Anda di halaman 1dari 9

ALIRAN EKSISTENSIALISME

A. Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata Eksistensi yang berarti exist. Kata exsit itu sendiri
berasal dari bahasa ex : keluar dan sisto : berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan keluar
dari diri sendiri sedangkan isme dalam eksistensilisme yaitu paham. Filsafat eksistensi tidak
sama persis dengan filsafar eksistensialisme, filsafat eksistensialisme lebih sulit dibanding
eksistensi.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda ,
tumbuhan , binatang, dan manusia. Oleh esensia sosok dari segala yang ada mendapatkan
bentuknya. Namun, dengan esensia saja, belum tentu berada. Kita dapat membayangkan
benda, tumbuhan, hewan, dan manusia, namun belum tentu semua itu sunnguh ada, sungguh
tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Secara umum eksistensialisme berarti manusi dalam keberadaannya itu sadar bahwa
dirinya ada dan segala sesuatunya di tentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat
disekelilinhnya, sekaligus sebagai miliknya, upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus
berbuat menjadikan-merencanakan yang berdasar pada pengalaman yang kongkret.
Eksistensi juga merupakan aliran yang memandang berbagai gejala yang mendasar pada
eksistensinya, artinya bagaimana manusia (bereksistensi) dalam dunia.

B. Sejarah Lahirnya Eksistensialisme


Secara umum eksistensialisme merupakan aliran yang lahir karena ketidakpuasan
berbagai filosof terhadaf filsafat pada mas yunani hingga modern mulai dari matearialisme,
idealisme.
Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme. Paham
materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda, layaknya batu
atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu
hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari
segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara
eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu tidaklah sama.
Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia itu mengalami
beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di dunia.
Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari,
sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan
materialisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme
menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-
lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain pikiran.
Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme memandangnya
sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar dari kedua paham
tersebut, yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Manusia sebagai tema
sentral dalam pemikiran.
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum, terutama
dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu akibat perang.
Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya
terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para
filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan manusia dari
krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme
Ada juga yang menyebutkan bahwa munculnya eksistensialisme merupakan gerakan
filosofis yang muncul di jerman setelah perang dunia I dan berkembang di perancis setelah
perang dunia ke II. Bermula dari reaksi Soren Aabye Kiekegaard terhadap hegel yang
mengajarkan adanya “aku umum” sedangkan Kierkegaard mengajarkan bahwa “aku
individual”. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernahhidup sebagai suatu “aku umum” tapi
sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak bisa dijabarkan ke dalam sesuatu
yang lain.

C. Tokoh-Tokoh Aliran Eksistensialisme


1. S. Kierkegaard (1813-1855)
Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf
Eksistensialisme yang terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat
menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan
sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut,
walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Karena pada saat itu terjadi
krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard adalah untuk menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang
statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada
keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia
anggap kemungkinan.
2. Karl Jaspers (1883-1986)
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan
obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri.
3. Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman.Menurutnya manusia yang bereksistensi
adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk
berkuasa manusia harus menjadi manusia super ( bermensch) yang mempunyai mental
majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai
denganpenderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan
menemukan dirinya sendiri.
4. Martin Heidegger
Martin Hiedegger lahir di Mebkirch, jerman 26 september1889. Karya terpenting
heidgger adalah being and time. Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan
manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna
apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu
digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5. Jean Paul Sartre
Seorang filsuf dan penulis Perancis, ialah yang di anggap mengembangkan aliran
eksistensialisme. Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasa untuk
menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk
yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bago diri sendiri.

D. Pandangan Eksistensialisme Terhadap Manusia


Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dengan cara berada yang
lain tidak sama. Manusia berada di dunia, binatang dan tumbuhan juga, tapi cara berada
dirinya tdak sama. Manusia berada di dunia, dia mengalami beradanya itu manusia
menyadari dirinya mengerti yang di hadapinya itu, manusia mengertiguna tumbuhan dan
salah satu di antaranya mengerti hidupnya mempunyai arti.

E. Sifat-Sifat Eksistensialisme
1. Pengalaman efektif dalam hubungan dengan dunia, bukan observasi.
2. Subyektifitas individual yang unik bukan obyek dan bukan umum.
3. Keterbukaan bagi manusia lain dan bagi dunia, internasionalitas dan praktis bukan teori
saja.

F. Eksistensialisme Dalam Pendidikan


1. Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat
fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap
kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya tentang
realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang
diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak,
melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran
di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin
yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut.
Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam
kebenaran.
2. Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam
tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan
merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk
memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah
yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima
akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap
akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin
dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus
berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil
tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut
sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi,
tujuan diperoleh dalam situasi.
3. Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan
pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan
secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan
erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya
pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah
“keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu
tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu
yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana
individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata
pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah,
sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk
menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah,
filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan
pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat
manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik,
penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan
siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme
melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus
melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan
dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang
ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian
dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap
humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat
mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c. Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek
bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan
paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan
yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh
disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia
hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa.
Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan
siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai
manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan
ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu
dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian
dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa
sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru
tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d. Peranan guru.
Para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna
dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya
dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan
mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-
alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia
melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam
suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama
sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam
kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme.
Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah
merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-
temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan
dirinya.

Anda mungkin juga menyukai