Anda di halaman 1dari 26

ALIRAN PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

(EKSISTENSIALISME, PROGRESIVISME, PERENIALISME, ESENSIALISME DAN


REKONSTRUKTIVISME)
(Diajukan untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam )

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Ahmad Asrori, M.A.
Dr. H. Damanhuri Fattah, M.M.
Dr. Sunarto, M.Pd.I

OLEH :
KELOMPOK 5
R. SUYANTO (NPM : 2186108031)
WALIYAN ANGGARA (NPM : 2186108042)
KELAS : C/S2/PAI/2021

UIN RADEN INTAN LAMPUNG


1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang bejudul “Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan
(Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme, Esensialisme dan Rekonstruksivisme)” dengan
tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Selain
itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang bagaimana manajemen Pendidikan
dalam Islam bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Asrori, M.A.,
Dr. H. Damanhuri Fattah, M.M. dan Dr. Sunarto, M.Pd.I selaku dosen Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan Islam. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sumbang
saran penulis nantikan guna penyempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………. .. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………… 2
C. Tujuan Perumusan Masalah ……………………………………………………………. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme ……………………………… 3
B. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Progresivisme ………………………………. 4
C. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Perenialisme …..………....…………………. 5
D. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme ……………………………. 7
E. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruktivisme ……………………………. 8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan dan Saran …………………………………………………………………….. 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara harfiah, pengertian filsafat yang berasal dari kata Philo (cinta) dan Sophos
(ilmu) memiliki arti cinta terhadap ilmu. Namun, filsafat pendidikan bukanlah
cinta ilmu pendidikan semata, melainkan bagaimana menciptakan cinta dan berusaha
mendapatkan, memusatkan perhatian dan menciptakan sikap positif terhadap pendidikan.1
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-
masalah pendidikan yang belum atau tidak terjawab oleh cabang ilmu-ilmu yang ada.
Keberadaan filsafat dalam dunia pendidikan diperlukan untuk mencari hakikat sesuatu,
berusaha mengaitkan hubungan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-
pengalaman kehidupan manusia.2
Filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya dalam suatu
kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran
utamanya. Demikian juga pada filsafat pendidikan. Ada beberapa aliran filsafat yang
digunakan dalam dunia pendidikan.3 Diantaranya yang akan dibahas adalah Aliran
Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, Progresivisme, Perenialisme,
Eksistensialisme dan Rekonstruktivisme.

B. Rumusan Masalah
1. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
2. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Progresivisme
3. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Perenialisme
4. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
5. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruktivisme

C. Tujuan Perumusan Masalah


Makalah ini berusaha untuk menyajikan Pengertian, sejarah berdiri, tokoh-tokoh dan
pandangan dari Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, Progresivisme,
Perenialisme, Eksistensialisme dan Rekonstruktivisme.

1
https://www.researchgate.net Pengertian Filsafat diunduh pada Hari Senin, 01 November 2021, Pukul 21.28
WIB
2
https://www.padamu.net diunduh pada Hari Senin, 01 November 2021, Pukul 21.30 WIB
3
Ibid.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme


1. Pengertian dan Sejarah Pemikiran Filsafat Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme merupakan filsafat dan akar metododoginya berasal dari
metoda fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya
eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kierkegaard (1813-1855) guna menjawab
pertanyaan, “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?” dan ahli filsafat Nietzche
(1844-1900) guna menjawab pertanyaan, “Bagaimana cara menjadi manusia unggul?”.
Kierkegaard menemukan jawaban yaitu, jika memiliki gairah, keterlibatan dan
komitmen pribadi. Nietzche menemukan jawaban yaitu, jika punya keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani.4 Karena manusia adalah the best
stature/creature baik dari segi bentuk, struktur tubuh maupun intelektual. Allah
berfirman:

َ ۡ‫ت َو َفض َّۡل َٰنَ ُهم‬


‫علَ َٰى‬ َّ ‫۞ولَقَ ۡد ك ََّر ۡمنَا بَن ِٓي َءا َد َم َو َح َم ۡل َٰنَ ُهمۡ فِي ۡٱلبَ ِر َو ۡٱلبَ ۡح ِر َو َر َز ۡق َٰنَ ُهم ِمنَ ٱل‬
ِ َ‫طيِ َٰب‬ َ
٧٠ ‫َكث ِٖير ِم َّم ۡن َخلَ ۡقنَا ت َ ۡف ِض ايٗل‬
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan. (QS. Al Isra’ :70)”5

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah


suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah serta
menolak segala bentuk kemutlakan rasional.6
Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap materialisme dan idealisme,
dimana materialisme memandang manusia itu ada tanpa menjadi subjek. Idealisme
memandang manusia hanya sebagai subjek atau suatu kesadaran. Sedangkan
eksistensialisme memandang bahwa manusia harus berpangkalan eksistensi, penuh
dengan lukisan konkrit/nyata.7

