Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

FILSAFAT EKSISTENSIALISME DAN BEHAVIORISME SERTA


IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat dan Didaktik Fisika yang dibimbing oleh Ibu Dr. Lia Yuliati, M.Pd.

OLEH KELOMPOK 7:
Cikita Bella Nurbaya (170321863035)
Mardhika Wulansari (170321863004)
Kelas D

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
Oktober 2017
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam
sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf melalui karya filsafat
pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut
pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik
maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut
pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran idealis, realis, empirisme,
prgamatisme, progresivisme, essentialisme, perenialisme, rekonstruktionisme,
existensialisme, behaviorisme, kognitifisme, dan konstruktivisme.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak terciptanya
konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan
mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori
pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan
harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah. Dalam makalah ini akna dibahas
mengenai aliran eksistensialisme dan behaviorisme serta implikasinya dalam pendidikan.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud aliran eksistensialisme dan behaviorisme ditinjau dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi?
2. Bagaimanakah implikasi aliran eksistensialisme dan behaviorisme dalam dunia
pendidikan?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka makalah ini
ditulis dengan tujuan:
1. Mengetahui pengertian aliran eksistensialisme dan behaviorisme ditinjau dari ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
2. Mengetahui implikasi aliran eksistensialisme dan behaviorisme dalam dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. EKSISTENSIALISME
1. Pengertian dan Sejarah Eksistensialisme
Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat abad XX yang sangat
mendambakan adanya otonomi dan kebebasan manusia yang sangat besar untuk
mengaktualisasikan dirinya. Dari perspektif eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah
upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang mengungkungnya sehingga
terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab.
Pada akhir abad ke 18 seorang oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger
(1889 – 1976) mengembangkan sebuah aliran filsafat yang disebut dengan aliran
eksistensialisme. Aliran eksistensialisme ini merupakan bagian filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel
(1859 – 1938). Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang
menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus
bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Soren Aabye
Kierkegaard (1813 – 1855) mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu
sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pada zaman modern manusia menolak pandangan tentang kebenaran absolut yang
sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia, kebenaran merupakan kebenaran manusia
yang relatif dan hal itu berarti tidak ada kepastian universal. Hal inilah yang menyebabkan
filsafat modern menolak masalah kenyataan terakhir dan fokus pada pendekatan relatif
mengenai kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok (pragmatisme) dan dari sudut
pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme lebih memfokuskan pada
sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya, eksistensialisme memfokuskan diri pada
aksiologi.
Filsafat eksistensialisme itu unik, yaitu memfokuskan pada pengalaman-
pengalaman individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem
pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum dari semua realitas,
keberadaan manusia, dan nilai. Secara umum eksistensialisme menekankan pada pilihan
kreatif, subjektivitas pengalaman manusia, apa maknanya bagi saya, dan apa yang benar
untuk saya. Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena
memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Oleh karena itu, para ahli
memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga
diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.

B. Karakteristik filsafat Eksistensialisme


a. Filsfat Eksistensialisme sebagai Filsafat Modern Eropa Barat
Dunia barat menganggap dunia ini sebagai dunia yang tersedia dan diusahakan
untuk dinikmati dengan cara yang sehebat-hebatnya, akan tetapi manusia mengalami dan
merasakan dunia ini sebagai kekosongan, kehampaan dan kesunyian yang tak terhingga.
Sehingga segala yang ada di dunia nampak sia-sia dan memuakkan. Hingga akhirnya
hidup di dunia adalah hal yang mengerikan.
Maksud dari pemikiran ini adalah, padaabad ke XX, dunia barat menganggap
bahwa dunia ini adalah sebuah dunia yang indah dan tersedia bagi manusia, yang bisa
digunakan dengan cara yang indah dan hebat. Namun, manusia yang seharusnya
memanfaatkan dunia itu malah menggunakan dunia ini dengan tidak bertanggung jawab
dan merusaknya, sehingga apa yang tersisa dari dunia ini menjadi tidak layak digunakan.
Sehingga akhirnya dunia menjadi sesuatu hal yang tidak layak huni. Oleh karena itu dunia
ini memerlukan suatu perbaikan.

b. Eksistensialisme adalah Filsafat Reaksi


Berdasarkan kenyataan pada eksistensialisme sebagai filsafat modern Eropa Barat,
filsafat eksistensialisme bisa dikatakan sebagai filsafat reaksi, baik terhadap aliran
idealisme, naturalisme atau materialisme. Sebagai reaksi dari idealisme, filsafat ini
menempatkan eksistensi lebih penting dari esensi, sehingga bisa dikatakan eksistensi yang
menentukan esensi dan bukan sebaliknya. Untuk bisa menentukan eksistensinya, manusia
harus ada terlebih dahulu, lalu menampakkan dirinya dan membuat sesuatu yang berguna
dan setelah itu manusia baru bisa menentukan keberadaan dirinya.
Sebagai reaksi dari naturalisme-materialisme, manusia diletakkan pada dasar yang
sama dengan benda, dimana manusia dianggap sebagai mesin, atau sebagian besar dari
mesin alam semesta yang diatur menurut hukum-hukum mekanis dan berjalan secara
mekanistis. Disini manusia bukan sebagai makhluk individu dengan kebebasan dan
tanggung jawabnya. Namun sebagai materi, jika manusia mampu melakukan tugasnya
selayaknya manusia, maka barulah manusia tersebut telah terpenuhi martabat
kemanusiannya.
c. Eksistensialisme sebagai Filsafat Humanis
Eksistensialis sebagai humanis mengatakan bahwa “Man is the creator all values”
(Sartre), dimana secara diamteris menolak segala macam nilai macam nilai mutlak absolut
yang universal dan rasional. Eksistensialisme sebagai aliran filsafat sangat mendambakan
pada pandangan yang mengakui kenyataan dimana manusia yang memberikan atau
menentuan nilai, yang memberikan arti hidupnya dan kepribadian dirinya.

