Anda di halaman 1dari 3

Rangkuman METAFISIKA: KESADARAN,

OBJEK, ATEISME
Kesadaran disengaja dalam pengertian Brentano: keadaan kesadaran kita biasanya dari
sesuatu yang dianggap berbeda dari subjek tetapi melibatkan kesadaran implisit satu sama lain.
Menjadi-dalam-dirinya sendiri tidak melibatkan kesadaran tentang apa pun dan tidak ada
konsepsi tentang dirinya sendiri. Dalam pandangan dunia Sartre tidak ada nilai objektif
transenden yang ditetapkan untuk kita, juga tidak ada makna atau tujuan intrinsik dalam
keberadaan manusia (tidak ada telos Aristoteles). Dalam pengertian ini, hidup kita dapat
digambarkan sebagai absurd: kita "menyedihkan" atau "ditinggalkan" di dunia ini. Tidak ada
bapa surgawi yang memberi tahu kita apa yang harus dilakukan, atau membantu kita
melakukannya; sebagai orang dewasa kita harus memutuskan sendiri apa yang layak untuk
dituju, dan menjaga nasib sendiri.
Pendekatan Sartre dicirikan oleh kontras yang mendalam antara kesadaran atau "realitas
manusia" (être-pour-soi, being-for-itself) dan realitas non-sadar yang tidak bernyawa (être-en-
soi, being-in-itself).
Namun, dia percaya bahwa cita-cita ini, yang dia kaitkan dengan Tuhan, tidak sesuai (hal.
Sartre, seperti Nietzsche, percaya bahwa ketidakhadiran Tuhan sangat penting: seorang
ateis tidak hanya berselisih dengan seorang teis dalam hal metafisika misterius; dia memiliki
sikap yang sangat berbeda terhadap kehidupan manusia. (Tidak ada nilai objektif transenden
yang diberikan kepada kita dalam pandangan dunia Sartre—baik perintah Tuhan maupun bentuk
Platonis dari Kebaikan, atau makna atau tujuan yang melekat dalam keberadaan manusia) (tidak
ada telos Aristoteles).
Satu-satunya dasar untuk penilaian nilai, menurut Sartre, adalah pengalaman pribadi kita
sendiri.
Fitur paling mendasar dari sistem Sartre adalah perbedaan radikal antara kesadaran atau
"realitas manusia" (être-pour-soi, being-for-itself) dan dalam realitas hidup dan non-sadar (être-
en-soi, being-in-itself).
Tetapi dia berpikir bahwa cita-cita ini, yang dia identifikasikan dengan Tuhan,
bertentangan dengan diri sendiri .
Seperti Nietzsche, Sartre berpendapat bahwa ketidakhadiran Tuhan adalah yang paling
penting: ateis tidak hanya berbeda dari teis pada titik metafisika yang muskil; ia memiliki sikap
yang sangat berbeda terhadap kehidupan manusia. (
Dalam pandangan dunia Sartre, tidak ada nilai objektif transenden yang ditetapkan untuk
kita—baik perintah Tuhan maupun bentuk Platonis dari Kebaikan, juga tidak ada makna atau
tujuan intrinsik dalam keberadaan manusia (tidak ada telos Aristoteles).
Sartre berulang kali menegaskan bahwa satu-satunya dasar untuk penilaian nilai terletak
pada pilihan kita sendiri; tidak ada pembenaran eksternal dan objektif untuk proyek dan cara
hidup yang diadopsi orang.

Jawabn
No 1. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak peristiwa kembali membentur kita pada persoalan
eksistensial. Jika seseorang pernah bertanya, apa tujuan hidup saya? Mengapa saya hidup? Apa makna
hidup? Ia pada dasarnya telah mulai masuk ke dalam duduk perkara eksistensialisme.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang muncul sejak abad 19 dan berkembang
secara populer pada pertengahan abad 20. Terhadap istilah eksistensialisme itu sendiri para ahli
menemukan kesulitan untuk mendefinisikannya ke dalam satu pengertian menyeluruh. 
Hal yang umum dilakukan ialah membagi aliran ini ke dalam dua jenis, yakni
Eksistensialisme Kristen (Kierkegaard, Jaspers, Gabriel Marcel) dan Eksistensialisme Ateis
(Heidegger, para Eksistensialis Prancis termasuk Sartre sendiri).
Sartre sendiri mendefinisikan Eksistensialisme sebagai Humanisme (Existentialism is
Humanism) [J.P. Sartre:1946]. Secara sederhana, Eksistensialisme dalam arti demikian
merupakan satu sikap terhadap kehidupan manusia yang menekankan kehidupan nyata dan
langsung tiap-tiap orang. 
Mengikuti Husserl, Sartre menekankan realitas manusia adalah “di dunia” terutama
melalui masalah praktisnya, bukan hubungan-hubungan epistemiknya. 
Dengan kata lain, Eksistensialisme merupakan minat yang menggebu-gebu terhadap
persoalan hidup manusia konkret di dunia ini. Karena itu, tema-tema pokok dalam
Eksistensialisme selalu menampilkan kesan apa adanya terhadap kehidupan manusia, yakni
kecemasan (angs), absurditas, tanggung jawab, kebebasan, keputusan, dll.
Ide pokok Eksistensialisme Sartre ialah ‘eksistensi mendahului esensi’ (Existence
precedes Essence). Eksistensialisme dalam pengertian itu intinya menolak anggapan bahwa
manusia adalah benda. 
Sartre dalam Being and Nothingness (1943) mebedakan dua cara berada (être),
yakni être-en-soi (being in itself; ada pada dirinya sendiri) dan être-pour-soi (being for itself; ada
bagi dirinya). 
Cara berada yang pertama (être-en-soi) merupakan cara berada (modes of being) benda-
benda. Pada benda, esensi dan eksistensi menyatu. Artinya adanya benda-benda selalu terikat
atau tidak bisa lepas dari alasan adanya. 
Misalnya, pisau tidak bisa ada tanpa esensi yang bernama ‘ide pisau’. Artinya, 'ide pisau'
harus lebih dulu ada, baru benda bernama pisau ada. Dan kehadiran pisau adalah persis
merupakan aktualisasi 'ide pisau' itu. 
Sartre hendak mengatakan bahwa pada benda 'esensi mendahului eksistensi'. Dan benda-
benda tidak bisa berbuat apa-apa dengan kenyataan itu. Jadi, être-en-soi itu sama sekali identik
dengan dirinya, penuh dan pejal. 

Anda mungkin juga menyukai