4
Sunarto, Filsafat Pendidikan Islam, (Kendal : Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al Rosyid, 2021) hal. 99
5
QS. Al Isra’ (17) : 70)
6
Ibid., hal. 100
7
Ibid.
Kata Eksistensialisme diambil dari kata eksistensi yang terdiri dari dua kata
yaitu eks yang artinya keluar dan sistensi yang berarti berdiri, atau timbul. Secara
bahasa eksistensi ialah membahas tentang keberadaan manusia yang berdiri sendiri atau
tanpa paksaan orang lain.8
Sedangkan secara istilah, Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
berpendapat bahwa manusia sadar terhadap keberadaannya sendiri bahwa setiap
manusia bebas dalam bertindak, menciptakan, memilih secara tanggung jawab.9
Eksistensialisme salah satu aliran filsafat yang menyakini bahwa kebenaran ada
pada kebebasan dirinya dan menolak untuk mengikuti aliran, kepercayaan, serta sistem.
Sehingga, menurut Eksistensialisme kebenaran itu bersifat relatif yang dapat berubah
pada lain waktu. Karena setiap individu bebas memilih apa yang menurutnya benar. 10
Dalam aliran eksistensialisme setiap individu didorong untuk mengembangkan segala
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Aliran ini juga memberikan
bekal pengalaman yang luas juga komprehensif dalam segala bidang kehidupan.11
Van Cleve Morris berpendapat bahwa perhatian utama pandangan Pendidikan
kalangan Eksistensialisme adalah pada upaya membantu pendirian individu untuk
sampai pada realisasi yang lebih utuh menyangkut preposisinya sebagai berikut:
a. Aku adalah subjek yang memilih, tidak bisa menghindari caraku menjalani hidup;
b. Aku adalah subjek yang bebas, sepenuhnya bebas untuk merancang tujuan-tujuan
kehidupanku sendiri;
c. Aku adalah subjek yang bertanggung jawab, secara pribadi
mempertanggungjawabkan akan pilihan-pilihan bebasku karena hal itu
terungkapkan dalam bagaimana aku menjalani kehidupanku.

Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan Pendidikan karena pusat


pemikiran eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan Pendidikan hanya
dilakukan oleh manusia.12 Tujuan filsafat eksistensialisme dalam pendidikan ialah
menjadikan sekolah sebagai tempat yang memberikan kebebasan serta tidak
mengekang dan membelenggu keinginan atau kebutuhan siswa.13

2. Tokoh-tokoh Pemikiran Eksistensialisme


8
https://www.kompasiana.com/solihin6353/5eb2e0cb097f3631d43a4973/ aliran- filsafat-eksistensialisme
dalam-pendidikan, diakses pada Hari Senin, 01 November 2021, Pukul 22.20 WIB
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Sunarto, Op.cit, hal. 100-101
13
https://www.kompasiana.com/solihin6353/5eb2e0cb097f3631d43a4973/ Loc.cit.
a. Soren Aabye Kiekegaard
Inti pemikirannya adalah manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa
menjadi, bergerak dari kemungkinan menjadi kenyataan. Penekanannya pada
keberanian manusia itu sendiri untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan.14
b. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai
keinginan untuk berkuasa, sehingga harus menjadi manusia super dengan mental
majikan bukan budak. Kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan
karena dengan itu orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya
sendiri.15
c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi
semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua
focus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.16
d. Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia, punya makna bila dikaitkan dan
digunakan oleh manusia.17
e. Jean Paul Sartre
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, setelah diciptakan
mempunyaii kebebasan menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi
dirinya sendiri.18
3. Pandangan filsafat eksistensialisme dalam Pendidikan19
a. Realitas
Menurut aliran eksistensialisme, realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk
menggambarkan realitas, manusia harus menggambarkan apa yang ada dalam diri
manusia, bukan yang ada di luar kondisi manusia.
b. Pengetahuan

14
Sunarto, Loc.cit.
15
Ibid., hal. 102
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.
19
Ibid., hal. 102-103
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-
peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap
kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung kepada pemahamannya
tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan
yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau
karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan
diri.
c. Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam
Tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau cita-cita diri sendiri, melainkan potensi
suatu tindakan.
d. Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan
diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara
unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan
Pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan
sangat erat dengan Pendidikan, karena keduanya saling bersinggungan satu denga
yang lain pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antara
manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan
eksistensialisme adalah keberadaan, manusia, sedangkan Pendidikan hanya
dilakukan oleh manusia.

B. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Progresivisme


1. Pengertian dan Sejarah Pemikiran Filsafat Progresivisme
Menurut Redja Mudyaharjo, dalam Sunarto, progresivisme adalah gerakan
Pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan Pendidikan di sekolah berpusat pada
anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pandidikan yang berpusat
pada guru (teacher centered) atau bahan pelajaran (subject centered).20
Progresivisme merupakan aliran filsafat pendidikan modern yang menghendaki
adanya perubahan pelaksanaan pendidikan menjadi lebih maju. Aliran progresivisme
ini mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak dan

20
Ibid., hal. 103
menjadikan pendidik hanya sebatas sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi
peserta didik.21
Meskipun progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul
dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat
ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Hiraclitus (544
&ndas; 484 SM), Socrates (469 – 399 SM), Protagoras (480 &ndash ; 410 SM
dan Aristoteles.22
2. Dasar Al Qur an dan Hadits tentang Progresivisme (Proses perkembangan/perubahan
dalam hidup manusia)
Banyak ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan teori progresivisme, salahsatunya
adalah Firman Allah:

ً ‫ َو َق ۡد َخلَقَكُمۡ أَ ۡط َو‬١٣ ‫ّلِل َو َق اارا‬


١ ‫ارا‬ ِ َّ ِ َ‫َّما لَكُمۡ ََل ت َ ۡر ُجون‬

“Mengapa kamu tidak mempercayai kebesaran Allah, padahal Dia menjadikan kamu
melalui proses setingkat demi setingkat. (QS. Nuh: 13-14)”.23

Ibnu ‘Umar ra. pernah menyatakan :


“Jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sampai petang hari. Jika engkau
berada di petang hari, jangan tunggu sampai pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu
sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu sebelum datang matimu.”
(HR. Bukhari)24

3. Tokoh-tokoh Pemikiran Filsafat Progresivisme25


a. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi
organic, harus mempunyai fungsi biologic dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia
menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata
pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk
membebsakan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya diatas
dasar ilmu perilaku.
b. John Dewey (1859 – 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan
pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka

21
http://journal. Umpo.ac.id, Muhammad fadlillah, Aliran Progresivisme Dalam Pendidikan di Indonesia,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Indonesia, 2017, hal. 1 diakses pada 08 November 2021 pukul 20:15
22
Sunarto, Op.cit, hal. 104
23
QS. Nuh (71) : 13-14)
24
Tria Wulandari, Teori Progresivisme John Dewey dan Pendidikan Partisipatif dalam Pendidikan Islam, At-
Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam, 2020, hal. 84
25
Sunarto, Op.cit, hal. 105 - 106
muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Dia
menegaskan bahwa pendidikan itu “preparing or getting ready for some future duty
or privilege”(mempersiapkan untuk mendapatkan banyak tugas atau tanggung
jawab di masa yang akan datang) (Dewey, 1916:74).26
Filsafat yang dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu
bukan sesuatu yang tak dapat direncanakan. Perubahan dapat diarahkan oleh
kepandaian manusia. Sekolah mesti membuat siswa sebagai warga negara yang
lebih demokratik, berpikir bebas dan cerdas. Bagi Dewey ilmu pengetahan itu dapat
diperoleh dan dikembangkan dengan mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai
untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
c. Hans Vaihingers (1852 – 1933)
Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan objeknya
tidak mungkin dibuktikan. Satu-satunya ukuran bagi berpikir adalah gunanya
(dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia.
Jalaluddin dalam Sunarto meyatakan bahwa segala pengertian itu sebenarnya
buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. Untuk menguasai dunia, bolehlah
dianggap benar dan sebenarnya kebenaran tersebut tidak lain kecuali kesalahan
yang berguna.
4. Pandangan Pemikiran Filsafat Progresivisme terhadap Pendidikan27
Dasar filosofis dari aliran progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme
Baru. Realisme spiritualistic berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresivisme
bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistic dan kreatif dari Froebel dan Montessori
serta ilmu baru tentang perkembangan anak. Sedangkan humanisme baru menekankan
pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan
demikian orientasinya individualistic.
a. Tujuan Pendidikan
Adapun tujuan dari aliran progresivisme dalam pendidikan ialah ingin merubah
praktik pendidikan yang selama ini terkesan otoriter menjadi demokratis dan lebih
menghargai potensi dan kemampuan anak, serta mendorong untuk dilaksanakannya
pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik. Dengan menerapkan
aliran progresivisme dalam pendidikan, harapannya dapat membawa perubahan dan

26
John Dewey, Democracy and Education, New York: Macmillan, hal. 74
27
Ibid., hal. 106 –108
kemajuan pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas, sehingga mampu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia.28
Menurut Sunarto, agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan,
alat dan pengalaman social, dan memiliki pengalaman problem solving.
b. Kurikulum Pendidikan
Menempatkan subjek didik pada titik sumbu peserta didik (child-centered),
sehingga berupaya mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang
berpangkal pada kebutuhan, kepentingan dan inisiatif subjek didik. Jadi ketertarikan
anak adalah titik tolak bagi pengalaman belajar. Bernadib, dalam Sunarto,
menyatakan bahwa kurikulum progresivisme adalah kurikulum yang tidak beku dan
dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah kurikulum yang “berpusat pada
pengalaman”.
c. Metode Pendidikan
Metode yang digunakan adalah metode pendidikan aktif progresif, lebih kepada
penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan anak bebas
mengembangkan bakat dan minatnya.
Metode memonitor kegiatan belajar, sifatnya memperlancar berlangsungnya
kegiatan belajar.
5. Pandangan Pemikiran Filsafat Progresivisme terhadap Peserta Didik dalam Pendidikan
Filsafat Progresivisme merupakan Aliran filsafat pendidikan yang menekankan
kepada peningkatan kemampuan peserta didik melalui pengalaman kemampuan diri
peserta didik atau kemandirian dan selalu menunjukkan perubahan dari masing-masing
peserta didik. Filsafat Progresivisme sangat berpengaruh dalam potensi pengembangan
peserta didik. Pengembangan disini yaitu peserta didik mendapatkan pengetahuan
tambahan dari potensi yang dimiliki, dapat mengembangkan potensi secara mandiri,
dan dapat menjadi progres atau kemajuan untuk diri peserta didik, untuk mencapai
tujuan pendidikan.29
Filsafat Progresivisme menuntut untuk selalu melakukan kemajuan(progres),
bertindak secara konstruktif, inovatif, dan aktif. Filsafat Progresivisme juga
berpandangan bahwa setiap manusia itu selalu menginginkan perubahan, selalu
berkembang dan lebih baik. Untuk mendapat perubahan yang dituju maka manusia
harus memiliki pandangan hidup yang fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan,

