FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Oleh Kelompok : 9
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat serta limpahan k
arunia nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Filsafat
Eksistensialisme" dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mat
a kuliah Filsafat Pendidikan yang diampuh oleh Dr. Sardianto MS, M.Si. M.Pd
Dalam batas-batas tertentu modul ini memuat tentang konsep dasar filsafat, aliran-alir
an, makna dengan pendidikan serta implementasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada teman kelompok yang telah bekerja sama dengan ba
ik sehingga modul ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari makalah ini
masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi oleh karena itu Kami me
ngharapkan segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami dengan kerendahan hati meminta maaf apabila terdapat banyak kesala
han dalam penulisan makalah ini. Demikian apa yang bisa kami sampaikan, semoga pembaca
dapat mengambil manfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus mene
rus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan serta pandangan hidupnya, sehingga menj
adi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah
filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan
berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan s
ecara terus menerus dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh semangat.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli tentang sesuatu se
cara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan didalam penggunaa
n cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun
masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti latar
belakang pribadi, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.
Dalam makalah ini akan dibahas terkait Filsafat Eksistensialisme. Dengan pemahama
n yang baik dan benar mengenai konsep dasar, aliran-aliran, makna dengan pendidikan serta
penerapan filsafat ekistensialisme dengan praktek pendidikan.
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran ini dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensiali
sme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang
dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafa
t Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab
pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Hal ini terjadi karena pada saat i
tu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan ja
waban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika me
miliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) fils
uf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi
manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untu
k merealisasikan diri secara jujur dan berani.muncul.
The very being of the for itself which “condemned to be free” and must forever choose
itself– i.e., make itself. “ ‘To be free’ does not mean ‘to obtain what one has wished’ but
rather byoneself to determine oneself to wish’ (in the broad sense choosing) in other words
success isnot important to freedom
Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi
mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-
masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah
dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free
will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap
komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk
membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk
pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka
kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh,
bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan
materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk
karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki
dan dihadapinya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran
ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to
adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism
and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan
dalam segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk
pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan
eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom
in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli
pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Aspek metafisis itu berkaitan dengan realitas. Menurut pandangan eksistensialisme realitas
adalah subyektif, dengan eksistensi mendahului essensi (J.P. Sartre). Kita lahir dan eksis lalu
menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk
dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap
orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan sebaiknya
menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia
bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu penyadaran diri dengan menerapakan
prinsip-prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah kebenaran. Jika dikaitkan dengan
kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang liberal. Ini merupakan landasan bagi kebebasan
manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan
pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala apa yang
ada berpangkal pada eksistensi dan eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan sesuatu
yang menjadikan individu itu ada, seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan
setiap pribadi bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Aspek-aspek:
1. Aspek metafisika (hakekat kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki
melalui peyadaran diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
3. Aksiologi (hakekat nilai), standar dan rinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk
dipilih dan diambil.
DAFTAR PUSTAKA
Søren Aabye Kierkegaard, Purity of Heart is to Will One Thing, translated by Douglas V.
Steere, (New York:Harper Torchbook, 1956), hlm. 31.
Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, translated by Hazal E. Barnes, (New York:
Philosophical Library, 1965), hlm.803.
Jean Paul Sartre, Existentialism and Humanism, translated by Ph. Mairet, (London: Methuen,
1948), hlm. 29.
Søren Aabye Kierkegaard, Fear and Trembling, (New Jersey: Princeton University Press,
1954), hlm. 46