Anda di halaman 1dari 6

Tugas Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Filsafat Ilmu


(EKSISTENSIALISME)

Oleh:

Telly Trie Utami

201052101004

PENDIDIKAN BAHASA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
EKSISTENSIALISME

Ontologi
Istilah Eksistensialisme berawal dari kata eksistensi, yakni dari bahasa latin “eksistere”, “eks”
yang berarti keluar dan “sitere” yang berarti membuat atau berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri
keluar dari diri sendiri. Secara singkatnya, eksistensi menekankan akan keberadaan. Heideggard
dalam Muzairi (2002) mendefinisikan eksistensi sebagai “das Wesen des Daseins liegt in seiner
Existenz”, yang berarti bahwa esensi keberadaan terletak pada keberadaannya. Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi.
Pada umumnya, kata eksistensi berarti keberadaan. Namun dalam eksistensialisme, ungkapan
eksistensi mempunyai arti yang khusus, yakni cara manusia berada di dunia. Para eksistensialis
sepakat bahwa titik sentral pada eksistensialisme adalah eksistensi manusia (Jufri:2020).
Eksistensialisme mempersoalkan keberadaaan manusia, dan keberadaaan itu dihadirkan lewat
kebebasan.
Prinsip utama dari eksistensialisme adalah “existence precedes essence” atau eksistensi
mendahului esensi. Eksistensialisme menekankan bahwa manusia lebih dulu berada di dunia, setelah
itu barulah mereka mencari makna dalam hidupnya. Manusia memiliki kebebasan yang mutlak untuk
menentukan pilihan-pilihan hidupnya demi mencari esensi mereka. Kebebasan manusia yaitu bebas
memilih diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada, menetapkan keputusan-keputusan serta
bertanggung jawab tentang semua itu.
Eksistensialisme merupakan bagian dari filsafat abad XX yang dipelopori oleh filsuf bernama
Soren Kiekergaard. Di antara beberapa tokoh eksistensialis, eksistensialis yang sangat terkenal adalah
Jean Paul Sartre. Sartre membuat aliran Eksistensialisme menjadi tersebar luas dengan cara
menyajikan eksistensialisme di dalam karya sastra yang dia buat.
Memiliki banyak tokoh dalam alirannya, membuat aliran eksistensialisme memiliki beragam
pemikiran. Dalam konsep teologis beberapa tokoh eksistensialis memiliki pandangan yang berbeda,
yang mengakibatkan implikasi teologis eksistensialisme terbagi dua yakni, eksistensialisme theis dan
eksistensialisme atheis.
Eksistensialisme theis yang dianut oleh Soren Kiekergaard beranggapan bahwa manusia
memiliki kebebasan, dan kebebasan yang tertinggi itu hanya bisa diraih ketika manusia mengenal dan
berada di jalan Tuhan, sehingga kebebasan tertinggi itulah yang membuat kita bisa memaknai hidup.
Sedangkan, Eksistensialisme atheis yang dianut oleh Jean Paul Sartre beranggapan bahwa untuk
menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan Tuhan harus disingkirkan atau diingkari.

Dalam memandang eksistensialisme, Soren Kiekergaard menganggap yang paling penting


bagi manusia adalah eksistensinya sendiri. Menurut Kiekergaard dalam Hadiwijono (1980:125)
mengungkapkan bahwa untuk menggapai eksistensinya, manusia memiliki tiga tahapan, antara lain:
a. Tahap Estetis
Pada tahap ini, yang terpenting dalam eksistensi manusia adalah kenikmatan hidup.
Manusia pada tahap ini selalu mengejar kesenangan yang tidak terbatas, bahkan tidak
memikirkan adanya norma-norma moral. Namun menurut Kiekergaard, sikap itu hanya
akan menimbulkan keputusasaan, sehingga manusia harus memilih apakah tetap dalam
keputusasaan atau pindah ke tahap yang lebih tinggi.
b. Tahap Etis
Pada tahap ini manusia menerima moral dan kewajiban yang berlaku padanya.
Namun, pada tahap etis, tidak selalu dapat memuaskan diri. Hidup manusia cenderung
susah, gersang. Pada akhirnya mereka akan menyadari apakah mereka harus tetap berada
dalam tahap etis atau melakukan loncatan ke tahap religius.
c. Tahap Religius
Pada tahap ini, manusia tidak lagi mementingkan hal estetis dan etis. Manusia pada
tahap religius telah melakukan loncatan iman untuk sampai ke tahap yang berada di
hadapan Tuhan dan telah menyempurnakan eksistensinya ke bentuk eksistensi sejati.
Dari ketiga tahapan ini lah, Kiekergaar memandang bahwa manusia telah mencapai
eksistensi tertingginya jika telah berada di jalan Tuhan.

