Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. Sardianto MS., M.Si., M.Pd

Oleh Kelompok : 9

1. Arifah Andayani (06111281924014)


2. Khusniatun Aisyah (06111181924011)
3. Mawaddah Warohmah (06111281924060)
4. Riska Anngraini (06111281924067)
5. Sariyem (06111181924068)
6. Siti Fatimah Az Zahrah (06111281924066)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat serta limpahan k
arunia nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Filsafat
Eksistensialisme" dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mat
a kuliah Filsafat Pendidikan yang diampuh oleh Dr. Sardianto MS, M.Si. M.Pd

Dalam batas-batas tertentu modul ini memuat tentang konsep dasar filsafat, aliran-alir
an, makna dengan pendidikan serta implementasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada teman kelompok yang telah bekerja sama dengan ba
ik sehingga modul ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari makalah ini
masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian isi oleh karena itu Kami me
ngharapkan segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami dengan kerendahan hati meminta maaf apabila terdapat banyak kesala
han dalam penulisan makalah ini. Demikian apa yang bisa kami sampaikan, semoga pembaca
dapat mengambil manfaat.

Tanjung Raja, 17 Oktober 2021

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus mene
rus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan serta pandangan hidupnya, sehingga menj
adi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah
filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir, berperasaan, dan
berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun proses pendidikan dilakukan s
ecara terus menerus dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh semangat.

Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli tentang sesuatu se
cara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan didalam penggunaa
n cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun
masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti latar
belakang pribadi, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat.

Dalam makalah ini akan dibahas terkait Filsafat Eksistensialisme. Dengan pemahama
n yang baik dan benar mengenai konsep dasar, aliran-aliran, makna dengan pendidikan serta
penerapan filsafat ekistensialisme dengan praktek pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dasar filsafat eksistensialisme?


2. Siapa saja tokoh dalam filsafat eksistensialisme?
3. Bagaimana implimentasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep dasar filsafat eksistensialisme.


2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme.
3. Untuk mengetahui implimentasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aliran Eksistensialisme


Secara etimologis eksistensialisme memiliki dasar kata eksistensi (Latin existentia, dari kata
exsistere menjadi ada’, dari ex- ‘keluar’ + sistere ‘mengambil tempat. Secara umum
eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagaimana adanya sembari keluar dari
dirinya, cara berada manusia. Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang
memusatkan perhatiannya pada kebebasan manusia, tanggung jawab pribadi, dan pentingnya
seorang individu untuk menentukan pilihannya. Filsafat ini memandang segala apa yang
ada berpangkal pada eksistensi. Eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan sesuatu
yang menjadikan individu itu ada. Secara umum, eksistensialisme dapat dipahami sebagai
paham di mana seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan setiap pribadi
bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pokok permenungan filsafat eksistensialisme adalah
keseluruhan realitas manusia.

2.2 Perkembangan Aliran Eksistensialisme

Aliran ini dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensiali
sme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang
dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafa
t Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab
pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Hal ini terjadi karena pada saat i
tu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan ja
waban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika me
miliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) fils
uf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi
manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untu
k merealisasikan diri secara jujur dan berani.muncul.

Filsafat modern berawal dari filsafat rasionalisme yang dicetuskan oleh René Descartes.