d. Eksistensialisme ddalah Filsafat Konflik-Krisis


Pada eksistensialisme, banyak gejala paradoksal dalam banyak jalan pemikirannya.
Jalan pikirannya juga penuh bentrokan dengan kenyataan kontroversial yang berlaku,
sehingga sulit untuk dimengerti dan dipahami, serta sulit pula untuk menyusun jalan
pikirannya dalam suatu sistem pemikiran yang utuh. Manusia mencari apa yang
nampaknya pantas untuk dimiliki, namun tidak dinikmati. Asas kebebasan yang selama ini
menjadi buah bibir, dipandangnya sebagai kutukan karena dihadapkan dengan rasa
tanggung jawab. Hasrat hidup bersama bukan daam rangka membina solidaritas hidup
namun digunakan dalam rangka rivalitas. Untuk bisa sadar diri, maka kita harus “melepas”
sadar diri, untuk bisa mendesain maka harus mendesain, untuk bisa mati maka kita harus
hidup. Sedang untuk hidup ia membuat dosa sekaligus nilai kebajikan yang paling ‘luhur’
hingga akhirnya untuk ‘exist’ harus “tidak exist” padahal kenyatannya existensia tidak
pernah bereksistensia.
Inti dari pemikiran ini adalah manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas.
Manusia selalu mencari sesuatu, namun ketika dia mendapatkan sesuatu tersebut, mereka
tidak menikmatinya, namun manusia malah membuang apa yang dia dapatkan. Manusia
hidup bersama dengan manusia lain, bukan dalam rangka meningkatkan solidaritas, namun
manusia tersebut menggunakannya untuk bersaing dan mendapatkan rival. Untuk bisa
merasakan hidup, seorang manusia harus merasakan penderitaan terlebih dahulu, barulah
mereka bisa merasakan makna dari hidup itu sendiri.
Kenyataan yang bersifat paradoksial ini, dialami sebagai konflik batin, sehingga
menimbulkan perasaan krisis terhadap kehidupan itu sendiri. Krisis yang dialami hingga
mencapai taraf dimana seseorang akan merasa takut dalam menjalani hidup itu sendiri.
Tetapi dalam saat “krisis” demikian itulah manusia akan menemukan “eksistensi”-nya
yang tidak akan pernah ditemukannya kecuali mungkin dihadapan Tuhannya.
3. Tokoh tokoh dalam eksistensialisme
a. Soren Aabye Kiekegaard
Sejak pertengahan abad 18 sebelum Perang Dunia I Soren Kierkegaard, seorang
penulis berkebangsaan Denmark, telah mengerjakan tematema pokok eksistensialisme
melalui berbagai penemuan dan interpretasi yang mendalam terhadap pemikiran Schelling
dan Marx. Namun baru setelah berakhir Perang Dunia II eksistensialisme berkembang
pesat terutama dalam sudut pandang filsafat manusia sebagai filsafat yang membicarakan
eksistensi manusia sebagai tema utamanya.
Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf
Eksistensialisme yang terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat
menemukan arti hidup sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan
sesuatu yang tidak terbatas dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut,
walaupun dirinya memiliki keterbatasan untuk melakukan itu. Karena pada saat itu terjadi
krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard adalah untuk menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada
keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia
anggap kemungkinan.

b. Friedrich Nietzsche
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab
pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah manusia
bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan
berani. Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai
keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini
hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan
obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri.

d. Martin Heidegger
Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja
yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara
sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab
pengertian dari “being”. Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in
seiner Existenz”, adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas
nyata being (sein) tidak sama sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang
mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada
sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini
analisis tentang “being” biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah
tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein” berarti berada (to be/being). Artinya
manusia sadar dengan tempatnya.
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan
benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan
manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada
setiap tindakan dan tujuan mereka.

e. Gabriel Marcel (1889 – 1978)


Marcel adalah filsuf Perancis yang bertitik tolak dari eksistensi. Sudah sejak tahun
1925, sebelum Kierkegaard dan filsuf eksistensialis lain membicarakan eksistensi, Marcel
telah menulis artikel yang berjudul Existence et objectivite (Eksistensi dan Objektivitas).
Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan objektivitas dan tidak pernah dapat dijadikan
objektivitas. Eksistensi adalah situasi kongkrit saya sebagai subjek dalam dunia. Misalnya,
saya ini warga negara Indonesia, wanita setengah baya, mempunyai watak tertentu, berasal
dari golongan sosial tertentu, mendapatkan pendidikan tertentu, dst. Pendeknya, eksistensi
adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor kongkrit – kebanyakan kebetulan –
yang menandai hidup saya.
Yang khas bagi eksistensi adalah saya (sebagai subjek) tidak menyadari situasi saya
itu. Artinya, saya tidak menginsyafi apa artinya eksistensi saya itu dalam dunia ini. Baru
dalam perjumpaan dan pergaulan dengan orang lain, beberapa manusia akan berhasil lebih
jelas menyadari situasi mereka yang sebenarnya. Dalam arti inilah eksistensi berarti
lapangan pengalaman langsung, wilayah yang mendahului kesadaran, eksistensi adalah
“taraf hidup begitu saja” tanpa direfleksi. Akan tetapi, supaya hidup saya dalam dunia
mencapai arti yang sepenuhnya, perlu saya tinggalkan taraf prasadar itu dan menuju ke
kesadaran sungguh-sungguh. Dari relasi-relasi yang semula dianggap sebagai nasib saya,
saya perlu beralih ke suatu kesadaran yang betul-betul saya terima secara bebas. Dengan
kata lain dari eksistensi saya harus menuju ke “Ada”.
Inti pemikirannya adalah setiap manusia tidak akan menyadari situasinya dengan
sendirinya, Baru setelah manusia itu berjumpa dengan manusia lain dan bergaul
dengannya, manusia tersebut akan berhasil menyadari situasi mereka yang sebenarnya.
Sehingga dengan ini manusia bisa beralih dari hanya yang berupa eksistansi dan menjadi
ada.

f. Jean-Paul Sartre (1905-1980)