Selain Kiekergaard, pemikiran eksistensialisme yang paling terkenal lahir dari pemikiran
Sartre. Pada pemikiran Sartre dalam Tambunan (2016:226) menjelaskan keberadaan manusia, antara
lain:
a. etre-en-soi (being in-itself)
Mengacu kepada segala sesuatu yang tidak memiliki kesadaran atau bisa dikatakan benda
mati. Manusia tidak termasuk dalam etre-en-soi, karena manusia memiliki kesadaran
dalam keberadaannya. Namun, Manusia pun apabila dilepaskan dari kesadarannya atau
apabila ia dipandang sebagai benda, maka iapun merupakan etre-en-soi. Manusia akan
menjadi benda jika dia diobyekkan oleh orang lain.
b. etre-pour-soi (being for-itself)
etre-pour-soi hanya dimiliki oleh manusia, karena khusus dimiliki oleh makhluk yang
memiliki kesadaran tentang sesuatu yang ada di luar dirinya. Dengan kesadaran yang ia
miliki, ia dapat bertanya mengenai apa saja dan bebas melakukan hal untuk berusaha
mencari jawabannya.

Manusia yang memiliki kesadaran akan terus mencari esensi dirinya dan dalam mencari
esensi, manusia memiliki kebebasan yang mutlak. Namun menurut Sartre, kebebasan itu hanyalah
sebuah kutukan bagi manusia, karena setiap kebebasan dalam bertindak atau memilih, manusia
berhadapan dengan konsekuensi dan tanggungjawab dari tindakan dan pilihannya itu.
Kebebasan manusia dihadapkan oleh faktisitas dalam kehidupan manusia. Faktisitas adalah
suatu kenyataan yang ada pada diri manusia, yang tidak dapat mereka hindari. Yang termasuk
faktisitas atau kenyataan yang tidak dapat dihindari, yaitu tempat lahir, masa lalu, lingkungan, dan
maut. Namun, untuk mencari dan menghasilkan esensinya, manusia dapat mengubah hal yang tak
dapat mereka hindari dengan cara memanipulasi, mengubah, ataupun melupakan hal tersebut.
Mengenai hubungan antarmanusia, Sartre menganggap bahwa “hell is other people”.
Maksudnya adalah Sartre menganggap bahwa keberadaan manusia lain menjadi ancaman dan konflik
bagi diri. Alasanya karena ketika orang lain memandang diri kita, maka pada saat itu “Aku” yang
tadinya adalah subjek akan diobyekkan oleh orang lain itu. Dengan demikian “Aku” kehilangan
kebebasan karena merasa diamati oleh orang lain tersebut.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme adalah paham
filsafat yang muncul pada abad XX, aliran filsafat ini menegaskan pada satu prinsip yakni eksistensi
mendahului esensi. Eksistensialisme membahas tentang keberadaan manusia yang mengharuskan
mereka memaknai keberadaannya masing-masing, tanpa bantuan oleh manusia lain. Dengan
memaknai keberadaan, manusia diberikan kebebasan mutlak dalam memutuskan pilihannya. Namun
adanya kebebasan itu, manusia harus bertanggungjawab terhadap pilihannya sendiri dan menerima
konsekuensi dari pilihannya.