28
http://journal. Umpo.ac.id, Muhammad fadlillah, Loc.cit.
29
https://www.kompasiana.com/kormilatria/5eb67a4fd541df5ea63f5b42/pengertian-filsafat-pendidikan
progresivisme, Kreator: Kormila Tria, 2020 diakses pada 08 November 2021 Pukul 20:40
dan tidak terikat oleh apa pun), harus memiliki sifat toleran, selalu ingin mengetahui
dan menyelidiki, dan punya pikiran yang terbuka.30
Prinsip-prinsip itu harus ditanamkan pada peserta didik agar dapat melakukan
perubahan dan perkembangan untuk kemajuan pembelajarannya. Aliran Progresivisme
juga berpandangan bahwa belajar adalah suatu proses yang bertumpu pada akal
manusia dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya.31
Dalam bukunya Sunarto menyebutkan bahwa yang dimaksud berpusat pada
anak dalam Pandangan progresivisme yaitu, anak adalah pusat keseluruhan kegiatan
pendidikan, anak adalah unik (anak bukan orang dewasa, anak adalah anak yang
memiliki individualitas sendiri) dan anak memiliki alur pemikiran sendiri.32

C. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Perenialisme


Pengertian Perenialisme Secara etimologis, perenialisme diambil dari kata perennial
dengan mendapattambahan -isme, perenial berasal dari bahasa Latin yaitu perennis, yang
kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris, berarti kekal, selama-lamanya atau abadi.33
Sedang tambahan –isme di belakang mengandung pengertian aliran atau paham.34 Dalam
Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English perenialisme diartikan sebagai
“continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” yang berarti
abadi atau kekal.35 Jadi perenial-isme bisa didefinisikan sebagai aliran atau paham
kekekalan.36

Tujuan Pendidikan Islam Menurut Perenialisme


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perenialisme merupakan paham
yang menempatkan nilai pada supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber pada Tuhan.
Dalam membicarakan pendidikan sasaran utama yang akan dicapai adalah “kepemilikan atas
prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai yang abadi, tak terikat waktu dan
ruang”.37
Dengan menempatkan kebenaran supernatural sebagai sumber tertinggi, oleh karena itu
perenialisme selalu bersifat theosentris. Karena itu menurut perenialisme, penyadaran nilai
dalam pendidikan harus didasarkan pada nilai kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari

30
Kormila Tria, Loc.cit.
31
Ibid.
32
Sunarto, Op.cit, hal. 108
33
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 39.
34
Adi Gunawan, Kamus Ilmiah Popoler, (Surabaya: Kartika, tt), h. 175.
35
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 27.
36
Zakiah Daradjat, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 51.
37
William F. O’Neill, Ideologi-ideologi Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h. 22.
wahyu dan hal itu dilakukan melalui proses penanaman nilai pada peserta didik.38 Sedang
kebenaran hakiki dapat diperoleh dengan latihan intelektual secara cermat untuk melatih
kemampuan pikir dan latihan karakter untuk mengembangkan kemampuan spiritual.39
Dalam ajaran Islam terdapat suatu pandangan yang universal, yaitu bahwa manusia
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik dan termulia. Serta diciptakan dalam
kesucian asal (fitrah), sehingga setiap manusia mempunyai potensi benar. Dalam Al Qur’an,
Allah menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran,
sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Al-Baqarah ayat 26: Artinya “Maka adapun orang-orang
yang beriman, mereka mengetahui bahwa itu benarbenar dari Tuhan mereka” (QS. Al
Baqarah: 26). Dan Q.S. Al-Baqarah ayat 144: Artinya: “Dan bahwasanya orang-orang yang
diberi kitab itu mengetahui bahwa yang demikian itu benar dari Tuhan mereka” (QS. Al
Baqoroh:144).
Karena manusia memiliki fitrah kebenaran maka Allah memerintahkan kepada manusia
untuk menyelesaikan semua persoalan yang timbul diantara mereka kebenaran, sebagaimana
dalam Al-Qur’an juga disebutkan “Maka hendaklah kamu beri keputusan diantara manusia
dengan kebenaran” (QS. Shod: 26).
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mencari
dan mempraktekkan kebenaran. Ini berarti bahwa sejak kelahirannya manusia telah dibekali
fitrah kebenaran.40 Sehingga wajar jika menusia disebut sebagai makhluk pencari kebenaran.
Dan untuk menemukan kebenaran ini manusia harus mencarinya melalui proses berpikir.
Tentunya pandangan Al Qur’an tersebut sejalan dengan pandangan perenialisme dalam
pencarian kebenaran. Dalam konteks pendidikan sekolah, tujuan pendidikan yang ditekankan
adalah membantu anak untuk dapat menyingkap dan menginternalisasi kebenaran hakiki.
Karena kebenaran hakiki ini bersifat universal dan konstan (tetap, tidak berubah), maka hal ini
harus menjadi tujuan murni pendidikan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan agama Islam merupakan usaha
sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini,
memahami, dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau
pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Maka Pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara,
serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi.41
Penekanan terpenting dari ajaran agama Islam pada dasarnya adalah menumbuhkan
keimanan melalui pengetahuan yang ditransfer pada peserta didik. Sehingga diharapkan proses
pendidikan bermuara pada penemuan kebenaran oleh peserta didik sesuai dengan fitrahnya.
Selain itu hubungan antar sesama manusia yang sarat dengan nilai- nilai yang berkaitan
dengan moralitas sosial juga menjadi tujuan yang tidak kalah pentingnya dengan tujuan
sebelumnya. Sejalan dengan hal ini, arah pelajaran etika di dalam al Qur’an dan secara tegas di

