OLEH KELOMPOK 7:
Cikita Bella Nurbaya (170321863035)
Mardhika Wulansari (170321863004)
Kelas D
A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam
sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf melalui karya filsafat
pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut
pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik
maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut
pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran idealis, realis, empirisme,
prgamatisme, progresivisme, essentialisme, perenialisme, rekonstruktionisme,
existensialisme, behaviorisme, kognitifisme, dan konstruktivisme.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak terciptanya
konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan
mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori
pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan
harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah. Dalam makalah ini akna dibahas
mengenai aliran eksistensialisme dan behaviorisme serta implikasinya dalam pendidikan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud aliran eksistensialisme dan behaviorisme ditinjau dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi?
2. Bagaimanakah implikasi aliran eksistensialisme dan behaviorisme dalam dunia
pendidikan?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini
ditulis dengan tujuan:
1. Mengetahui pengertian aliran eksistensialisme dan behaviorisme ditinjau dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
2. Mengetahui implikasi aliran eksistensialisme dan behaviorisme dalam dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. EKSISTENSIALISME
1. Pengertian dan Sejarah Eksistensialisme
Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat abad XX yang sangat
mendambakan adanya otonomi dan kebebasan manusia yang sangat besar untuk
mengaktualisasikan dirinya. Dari perspektif eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah
upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang mengungkungnya sehingga
terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab.
Pada akhir abad ke 18 seorang oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger
(1889 – 1976) mengembangkan sebuah aliran filsafat yang disebut dengan aliran
eksistensialisme. Aliran eksistensialisme ini merupakan bagian filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel
(1859 – 1938). Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang
menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus
bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Soren Aabye
Kierkegaard (1813 – 1855) mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu
sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pada zaman modern manusia menolak pandangan tentang kebenaran absolut yang
sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia, kebenaran merupakan kebenaran manusia
yang relatif dan hal itu berarti tidak ada kepastian universal. Hal inilah yang menyebabkan
filsafat modern menolak masalah kenyataan terakhir dan fokus pada pendekatan relatif
mengenai kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok (pragmatisme) dan dari sudut
pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme lebih memfokuskan pada
sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya, eksistensialisme memfokuskan diri pada
aksiologi.
Filsafat eksistensialisme itu unik, yaitu memfokuskan pada pengalaman-
pengalaman individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem
pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum dari semua realitas,
keberadaan manusia, dan nilai. Secara umum eksistensialisme menekankan pada pilihan
kreatif, subjektivitas pengalaman manusia, apa maknanya bagi saya, dan apa yang benar
untuk saya. Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena
memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Oleh karena itu, para ahli
memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga
diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.
b. Friedrich Nietzsche
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab
pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah manusia
bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan
berani. Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai
keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini
hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan
obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri.
d. Martin Heidegger
Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja
yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara
sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab
pengertian dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in
seiner Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas
nyata being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang
mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada
sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini
analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah
tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being). Artinya
manusia sadar dengan tempatnya.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan
benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan
manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada
setiap tindakan dan tujuan mereka.
a. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan yaitu untuk mendorong setiap indivdu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifikn berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga
dalam menentukan kurikulum, tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku
secara umum
b. Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan
kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas.” Kurikulum ideal adalah
kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan
mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian
mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang
lebih penting dari yang lainnya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas
adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran
yang dapat membantu untk menemukan dirinya sendiri adalah IPA, namun bagi yang
lainnya mungkin saja sejarah, filsafat, sastra dan sebagainya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar pada humaniora dan
seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan
instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta
memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Pelajar secara perorangan harus menggunakan
pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran dan keterampilan intelektual untuk
mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berpikir reflektif.
