Anda di halaman 1dari 10

TEORI ETIKA NORMATIF

JEAN-PAUL SARTRE

OLEH :

AHMAD FAUZI 16/397345/FI/04210

AHNAV BIL AUVAQ 16/395647/FI/04192

AISYAH ABBAS 16/397347/FI/04212

BETHARI MERCURIUSA S 16/395651/FI/04196

DISKA MULYADINI 16/395651/FI/04196

VALENTIN GAGAH LARAS 16/393453/FI/04188

Universitas Gadjah Mada


2017
I. Deskripsi Etika Jean-Paul Sartre
A. Latar Belakang

Jean-Paul Sartre adalah filosof utama aliran filsafat abad ini yang disebut
eksistensialisme. Sartre sendirilah yang membentuk kata ini. Sartre lahir di Paris tahun
1905. Ia belajar pada perguruan tinggi elit Ecole Normale Superieure, kemudian menjadi
guru di beberapa SMA. Selama dua tahun ia belajar di Jerman dimana ia kemudian juga
sebagai tahanan perang.

Masa besar Sartre adalah tahun lima puluhan. Ia menjadi filosof yang sangat populer
di Eropa, khususnya di Perancis. Eksistensialisme Sartre menjadi aliran yang menekankan
individualitas dan autensitas manusia masing-masing yang tidak mau diseragamkan
menurut selera massa. Orang eksistensialis itu orang yang menetukan sendiri norma-
norma dan nilai-nilai hidupnya, yang tidak sekadar membebek pada apa yang dianggap
biasa. Bagi orang muda, eksistensialisme menyediakan kemungkinan untuk
mengungkapkan identitasnya berhadapan dengan masyarakat yang, dalam rangka
pembangunan pasca perang menekankan kenormalan dan keseimbangan.

Sartre adalah seorang sastrawan yang bagus, tetapi juga seorang filosof yang
berpikir secara mendalam, yang terutama dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Jerman, oleh
Hegel dan Heidegger, dan kemudian oleh Karl Marx. Dengan cukup jelas dapat dibedakan
dua tahap dalam pemikiran Sartre. Karya utama tahap pertama adalah L’Etre et le Neant,
essai d’Ontologie Phenomenologique (Keberadaan dan ketiadaaan esai tentang ontologi
fenomenologis), sebuah tulisan panjang dan berat yang diselesaikan pada tahun 1943. Tiga
tahun kemudian, terbit L’Existentialisme est un humanisme (Eksistensialisme dan
humanisme). Tahap pertama itulah tahap eksistensialismenya. Pada akhir tahun 50-an,
Sartre semakin berpaling pada Marxisme (untuk sementara waktu ia juga menjadi anggota
Partai Komunis Perancis). Karya tahap itu adalah Critique de la raison dialectique (Kritik
atas cara berpikir dialektis). Sebuah etika yang dijanjikan Sartre sejak bukunya yang
pertama tidak pernah ditulisnya.

Sartre berada dalam kontak erat dengan pelbagai pemikir utama Perancis seperti
Merleau-Ponty, dan Simone de Beauvoir yang dengannya ia hidup bersama selama dua
puluh tahun terakhir hidupnya. Sartre sangat aktif dalam gerakan anti-perang Vietnam dan
berpartisipasi dalam revolusi mahasiswa bulan Mei 1968. Ia meninggal pada tahun 1980.
B. Etika Jean-Paul Sartre
a) Eksistensialisme dan kerangka fenomenologis

Sartre sendiri menyebut pemikirannya sebagai eksistensialisme karena pusatnya


adalah eksistensi. Eksistensi pada Sartre (dan Heidegger) tidak berarti “berada” dalam
arti biasa, melainkan berarti cara keberadaan yang khas bagi manusia. Eksistensi
adalah keberadaan manusia yang sadar bahwa ia ada, bahwa ia menjorok dari
ketiadaannya.

Eksistensi manusia itu menurut L’Etre et le Neant, ditentukan oleh dua dimensi, yaitu

1. etre en-soi (berada-pada-dirinya sendiri), yaitu realitas objek-objek atau benda-


benda yang kita hadapi, yang sejauh menyangkut kita, merupakan realitas mati,
tertutup, tanpa kesadaran, tanpa makna.
2. etre-pour-soi (berada-bagi-dirinya-sendiri), yaitu kesadaran manusia, maksudnya
pengada yang mengada “bagi dirinya sendiri”, yang menyadari diri sendiri.

