Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH JEAN PAUL SARTRE

Mata Kuliah : Filsafat Humanistik

Dosen Pengampu : Tri Utami Oktafiani M.Phil

Di susun oleh :

Desi Ratnasari ( 1804016008 )

PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UIN WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2020

1|Sartre’s existensialism
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hidup selalu mengalami dinamika, entah itu maju, mundur, bergeser ke kanan ataupun ke
kiri. Demikian halnya dengan pemikiran. Gadamer dalam teori hermeneutikanya yaitu teori
“Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” menjelaskan bahwa pemahaman seorang penafsir itu
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi hermeneutik tertentu yang mengitarinya. Baik berupa latar
belakang tradisi, kultur maupun pengalaman hidup seorang mufassir. Dari kutipan diatas, penulis
bukan hendak menjelaskan tentang hermeneutik, melainkan kutipan tersebut sedikitnya memiliki
kesinambungan bahwasanya pemikiran yang ditorehkan oleh tokoh-tokoh/ilmuwan tentunya
juga terpengaruh oleh siapa yang menjadi gurunya, situasi/konteks, ataupun kondisi lingkungan
pada masa itu. Bisa jadi pemikirannya adalah sebuah antithesis dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya.

Demikian halnya dengan Jean Paul Sartre, seorang eksistensialis atheis yang memiliki
pemikiran berbeda mengenai manusia. Dalam hal ini pemikirannya yang terkenal mengenai
manusia adalah tentang eksistensi mendahului esensi. Pemikiran seorang Sartre tentunya tidak
lepas dari gurunya Heidegger yang juga tidak lepas dari Husserl. Bagi seorang yang theis
tentunya tidak mudah juga untuk memahami pemikirannya. Namun dalam hal ini, menurut
penulis pemikiran Sartre tidak sepenuhnya salah juga tidak sepenuhnya benar. Dan tentunya
dalam pemikiran yang dikemukakan seseorang, akan selalu mendapatkan sebuah kritikan
ataupun semacamnya.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Riwayat hidup Jean Paul Sartre ?


2. Apa itu Eksistensialisme ?
3. Apa itu Eksistensi mendahului Esensi ?
4. Bagaimana pandangan Sartre mengenai manusia ?

2|Sartre’s existensialism
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biography of Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre, lahir di Paris pada tanggal 21 Juni tahun 1905 dan meninggal pada
tanggal 15 April tahun 1980 pada usia 75 tahun. Jean Paul Sartre berasal dari keluarga kelas
menengah. Ayahnya dikenal sebagai seorang penganut Katolik, sedangkan Ibunya penganut
Protestan. Di usianya yang kedua tahun, Sartre sudah menjadi anak yatim. Ia lalu diasuh oleh Ibu
dan Kakeknya yang bernama Charles Schweitzer. Kakeknya adalah seorang Profesor di
Universitas Sorbone, Paris.Sejak kecil, Sartre dikenal mempunyai fisik yang lemah serta selalu
menjadi bahan cemoohan kawan-kawannya. dibalik kelemahannya itu ia memiliki otak yang
cemerlang dan semangat belajar yang tinggi. Kontemplasi dan berkhayal adalah salah satu hal
yang disukainya. Dari beberapa literatur yang dibaca penulis, riwayat Pendidikan Sartre hanya
ditulis mulai dari kuliahnya saja. Sehingga penulis tidak tahu mengenai pendidikan dasarnya.
Sartre memulai kuliahnya di Ecole Normale Superieur pada tahun 1924 dan tamat pada tahun
1929. Setelah lulus kuliahnya itu ia kemudian mengajarka filsafat di beberapa Lycees ( sekolah
menengah di Prancis yang didanai oleh pemerintah ) baik di Paris maupun di tempat lain. Tahun
1933-1935, Sartre menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan di Universitas
Freiburg. Kemudian pada tahun 1938 tebitlah sebuah novel karyanya yang berjudul La Nausee
(rasa muak), dan La Mur ( dinding ) yang terbit satu tahun setelahnya. Sejak itulah kemudian
muncul karya-karyanya yang lain, tentunya dalam bidang filsafat.

Pada saat Perang Dunia II meletus, Sartre bergabung dengan pasukan Prancis dan
bertugas di dinas meteorologi. Dan di tahun 1940-1941, tentara Jerman menahan Sartre sebagai
tahanan perang. Dalam penahanannya itu ia sempat menulis sebuah karya filsafat yang berjudul
L’être et le Néant ( Ada dan Ketiadaan ). Setelah dibebaskan, ia kemudian Kembali ke Paris dan
melanjutkan karyanya tersebut. Dengan buku ini Sartre menjadi filusuf ternama dan dianggap
sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Buku ini
mengalami sukses yang besar di Prancis dan di luar Prancis sesudah Perang Dunia II. Setelah itu
Sartre kemudian juga banyak menerbitkan karya-karya yang lain. Diantara karya-karya tersebut

3|Sartre’s existensialism
yaitu; L’existentialisme est un Humanism /Eksistensialisme suatu Humanisme (1946), Les
Mouches / Lalat-lalat (1943), Huis Clos / Pintu Tertutup (1945) , Morts sans Sépulture / Orang-
orang Mati tanpa Perkuburan(1946), La Putain Respectueuse / Pelacur Terhormat (1946), Les
Main Sales / Tangan-tangan Kotor (1948), Le Diable et le bon Dieu / Si Setan dan Si Tuhan Baik
(1951), Les Sequestrés d’Altona / Tahanan-tahanan dari Altona (1960), dan masih banyak lagi.
Pada tahun 1960, Sartre juga memprakarsai “Manifesto 121 Cendekiawan” yang menyatakan
bahwa prajurit-prajurit Prancis berhak untuk menolak dikirim ke Aljazair. Disamping itu ia juga
membantu temannya yang terlibat dalam organisasi pembebasan aljazair, organisasi terlarang di
Prancis hingga suatu hari rumahnya di bom namun dia selamat karena tidak berada di rumah.
Pada tahun 1966 Sartre aktif dalam kegiatan organisasi yang telah didirikan oleh Bertrand
Russell, Tribunal against war crimes in Vietnam, sebuah penyelidikan terhadap kejahatan perang
Amerika di Vietnam. Sartre juga memberikan dukungannya kepada para mahasiswa Prancis
yang berdemo secara besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1968 yang menuntut perbaikan
pemerintahan pada umumnya dan sistem pendidikan pada khususnya. Tahun 1973, dia bersama
teman-temannya yang berhaluan kiri kemudian mendirikan surat kabar baru bernama
Liberation / Pembebasan. Pada usia 75 tahun yaitu pada tanggal 15 April 1980, Sartre sakit dan
dirawat di rumah sakit hingga meninggal dunia. Jika dilihat dari biografinya, disamping ia
seorang filsuf, namun ia juga seorang wartawan, novelis dan juga aktivis.

B. Eksistensialisme

Eksistensi berasal dari bahasa Latin “existo”, yang terdiri dari “ex” dan “sisto” yang
dalam bahasa Indonesia menjadi eksistensi (existenci) kata e (keluar) dan sistensi (yang
diturunkan dari kata kerja sisto) berdiri menempatkan diri. Pengertian yang semata-mata
etimologis ini menjadi lebih mendalam dalam eksistensialisme, yaitu istilah tersebut dikhususkan
bagi manusia sebagai individu yang unik (“Dasein” dalam bahasa Jerman). Pada mulanya istilah
eksistensi itu berarti bertahan (ada, hidup), juga dalam perkataan sehari-hari di dalam filsafat.1
Lahirnya Eksistensialisme merupakan suatu protes/respon terhadap zaman yang telah
dihasilkan oleh rasionalisme ataupun materialisme Hegelian, termasuk juga protes terhadap
1
Muzairi,Kebebasan Manusia dan Konflik dalam Pandangan Eksistensialisme Jean Paul Sartre,(Jurnal
ESENSIA Vol.XIII No. 1, Januari 2012), hlm,43