Ungkapannya “ Je pense donc je suis” atau lebih dikenaldengan “Cogito ergo sum” membuka
cakrawala permenungan filsafat untuk menggunakanakal budi
sebagai pengalaman yang menunjukkan keberadaan seseorang. Sejak saat itu bermunculan
pula aliran-aliran filsafat modern seperti empirisme, historisisme, romantisme, idealisme,
materialisme, esensialisme, eksistensialisme, dan nihilisme. Eksistensialisme sendiri
merupakan perlawanan terhadap idealisme, dan materialisme yang pada zaman filsafat
modern didominasi oleh pemikiran Ludwig Feuerbach. Idealisme, terutama idealisme
metafisis Hegelian, mengatakan bahwa manusia merupakan sintesis dari tesis dan
antitesis. Hal ini mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk manusia hanyalah suatu
representasi akal budi. Segala apa yang ada
tidak  bersifat fisik dan tidak memiliki materi. Rasionalitas yang dicetuskan oleh Descartes
mengalami radikalisasi dalam idealisme. Realitas dijelaskan melalui ide-ide, akal budi
mutlak, dsb. Eksistensialisme yang dibawa oleh Kierkegaard melawan paham ini.
Eksistensialisme menjatuhkan idealisme melalui pandangan bahwa manusia memiliki
cara berada dari eksistensinya. Karenanya, akal budi bukanlah pewujud nyata realitas.
Akal budimerupakan cara manusia untuk mencerap keberadaan segala apa yang
ada.Eksistensialisme juga melawan materialisme. Materialisme melihat manusia pada prinsip
nya hanya sebagai benda, sama dengan benda-benda lain seperti binatang, tumbuhan,atau
bahkan benda mati seperti meja, kursi, dll. Manusia hanyalah bentuk ragawi yang
dari padanya manusia dikatakan penuh. Materi manusia adalah kepenuhannya. Dengan
demikian,manusia hanya dipandang sebagai objek sebagaimana benda-benda lainnya.
EksistensialismeKierkegaard lagi-lagi menggugat pemikiran ini dengan mengatakan bahwa
manusia bukanlah objek. Materi tubuh manusia hanyalah sebagian aspek kemanusiaan.
Manusia memiliki cara berada yang berbeda dari ada-
ada yang lain. Kendati manusia memiliki materi yang pada akhirnya menjadi sama dengan
tanah, manusia tidak dapat diperlakukan seperti halnya tanah material. Manusia memiliki
cara berada eksistensial yaitu melalui kebebasan berpikirnya. Manusia adalah subjek yang
memiliki akal budi. Sejalan dengan akal budi tersebut, manusiamemiliki kesadaran akan
dirinya dan memiliki kemampuan untuk memetik makna dari setiaphal yang ada di
sekitarnya. Hal ini jelas-jelas membedakan manusia dari benda-benda yanglain. Kemampuan
manusia untuk berpikir, merenung dan memaknai setiap bagian hidupnyamerupakan hakikat
perbedaan cara berada manusia dengan cara berada benda-benda yanglain. Manusia adalah
subjek atas dirinya sendiri, sementara benda-benda di luar manusiaadalah objek. Dengan
demikian eksistensialisme menjadi pukulan besar bagi materialisme.Dua aliran filsafat yang
ditentang oleh eksistensialisme ini merupakan dua ekstremyang berseberangan. Idealisme
memandang manusia melulu sebagai subjek dan semata
mata berada hanya karena kemampuan akal budi. Materialisme, sebaliknya, melihat manusia
semata-mata objek yang tidak berbeda dengan benda-benda di luarnya.
Bahwa eksistensialisme menjadi penengah di antara kedua ekstrem ini. Kebebasan berpikir 
dan tanggung jawab pribadi ini membuat para eksistensialis melihat kebenaran bukan
sebagaisuatu hal yang mutlak. Kebenaran bergantung pada bagaimana seorang individu
menilainya berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kebenaran bersifat relatif.Para filosof
eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu:  pertama kesedihan
dan penderitaan adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika seseorang berpur
apura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan penderitaan, orang tersebut
sebenarnya tidak memilih sama sekali. Tanpa penderitaan, seorang bisa menjadi apa
punnamun bukan yang terbaik.Kedua, pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan
dengan hal yang tak dapat dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan,
sikap apatis ataurasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari
penderitaan yangmelemahkan manusia. Ketiga, nilai eksistensialis menitikberatkan pada
kesadaran, membangkitkan hasrat,dan tekad seseorang untuk melibatkan segenap
kemampuannya. Kierkegaard mengatakan, diaingin mendapatkan nilai di mana dia siap untuk
hidup dan bahkan bersedia mati. “Biarkanorang lain mengeluh bahwa dunia itu kejam,”
serunya, “Keluhanku adalah sungguh celaka jika tidak ada hasrat.” Atau, dalam kata-
kata Nietzsche: “Rahasia kemakmuran terbesar dankebahagiaan terbesar adalah eksistensi
hidup dalam bahaya.”Singkatnya, nilai eksistensialis memiliki sumber yang sama, fungsi
yang sama, danidentifikasi karakter yang sama. Sumbernya adalah kesadaran akan
penderitaan yang melekatdalam kondisi manusia. Fungsinya adalah untuk membebaskan
manusia dari rasa takut danfrustrasi karena beban kehidupan sehari-hari atau karena
kebosanan akan lamunan filosofis. Identifikasi karakteristiknya adalah intensitas.
Kebebasan manusia yang ingin dicapai oleh eksistensialisme, kendati kebebasan adalah hal
yang mutlak, bukanlah kebebasan dalam arti harfiah untuk berbuat segala sesuatu sesuka hati
dengan dasar dorongan insting manusiawi. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan akal
budi yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri untuk menentukan apa yang akan
dilakukan dalam hidupnya. Setiap manusia bisa menjadi apa saja, namun apakah hal itu
berasal dari dorongan akal budi yang terbebas dari segala tekanan dan ketakutan. Bahwa
penderitaan tidak dapat lepas dari setiap pilihan benar manusia, adalah konsekuensi yang
harus dibayar untuk menempatkan diri dalam kebebasan eksistensial