38
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta, 2004), h. 64.
39
Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan, (Yogyakarta : Ar-Ruzz), h. 132.
40
Muhaimin, et. al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya 2004), h. 285.
41
Abdul Madjid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan
Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 135.
dalam hadis Nabi mengenai diutusnya Nabi adalah untuk memperbaiki moralitas bangsa Arab
waktu itu.
Pendidikan etika ini yang berkaitan dengan moralitas sosial tersebut merupakan bentuk
pengamalan peserta didik terhadap nilai-nilai tehadap ajaran Islam. Pengetahuan yang telah
terinternalisasi dalam diri peserta didik dan menjadi kebenaran harus dapat diamalkan dalam
kehidupan nyata.
Oleh karena itu, berbicara pendidikan agama islam, baik makna maupun tujuannya
haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika
sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan
hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mempu membuahkan kebaikan
(hasanah) di akhirat kelak.
Dalam menyusun tujuan pendidikan tentunya dibutuhkan dasar-dasar yang kuat. Dalam
Islam sumber yang paling utama adalah Al Quran dan Hadits. Seperti yang telah diungkapkan
oleh Muhaimin tentang tipologi pemikiran perenial dalam pendidikan Islam. Perenialisme
dalam Islam tidak bisa lepas dari dua sumber tersebut, bahkan pada model esensialis falsafi
dan esensialis madhabi kita dapat melihat sikap regresif mereka terhadap budaya tradisional
Islam.
Model pertama berpatokan pada pewarisan budaya masa lalu (masa Nabi dan Sahabat)
sebagai parameter. Masa tersebut dianggap paling ideal dalam sejarah Islam, sehingga materi
pendidikan Islam didasarkan pada hal- hal ini. Model ini menekankan pada wawasan
kependidikan islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran,
pemahaman, atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang sudah relatif mapan
dengan kata lain pendidikan islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan
mewariskan nilai, tradisi, budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa
mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer
yang di hadapinya.
Pada model kedua, cenderung pada penafsiran dan pemahaman nash- nash tentang
pendidikan dengan nash yang lain, atau dengan menukil dari pendapat sahabat, juga berusaha
membangun konsep pendidikan islam melalui kajian tekstual atau berdasarkan kaidah-kaidah
bahasa Arab dalam memahami nash al-Quran dan hadits Rasulullah saw, dan kata-kata sahabat
serta memperhatikan praktik pendidkan masyarakat islam sebagaimana yang terjadi pada era
kenabian dan sahabat, untuk selanjutnya berusaha mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai
dan praktik pendidikan tersebut hingga sekarang.
Kedua model diatas memang bersifat sangan tradisional, sehingga mereka inklusif
terhadap perkembangan era kontemporer. Untuk menyeimbangkan kedua model diatas
kemudian muncul satu model yang menjadi penghubung antara budaya lama dan era
kontemporer yaitu esensialis kontekstual-falsifikatif.
Model diatas memiliki ciri khas mengambil jalan tengah antara kembali ke masa
lalu dengan jalan kontekstualisasi serta uji fasifikasi dan mengembangkan wawasanwawasan
kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Nampaknya, inilah model perenialisme yang
lebih cocok kita terapkan dalam pengembangan pendidikan Islam sekarang. Karena tidak kaku
dan dapat mengikuti perkembangan era kontemporer
D. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Essisensialisme