4|Sartre’s existensialism
aliran-aliran filsafat tradisional. Eksistensialisme merupakan cabang filsafat mengenai wawasan
manusia tentang dirinya dan mengungkapkan keadaan kesadaran secara mendalam (dept
conciousness) tentang kemungkinan dan kemerdekaan sebagai persoalan terhadap hakikat
manusia.2
Dalam sejarah perkembangannya, eksistensialisme jelas mengacu pada fenomena kemanusiaan
kongkret yang tengah terjadi. Eksistensialisme tidaklah sekedar menunjukkan suatu system
filsafat secara khusus, karena setelah melalui berbagai perkembangan, istilah ini telah meresapi
banyak bidang di luar filsafat, seperti psikologi, seni, sastra, drama, dan sebagainya.
Sartre, dalam bukunya yang berjudul Eksistensialisme dan Humanisme mengatakan
bahwa ada dua macam jenis eksistensialis, yaitu eksistensialis Kristen dan eksistensialis Atheis.
Ada beberapa tokoh dalam eksistensialis Kristen diantaranya yaitu, Jaspers dan Gabriel Marcel.
Jaspers dan Gabriel Marcel adalah tokoh eksistensialis Katolik Roma. Sedangkan tokoh-tokoh
eksistensialis Atheis yaitu Heidegger dan para eksistensialis Prancis, serta Sartre sendiri.3
Persamaan diantara kedua eksistensialis tersebut adalah keduanya sama-sama meyakini bahwa
eksistensi mendahului esensi. Lalu apa yang dimaksud eksistensi mendahului esensi ?. Perlu kita
garis bawahi bahwasanya Sartre adalah seorang eksistensialis atheis. Hal ini tentunya
mempengaruhi pemikirannya mengenai Tuhan.

C. Eksistensi Mendahului Esensi

Ada dua istilah yang masyhur, yang pertama adalah esensi mendahului eksistensi dan
kedua eksistensi mendahului esensi.4 Esensi mendahului eksistensi adalah satu formula yang
sudah biasa berkembang dilingkungan kita, terutama dikalangan orang-orang yang mempercayai
adanya Tuhan (teis). Sedangkan eksistensi mendahului esensi adalah satu formula yang tak biasa.
Pandangan ini bisa dikatakan amat janggal, karena biasanya sesuatu itu harus ada esensinya
terlebih dahulu sebelum keberadaannya. Dan dalam hal ini agak sedikit rumit jika kita hendak

2
Firdaus Yunus, (Kebebasan dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Jurnal Al-Ulum Vol.
11, Nomor 2, Desember 2011), hlm 267
3
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), hlm 40
4
Ahmad Tafsir,Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,(Bandung: PT Remaja Rosda
Karya,2003), hlm 225

5|Sartre’s existensialism
memahaminya. Dan hal itu tentunya akan menimbulkan kritik atas Sartre dikalangan orang-
orang teisme.
Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; dan
bereksistensi yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan.
Sedangkan esensi merupakan sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak
benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang
dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. 5 Yang pertama adalah esensi baru
kemudian muncul eksistensi. Asumsi seperti ini kemudian ditolak oleh para eksistensialis atheis.
Sartre justru berpendapat bahwa eksistensi sebelum esensi atau lebih masyhurnya eksistensi
mendahului esensi. Berkenaan dengan esensi mendahului eksistensi contohnya yaitu Ketika
seseorang hendak membuat suatu benda semisal buku, gunting kertas ataupun semacamnya.
Maka perlu ada konsep (image,bayangan) terlebih dahulu. Jadi sebelum dia membuat buku,
tentunya dia harus mempunyai konsep mengenai buku yang akan dibuatnya. Selanjutnya
dibuatnyalah buku tersebut sesuai dengan konsep yang ia pikirkan. Konsep tentang buku inilah
yang dinamakan esensi. Dengan kata lain konsep tentang buku merupakan buku dimasa
praeksisten jika dilihat dari sudut terwujudnya buku.
Bila kita berfikir bahwa Tuhan adalah pencipta maka kita akan membayangkan bahwa
Tuhan mengetahui secara persis apa yang akan diciptakan-Nya. Jadi, konsep tentang sesuatu
yang akan diciptakan Tuhan telah ada sebelum sesuatu itu diciptakan. 6 Sedangkan Sartre
mengatakan bahwa bila Tuhan tidak ada, maka hanya ada satu yang eksistensinya mendahului
esensi, yakni manusia. Manusia adalah yang pertama dari semua yang ada, menghadapi dunia,
menghadapi dirinya dan setelah itu mengenali dirinya. Dan bila eksistensi mendahului esensinya,
berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada.
Menurut Sartre, manusia bereksistensi terlebih dahulu, yakni berada di dunia ini, baru setelah itu
bisa didefinisikan esensinya setelah ia mati. Eksistensi mendahului esensi berarti suatu
kebebasan yang mutlak tanpa Tuhan yang memberikan tujuan-tujuan dalam hidupnya. Menurut
Sartre jika destiny atau tujuan yang ditetapkan oleh Tuhan sejak awal justru merupakan sesuatu
yang membelenggu kebebasan manusia untuk merealisasikan diri dan kebebasannya. Jadi yang
menjadi satu-satunya destiny manusia adalah kebebasannya. Oleh karena itu, dalam peradaban
humanistis kita akan menghargai manusia bukan dengan standar-standar kemanusiaan tertentu

5
M. Yunus Firdaus, Op.Cit,hlm 270
6
Ahmad Tafsir,Op.Cit,hlm 226

6|Sartre’s existensialism
yang ditetapkan sejak awal, baik itu secara metafisis maupun teologis, melainkan karena manusia
adalah kebebasan itu sendiri.7

D. Manusia dan Kebebasan

Ada dua etre (berada) dalam pandangan Sartre, yaitu etre en-soi dan etre pour-soi. En-soi
merupakan Ada pada dirinya, sedangkan pour-soi adalah kesadaran kita. Bagi Sartre penyesuaian
antara Ada dan kesdaran tidak akan pernah tercapai. Ini karena kesadaran menggapai ketiadaan
dari Ada.8 Etre en-soi mentaati prinsip identitas, jika di dalam sesuatu yang ada itu terdapat
perkembangan, maka perkembangan itu terjadi karena sebab-sebab yang telah ditentukan. Oleh
karenanya perubahan-perubahan itu adalah perubahan yang kaku. Menurut Sartre segala yang
berada dalam dirinya itu memuakkan, yang ada begitu saja, tanpa kesadaran, tanpa makna.
Sedangkan Etre pour-soi tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya en-soi. Manusia
mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta, berbeda dengan
benda-benda. Sebab benda hanyalah benda, tetapi tidak demikian dengan manusia, karena
manusia memiliki kesadaran, yaitu kesadaran yang reflektif dan kesadaran yang pra reflektif.9
Manusia adalah apa yang ia cita-citakan, manusia ada sejauh ia merealisasikan dirinya sendiri,
dan oleh karena itu ia adalah keseluruhan Tindakan-tindakannya. Sifat absolut pilihan bebas
menempati jantung dan pusat dari eksistensialisme.10 Dengan pilihan bebas inilah manusia
mewujudkan dirinya dalam merealisasikan suatu jenis kemanusiaan tertentu dan selalu berisi
relativitas pola-pola kultural yang mungkin dihasilkan oleh pilihan tersebut. Manusia dikutuk
dengan kebebasan, mereka berhak menetukan pilihannya sendiri dan setiap pilihan yang mereka
pilih tentunya memiliki konsekuensinya tersendiri. Disinilah manusia juga harus bertanggung
jawab dengan apa yang dipilihnya, bukan hanya pada diri sendiri saja melainkan pada seluruh
eksistensi yang ada. Oleh karena itu manusia merasa terhukum kepada kebebasan. Ia terpaksa
terus-menerus berbuat. Dalam keadaan yang demikian manusia berusaha untuk membebaskan
diri dari kecemasan dengan mencoba menghindari kebebasannya.Kebebasan adalah esensi
manusia, biasanya manusia yang bebas selalu menciptakan dirinya. Manusia yang bebas dapat
mengatur, memilih dan dapat memberi makna pada realitas. Bagi manusia, eksistensi memiliki
makna keterbukaan, berbeda dengan benda lain yang keberadaannya sekaligus esensinya. Bagi
manusia, eksistensi mendahului esensi.

BAB III

PENUTUP
7
F.Budi Hardiman,Humanisme dan Sesudahnya,(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,2012), hlm 24

8
K Bertens,filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia(Jakarta: PT Gramedia, 2018),hlm 172

9
Firdaus Yunus,Op.Cit, hlm,271
10
Jean Paul Sartre,Op.Cit,hlm 75

7|Sartre’s existensialism
Kesimpulan

- Relevansi Eksistensialisme Sartre

Man is the Future of Man. Bagaimanapun hidup yang dijalani seorang manusia, ia tetap memiliki
yang dinamakan masa depan yang akan dijalaninya. Masa depan murni yang menantinya. Sartre
adalah seorang filsuf dari benua Eropa, seorang filsuf Eksistensialisme yang sangat terkenal
dengan pemikirannya. Pandangannya tentang Eksistensialisme sebagai Humanismen
membangkitkan kesadaran dikalangan manusia bahwa manusia adalah makhluk yang berpotensi
menjadi dirinya sendiri. Pemikiran Sartre mengenai eksistensialisme tentunya masih relevan
hingga kini. Benar adanya bahwasanya kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab,
melainkan hal itu adalah sebuah kutukan. Manusia yang bebas bukan berarti ia lepas dari
tanggung jawabnya. Namun hal ini tidak kemudian menjadikan kita pesimis ataupun tegang.
Akan tetapi ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan dan
menjadikan hidup ini lebih bermakna. manusia bukan hanya sekedar objek tetapi juga
merupakan subjek yang menggunakan kesadarannya dalam menjalani hidupnya. Tetapi manusia
juga harus mengarahkan kesadarannya untuk menjadi subjek yang bebas menentukan hidupnya.
Dengan kebebasannya manusia dapat berkreasi dan berkarya. Eksistensialisme menyebabkan
manusia mencari jatidirinya sendiri untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya dan
mencari makna hidupnya melalui keberaaan hidupnya.

- Kritik atas Eksistensialisme Sartre

Hal yang disayangkan dalam pemikiran Sartre adalah ia secara sadar lebih memilih atheisme
sebagai sikap hidupnya. Sehingga ia tak menemukan Tuhan dalam konsep pemikirannya dalam
tulisan-tulisannya. Bahkan ia memiliki konsep bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan. Kebebasan
yang dianutnya menyebabkan Sartre tidak menginginkan Tuhan yang masih memberikan aturan-
aturan dalam hidupnya. Hal ini terlihat jelas pada hidupnya dimana ia tinggal bersama
kekasihnya tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah. Kesadaran dikalangan manusia bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki potensi menjadi dirinya sendiri memang perlu
dibangkitkan, namun tidak kemudian mengingkari adanya Tuhan. Disini penulis juga tidak
setuju jika pilihan yang ditentukan oleh manusia dalam hidupnya kemudian harus dipertanggung
jawabkan kepada semuanya.

8|Sartre’s existensialism
Daftar Pustaka

Sartre, Jean Paul. 2018.Eksistensialisme dan Humanisme.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tafsir, Ahmad.2003.Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra.Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.

Bertens, K.2018.filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia.Jakarta: PT Gramedia.

Hardiman, F.Budi.2012.Humanisme dan Sesudahnya.Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Harari, Yuval Noah.2015.Homo Deus.Tangerang: PT Pustaka Alvabet.

Harari, Yuval Noah.2011.Sapiens.Tangerang: PT Pustaka Alvabet.

Muzairi.2012.Kebebasan Manusia dan Konflik dalam Pandangan Eksistensialisme Jean Paul


Sartre.Jurnal ESENSIA Vol.XIII No. 1, Januari 2012.

Hardiningtiyas, Puji Retno.2015.Manusia dan Budaya Jawa dalam Roman Bumi Manusia:
Eksistensialisme Pemikiran Jean Paul Sartre.Jurnal Aksara Vol 27, No. 1, Juni 2015.

M.Yunus, Firdaus.2011.Kebebasan dalam Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre.Jurnal Al-


Ulum Vol. 11, Nomor 2, Desember 2011.

Mella Yusaffina, Diana.2015.Skripsi Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Relevansinya


dengan Moral Manusia.

Farida Tambunan, Sihol.2016.Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh:Filsafat


Eksistensialisme Sartre.Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 18 No. 2 Tahuun 2016.

Adlin, Alfathri..Neraka adalah (Account) Orang Lain dan Kebenaran Eksistenisal Membaca
Ulang Pemikiran Jean Paul Sartre di Era Media Sosial serta Menelusuri Kontribusinya bagi
Estetika.Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam.

Paul Sartre, Jean.2007.Existentialism is a Humanism.London: Yale University Press.

9|Sartre’s existensialism

Anda mungkin juga menyukai