Titik tolak filsafat tidak bisa lain, kecuali cogito (kesadaran yang saya miliki
tentang diri saya sendiri). Dalam hal ini ia membenarkan pendapat Descartes tentang
cogito ergo sum. Tetapi kesadaran itu tidak bersifat tertutup, melainkan intensional
(menurut kodratnya terarah pada dunia). Hal ini dirumuskan oleh Sartre demikian:
Kesadaran adalah kesadaran diri, tetapi kesadaran akan diri ini tidak sama dengan
pengalaman tentang dirinya. Cogito bukanlah pengenalan diri melainkan kehadiran kepada
dirinya secara nontematis. Jadi ada perbedaan antara kesadaran tematis (kesadaran akan
sesuatu) dan kesadaran non-tematis (kesadaran akan dirinya). Kesadaran akan dirinya
membonceng pada kesadaran akan dunia. Jadi kesadaran atau cogito ini menunjuk pada
suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadirian (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya ini
merupakan syarat yang perlu dan mencukupi untuk kesadaran. Kita tidak perlu
membutuhkan suatu Subyek Transendental atau Aku Absolut sebagaimana diajarkan
idealisme.
Kesadaran tidak dapat disamakan dengan Ada, karena Sartre berpendapat “Ada” itu
transenden (ada begitu saja). “Ada” yang demikian ini disebutnya Etreen soi (being in
itself), tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif, tidak mempunyai masa silam,
masa depan maupun tujuan, tidak diciptakan dan tanpa diturunkan dari sesuatu yang lain.
Berbeda halnya dengan etre-pour-soi (being for itself) atau “Ada” bagi dirinya yang
menunjukkan kesadaran. Kalau saya sadar akan sesuatu berarti saya bukan sesuatu itu atau
saya tidak sama dengan sesuatu itu. Saya melihat lukisan berarti saya sadar bahwa saya
bukan lukisan. Jadi, untuk dapat melihat sesuatu diperlukan syarat mutlak: adanya jarak.
Contoh lain, saya sedang mengetik, berarti saya sadar bahwa saya orang yang sedang
mengetik, tetapi saya juga sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik.
Artinya, saya bisa berhenti mengetik dan menggantinya dengan berjalan-jalan atau
membaca koran. Jadi, negativitas merupakan ciri khas dari etre-pour soi.
Kesadaran berarti distansi dan non-identitas. Kesadaran berarti sama dengan
kebebasan. Dengan kesadaran manusia sanggup mengadakan relasi dengan yang tidak ada.
Manusia adalah mahluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etrepour soi adalah
“menidak” Ketiadaan tidak terdapat di luar Ada. Ketiadaan terus-menerus menghantui
Ada. Ada tidak dapat dilepaskan darinya. Dan adanya etrepour soi adalah “menidak”,
menampilkan ketiadaan itu. Sartre di dalam kuliahnya pada tahun 1946 mengatakan bahwa
eksistensialisme adalah humanisme. Eksistensialisme Sartre adalah eksistensialisme
atheistik dengan pendapatnya bahwa jika Tuhan tidak ada, maka seseorang baru
mempunyai eksistensi sebelum esensinya. Manusia bukanlah apa-apa kecuali apa yang ia
buat untuk dirinya. Manusia bukanlah apa yang ia konsepkan tentang dirinya untuk berada,
tetapi apa yang menjadi keinginannya setelah ia berada. Eksistensialisme disebut
humanisme karena menurut Sartre tidak ada sang pengatur atau pembuat hukum selain
dirinya sendiri. Oleh karena dirinya sendiri itulah ia harus memutuskan untuk dirinya
sendiri pula dengan mencari di luar dirinya sebuah tujuan pembebasan diri yang dengan hal
tersebut manusia dapat merealisasikan dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya dari
pendapat Sartre ini kiranya dapat mewakili pandangan eksistensialisme sebagai
humanisme. Dapat dikatakan bahwa eksistensialisme sangat memperhatikan dan
memfokuskan pemikiran pada manusia, terutama pengagungan pada kebebasan kehendak.
Inti pemikiran dari Satre adalah manusia bukan sesuatu yang dikonsepkan untuk
dirinya melainkan apa yang menjadi keinginannya setelah dia berada. Manusia adalah
pengatur dan pembuat hukum bagi dirinya sendiri. Manusia juga yang harus memutuskan
sebuah tujuan pembebasan diri dan merealisasikan dirinya sendiri.
4. Aspek Ontologis, Epistemologi dan Aksiologi dalam Eksistensialisme
a. Aspek Ontologis Eksistensialisme
Eksistensi individu merupakan fokus utama pemikiran eksistensialisme terhadap
realitas. Eksistensialisme dikontraskan dengan pernyataan kaum neoskolastik yang
menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi dalam hubungannya dengan waktu.
Contohnya, beberapa kaum neo-skolastik memandang Tuhan sebagai Pencipta segala
sesuatu termasuk manusia. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia berkata bahwa Dia
telah mempunyai ide tentang manusia (esensi manusia) dalam pikiran-Nya sebelumnya
mewujudkannya.
Sebaliknya, kaum eksistensialis berpegang pada pendapat bahwa eksistensi
mendahului esensi. Manusia ada dulu, baru kemudian ia berusaha untuk menentukan apa
yang menjadi esensinya atau keapaannya. Ia berhadapan dengan pertanyaan: “Siapakah
saya ini?” dan “Apa makna eksistensi ?” dalam dunia yang justru tidak memberikan
jawaban. Tindakan sehari-hari kehidupan manusia itu adalah proses mencari esensi
tersebut. Karena melalui kehidupan itulah ia membuat pilihan-pilihan dan menentukan
pilihan yang disukai dan yang tidak Melalui aktivitas ini ia menyadari bahwa ia seorang
individu. Melalui proses ini pula ia sampai pada kesadaran bahwa ia telah memilih untuk
berada (menjadi). Ia berhadapan dengan eksistensi dan bertanggung jawab terhadap
pilihan-pilihannya tersebut.
Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif
dan skeptis.
a. filsafat spekulatif: adalah filsafat yang menjelaskan tentang hal-hal fundamental
tentang oengalaman yang berpangkal pada realias yang lebih mendalam yang secara
inheren telah ada di dalam diri individu. Jadi pengalaman tidak banyak berpengaruh
terhadap diri individu.
b. Filsafat Skeptis : adalah filsafat yang berpandangan bahwa semua pengalaman manusia
adalah palsu, tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Semua konsep
dari Metafisika adalah sederhana.
Eksistensialisme menolak kedua pandangan filsafat diatas. Eksistensialisme
mengemukakan pandangannya sendiri, yaitu manusia dapat menemukan kebenaran yang
fundamental dengan berargumentasi bahwa yang nyata adalah yang kita alami. Realitas
adalah kenyataan hidup itu sendiri untuk bisa menggambarkan realitas, kita harus
menggambarkan apa yang ada di dalam diri kita, bukan yang ada diluar kondisi manusia.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada
eksistensi. Eksistensi adala cara manusia untuk berada di dunia ini. Cara beradanya
manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda
materi berdasarikan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak dapat komunikasi
antara satu dengan yang lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia.
Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama dan sederajat. Benda-benda materi
akan bermakna karena manusia.
Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar
manusia tidak akan memiliki tujuan apa-apa jika terpisah dari manusia. Jadi dunia ini
bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains
cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusian secara langsung. Paham
eksistensialisme tidak hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-
beda, namun, pandangan tersebut dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-
persamaan tersebut antara lain adalah:
a. motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah apa yang disebut dengan “eksistensi”,
yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini
ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistis.
b. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti mencipta dirinya
secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan
c. Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesei, yang masih
dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih
lagi terhadap manusia.
d. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengaaman konkrit, pengalaman yang
eksistensial (Harun Hadiwijono, 1980:4).