Essnsialisme adalah suatu aliran pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Aliran essensialisme muncul pada zaman renaissance, dengan ciri-ciri utamanya yang
berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini trutama dalam memberikan dasar berpijak
mengenai pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan,
tolerandantidakadaketerikatandengandoktrintertentu.
Bagi essesialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan
kurang terarah. Karena itu essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan
danarahyangjelas.
Agar dapat terpenuhi maksud terebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mana mempunyai
tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah
yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini;
dengan perhitungan zaman renaissance, pandangan essensialistis awal. Puncak refleksi dari
gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.
Bagi aliran ini, “Education as cultural conservation”, pendidikan sebagai pemelihara
kebudayaan. Karena dalil ini maka aliran essensialisme dianggap para ahli sebagai
”Conservative road to culture”. Yakni aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan lama,
warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia.42
Essensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan yang mereka wariskan
kepada kita hingga sekarang telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan sejarah.
Kebudayaan demikian adalah essensia yang mampu pula mengemban hari kini dan masa
depanumatmanusia
Kebudayaan, sumber itu tersimpul dalam ajaran para filosof ahli pengetahuan yang agung,
yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal, monumental.
Kesalahan dari kebudayaan modern sekarang menurut essensialisme adalah
kecenderungannya, bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah

42
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1995)
ditanamkan kebudayaan warisan itu. Fenomena-fenomena sosial-kultural yang tidak kita
ingini sekarang hanya dapat diatasi dengan kembali secara sadar melalui pendidikan, ialah
kembali ke jalan yang telah ditetapkan itu. Hanya dengan demikian, kita boleh optimis
dengan masa depan kita, masa depan kebudayaan umat manusia.
Masalah kebudayaan pada dasarnya adalah masalah tingkah laku manusia. Oleh sebab
kebudayaan merupakan dan dapat didefinisikan sebagai individu maupun dalam
kedudukannya sebagai anggota masyarakat, baik dalam kehidupan dan penghidupannya.
Manusia disini diakui dan dalam pengertian makhluk budaya yang mampu mengatur
tingkah lakunya sesuai dengan martabatnya yang berbudaya. Dengan kata lain manusia
sebagai makhluk budaya bukan saja mampu meneruskan tingkah laku orang yang
mendahuluinya, tetapi menentukan kepastian pilihan lain dari tingkah laku di masa
mendatang. Alternatif-alternatif tingkah lakunya di masa mendatang yang lebih baik dan
benar,yangbenar-benarbaikdanbaikbenar.
Makhluk budaya Yunani klasik beberapa abad sebelum masehi telah memberikan contoh
tauladan bagaimana manusia membuka tabir rahasia alam semesta yang di luar dirinya dan
apa yang ada dalam dirinya, melalui ajaran filsafat dan pola kebudayaannya.
Mereka telah mengusik hati nurani makhluk budaya masa kini, untuk mengikuti jejak yang
telah dirintisnya. Untuk berpegang teguh pada asas dasar tentang ajaran perubahan dan
perkembangan kebudayaan yang manusiawi bahwa “Civilized man is able to disagree
without being disagreeable, nevertheless not to be indifference”. Hanya dengan kondisi dan
situasi pola dasar berpikir dan tingkah laku manusia yang demikian itu manusia mampu
menerobos ikatan waktu dan tempat yang membelenggu horizon pemikiran dan kehidupan
kebudayaannya.43
Dengan demikian manusia sebagai makhluk budaya bukanlah setan tetapi bukan pula
malaikat, tetapi suatu ketika dapat brubah ke arah bentuk yang dan jenis makhluk demikian
itu, atau memenuhi potensi-potensi ke arah itu. Sebagai setan, manusia memiliki
kecenderungan untuk menghancurkan nilai-nilai kebudayaan yang telah diciptakannya
sendiri. Dan sebagai malaikat, manusia mendapat kepercayaan dan kehormatan dari Tuhan
untuk berperan sebaga i malaikat, sebagai penyuluh agama bagi manusia-manusia ke arah
jalanyanbenardanbaik.
Essensialisme merupakan paduan ide-ide filsafat idealisme dan realisme. Dan praktek-
praktek filsafat pendidikan essensialisme dengan demikian menjadi lebih kaya
dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran yang ia
sinthesakanitu.

43
Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang, 1986
Essensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup
yang mengarah kepada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain diwarnai oleh
pandangan-pandangan dari paham penganut idealisme dan realisme.
B.Tokoh-TokohEssensialisme
Berikut beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme, yaitu
- Desidevius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan
abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak
pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan
intornasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah.
- Johann Amos Comenius, yang hidup diseputar tahun 1592-1670. Ia adalah seorang yang
memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan
mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada
hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
- John Locke, tokoh dari Inggrisyang hidup pada tahun 1632-1704. Sebagau pemikir dunia,
ia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
- Johann Henrich Pestalozzi, sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalistis yang
hidup pada tahun 1746-1827, Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu
tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan
wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai hubungan
transendental langsung dengan Tuhan.
- Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis
dengan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan
bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
alam. Terhadap pendidikan Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi
kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya
tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni,
selarasdenganfitrahkejadiannya.
- Johann Friederich Herbert, yang hidup pada tahun 1776-1841 adalah salah seorang murid
Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan
adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan yang mutlak dalam arti
penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian
tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai “Pengajaran yang mendidik”.
- William T. Harris, tokoh dari Amerika Serikathidup pada tahun 1835-1909. Harris yang
pandangannya dipengaruhi oleh Hegel, berusaha menerapkan idealisme obyektif pada
pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita
berdasarkan susunan yang pasti. Berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah
baginya adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun dan
menjadipenuntunenyesuaiandirikepadamasyarakat.
Dalam rangka mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham
progressivisme, tokoh-tokoh essensialisme mendirikan suatu oraganisasi yang bernama
“Essensialist Committee for the Anvancement of Education” pada tahun 1930. Melalui
organisasinya inilah pandangan-pandangan essensialisme dikembangkan dalam dunia
pendidikan.44
Tujuan umum aliran essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di
akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang
mampumenggerakkankehendakmanusia.

C.PemikiranEssensialismeDalamPendidikan
a.TeoribelajarEssensialisme
Padaprinsipnya,prosesbelajarmenurutessensialismeialah :
-Melatihdayajiwayangpotensialsudahada
- Proses belajar sebagai proses absorption (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu dari
warisan-warisan sosial yang disusun didalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi
sebagaiperantara.
b.Pandangantentangembelajarandankurikulum
Dalam sudut pandang filsafat pendidikan essensialisme, proses pembelajaran sebagai
pengetahuan yang berasal dari guru. Selain itu, siswa adalah juga dalam posisi pengamat
secara pasif terhadap objek-objek pengetahuan yang berasal dari guru. Dalam hal ini,
kebenaran yang ada dalam objek pengetahuan ada diluar diri mereka (objektif) untuk
diupayakan diterima atau diupayakan diamati agar dapat dicapai esensi (pengertian) daei
objekpengetahuanitu.
Dalam pengembangan kurikulum, para ahli dan praktisi filsafat pendidikan essensialisme
memiliki pandangan bahwa kurikulum merupakan miniatur atau gambaran kecil dunia
realitas yang bersifat objektif. Kurikulum adalah tempat para guru dan para administrator
pendidikan melakukan pengelolaan proses pembelajaran sehingga mampu membuat siswa
meyakini bahwa segenap aspek yang terintegrasi dalam kurikulum adalah suatu entitas atau
suatu hal yang memiliki makna bagi mereka, bersifat nyata. Ada secara objektif, dan
memiliki nilai kebenaran bagi kehidupan mereka.

44
Djumransyah, Filsafat Pendidikan, Bayumedia, 2004, h.183
c.Peranansekolahdanguru
Peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada
generasi pelajar dewasa ini, melalui hikmat dan pengalaman yang terakumulasi dari
disiplin tradisional. Di sekolah tiap siswa belajar pengetahuan, skill, dam sikap serta nilai
yang diperlukan untuk menjadi manusia sebagai anggota masyarakat.
Belajar efektif di sekolah adalah proses belajar yang keras dalam penanaman fakta-fakta
dengan penggunaan waktu secara relatif singkat, tidak ada tempat bagi pelajaran pilihan.
Kurikulum dan lingkungan disusun oleh guru. Waktu, tenaga dan biaya semuanya
ditujukan untuk belajar yang essensial.
Selanjutnya mengenai peranan guru banyak persamaanya dengan perenialisme. Guru
dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus, dan merupakan
model contoh yang sangat baik untuk ditiru. Guru merupakan orang yang menguasai
pengetahuan dan kelas berada di bawah pengaruh dan pengawasan guru.
d.Prinsip-prinsippendidikan
Prinsip-prinsip pendidikan essensialisme dapat kita kemukakan sebagai berikut :
1) Pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, tidak begitu saja timbul dari dalam diri
siswa.
2) Inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa. Peran guru adalah
menjembatani antara dunia orang dewasa dengan dunia anak. Guru disiapkan secara
khusus untuk melaksanakan tugas di atas, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing
pertumbuhansiswa-siswanya.

E. Aliran Pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruktivisme


Konstruvisme berasal dari bahasa inggris rekonstruct yang berarti menyusun kembali.
Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruktivisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern45
Aliran Konstruvisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan
adalah konstruksi (bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas),
pengetrahuan merupakanakibat dari suatu konstrukti kognitif melalui kegiatan seseorang.

Pengertian Filsafat Konstruktivisme


Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia

45
Jalaludin, Abdullah idi, Filsafat Pendidikan ( Jakarta, Gaya media pratama,2002)hal.,97
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld
dalam Pannen dkk, 2001: 3). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa
anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar,
sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin
dalam Yusuf, 2003). Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah
teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari
kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut
dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson
Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan pentingnya setiap
siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari
belajar sebelumnya dengan belajar baru. Konstruktivisme merupakan paradigma alternatif
yang muncul sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang teradi dalam beberapa dasawarsa
terakhir (Kuhn dalam Pannen dkk. 2000: 1).