Yang khas bagi pengalaman kesadaran atau berada-bagi-dirinya-sendiri adalah


bahwa dia menyadari diri sebagai yang lain daripada objek-objeknya, berada-pada-
dirinya-sendiri. Menurut Hegel aku tidak menyadari diri secara langsung, melainkan
secara tidak langsung, yaitu dalam menyadari sesuatu yang lain. Begitu yang lain saya
sadari sebagai yang lain, saya menyadari diri sebagai yang lain daripada yang lain.

Dengan latar belakang itu kita dapat mengerti jalur pemikiran Sartre. Aku
adalah kesadaran diri dan sebagai itu aku berlawanan total dengan alam objektif,
dengan alam etre-en-soi. Aku hanya ada sebagai penyangkalan realitas, aku adalah
yang bukan-objek, aku tanpa realitas. Aku mempertahankan diri dengan
“meniadakan” yang lain.

b) Kebebasan

Analisis pertama kebebasan ditemukan dengan paling jernih dalam karangan


Sartre 1946, L’Existentialisme est un humanisme. Mirip dengan Nietzsche, Sartre
bertolak dari ateisme keras. Penyangkalan adanya Tuhan merupakan unsur kunci
dalam filsafatnya. Sartre berpendapat bahwa manusia hanya bebas apabila tidak ada
Tuhan. Dan manusia memang bebas. Maka Tuhan tidak boleh ada.
Dari tiadanya Tuhan, Sartre menarik kesimpulan bahwa bagi manusia
“eksistensi....mendahului esensi” [1946, 18]. Apa yang dimaksud Sartre? Makhluk-
makhluk bukan manusia tentu sebaliknya, pertumbuhan dan perkembangannya
mengikuti hakikatnya, esensinya. Akan tetapi manusia adalah etre-pour-soi, no-
thingness, lawannya dari segala objektivitas. Ia yang lain dari yang lain. Esensi,
hakikat adalah en-soi, sedangkan manusia adalah kesadaran. Dunia objektif
berhadapan dengan kesadaran. Tubuhku sendiri, lingkunganku, data-dataku seperti
umur, kesempatan bersekolah atau bekerja, atau pergaulan dengan orang lain dsb.,
semuanya itu bukanlah aku, melainkan kusadari, jadi semua unsurku itu adalah
bukan-aku, objekku, terhadapnya aku harus mengambil sikap: menyetujui atau
menolak, merangkul atau menganggapnya sepi. Aku adalah kekosongan total,
keterbukaan, kebebasan, aku berada ke arah masa depan.

Keadaan itu menurut Sartre disertai perasaan putus asa dan absurd, tak masuk
akal. Memang, kalau tak ada Tuhan, eksistensiku, kenyataan bahwa aku menemukan
diri dalam dunia, merupakan rahasia yang tak terselami. Aku tidak tahu mengapa aku
ada, aku menemukan diri bereksistensi.

Maka dalam pilihan-pilihannya, manusia sendiri tidak hanya menciptakan nilai-


nilainya, melainkan ia juga mengikat diri. Ia menjadi diri. Ia mendapat bentuk,
hakikatnya mulai tampak. Keputusan itu berarti bahwa ia menjadi ini atau itu, jadi
esensinya terwujud. Keputusan-keputusannya menunjukkan siapa dia. Kita dapat
mengatakan, melalui pilihan-pilihannya manusia mewujudkan karakternya.

Dalam tahapnya yang kedua, dalam tahap Critique de la raison dialectique,


Sartre tampaknya berubah sama sekali. Ia membuang gagasan tentang kebebasan
total. Di bawah pengaruh Marxisme, Sartre sekarang mengajar bahwa manusia
seluruhnya terdeterminasi oleh lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial, kelas
sosialnya, ras, suasana keluarganya, itulah yang menentukan seseorang menjadi apa.
Bukan pilihan yang menentukan, melainkan kondisi sosialnya.

Namun, Sartre tidak menyerah seratus persen terhadap diktat lingkungan. Ia


mempertahankan kebebasan sebagai “gerakan kecil” yang tetap masih mungkin dalam
batas-batas kondisi-kondisi sosial itu. Maka ditengah-tengah segala macam kondisi
dan pembatasan objektif, darinya kita tidak dapat lari, kita masih dapat bertindak juga,
kita dapat mengambil sikap, bahkan kita dapat memilih kematian.
c) Orang lain adalah neraka

Kebebasan kita terlaksana dalam dunia, berhadapan dengan alam etre-en-soi.