Namun dalam kurikulum yang ada pada saar ini, eksistensialisme tidak dipakai
karena memberikan kebebasan yang terlalu luas untuk siswa. Siswa bebas memilih mata
pelajaran yang hanya mereka inginkan. Sehingga sekolah akan kesulitan untuk
memberikan pelayanan yang dibutuhkan siswa. Pada zaman dahulu, aliran eksistensialisme
digunakan pada homeschooling. Namun homeschooling yang menggunakan aliran
eksistensialisme berbeda dengan homeschooling yang ada pada saat ini. Dimana
homeschooling yang menggunakan aliran ekstensialisme membebaskan siswanya untuk
belajar apa, kapan dan dimana, sehingga tidak ada jadwal yang terstruktur.
d. Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam
semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun
demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri
pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh (Maxine
Grene, 1998), seorang filosof pendidikan yang terkenal yang karyanta didasarkan pada
eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita
jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling
manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat
pembicaraan pribadi akan makna dari proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus
memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-
pengalaman yang akan membantu mereka untuk menemukan makna dari kehidupan
mereka. Pendekatan ini berawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa
para siswa boleh melakukan apa saya yang mereka sukai : logika menunjukkan bahwa
kebebasan memiiki aturan, dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-
ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa
aan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia.
Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama
sehingga siswa mampu berfikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti,
guru tidak hanya mmengarahkan dengan tidak memberikan instruksi. Guru hardir di dlma
kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa
memiliki hak untuk menolak enterpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu
forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu
menjelaskan kemajuan siswa dan pemenuhan dirinya.
Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan
eksistensialisme sebagai berikut:
1) Tujuan Pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk
kehidupan
1. Status Siswa
Makhluk rasional dengan piihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya. Suatu
komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
2. Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum ini merupakan landasan bagi
kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah
diajaran pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan
untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan
dapat menimbulkan konflik.
3. Peranan Guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin guru pada hari ini,
besok lusa menjadi murid.
4. Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang
diapaki harus merujuk pada cara untuk mecapai kebahagiaan dan karakter yang baik.
B. BEHAVIORISME
1. Pengertian dan Sejarah Aliran Behaviorisme
Secara harfiah, istilah behaviorisme berasal dari kata behavior (perilaku) dan isme
(faham). Filsafat behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungannya dan atau akibat dari perilaku itu sendiri (consequence). Mekanisme
hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan dan konsekuensinya yang mendapat
sorotan utama filsafat behaviorisme. Filsafat behaviorisme memandang bahwa perilaku
(behavior) manusia dapat diubah atau dimodifikasi dengan memberikan stimulus dalam
lingkungannya. Prinsip inilah yang kemudian menjadi dasar kerja modifikasi perilaku.
Lingkungan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang ada di sekitar seseorang yang
mempengaruhi perilakunya. Obyek seperti manusia, benda, dan kejadian yang membuat
perilaku seseorang terpengaruh disebut stimulus atau rangsangan.
Behaviorisme berakar dari tiga filosofi yang sudah ada sebelumnya. Filosofi itu
adalah realisme, positivisme, dan materialisme. Realisme adalah aliran filosofi yang
melihat bahwa kenyataan adalah berkenaan dengan benda-benda yang beroperasi menurut
hukum alam. Dengan berakar pada realisme, behaviorisme memfokuskan pada hukum-
hukum alam. Makhluk hidup dari perspektif kaum behavioris merupakan bagian dari alam
dan sebagai akibatnya beroperasi menurut hukum-hukum alam. Tugas kaum behavioris
adalah menyelidiki organisme yang hidup, termasuk manusia, dalam usaha menemukan
hukum-hukum tingkah laku. Setelah hukum-hukum ini ditemukan mereka akan
menetapkan dasar bagi teknologi behavior (tingkah laku). Dalam hal ini manusia
dipersamakan dengan makhluk hidup lain, terutama hewan.
Positivisme, dengan berakar pada filosofi positifis maka pembuktian empiris
merupakan pusat dari metodologi behavior. Empirisme mengacu kepada seseorang yang
menjalankan sesuatu semata-mata berdasarkan hasil pengamatan atau pengalaman. Dari
konsep tersebut ilmu pengetahuan mendasarkan pengetahuannya ada pengamatan
peristiwa-peristiwa tertentu yang dilakukan secara cermat. Materialisme adalah teori
bahwa kenyataan dapat dijelaskan dengan hukum-hukum dari masalah.