Epistemologi
Dalam Roswantoro (2010:41), menjabarkan konstruksi epistemologi eksistensialisme, antara
lain:
a. Sumber pengetahuan
Mengasumsikan bahwa individu bertanggungjawab atas pengetahuannya sendiri.
Pengetahuan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kesadaran dan perasaan individu
sebagai hasil dari pengalamannya.
b. Alat pengetahuan
Eksistensialisme memandang manusia sebagai individu yang utuh. Rasio, indera,
emosi, dan intuisi tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, mereka bekerja secara serentak
membentuk pengetahuan dan pilihan tindakan yang diinginkan. Alat pengetahuan dalam
epistemologi eksistensialisme adalah pada keutuhan diri manusia dalam memaknai
situasi-situasi yang melingkupinya.
c. Cara peroleh pengetahuan
Dalam memperoleh pengetahuan, eksistensialisme tidak mensyaratkan metode-
metode yang baku. Pengetahuan dibangun dari dalam individu yang secara bebas
memberi pemaknaan kebenaran atas situasi dan kondisi yang melingkupinya.
d. Kebebasan manusia dan validasi pengetahuan
Epistemologi eksistensialisme muncul dari pengakuan bahwa pengalaman manusia
dan pengetahuannya adalah subjektif, personal, rasional, dan irrasional. Morris
mendeskripsikan epistemologi eksistensialisme sebagai suatu perbuatan appropriasi yang
membuat sesuatu menjadi miliknya. Pengetahuan selalu bersifat subjektif dalam hal yang
mengetahui harus memilih untuk mengetahui dan memutuskan untuk melakukan sesuatu
dengan pengetahuan itu.
Dalam menyimpulkan epistemologi setelah memperhatikan hal-hal yang dikaji oleh
eksistensialisme, Jufri (2020:254) mengungkapkan bahwa “epistemologi eksistensialisme berputar
pada tema tentang “Panca Indrawi”. Panca Indrawi manusia, adalah yang paling penting dalam
kehidupan, artinya segala kebenaran adalah segala sesuatu yang dapat di tangkap dan dirasakan oleh
Panca Indrawi”.

Aksiologi
Pandangan aksiologi eksistensialisme menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan suatu potensi untuk suatu tindakan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara pribadi.
Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap
nasibnya (Hajiannor:2015). Pendidikan secara praktis tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang semuanya
tersimpul didalam tujuan pendidikan yakni membina kepribadian ideal. Implikasi dari landasan
aksiologi terhadap pendidikan, memberi wawasan kepada pendidik atau guru untuk dapat secara
kreatif mencari makna dan nilai manfaat dari ilmu, serta metode dan strategi belajar yang efektif dan
efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran yang baik.
Dalam Titus dkk (1984:45) menjelaskan implikasi eksistensialisme dalam pendidikan, yakni:

a. Aliran eksistensialisme sangat mengedepankan dan mengutamakan perorangan atau individu.


Dalam dataran pendidikan, aliran ini menuntut adanya sistem pendidikan yang beraneka
warna dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penusunan keahlian-keahlian.
b. Aliran filsafat ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya. Dalam hal
ini, individu hanya mengenal dirinya dalam interaksinya sendiri dengan kehidupan.
c. Aliran filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalan.
Karena itu, murid berkewajiban untuk melakukan eksperimen dan pembahasan untuk
memungkinnya ikut secara nyata dalam setiap kedudukan yang dihadapinya, atau dalam
setiap masalah yang hendak dipecahkan.
d. Aliran ini mengutamakan pelajaran yang memungkinkan seseorang mempunyai kemampuan
yang besar. Semua ilmu seharusnya dipelajari anak karena ia adalah bagian dari diri si murid.
Daftar Pustaka

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta : Kanisius

Jufri AP, Andi. 2020. Filsafat Ilmu. Makassar: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Negeri Makassar

Muzairi. 2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Roswantoro, Alim. 2010. Epistemologi Eksistensialisme dan Implikasinya Bagi Pemikiran


Pendidikan. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Kalijaga

Tambunan, Sihol Farida. 2016. Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh: Filsafat
Eksistensialisme Sartre. Jurnal Masyarakat dan Budaya. 18(2): 215-231

Titus, Harold dkk. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai