dan berbagai
peristiwa di dalamnya begitu kental mempengaruhi karya-karyanya.
Dengan kata lain, bagaimana peristiwa Perang Dunia II yang dialami jutaan
bahkan puluhan jta penduduk Eropa dan Prancis terutama, terinderakan
dan terasakan secara bersamaan kolektif dan objektif, memiliki tempat
sendiri dalam pandangan dan pemikiran Sartre di filsafat
eksistensialismenya.

Terkait hal tersebut, Sartre menegaskan manusia memiliki “pilihan bebas”


atau kebebasan yang begitu besar. Setiap manusia tak harus menyaksikan
perang ini (PD II), setiap manusia memiliki kebebasan untuk menolak
peperangan tersebut dengan mengakhiri hidupnya sendiri (bunuh diri). Itu
yang diungkapkannya dalam Being and Nothingness. Masih dalam karya
yang sama disebutkan realitas sebagaimana adanya tidaklah berarti apa-
apa, manusialah sepenuhnya yang menentukan atau memaknai hal
tersebut. “Manusia sendirilah yang menciptakan situasi dan kondisi
dunianya”, tegasnya. “There is no non-human situation”, perang adalah
situasi dan kondisi yang manusiawi.
Sartre pun mengungkapkan, setiap manusi memang selalu dihadapkan
pada pilihan, namun berbagai pilihan tersebut tidaklah mengkungkung
dan membatasinya, selalu tersedia pilihan moderat hingga radikal. Kata
yang sesuai digunakan adalah “Menciptakan”, bukan memilih, karena
menurut Sartre memilih memiliki keterbatasan atau batasan pilihan.

Dalam Being and Nothingness, realita yang terjadi saat itu yakni perang
10

dan berbagai kekejaman serta penderitaan yang terjadi di dalamnya


merupakan entitas yang etre en soi atau being in itself, berada dalam
dirinya sendiri. Sedangkan berbgai pihakyang menciptakan maupun
menanggung perang (tentara maupun korban) tersebut merupakan entitas
etre pour soi atau being for itself, berada bagi dirinya sendiri.

Etre en soi merupakan realitas sebagaimana adanya, ia sempurna sebagai


hal atau realitas, namun etre en soi tidaklah memiliki kesadaran karena
diciptakan, disebabkan atau ditanggapi oleh pihak lain, pihak lain bebas
mengkonstruksi dan memaknainya. Di sisi lain, mereka yang menciptakan
atau menanggung merupakan etre pour soi tidaklah sempurna dan
memiliki kekosongan.
Semisal tampak melalui kehendak pasukan Nazi yang selalu menginginkan
ekspansi lebih dari apa yang telah mereka capai atau dapatkan, sedangkan
bagi korban perang, mereka mengalami kekosongan hidup dan pastilah
menginginkan situasi dan kondisi hidup yang lebih baik ketimbang saat-
saat perang terjadi.

Menurut Sartre, setiap manusia selalu hendak menjadi etre en soi dan etre
pour soi sekaligus. Dengan kata lain, manusia selalu ingin “sempurna”
sekaligus “kesadaran”. Ditambahkannya sempurna dan kesadaran
merupakan sifat Tuhan semata sehingga mustahil bagi manusia untuk
mencapainya. Sartre dengan tragis mengungkapkan akan keberadaan
manusia dan kehidupannya di dunia adalah Man is useless passion!
“manusia adalah hasrat kesia-siaan”.