b. Aspek Epistemologi dalam Esistensialisme


Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristia
sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Manusia adalah pusat otoritas epistemologis dalam eksistensialisme – artinya manusia di
sini bukan manusia sebagai satu spesies, melainkan manusia sebagai individu yang
kongkrit, meruang dan mewaktu. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya
tentang realitas. Makna dan kebenaran tidak ditentukan dari dan untuk alam semesta, justru
manusia itulah yang memberi makna terhadap sesuatu sebagaimana kodratnya.
Manusia mempunyai hasrat untuk percaya kepada makna eksternal dan hasilnya ia
menentukan sendiri untuk percaya kepada apa yang ingin dipercayainya. Oleh karena
eksistensi mendahului esensi, maka pertama harus ada manusianya dahulu baru kemudian
ada ide-ide yang diciptakannya. Semua tergantung pada manusia individual itu dan ia
sendiri yang membuat putusan terakhir tentang apa itu kebenaran. Oleh karena itu,
kebenaran dapat dilihat sebagai pilihan eksistensial yang tergantung pada otoritas individu.
Pengetahuan yang diberikan di seolah bukan sebagai alat untuk memperoleh
pekerjaan dan karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan sebagai perkembangan dan alat
pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah merupakan suatu disipin kaku diaman anak harus
patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang
untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

c. Aspek Aksiologis dari Eksistensialisme


Fokus filsafat eksistensialis adalah dalam aksiologi yang membedakannya dengan
filsafat tradisional yang mementingkan metafisika. Dapat dikatakan bahwa “metafisika”
eksistensialisme diwakilkan dengan kata “eksistensi” dan konsep epistemologinya adalah
“pilihan”. Oleh karena itu, kedua konsep ini membawa manusia eksistensialis
memfokuskan diri pada aktivitas kehidupan dan perhatian filsafatnya diikat dalam lingkup
aksiologi individual sebagai seorang penentu eksistensialis.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, juga menekankan pada kebebasan
dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri,
melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan
untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan terbaik adalah
yang paling sukar. Jika manusia ingin menjadi benar-benar autentik, maka ia harus hidup
secara bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan. Akibat yang tidak
disenangi bagi seseorang yang bertindak di luar aturan etik tidak begitu dipermasalahkan
dalam pandangan eksistensialis. Adalah penting untuk berbuat tanpa memperhatikan
akibat-akibat ini, tetapi bukan berarti membenarkan tindakan yang tidak bertanggung
jawab. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat
tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan
melahirkan kebutuhan untuk piluhan berikutnya.
Kaum eksistensialis melihat tidak ada ketegangan setelah kematian. Lawan
kematian adalah kehidupan, dan kehidupan bagi mereka mengharuskan derajat ketegangan
sebagai seorang pribadi karena pribadi tersebut bertindak berdasar hukum etiknya sendiri.
Pandangan eksistensialis tentang estetika dapat digambarkan sebagai sebuah penolakan
terhadap standar umum. Masing-masing individu adalah pengadilan tertinggi dalam
memandang tentang apa yang indah. Tidak seorang pun yang dapat membuat keputusan
bagi individu yang lain. Apa yang indah bagi saya adalah indah dan siapa yang dapat
menentang saya? Dengan demikian keakuan sangat ditonjolkan baik dalam etika maupun
dalam estetika. Ukuran perbuatan adalah kebebasan memilih dengan konsekuensi
pertanggungjawaban atas pilihan tersebut.
Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus
menjadikan tujuan-tujuan itu sebagai miliknya, sebagai tujuannya sendiri, yang harus dia
capai dalam setiap situasi. Jadi tujuan diperoleh dalam situasi. Menurut parkay (1998)
terdapat dua aliran pemikiran ekstensialisme, yang 1 bersifat theistik (bertuhan), dan yang
lainnya adalah atheistik.
a. Theistik
Kebanyakan dari pandangan – pandangan itu masuk ke dalam aliran pemikiran
pertama dengan menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum Eksistensialis Kristen dan
menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud sempurna,
Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, orang-orang
dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada
Tuhan. Filsuf Spanyol Miguel de Unamuno mengungkapkan posisi ini : “Biarkan
kehidupan diyakini dalam suatu cara, yang dengannya didedikasi pada ketuhanan dan
nilai-nilai yang tertinggi, walaupun jika hal itu merupakan penghancuran yang
menghindari kita, yang akan merupakan ketidakadilan.”
b. Atheistik
Eksistensialisme atheistik memiliki pemikiran bahwa pendirian tersebut (theistik)
merendahkan kondisi manusia. Dikatakan bahwa kita harus mempunyai suatu fantasi
agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggung jawab moral. Pendirian semacam itu
dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki kita semua. Pendirian itu juga
menyebabkan mereka menghindari fakta yang “didapat itu terlepas”, “kita sendirian,
dengan tidak ada maaf,” dan “kita terhukum agar bebas”.

5. Implikasi Eksistentialisme dalam Pendidikan


Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individu-individu dan
pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan
secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan
erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan lainnya pada
masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakekat
kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan dari eksistensi adalah
‘keberadaan’ manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.

a. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan yaitu untuk mendorong setiap indivdu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifikn berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga
dalam menentukan kurikulum, tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku
secara umum

b. Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan
kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas.” Kurikulum ideal adalah
kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan
mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian
mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang
lebih penting dari yang lainnya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas
adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran
yang dapat membantu untk menemukan dirinya sendiri adalah IPA, namun bagi yang
lainnya mungkin saja sejarah, filsafat, sastra dan sebagainya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar pada humaniora dan
seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan
instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta
memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Pelajar secara perorangan harus menggunakan
pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran dan keterampilan intelektual untuk
mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berpikir reflektif.
Namun dalam kurikulum yang ada pada saar ini, eksistensialisme tidak dipakai
karena memberikan kebebasan yang terlalu luas untuk siswa. Siswa bebas memilih mata
pelajaran yang hanya mereka inginkan. Sehingga sekolah akan kesulitan untuk
memberikan pelayanan yang dibutuhkan siswa. Pada zaman dahulu, aliran eksistensialisme
digunakan pada homeschooling. Namun homeschooling yang menggunakan aliran
eksistensialisme berbeda dengan homeschooling yang ada pada saat ini. Dimana
homeschooling yang menggunakan aliran ekstensialisme membebaskan siswanya untuk
belajar apa, kapan dan dimana, sehingga tidak ada jadwal yang terstruktur.

c. Proses belajar mengajar


Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang ‘dialog’. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribdi merupakan subjek bagi
subjek yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara ‘aku’ dan ‘engkau’ (Tuhan).
Sedangkan lawan dari dialog adalah ‘paksaan’, dimana seseorang memaksakan
kehendaknya kepada orang lain sebagai objek. Menurut Buber kebanyakn proses
pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada
pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru yang menjadi penguasanya.
Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan
dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur, maka dia hanya akan
merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya
guru dianggap sebagai seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari
transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi
alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar-mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan
ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa akan menjadi bagian dari pengalaman
pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan
antara pribadi dan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan oleh guru tidak merupakan
sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu
aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

d. Peranan guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam
semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun
demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri
pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh (Maxine
Grene, 1998), seorang filosof pendidikan yang terkenal yang karyanta didasarkan pada
eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita
jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling
manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat
pembicaraan pribadi akan makna dari proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus
memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-
pengalaman yang akan membantu mereka untuk menemukan makna dari kehidupan
mereka. Pendekatan ini berawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa
para siswa boleh melakukan apa saya yang mereka sukai : logika menunjukkan bahwa
kebebasan memiiki aturan, dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-
ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa
aan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia.
Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama
sehingga siswa mampu berfikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti,
guru tidak hanya mmengarahkan dengan tidak memberikan instruksi. Guru hardir di dlma
kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa
memiliki hak untuk menolak enterpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu
forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu
menjelaskan kemajuan siswa dan pemenuhan dirinya.
Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan
eksistensialisme sebagai berikut:
1) Tujuan Pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk
kehidupan
1. Status Siswa
Makhluk rasional dengan piihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya. Suatu
komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
2. Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum ini merupakan landasan bagi
kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah
diajaran pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan
untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan
dapat menimbulkan konflik.
3. Peranan Guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin guru pada hari ini,
besok lusa menjadi murid.
4. Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang
diapaki harus merujuk pada cara untuk mecapai kebahagiaan dan karakter yang baik.

B. BEHAVIORISME
1. Pengertian dan Sejarah Aliran Behaviorisme
Secara harfiah, istilah behaviorisme berasal dari kata behavior (perilaku) dan isme
(faham). Filsafat behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungannya dan atau akibat dari perilaku itu sendiri (consequence). Mekanisme
hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan dan konsekuensinya yang mendapat
sorotan utama filsafat behaviorisme. Filsafat behaviorisme memandang bahwa perilaku
(behavior) manusia dapat diubah atau dimodifikasi dengan memberikan stimulus dalam
lingkungannya. Prinsip inilah yang kemudian menjadi dasar kerja modifikasi perilaku.
Lingkungan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang ada di sekitar seseorang yang
mempengaruhi perilakunya. Obyek seperti manusia, benda, dan kejadian yang membuat
perilaku seseorang terpengaruh disebut stimulus atau rangsangan.
Behaviorisme berakar dari tiga filosofi yang sudah ada sebelumnya. Filosofi itu
adalah realisme, positivisme, dan materialisme. Realisme adalah aliran filosofi yang
melihat bahwa kenyataan adalah berkenaan dengan benda-benda yang beroperasi menurut
hukum alam. Dengan berakar pada realisme, behaviorisme memfokuskan pada hukum-
hukum alam. Makhluk hidup dari perspektif kaum behavioris merupakan bagian dari alam
dan sebagai akibatnya beroperasi menurut hukum-hukum alam. Tugas kaum behavioris
adalah menyelidiki organisme yang hidup, termasuk manusia, dalam usaha menemukan
hukum-hukum tingkah laku. Setelah hukum-hukum ini ditemukan mereka akan
menetapkan dasar bagi teknologi behavior (tingkah laku). Dalam hal ini manusia
dipersamakan dengan makhluk hidup lain, terutama hewan.
Positivisme, dengan berakar pada filosofi positifis maka pembuktian empiris
merupakan pusat dari metodologi behavior. Empirisme mengacu kepada seseorang yang
menjalankan sesuatu semata-mata berdasarkan hasil pengamatan atau pengalaman. Dari
konsep tersebut ilmu pengetahuan mendasarkan pengetahuannya ada pengamatan
peristiwa-peristiwa tertentu yang dilakukan secara cermat. Materialisme adalah teori
bahwa kenyataan dapat dijelaskan dengan hukum-hukum dari masalah.
Menurut behaviorisme, masalah pengetahuan (yang dapat ditangkap oleh manusia)
tidak dapat dipisahkan dari proses penanaman kondisi. Untuk itu, dikembangkanlah teori
sarbon yang dikemukakan oleh John B. Watson. Suatu penghayatan kejiwaan terdiri dari
proses yang paling sederhana yang terdiri dari rangsangan dari luar pribadi seseorang, yang
disambut dengan tanggapan tertentu. Menurut John B. Watson, terdapat 3 prinsip dalam
aliran behaviorisme: (1) menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun
pelaku. Kondisi adalah lingkungan external yang hadir dikehidupan. Perilaku muncul sebagai
respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan. (2) Perilaku yang dipelajari sebagai
konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena
dipelajari. Lingkungan terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi fisik
dan sosial. Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan belajar dari semua
itu. (3) Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi mempelajari
perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
Latar belakang aliran behaviorisme bersumber pada pandangan John Locke
mengenai jiwa anak yang baru lahir, ialah jiwanya dalam keadaan kosong atau seperti
kertas kosong yang sering disebut dengan teori tabularasa. Dengan demikian pengaruh dari
luar sangat menentukan perkembangan jiwa anak, dan pengaruh luar itu dapat
dimanipulasi. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan yang
baik akan menghasilkan manusia baik.