Tetapi alam etre-en-soi itu tidak seragam. Di dalamnya ada banyak objek. Objek yang
paling berarti bagi kita adalah orang lain. Kebebasan kita ditantang oleh adanya orang
lain. Bagi Sartre yang eksistensialis, orang lain dipandang sebagai ancaman karena ia
sebagai etre-en-soi yang sekaligus ada-pour-soi tidak dapat saya kuasai secara aman.
Adanya orang lain mengurangi kebebasan saya, ia mengancam akan mengobjekkan
saya. Hanya dengan tetap mengobjekkan dia saya dapat mempertahankan diri saya,
dan ia tidak dapat seratus persen saya objekkan.

Dalam Critique de la raison dialectique hubungan aku – orang lain diperluas


menjadi hubungan segitiga: Ada unsur baru yang mendapat perhatian, yaitu
kelompok. Sartre memberikan sebuah contoh yang juga mulai dengan tatapan [1976,
100 - 121]. Sartre melihat ke luar jendela hotel. Di jalan, ia melihat seorang buruh
sedang mengerjakan sesuatu. Sedangkan di belakang sebuah tembok tinggi, tukang
kebun bekerja dalam kebun hotel. Mereka saling tidak tahu satu terhadap yang
lainnya. Hanya Sartre-lah yang melihat mereka. Hubungannya dengan mereka negatif:
ia tidak termasuk kelas sosial mereka, mereka mempunyai dunia mereka sendiri.
Masing-masing bekerja dalam keanggotaan kelas sosial tertentu dan Sartre adalah
outsider yang tidak mengerti untuk apa mereka bekerja.

Pada tahap kedua situasi itu, Sartre melihat bahwa mereka memiliki
kebersamaan berhadapan dengan dia: mereka bersama dalam ketidaktahuan satu
dengan yang lain, sedangkan ia mengetahui mereka. Mereka bekerja dengan tenang,
sedangkan Sartre merasakan diri sebagai outsider. Seakan-akan mereka bekerjasama
melawan Sartre (kita dapat membayangkan, andai kata mereka melihat bahwa Sartre
mengamati mereka, mereka masing-masing akan menjadi sadar dari cara Sartre
melihat-lihat, bawa di seberang tembok masing-masing ada juga orang yang diamati
Sartre, jadi seorang “rekan” objek pengamatan, kemudian mereka bertemu dan
bersama-sama menyindir Sartre).

Tahap ketiga adalah tindakan nyata yang mengubah situasi itu. Sartre dapat
melakukan: (1) secara aktif menghubungi mereka, (2) membiarkan diri dilihat oleh
mereka, atau (3) secara pasif terus saja mengamati mereka. Alterantif pertama dan
kedua akan mengubah baik Sartre sendiri maupun si pekerja dan si tukang kebun,
mereka akan berinteraksi.

Dinamika ke arah perubahan sosial itu tampak dengan lebih jelas dalam konteks
kelompok dan sejarah. Begitu misalnya, pada waktu Revolusi Perancis, individu-
individu sebuah massa rakyat di Paris yang merasa diancam oleh sepasukan kavaleri
raja yang muncul mendadak-pihak ketiga- bersatu dalam menghadapi pasukan itu.
Mereka mengorganisasikan diri, memreka siap untuk memberikan perlawanan, artinya
untuk bertindak bersama: Rakyat bangkit melawan rajanya. Ancaman bersama
mempersatukan dan dengan demikian menciptakan potensi-potensi perubahan sosial
[1976, 351ss].
II. Analisis Etika Jean-Paul Sartre
A. Pemetaan

Sartre banyak berbicara tentang pengambilan Tanggung jawab, mengafirmasi


kebebasan dan bekerja keras untuk kebenaran adalah hal yang baik, sedang
keyakinan buruk adalah buruk, dan Ia memiliki perasaan personal yang kuat
mengenai baik dan buruk yang membawanya menuju pertentangan politik dan moral.
Ia, bagaimanapun, tidak dapat dipercaya ketika ini datang dari filsafat etika yang ia
bawa untuk menunjang sentimen moral dan opini-opini. Sartre berjanji akan
menyelesaikan being and Nothingness untuk memenuhi apa yang telah ia canangkan
pada eksistensialis dalam teori etika, yang dimana klain sentral eksistensial, tidak
pernah terpenuhi, sekalipun diantara 1945 dan 1948 ia telah membuat catatan atas
pencarian yang luas dalam etika yang kemudian hari diterbitkan dalam notebooks for
an ethics. Notebook ini menjadi basis dasar informasi yang spekulatif dari pemikiran
sartre tentang etika existensialisme sartrean yang dimana kelihatannya ia telah berhasil
memformulakan etikanya. Dalam pemikiran sartre terlihat jika etikanya terpusat pada
relasi antar yang lain dan keterllibatan manusia dalam memberi dan menerima hormat
atas kemerdekaan orang lain.