Filsafat Eksistensialisme “Theistik” atas manusia dan kehidupannya :


Soren Aabey Kierkegaard.
Faktualnya filsafat eksistensialisme tersegresi ke dalam dua corak atau
11

bentuk yang lebih mengesankan sebagai oposisi biner yang tak mungkin
terintegrasi satu sama lainnya, yaitu filsafat eksistensialisme bercorak
“theistik atau agamais” dan filsafat eksistensialisme yang bercorak
“atheistik atau anti agamis (anti Tuhan)”.
Soren Kierkegaard didaulat sebagai pelopor filsafat eksistensialisme
bercorak theistik, sedangkan Nietzshe dikukuhkan sebagai perintis mahzab
eksistensialisme atheisteik. Meskipun perbedaan mendasar ditemukan di
keduanya, namun terdapat beberapa tema yang menyatukan mereka
dalam arus pemikiran eksistensialisme, yaitu subyektivitas, eksistensi,
individualitas, gairah, kebebasan, pilihan dan tanggung jawab.

Kierkegaard adalah filsuf asal Denmark yang hidup abad ke-19 yang
dibesarkan dalam iklim keluarga kristiani yang religius, hal tersebut
pulalah yang menyebabkan ia menjadi seorang melankolis yang terjangkiti
rasa bersalah dan kemurungan religius.
Menurut Kierkegaard, manusia berada dalam keterasingan mutlak seperti
keterbuangan Sartre. Kierkegaard menegaskan “ketika kita berpaling dari
Allah, justru kita berpaling dari kebebasan kita sendiri”. Dengan
mengungkapakan “individualisme” dan “keterasingan” sebagai “kepastian
pilihan”. Sartre dan Kierkegaard menolak filsafat “dialektika” Hegel.

Eksistensialisme atheistik melihat berbagai keterasingan, keterkucilan,


ketakutan serta kecemasan manusia dalam kehidupan manusia
disebabkan oleh eksistensi otonomnya manusia, sedangkan
eksistensialisme theistik yang menganggap semua itu berasal dari Tuhan.

Epistemologi Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre


“...kesadaran adalah pusar kemungkinan.”
12

Epistemologi yang digunakan dalam eksistensialisme Sartre adalah


epistemologi sebagai “metode dalam merumuskan eksistensialisme” dan
epistemologi sebagai “kerangka berpikir dalam eksistensialisme”. Maksud
epistemologi sebagai kerangka berpikir adalah berbagai kerangka
konseptual yang membangun dan menyusun filsafat eksistensialisme
Sartre. Epistemologi sebagai kerangka berpikir eksistensialisme Sartre
merupakan kelanjutan dari metode awal dalam eksistensialisme yang telah
mengalami perombakan dan pengemasan oleh Jean Paul Sartre.

Fenomologi sebagai Epistemologi Filsafat Eksistensialisme Jean Paul


Sartre.
Fenomologi merupakan metode atau teknik dalam filsafat eksistensialisme
Sartre. Tak dapat dipungkiri bahwa fenomologi menempatkan kedudukan
penting bahkan sentra dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre.
Sartre mengakui betapa besar pengaruh fenomologi Edmund Husserl
dalam pemikirannya “Fenomologi Husserl dengan gemilang membuka
jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak
dari titik nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesis-hipotesis dan tanpa
teori prafenomologis”. Sartre menekankan pertama, perlunya
menempatkan kesadaran sebagai dasar penyelidikan filsafat dan kedua,
perlunya filsafat untuk kembali pada realitasnya sendiri.

Pemikiran Sartre mengenai fenomologi realistik merupakan sebagai upaya


guna memecahkan persoalan hubungan antara “ada subyektif” dengan
“ada objektif” atau keberadaan individu dengan berbagai hal konkret di
sekitarnya. Sartre tiba pada saat suatu konklusi penting dan mendasar
yang mensyaratkan bahwa “segala sesuatu barulah dapat dimaknai ketika
segala sesuatu tersebut ada (eksis) terlebih dahulu”. Melalui konklusi
13

tersebut ia merumuskan dalil yang mana menjadi landas dasar filsafat


eksistensialismenya yang berbunyi “eksistensi mendahului esensinya”
(Jean Paul Sartre, 2002 : 44-45).