Pendekatan konstruktivisme menjadi landasan terhadap berbagai seruan dan


kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti perlunya siswa berpartisipasi
aktif dalam proses pembelajaran, perlunya siswa mengembangkan kemampuan belajar
mandiri, perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri,
serta perlunya pengajar berperan menjadi fasilitator, mediator dan manajer dari proses
pembelajaran.
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia.
Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum
Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta
dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti
mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada
struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat,
Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal
orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan
konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan
berkembang melebihi gagasan Vico.

Tokoh dalam aliran Konstruktivisme


Menurut J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual
anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu
sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7
sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan
Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung
pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).

Aliran Filsafat Konstruktivisme Dalam Keilmuan

A. Ontologi
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam
dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-
pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu,
hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan
pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme
yang terpecah menjadiidealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara
rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas
pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada
dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga
dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam
bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and
limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan
yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2)
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat
diperoleh ?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan
antara pengetahuan a priori(pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan,
pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran,
kebolehjadian, kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif
pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren
maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam
fokus penelaahan.
C. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar,
2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam
Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral
conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,- esthetic expression, yaitu
ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan
melahirkan filsafat sosio-politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value dan valuation.Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu
kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata
kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik
tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul
antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt
yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara
yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun
S. Suriasumantri, 2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa
seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh
landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler
yang mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein
(Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan,
sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam
kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan
teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam
kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai
profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai
hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia
modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu,
terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan
keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis
dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada
pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia
modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas,
penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran Filsafat Eksistensialisme, secara bahasa eksistensi ialah membahas tentang
keberadaan manusia yang berdiri sendiri atau tanpa paksaan orang lain. Sedangkan
secara istilah, Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa manusia
sadar terhadap keberadaannya sendiri bahwa setiap manusia bebas dalam bertindak,
menciptakan, memilih secara tanggung jawab.
Aliran filsafat progresivisme mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah berpusat pada anak dan menjadikan pendidik hanya sebatas sebagai fasilitator,
pembimbing, dan pengarah bagi peserta didik.

Aliran Filsafat Perenialisme merupakan paham yang menempatkan nilai pada


supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber pada Tuhan. Dalam membicarakan
pendidikan sasaran utama yang akan dicapai adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip
tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai yang abadi, tak terikat waktu dan ruang

Aliran Filsafat Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan


pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap
pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu
berubah dan berkembang. Essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini
kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk, dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang stabil dan tidak menentu.
Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan
pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu, pendidikan haruslah
bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan.

Aliran Filsafat Konstruvisme berasal dari bahasa inggris rekonstruct yang berarti
menyusun kembali.Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruktivisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern

B. Saran
Makalah yang penulis susun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu,
saran, kritik, dan masukan yang membangun sangat penulis butuhkan guna lebih baik
lagi makalah ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim
Dewey, John. Democracy and Education. New York: Macmillan. hal. 74
https://www.researchgate.net Pengertian Filsafat diunduh pada Hari Senin, 01 November 2021,
Pukul 21.28 WIB

https://www.padamu.net diunduh pada Hari Senin, 01 November 2021, Pukul 21.30 WIB

https://www.kompasiana.com/solihin6353/5eb2e0cb097f3631d43a4973/ aliran- filsafat-


eksistensialisme dalam-pendidikan, diakses pada Hari Senin, 01 November 2021, Pukul 22.20
WIB
http://journal. Umpo.ac.id, Muhammad fadlillah, Aliran Progresivisme Dalam Pendidikan di
Indonesia, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Indonesia, 2017, hal. 1 diakses pada 08
November 2021 pukul 20:15

https://www.kompasiana.com/kormilatria/5eb67a4fd541df5ea63f5b42/pengertian-filsafat-
pendidikan progresivisme, Kreator: Kormila Tria, 2020 diakses pada 08 November 2021 Pukul
20:40

Sunarto. Filsafat Pendidikan Islam. (Kendal : Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al


Rosyid, 2021). hal. 99

Tria Wulandari. Teori Progresivisme John Dewey dan Pendidikan Partisipatif dalam
Pendidikan Islam. At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam, 2020. hal. 84

Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat
Perenial, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 39.

Adi Gunawan, Kamus Ilmiah Popoler, (Surabaya: Kartika, tt), h. 175.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 27.

Djumransyah, Filsafat Pendidikan, Bayumedia, 2004, h.183


Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang, 1986

Zakiah Daradjat, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 51.

William F. O’Neill, Ideologi-ideologi Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h. 22.

Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta, 2004), h. 64.

Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan, (Yogyakarta : Ar-Ruzz), h. 132.

Muhaimin, et. al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya 2004), h.
285.

Abdul Madjid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep
dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 135.

Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1995)

Jalaludin, Abdullah idi, Filsafat Pendidikan ( Jakarta, Gaya media pratama,2002)hal.,97

Anda mungkin juga menyukai