2.3 Karakteristik Aliran Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan


tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat Barat. Istilah eksistensialisme
tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-
perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama
sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada penganutnya. Karakteristik tersebut meliputi:
a). Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat
modern, khususnya terhadap idealisme Hegel. b). Eksistensialisme adalah suatu proses atas
nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan
konkrit. c). Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa. d).
Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis,
komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam
kolektif atau massa. e). Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan)
manusia di dunia. f). Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama
eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.

2.4 Tokoh-tokoh Aliran Eksistensialisme

2.4.1 Søren Aabye Kierkegaard

Filsafat eksistensialisme dicetuskan oleh seorang filosof berkebangsaan Denmark,


Kierkegaard. Dialah bapak eksistensialisme dalam sejarah filsafat dunia. Pemikira-
pemikiran Kierkegaard banyak dipengaruhi oleh filsafat Hegel yang lantas dijatuhkannya
dengan eksistensialisme. Sebagian besar pemikirannya telah dibahas sebelumnya, antara
lain perlawanannya terhadap idealisme Hegel dan materialisme. Ia juga melihat bahwa manus
ia terus-menerus mengadakan dirinya melalui akal budi dan pengalaman hidupnya.
Eksistensimanusia senantiasa menghantar manusia dari harapan menuju kenyataan. Kendati
menjadi tokoh terkemuka dalam dunia filsafat, Kierkegaard tidak memberikan suatu formula
khususatau gambaran untuk kehidupan. Filsafatnya memberikan teori nilai filosofis di mana
sebuahkonsep asli kehidupan manusia dikembangkan. Kierkegaard, selain dikenal sebagai
filosof juga dikenal sebagai teolog walaupunsemula dia tidak tertarik pada teologi. Tulisan-
tulisannya tentang relasi antara manusia danTuhan cukup banyak dan mendorong
pembacanya untuk memiliki iman yang lebih teguh.Salah satu pemahaman Copleston
tentang teologi Kierkegaard ialah, “The highest self-actualization of the individual is the
relating of oneself to God, not as the universal, absoluteThought, but as the absolute Thou.” 
Relasi antara manusia dengan Tuhan tidak dilihatsebagai relasi dengan semesta alam atau
dengan pemikiran absolut, melainkan sebagai relasiaku Engkau.Copleston menyebut
Kierkegaard sebagai pemikir religius pertama dan terkemuka. Hal ini dapat kita lihat dari
salah satu karyanya yang berjudul “Purity of Heart is to Will OneThing” yang ditulisnya pada
tahun 1847. Pada bagian pengantar ia menuliskan: FATHER IN HEAVEN! What is a
man without Thee! What is all that he knows, vastaccumulation though it be, but a chipped
fragment if he does not know Thee! What isall his striving, could it even encompass a world,
but a half-finished work if he doesnot know Thee: Thee the One, who art one thing and who
art all! So may Thou giveto the intellect, wisdom to comprehend that one thing; to the heart,
sincerity toreceive this understanding; to the will, purity that wills only one thing, tulisan ini
menunjukkan kekaguman Kierkegaard terhadap Tuhan. Kemurnian hati yang ia cantumkan
dalam judul bukunya bisa jadi merupakan cita-cita jiwanya ketika berhadapan dengan
Tuhan.Karya-karya penting Kierkegaard antara lain: Om Begrebet Ironi med stadigt
Hensyntil Socrates (1841), Enten - Eller (1843), Frygt og Bæven (1843), Gjentagelsen
(1843), Philosophiske Smuler (1844), Begrebet Angest (1844), Stadier paa Livets Vei (1845),
Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift (1846), Opbyggelige Taler i forskjellig Aand (1847),
Kjerlighedens Gjerninger (1847), Christelige Taler (1848), Sygdommen til Døden (1849),
dan Indøvelse i Christendom (1850)

2.4.2 Friedrich Wilhelm Nietzsche


 Nietzsche melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi, yaitu
manusia yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi manusia super (Über-Mensch)
yang bermental pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi Über-Mensch
adalah penderitaan sebab melalui penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal bu
dinyadengan lebih giat sampai ia menemukan jati dirinya. Dia mengatakan “My formula is
Amor fati: . . . not only to bear up under every necessity, but to love it”. Nietzsche tidak
hanya berusaha menghadapi penderitaan, tetapi juga mencintainya, karena itulah jalan menuj
u Über-Mensch. Demikianlah manusia bereksistensi. Manusia tidak berkembang
sebagaimana mestinya. Karya-karya penting Nietzsche antara lain:
Die Geburt der Tragödie (1872),Unzeitgemäße Betrachtungen (1873-1876), Menschliches,
Allzu menschliches (1878-1880),Morgenroth (1881), Die fröhliche Wissenschaft (1882);
Also sprach Zarathustra (1883-1885),Jenseits von Gut und Böse (1886), Zur Genealogie der
Moral (1887), Der Fall Wagner (1888), Götzen-Dämmerung (1889), Der Antichrist (1889),
Ecce Homo (1889), Dionysos-Dithyramben (1889), dan Nietzsche contra Wagner (1889)

2.4.3 Jean-Paul Sartre

Kutipan yang paling terkenal dari tokoh ini adalah “L’existence précède l’essence.”


Sartre melihat bahwa cara berada adalah yang pertama-tama menjadikan manusia ada.
Manusia mengada ketika manusia merencanakan dan menjalani hidupnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kebenaran bagi para eksistensialis bersifat relati
f. Kebenaran ini mendapatkan batasannya ketika kebebasan berpikir seorangindividu bertemu 
dengan kebebasan individu yang lain. Sartre, sebagai seorang tokoheksistensialis abad dua
puluh mengatakan:

The very being of the for itself which “condemned to be free” and must forever choose
itself– i.e., make itself. “ ‘To be free’ does not mean ‘to obtain what one has wished’ but
rather byoneself to determine oneself to wish’ (in the broad sense choosing) in other words
success isnot important to freedom

Sartre menyebutkan “L’homme est condamné à être libre” bukan berarti manusia dapat


mencapai segala keinginannya berkat kebebasan yang dia miliki. Kebebasan yang
dimaksudadalah kebebasan untuk mengarahkan diri pada apa yang ingin dicapai, artinya
manusia harus bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Kesuksesan bukanlah hal
yang terpenting dalamkebebasan Sartrean.Secara ironis kebebasan Sartrean ini dapat
ditafsirkan pula menjadi hukuman ketikakebebasan itu bertemu dengan kebebasan
lain. Kebebasan mengalami degradasi pemaknaan ketika manusia berhadapan dengan kebeba
san orang lain. Kebebasan menjadi terbatas ketika eksistensi seorang individu bertemu
dengan eksistensi individu yang lain.Seseorang menjadi tidak bebas dengan apa yang
dilakukannya. Tanggung jawab menjadi konsekuensi dari eksistensi manusia. Segala hal
yangdilakukan manusia, karena dilakukan atas kebebasan pikirannya, memuat tanggung
jawabterhadap eksistensi manusia lainnya.Karya-karya penting Sartre antara lain:
L’Imagination (1936), La Transcendance del’Ego (1937), La Nausée (1938), Le Mur (1939),
L’Imaginaire (1940), Les Mouches (1943),L’être et le néant: Essai d’ontologie
phénoménologique (1943), Huis-clos (1945), Morts sanssépulture (1946), La Putain
respectueuse (1946), Baudelaire (1947), Les Jeux sont faits (1947), Les Mains sales (1948),
Critique de la raison dialectique (1960), Les Mots (1964),Situations (I - X) (1947-1976),
L’Idiot de la famille (1971-1973), dan Cahiers pour unemorale (1983).

2.5 Implementasi Aliran Eksistensialisme dalam Pendidikan

Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi
mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-
masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah
dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free
will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap
komitmen dan pilihan sendiri.

Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk
membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk
pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka
kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh,
bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan
materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk
karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.

Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi
terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki
dan dihadapinya.

Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham


Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan
filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema sentral.”

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan


terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak
segala bentuk kemutkan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang
dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-
hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman
pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk
mencapai keyakinan hidupnya.

Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran
ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to
adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang  pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism
and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan
dalam segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk
pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan
eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom
in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli
pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

2.5.1 Aspek Metafisik dan Pendidikan

Aspek metafisis itu berkaitan dengan realitas. Menurut pandangan eksistensialisme realitas
adalah subyektif, dengan eksistensi mendahului essensi (J.P. Sartre). Kita lahir dan eksis lalu
menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk
dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap
orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan sebaiknya
menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia
bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu penyadaran diri dengan menerapakan
prinsip-prinsip dan standar pengembangan kepribadian.

2.5.2  Aspek Epistimologis dan Pendidikan

Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah kebenaran. Jika dikaitkan dengan
kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang liberal. Ini merupakan landasan bagi kebebasan
manusia. Kebebasan memiliki aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan
pendidikan sosial untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua.

Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan melainkan ditawarkan. Untuk


menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog.

2.5.3 Aspek Aksiologis dan Pendidikan


Aspek yang ketiga ini berhubungan dengan nilai (etika dan estetika).  Standar dan prinsip
yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih dan diambil. Etika sebagai tuntunan
moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti orang. Nilai  keindahan ditentukan secara
individual pada tiap orang oleh dirinya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala apa yang
ada berpangkal pada eksistensi dan eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan sesuatu
yang menjadikan individu itu ada, seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan
setiap pribadi bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Eksistensialisme merupakan perlawanan terhadap idealisme, dan materialisme yang pada


zaman filsafat modern didominasi oleh pemikiran Ludwig Feuerbach. Idealisme, terutama
idealisme metafisis Hegelian, mengatakan bahwa manusia merupakan sintesis dari tesis dan
antitesis. Hal ini mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk manusia hanyalah suatu
representasi akal budi. Segala apa yang ada tidak  bersifat fisik dan tidak memiliki materi.

Tujuan pendidikan menurut pandangan eksistensialisme adalah untuk mendorong setiap


individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri dengan
memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.

Aspek-aspek:

1. Aspek metafisika (hakekat kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki
melalui peyadaran diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan kepribadian.

2.  Aspek Epistimologi (hakekat pengetahuan), data internal pribadi, acuannya kebebasan


memilih.

3. Aksiologi (hakekat nilai), standar dan rinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk
dipilih dan diambil.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Dardiri. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah Ilmiah


Fondasi Pendidikan, Volume 1
John Douglas Mullen, Kierkegaard’s Philosophy: Self Deception and Cowardice in the
Present Age, (New York:A Mentor Book New American Library, 1981), hlm. 160.

Søren Aabye Kierkegaard, Purity of Heart is to Will One Thing, translated by Douglas V.
Steere, (New York:Harper Torchbook, 1956), hlm. 31.

Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, translated by Hazal E. Barnes, (New York:
Philosophical Library, 1965), hlm.803.

Jean Paul Sartre, Existentialism and Humanism, translated by Ph. Mairet, (London: Methuen,
1948), hlm. 29.

Søren Aabye Kierkegaard, Fear and Trembling, (New Jersey: Princeton University Press,
1954), hlm. 46

Anda mungkin juga menyukai