Individu bebas membuat pilihan atau keputusan moral dan tidak membenarkan
pilihan atau keputusannya dipengaruhi orang lain. Eksistensialisme juga dikaitkan
dengan pilihan moral (First Hand Choice) yaitu membuat pilihan terus dari akal
rasional berdasarkan kepada sesuatu keputusan moral yang sentiasa berubah, tidak
universal, bersifat subjektif, tidak mutlak, tidak kekal dan individualistik. Contohnya,
seseorang individu tidak dilahirkan terus untuk menjadi guru, tetapi merupakan pilihan
individu tersebut untuk menjadi guru atau pekerjaan lain. Begitu juga dengan pelaksaan
tindakan lain oleh seseorang yang dirasakan yakin dan betul untuk dilaksanakan. Aspek
ini mementingkan kebebasan individu untuk memilih tanpa dipengaruhi oleh faktor lain
tetapi masih dalam konteks rasional membuat pemilihan.

Etika Sartrean ini bisa dikategorikan dalam etika Deontologi, Berbeda dengan
deontologikal peraturan (Kantian) yang condong kearah prinsip kewajiban,
deontologikal Sartrean adalah deontologikal tindakan dimana eksistensialisme
bermaksud kebebasan moral bertindak tanpa amanah, paksaan dan larangan yaitu
merangkumi aspek kebebasan; kebebasan jasmani, kebebasan kehendak dan kebebasan
moral. Eksistensialisme berasal daripada perkataan existent yang bermaksud wujud
atau ada.

B. Kelebihan Teori Etika Sartre


1. Membuat seorang manusia memiliki nilai dalam hidupnya.
Menurut Sartre, eksistensi lebih dulu ada daripada esensi. Setiap orang yang hidup di
dunia ini tidak mempunyai nilai yang berasal dari dalam dirinya. Manusia tidak
mempunyai makna dan tujuan hidupnya sendiri. Hal ini menjadikan manusia
“kosong”. Sartre berpendapat bahwa setiap manusia harus membuat nilainya sendiri.
Oleh karena itu, ini termasuk dalam satu kelebihan di mana Sartre tidak membiarkan
setiap manusia itu “kosong” tetapi dapat dengan bebas memilih jalannya sendiri-
sendiri.
2. Membuat seorang manusia berhati-hati dalam memilih tindakannya.
Sartre berpendapat bahwa setiap aksi manusia adalah apa yang membentuk manusia
itu sendiri. Pada hakikatnya, seperti yang Jose Ortega y Gasset katakan bahwa setiap
manusia adalah novelis bagi kehidupannya sendiri. Setiap orang bisa menjadi
kreatif, malas, plagiaris, dsb. Hal ini bisa menjadi pijakan awal bagi setiap manusia
agar berhati-hati dalam memilih tindakannya, sebab tindakan-tindakan yang
dilakukan manusia membentuk manusia itu ke depannya.
C. Kekurangan Teori Etika Sartre
1. Menyebabkan sikap inkonsisten
Etika Sartre yang menekankan pada penyubjekkan diri menjadi l’etre-pour-soi
mengadakan kebebasan yang sekaligus menjadi tujuan. Dalam menuju kebebasan
tersebut, kecenderungannya menghalalkan segala cara. Ini berarti juga menjadi
inkonsisten dalam bersikap, cenderung pragmatis untuk mengambil sikap mana
yang memberi jalan untuk kebebasan yang lebih.
2. Tidak peduli orang lain
Dalam penyubjekkan diri, menurut Sartre jalannya adalah dengan menidakkan atau
mengobjekkan orang lain. Walaupun pada akhirnya Sartre meluruskan
pandangannya tersebut, hal ini sudah terlanjur melukai orang lain; pada kasus Sartre
adalah dia mengobjekkan seluruh wanita (selain Simone de Beauvoir) yang pernah
dengannya. Sartre saat itu seakan tidak mempedulikan subjektivitas orang lain dan
secara aktif mengobjekkan orang-orang selain dirinya sendiri.
III. Kesimpulan
IV.
Sumber:

Sains pemikiran & etika oleh Mardzelah Makhsin

Notebooks for an Ethics oleh Jean-Paul Sartre

The Sartre Dictionary oleh Gary Cox

Anda mungkin juga menyukai