2. Behaviorisme dalam Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis


a. Behaviorisme dalam Perspektif Ontologis
Behaviorisme sebagai aliran filsafat yang diterapkan dalam teori belajar
mendasarkan pada filsafat realisme, positivisme dan materialisme. Ketiga aliran filsafat
tersebut sangat kuat pengaruhnya dalam perkembangan behaviorisme. Dimana semua
tokoh behavioris memfokuskan proses belajar pada perilaku yang diakibatkan oleh
stimulus melalui penguatan maupun hukuman. Realitas bagi behavioristik tidak tergantung
pada manusia yang mengetahui (Knight, 2007). Setelah hukum-hukum tingah laku ini
diungkap, maka akan tersedia sebuah landasan bagi teknologi tingkah laku.
Dasar behaviorisme yang kedua adalah postivisme. Filsafat positivisme
memberikan landasan metodologis bagi behaviorisme tentang verifikasi empiris. Proses
ilmiah dalam perubahan tingkah laku menjadi basis penelitian kelompok behavioristik.
Akar historis ketiga dari behaviorisme adalah materialisme. Materialisme pada
intinya adalah teori yang menegaskan bahwa realitas kiranya dapat dijelaskan dengan
hukum-hukum materi (benda) dan gerak. Dimana tokoh-tokoh behaviorisme berpendapat
bahwa psikologi harus berhenti mengkaji apa yang dipikirkan dan dirasakan manusia, dan
mulai mengkaji apa yang dilakukan manusia. Disinilah materialisme menjadi dasar dalam
analisis-analisis behaviorisme dalam penerapannya.
Maka behaviorisme secara ontologis memandang sebuah realitas adalah hal yang
dapat diindera, logis dan berdasarkan hukum-hukum materi. Behaviorisme harus
memandang manusia dari sisi yang hidup dan dinamis, dapat dibuktikan secara empiris dan
harus berwujud materi. Sehingga bagi behaviorisme perilaku manusia sebagai pusat kajian
adalah hal yang dapat diindera dapat dibuktikan secara saintifik dengan berbasis hukum-
hukum alam.

b. Behaviorisme dalam Perspektif Epistemologis


Epistemologi memberitahu bagaimana sebuah ilmu atau pengetahuan diperoleh
sehingga melahirkan tentang sebuah kebenaran. Behaviorisme sebagai aliran filsafat
psikologi memandang manusia dari aspek perilaku yang menganut anggapan-anggapan
pokok sains. Sehingga kebenaran dalam filsafat behaviorisme mengikuti cara sains
diperoleh yang sering kita kenal dengan pendekatan ilmiah (saintific approach). Hampir
seluruh tokoh behaviorisme menguji teorinya seperti percobaan pada sains. Dengan
melihat dan menguji perilaku pada percobaan binatang (tikus, anjing, dll) dengan
memberikan perlakuan yang berbeda-beda. Bagi behaviorisme semua perilaku yang akan
diamati akibat adanya stimulus baik melalui pengkondisian tertentu harus dapat diuji
melalui percobaan.

c. Behaviorisme dalam Persopektif Aksiologis


Aksiologi melahirkan sistem tata nilai (system of value). Perilaku secara utuh
dijadikan penilaian personal dalam keterlibatan lingkungan. Seseorang dinilai pribadinya
berdasarkan kelakuan yang ia realisasikan dalam lingkungan sosialnya. Behaviorisme yang
menjadikan perilaku sebagai fokus kajian dengan pemberian stimulus sehingga didapatkan
respon yang ditampilkan oleh setiap individu. Pengaruh lingkungan baik internal maupun
eksternal dan hubungan antar stimulus melalui pengutan positif dan negatif akan
menghasilkan sebuah kondisi atau perilaku yang bisa diamati. Sehingga behaviorisme
membentuk sistem tata nilai mekanistis. Penghargaan dan hukuman adalah salah satu
produk dari sistem tata nilai filsafat behaviorisme.
Dengan cara pandang yang empiris mekanistis, behaviorisme sangat bisa
dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara ilmiah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Sehingga secara aksiologis, behaviorisme mempunyai nilai manfaat bagi dunia
pendidikan dengan ide sentralnya bahwa perilaku (hasil belajar) harus dikondisikan
melalui stimulus-stimulus tertentu baik internal dan eksternal sehingga terbentuk respon
yang diharapkan.