Dalil Eksistensialisme sebagai Epistemologi


Telah disebutkan di atas bahwa fenomenalogi realistik Sartre bermuara
pada suatu dalil yang berbunyi “eksistensi mendahului esensi” dimana
segala hal baru dapat dimaknai ketika semua hal tersebut eksis atau ada
terlebih dahulu. Eksistensi yang dimaksud Sartre, memenuhi syarat
dimensi ruang dan waktu. Apa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang
bereksistensi pastilah nyata. Mimpi bukanlah suatu eksistensi.
Perbedaan mendasar antara Sartre dan pandangan filsafat secara umum
mengenai eksistensi adalah aspek emosional yang terkandung di
dalamnya. Apabila pandangan filsafat secara umum tidak mengakui
keberadaan emosi sebagai salah satu elemen dalam eksistensi, tidak
demikian halnya dengan Sartre. Menurut Sartre, seseorang yang
mengepalkan tangan pada orang lain pastilah dengan kondisi emosional,
suatu tangan yang mengepal tak mungkin tanpa sebab dan maksud
begitu saja.
Dalam eksistensialisme Sartre dikatakan bahwa ketika seseorang merasa
malu, terasing, gelisah dan muak, maka ia telah menjadi seorang
eksistensialisme. Berbagai kondisi emosional tersebut menurut Sartre
menunjukan keutuhan manusia dalam berbagai aspeknya “materialisme”
dan “idealisme”.
Bagi sartre eksistensi atau berada haruslah konkret, “berada tidak dapat
dipikirkan, berada hanya dapat dialami”. Sebaliknya esensi merupakan hal
yang abstrak. Dalam ranah filsafat esensi merupakan “hakekat”, dengan
kata lain esensi merupakan inti pemikiran yang bersifat abstrak dan hanya
dapat ditemui dalam alam idea. Sebagai misal surga dan neraka.
Lebih jauh, esensi disebut pula sebagai definisi akan suatu hal, ide
14

mengenai suatu hal, sifat dasar, fungsi atau program atas sesuatu. Dalam
hal ini dapat dirumuskan bahwa segala sesuatu yang berkesistensi pastilah
beresensi, namun segala sesuatu yang beresensi belum tentu
bereksistensi.

Kerangka Konseptual Eksistensialisme Jean Paul Sartre sebagai


Epistemologi
Kebebasan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalil eksistensialisme Sartre adalah
“eksistensi mendahului esensi”. Bagi Sartre hal tersebut mengimplikasikan
“ketiadaan Tuhan”. Karena Tuhan tidak ada, maka bagi manusia
keberadaannya ada keberadan bebas yang sebebas-bebasnya di dunia ini.
Terkait dengan ini Sartre mengatakan “Je suis condamned a etre libre!”
(Aku dikutuk untuk bebas!”) dan bagi Sartre segalanya-hidup tanpa
patokan norma dan nilai berikut tujuan yang jelas-adalah perihal yang
nausea “memuakan”.

Pilihan Bebas dan Absurditas


Ketiadaan Tuhan bagi Sartre berimplikasi pada kebebasan manusia
menentukan pilihan hidup. Yang menjadi perhatian lebih adalah
absurditas yang muncul melalui ketidakmampuan manusia menyusun
tujuan hidupnya sendiri yang menghantarkan pada “kematian” (bunuh diri)
sebagai salah satu pilihan bebas hidup yang dianggap tidak tabu dalam
eksistensialisme.

Etre En Soi & Etre Pour Soi


Ontologi radikal Satre yang membagi segala hal menjadi etre en soi
berada dalam dirinya dan etre pour soi berada bagi dirinya. Menurut
Sartre, etre en soi adalah segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, tak
mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberdaannya
15

ditentukan sepenuhnya oleh eksistensi lain. Kelebihan etre en soi adalah ia


sempurna, tidak memiliki celah untuk dikritisi, ia tidak memiliki
kekosongan yang memunculkan keinginan-keinginan.
Etre pour soi adalah segala sesuatu yang memiliki kesadaran , dalam hal
ini manusia itu sendiri. Dengan kesadaran tersebut, manusia dapat
menyusun tujuan hidupnya, memaknai diri sendiri sesuai kehendaknya,
bahkan memaknai pihak lain. Kekurangan etre pour soi adalah celah yang
dimilikinya berikut keinginan-keinginan yang menandakan keajegannya
kekosongan.