Menurut behaviorisme, masalah pengetahuan (yang dapat ditangkap oleh manusia)
tidak dapat dipisahkan dari proses penanaman kondisi. Untuk itu, dikembangkanlah teori
sarbon yang dikemukakan oleh John B. Watson. Suatu penghayatan kejiwaan terdiri dari
proses yang paling sederhana yang terdiri dari rangsangan dari luar pribadi seseorang, yang
disambut dengan tanggapan tertentu. Menurut John B. Watson, terdapat 3 prinsip dalam
aliran behaviorisme: (1) menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun
pelaku. Kondisi adalah lingkungan external yang hadir dikehidupan. Perilaku muncul sebagai
respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan. (2) Perilaku yang dipelajari sebagai
konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena
dipelajari. Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi fisik
dan sosial. Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan belajar dari semua
itu. (3) Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi mempelajari
perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
Latar belakang aliran behaviorisme bersumber pada pandangan John Locke
mengenai jiwa anak yang baru lahir, ialah jiwanya dalam keadaan kosong atau seperti
kertas kosong yang sering disebut dengan teori tabularasa. Dengan demikian pengaruh dari
luar sangat menentukan perkembangan jiwa anak, dan pengaruh luar itu dapat
dimanipulasi. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan yang
baik akan menghasilkan manusia baik.
a. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedang belajar sebagai aktivitas "mimetic" yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis,
atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
b. Model pembelajaran
Behaviorisme mempunyai nilai dasar tentang perilaku yang dihasilkan dari proses
stimulus yang diberikan sehingga individu memberikan respon berupa perilaku yang dapat
diukur dan dilakukan secara mekanistis. Sehingga dalam penerapan pembelajaran,
behaviorisme memandang siswa sebagai objek yang bisa dibentuk melalui pengkondisian
baik berupa penguatan, penghargaan dan hukuman. Pembiasaan terhadap pengkondisian
tersebut dapat meningkatkan perilaku yang diharapkan. Sehingga behaviorisme cenderung
mudah dilakukan karena dapat dilihat hasilnya secara langsung. Dengan menerapkan
hukum-hukum belajar dapat mengontrol individu-individu dalam pencapaian belajar.
Model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar behavioristik adalah direct
instruction atau pembelajaran langsung yang berpusat pada guru. Guru harus memiliki
ketrampilan dalam mengelola kelas untuk menciptakan suasana kelas yang nyaman agar
siswa mudah dalam memahami materi. Guru diharapkan mampu memberikan sebuah
stimulus yang sesuai dengan kondisi anak dan kondisi lingkungan yang ada saat ini.
Tujuan utama model direktif adalah memaksimalkan penggunaan waktu belajar
siswa. Beberapa temuan dalam teori perilaku dihubungkan dengan pencapaian siswa yang
dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa dalam belajar/tugas dan kecepatan
siswa untuk berhasil dalam mengerjakan tugas. Dengan demikian, model pembelajaran
langsung dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar terstruktur, dan berorientasi
akademik. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya, guru
dapat menggunakan berbagai media, misalnya film, tape recorder, gambar, peragaan, dan
sebagainya. Informasi yang dapat disampaikan dengan strategi direktif dapat berupa
pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu atau
pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep,
prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian pembelajaran langsung dapat didefinisikan
sebagai model pembelajaran dimana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan
secara langsung kepada siswa dan pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan
oleh guru.
Jalaludin. & Idi, A. 2013. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Depok:
PT Rajagrafindo Persada.
Muzari. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2002.
Scuh, L Kathy And Sasha A. Barab. 2011. Philosophical Perspectives. University Of Iowa,
Iowa City, Iowa And Indiana University, Bloomington, Indiana.
Smith, Mark K. 2010. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Yogyakarta: Mirza Media
Pustaka
Soemanto, Wasty. (1990). Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sutardjo A. Wiramihardja. Pengantar Filsafat. Bandung : PT Refika Aditama, 2006
Syah, Muhibbin.(2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Winch, C. & John, G. 2008. The Key Concept in The Philosophy of Education. Routledge