3. Implikasi Behaviourisme dalam Pendidikan


Peran lingkungan lebih penting dibanding peran proses kesadaran. Menurut filsafat
behaviorisme kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku. Perubahan
perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang sesuai dengan norma dan etika dimana
seseorang berada. Di samping itu perubahan perilaku yangdimaksud bersifat relatif
permanen dan diperoleh dengan kesadaran. Jika kita mengikuti pengertian seperti itu,
maka dapat dikatakan bahwa pekerjaan seorang pendidik selalu terkait dengan kegiatan
perubahan perilaku (behavior modification). Implikasi aliran behaviorisme dalam
pendidikan dalam bentuk teori belajar behavioristik.

a. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedang belajar sebagai aktivitas "mimetic" yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis,
atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
b. Model pembelajaran
Behaviorisme mempunyai nilai dasar tentang perilaku yang dihasilkan dari proses
stimulus yang diberikan sehingga individu memberikan respon berupa perilaku yang dapat
diukur dan dilakukan secara mekanistis. Sehingga dalam penerapan pembelajaran,
behaviorisme memandang siswa sebagai objek yang bisa dibentuk melalui pengkondisian
baik berupa penguatan, penghargaan dan hukuman. Pembiasaan terhadap pengkondisian
tersebut dapat meningkatkan perilaku yang diharapkan. Sehingga behaviorisme cenderung
mudah dilakukan karena dapat dilihat hasilnya secara langsung. Dengan menerapkan
hukum-hukum belajar dapat mengontrol individu-individu dalam pencapaian belajar.
Model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar behavioristik adalah direct
instruction atau pembelajaran langsung yang berpusat pada guru. Guru harus memiliki
ketrampilan dalam mengelola kelas untuk menciptakan suasana kelas yang nyaman agar
siswa mudah dalam memahami materi. Guru diharapkan mampu memberikan sebuah
stimulus yang sesuai dengan kondisi anak dan kondisi lingkungan yang ada saat ini.
Tujuan utama model direktif adalah memaksimalkan penggunaan waktu belajar
siswa. Beberapa temuan dalam teori perilaku dihubungkan dengan pencapaian siswa yang
dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa dalam belajar/tugas dan kecepatan
siswa untuk berhasil dalam mengerjakan tugas. Dengan demikian, model pembelajaran
langsung dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar terstruktur, dan berorientasi
akademik. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya, guru
dapat menggunakan berbagai media, misalnya film, tape recorder, gambar, peragaan, dan
sebagainya. Informasi yang dapat disampaikan dengan strategi direktif dapat berupa
pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu atau
pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep,
prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian pembelajaran langsung dapat didefinisikan
sebagai model pembelajaran dimana guru mentransformasikan informasi atau keterampilan
secara langsung kepada siswa dan pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan
oleh guru.

c. Sistem evaluasi behavioristik menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara


terpisah, dan biasanya menggunakan tes tertulis
Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban
benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara "benar" sesuai dengan keinginan guru, hal
ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi dipandang
sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran (Smith,2010:195).
Kebijakan berkaitan dengan pandangan ini tentu saja masih sangat dekat dalam
kehidupan pendidikan kita, misalnya dengan adanya test tengah semester, test akhir
semester, bahkan sampai kebijakan Ujian Nasional. Semua instrumen dari penilaian ini
selalu dalam bentuk pilihan yang menunjuk pada satu jawaban yang paling benar walaupun
ada pertanyaan yang menuntut jawaban sikap. Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang
sampai saat ini masih banyak dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental
dengan suasana behaviorisme.
DAFTAR PUSTAKA

Baum, W.M. 2005. Understanding behaviorism: Behavior, Culture and Evolution.


Blackwell.
Etmer, Peggy A. 1993. Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical
Features From An Instructional Design Perspective. Performance Improvement
Quarterly, 6(4) Pp. 50-72.

Jalaludin. & Idi, A. 2013. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Depok:
PT Rajagrafindo Persada.
Muzari. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2002.
Scuh, L Kathy And Sasha A. Barab. 2011. Philosophical Perspectives. University Of Iowa,
Iowa City, Iowa And Indiana University, Bloomington, Indiana.
Smith, Mark K. 2010. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Yogyakarta: Mirza Media
Pustaka
Soemanto, Wasty. (1990). Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sutardjo A. Wiramihardja. Pengantar Filsafat. Bandung : PT Refika Aditama, 2006
Syah, Muhibbin.(2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Winch, C. & John, G. 2008. The Key Concept in The Philosophy of Education. Routledge

Anda mungkin juga menyukai