Kesadaran Reflektif & Nonreflektif


Sebelumnya diketahui bahwa eksistensialisme Sartre membicarakan
tentang kesadaran. Kesadaran dalam eksistensialisme Sartreterbagi dalam
dua bentuk yaitu kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif.
Kesadaran reflektif adalah kesadaran akan eksistensi dan kehadiran diri,
sedangkan kesadaran nonreflektif adalah kesadaran akan eksistensi
berikut kehadiran individu atau objek lain.

Otentitas & Mauvaise Foi


Menurut Sartre hanya terdapat dua pilihan bagi manusia, yakni hidup
secara otentik atau hidup dengan keyakinan buruk. Hidup secara otentik
bilamana manusia menyakini sepenuhnya bahwa dirinya benar-benar
bebas, tidak terikat oleh aturan Tuhan dan berbagai hukum yang ada.
Sebaliknya mereka yang hidup dengan mauvaise foi keyakinan buruk,
merasa terikat oleh atuan Tuhan dan berbagai hukum yang ada, termasuk
di dalamnya bentuk-bentuk streotipe dan pelabelan tertentu.

Other is Hell
Orang lain adalah neraka. Merupakan ide yang ditawarkan eksistensialisme
Sartre. Bagi Sartre penajisan orang lain sebagai neraka dikarenakan
16

eksistensinya yang selalu mengobjekan diri kita. Hal tersebut dapat terjadi
mengingat aspek kesadaran etre pour soi yang dimiliki oleh individu lain
layaknya diri kita sehingga tak khayal berpotensi membentuk penilaian
ataupun menstruktur eksistensi kita.
Other is hell memunculkan anggapan eksistensialisme sebagai filsafat
antisosial, individualis maupun borjuis.

Faktisitas
Faktisitas merupakan pemikiran Satre dalam eksistensialisme atas fakta-
fakta yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia.fakta tidak bisa
ditiadakan, namun mampu sedemikian rupa dilupakan, diolah atau
dimanipulasi. Faktisitas pada akhirnya menempatkan dalam konsep Sartre
tentang psikoanalisi eksistensial, yakni metode terapi psikologis guna
menemukan proyeksi diri.

Eksistensialisme adalah Humanis


Sebenarnya ada banyak pengertian humanisme, karena cakupannya
sangat luas. Secara historis dikenal juga humanisme dalam ajaran agama,
artinya agama-agama tersebut bersifat humanistik. Tetapi, sebagai
gerakan yang tumbuh subur di Barat, humanisme dipahami secara
berbeda-beda oleh kelompok tertentu.

Humanisme adalah kategori luas dari filsafat etika yang mengakui


martabat dan harga diri semua orang, didasarkan pada kemampuannya
untuk memutuskan baik dan buruk dengan mengacu pada nilai-nilai
kemanusiaan universal – khususnya rasionalitas. Humanisme dipandang
juga sebagai variasi sistem pemikiran filsafat yang lebih spesifik dan tidak
menjadi bagian dari aliran pemikiran agama tertentu. Humanisme memiliki
komitmen untuk mencari kebenaran dan moralitas melalui cara-cara
manusia untuk mendukung kepentingan manusia itu sendiri. Dengan
17

memfokuskan pada determinasi diri sendiri, humanisme menolak validitas


dari justifikasi transendental seperti ketergantungan pada keyakinan tanpa
nalar, pada yang supranatural, atau teks kewahyuan. Orang-orang humanis
mengakui moralitas universal berdasar pada kekinian kondisi manusia,
mengajukan pemikiran bahwa solusi untuk mengatasi masalah sosio-
budaya tidak dapat diselesaikan secara tersekat-sekat.
Beberapa kaum humanis tidak sependapat, termasuk the International
Humanist and Ethical Union yang menolak penambahan kata sifat apapun
terhadap kata “humanis”, karena berpandangan kata “humanis” bersifat
universal. Tetapi, ada pula yang menggolongkannya menjadi dua tipe
utama, yaitu humanisme sekular dan humanisme religius.

Humanisme sekular adalah cabang dari humanisme yang menolak


keyakinan agama dan kepercayaan kepada eksistensi dunia supranatural.
Humanisme sering diasosiasikan dengan kaum ilmuwan dan akademisi,
walaupun tidak terbatas pada mereka saja. Kaum humanis sekular
umumnya percaya bahwa prinsip-prinsip humanisme mengarah pada
sekularisme, karena kepercayaan supranatural tidak dapat mendukung
argumen rasional sehingga dengan demikian aspek supranatural dari
agama harus ditolak. Bila orang membicarakan humanisme secara umum,
mereka sering mengacu pada pengertian humanisme sekuler ini. Kaum
humanis lebih senang menggunakan term Humanist (dengan H huruf
kapital, tanpa dibubuhi kata sifat tertentu) sebagaimana yang
diperkenalkan oleh General Assembly of the International Humanist and
Ethical Union.

Humanisme religius adalah cabang dari humanisme yang memandang


dirinya sendiri religius (berdasarkan pada definisi fungsional agama) atau
meliputi juga bentuk-bentuk dari teisme, deisme atau supranaturalisme
tanpa perlu merasa terikat dalam suatu agama tertentu, sering
18

diasosiasikan dengan para seniman, penganut Kristen liberal, dan sarjana


dalam bidang liberal arts. Sebagian kaum humanis religius merasa bahwa
humanisme sekuler terlalu logis dan menolak pengalaman emosional yang
sesungguhnya yang membuat manusia itu menjadi manusia. Dari sini
timbul pengertian bahwa humanisme sekular tidak memadai dalam
mempertemukan kebutuhan manusia untuk filsafat kehidupan yang
memenuhi dimensi sosial manusia. Ketidaksepakatan tentang segala
sesuatu dari alam ini telah menghasilkan friksi antara humanisme sekuler
dan humanisme religius (http://en.wikipedia.org/wiki/Humanism).
Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis yang sangat terkenal itu di dalam
kuliahnya pada tahun 1946 (www.marxists.org/sartre) mengatakan bahwa
eksistensialisme adalah humanisme. Eksistensialisme Sartre adalah
eksistensialisme atheistik dengan pendapatnya bahwa jika Tuhan tidak
ada, maka seseorang baru mempunyai eksistensi sebelum esensinya.
Manusia bukanlah apa-apa kecuali apa yang ia buat untuk dirinya. Manusia
bukanlah apa yang ia konsepkan tentang dirinya untuk berada, tetapi apa
yang menjadi keinginannya setelah ia berada. Eksistensialisme disebut
humanisme karena menurut Sartre tidak ada sang pengatur atau pembuat
hukum selain dirinya sendiri. Oleh karena dirinya sendiri itulah ia harus
memutuskan untuk dirinya sendiri pula dengan mencari di luar dirinya
sebuah tujuan pembebasan diri yang dengan hal tersebut manusia dapat
merealisasikan dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya
(www.marxists.org/reference/archive/sartre/works/exist/sartre)
Dari pendapat Sartre ini kiranya dapat mewakili pandangan
eksistensialisme sebagai humanisme. Dapat dikatakan bahwa
eksistensialisme sangat memperhatikan dan memfokuskan pemikiran pada
manusia, terutama pengagungan pada kebebasan kehendak.

Eksistensialisme dan Pendidikan


Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia
19

pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah.


Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang
akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka menilai
bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda
untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana
pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid
sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada
teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan
tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para
eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan
mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik
kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada
pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang
membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu.
Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti
memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga
menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan
untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang
menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar
peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang
demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara asli
dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang. Keautentikan menjadi
begitu beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan
sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di antara kecenderungan masa
kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah
mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia karena adanya tirani dari
yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari aturan yang diktatorial
dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata dari penindasan dan
paksaan. Tirani dari yang rata-rata tampak seolah demokratis tetapi
dalam kenyataannya adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-
20

pilihan nilainya. Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi, produk


barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok
konsumen terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai
produk yang akan menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang
disebut sebagai agen pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan
selera populer. Dalam masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari
yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan diterima baik. Keunikan
menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang
istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh orang-orang yang tidak populer
disebut masyarakat marjinal (Gutek, 1988:123-124).

Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara


hidup individu dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis,
individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana
dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam
pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam
merealisasikan diri secara penuh melalui beberapa pernyataan berikut:
a. Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari
kehendak hidup yang telah ada;
b. Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan
tujuan hidup;
c. Saya wakil yang bertanggungjawab, pribadi yang terukur untuk
memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.

Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru
tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada
pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia
akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan
kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.
Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan
21

menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara


mereka yaang sama satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang
sama dalam pendidikan. Penganut eksistensialis akan mencari hubungan
setiap murid sebagaimana yang disebutkan sebagai acuan hubungan
Buber dalam I-Thou dan I-It. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa
secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara
personal.
Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers
tentang fasilitator. Dalam aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-
hal yang tidak masuk akal pada setiap invidu, dan berupaya untuk
memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia dan
anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan pertanyaan-
pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan
dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut
pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan
belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana
realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.
Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan
karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan
perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus
memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa
mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak
diberi tempat.

Kaum eksistensialis membuat kesepakatan umum bahwa fundamen


pendidikan tradisional adalah Reading, Wraiting, Aritmathics (Three R’s),
ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Ini semua sebagai dasar atau fondasi
usaha kreatif dan kemampuan manusia memahami dirinya sendiri. Namun
mata pelajaran dasar ini seharusnya disajikan dengan menghubungkannya
secara lebih banyak lsgi pada perkembangan afektif siswa. Mereka tidak
22

menganjurkan pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud


individual sebagaimana yang terjadi dalam pendidikan tradisional.

Ilmu humaniora juga tampak lebih luas dalam kurikulum eksistensialis,


karena mereka memberi banyak pemahaman dalam dilema-dilema utama
eksistensi manusia. Humaniora mengembangkan tema-tema di seputar
penentuan pilihan manusia dalam dalam hal seks, cinta, benci, kematian,
penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang bermakna lainnya. Mereka
menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh, baik dari
perspektif positif maupun negatif, dan oleh karena itu ilmu mampu
menolong manusia memahami dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan
humaniora, kurikulum eksistensialis terbuka untuk lainnya. Beberapa mata
pelajaran yang bermakna bagi individu disepakati untuk diajarkan.
Bagi kaum eksistensialis, metodologi memiliki sejumlah kemungkinan
yang tidak terbatas. Mereka menolak penyeragaman mata pelajaran,
kurikulum dan pengajaran, dan menyampaikan bahwa itu semua sebagai
pilihan-pilihan terbuka bagi siswa yang memiliki hasrat untuk belajar.
Pilihan-pilihan ini tidak harus dibatasi pada sekolah tradisional, tetapi
mungkin ditemukan pada berbagai tipe sekolah alternatif, atau dalam
praktek bisnis, pemerintahan, dan usaha-usaha perseorangan. Ivan Illich
meletakkan empat saran untuk variasi pendidikan dalam masyarakat tanpa
sekolah yang dihargai oleh sebagian besar kaum eksistensialis.

Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa


kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa
menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Mungkin tipe ideal metodologi
kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan yang dilakukan
oleh Carl Rogers “kebebasan belajar” (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill:
sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960).
23

Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh perhatian khusus


terhadap kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka
bertumpu pada kebebasan individual daripada aspek-aspek sosial
eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).

Penutup
Setelah sedikit mengenal filsafat eksistensialisme serta implikasinya
terhadap pendidikan, dapat dikemukakan sedikit refleksi sebagai berikut.
Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya,
demikian pula dengan eksistensialisme. Eeksistensialisme
mengedepankan otonomi manusia dalam berhadapan dengan
perkembangan sains dan teknologi. Secara epsitemologis, ada hal yang
menarik dari eksistensialisme, bahwa manusia hendaknya menjadi manusia
yang autentik, yang jujur dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya
secara bertanggung jawab dengan rasionalitas dan perasaannya, tidak
mencari justifikasi dan legitimasi dari sesuatu yang seakan-akan berada di
luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah kehendak diri yang dibalut norma
sosial atau norma agama.
Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan.
Pendidikan yang kembali kepada otonomi manusia atas alam, otonomi
atas kehidupan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan, maka tidak boleh
direduksi menjadi sekrup dalam mesin ilmu pengetahuan dan teknologi.
Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak
semestinya membelenggu manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk
yang bebas dan kreatif, maka pendidikan harus pula menjadi wahana
pembebasan dan kreativitas manusia. Dengan kata lain, pendidikan yang
diilhami oleh eksistensialisme adalah pendidikan yang membumi, yang
berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi
manusia. Hal ini ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi
24

pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional perlu memiliki


karakteristik yang (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan
dan peradaban; (b) mendukung diseminasi nilai keunggulan; (c)
mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan
keagaman; (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan
produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral (Fasli Jalal & Dedi
Supriadi: 2001:7).

Di lain pihak, sebagai bangsa Indonesia yang berfilsafat Pancasila, ada


pula hal-hal yang harus direnungkan kembali dalam menyikapi
eksistensialisme. Bagi masyarakat Indonesia, terutama pendidik,
eksistensialisme jangan sampai dijadikan ideologi. Karena ideologi akan
mengarah pada absolutisasi kebenaran. Sikap kritis diperlukan dalam
memaknai dan mengambil intisari aliran ini. Eksistensialisme dapat
disandingkan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan pada intinya adalah usaha
untuk memanusiakan manusia, maka landasan antropologis
eksistensialisme memperoleh aktualisasinya di sini. Tetapi, perlu pula
dikritisi bahwa para pendidik Indonesia harus dapat memilih dan memilah
atau dalam istilah yang dikemukakan oleh Notonagoro ”eklektif in
corporatif’. Proses ini pada intinya adalah mengambil hal-hal yang baik
dari berbagai pemikiran yang ada dengan menyeleksi terlebih dahulu,
untuk kemudian dijadikan bagian integral pemikiran khas Indonesia. .
Sebagaimana diketahui, eksistensialisme terbagi dua, teistik dan ateistik.
Tentu saja, sebagai warga bangsa dan khususnya sebagai pendidik
seharusnya kita perlu membentengi diri dari pengaruh eksistensialisme
ateis ini. Pancasila adalah dasar filsafat bagi praksis pendidikan di
Indonesia, maka eksistensialisme teistiklah yang sejalan dengan filsafat
Pancasila dan dapat memperluas horizon makna akan pemikiran
pendidikan di Indonesia.
25

DAFTAR PUSTAKA

Fasli Jalal & Dedi Supriadi. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Yogyakarta; Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya
Nusa

Gutek, Gerald L. (1988). Philosophical and Ideological Perspectives on


Education. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Jean Paul Sartre. (2002). Eksistensialisme and Humanisme. Yogyakarta :


pustaka Pelajar.

Knight, George. R. (1982). Issues and Alternatives in Educational


Philosophy. Michigan: Andrews University Press.

Notonagoro. (1987). Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pancuran


Tujuh.

Wahyu Budi Nugroho. (2013). Orang Lain adalah Neraka. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai