EKSISTENSIALISME
KELOMPOK 5
Alexander
Patricia Pasaribu
Gabriel Surbakti
Rachel Gracia Pardede
Ruth Febriana Siagian
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Karunia-Nya
sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan waktu yang telah ditentukan. Adapun
makalah yang dibentuk ini yaitu untuk memenuhi pembentukan PPT untuk
diberlangsungkannya presentasi mata kuliah Filsafat Pendidikan. Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu kami Dra. Dorlince Simatupang, M.Pd
yang telah memberikan tugas ini serta dengan bimbingannya.
Masih banyak kesalahan kata dalam pembuatan makalah ini, untuk itu kritik dan saran
dari pembaca sangat dibutuhkan agar kami dari kelompok 5 kedepannya dapat membentuk
makalah yang lebih baik lagi.
Tim Penulis
Filsafat Pendidikan
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………i
Daftar Isi……………………………………………………………………………………..ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………....1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………2
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………......2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….3
2.1 Latar Belakang Munculnya Eksistensialisme……………………………………..3
2.2 Pandangan Realitas………………………………………………………………..4
2.3 Pendapat Para Tokoh……………………………………………………………...4
2.4 Eksistensialisme Dalam Pendidikan………………………………………………6
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..11
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………11
3.2 Saran……………………………………………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………12
2.5
Filsafat Pendidikan
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat Pendidikan
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang dideskripsikan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya filsafat Eksistensialisme?
2. Bagaimanakah pandangan realitas filsafat Eksistensialisme?
3. Bagaimanakah pendapat para tokoh filsafat Eksistensialisme?
4. Bagaimanakan penerapan Filsafat eksistensialisme dalam pendidikan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya filsafat Eksistensialisme
2. Untuk mengetahui pandangan realitas filsafat Eksistensialisme
3. Untuk mengetahui pendapat para tokoh filsafat Eksistensialisme
4. Untuk mengetahui penerapan Filsafat eksistensialisme dalam pendidikan
Filsafat Pendidikan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat Pendidikan
3
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada
yang lain, sebaliknya menjadi sadar betapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang
berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik
ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat
masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi
manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial.
Seadngkan Sartre membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme
kreistiani dan eksistensialisme ateis.
Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar
manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri
sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard manusia sadar dengan tempatnya.
Filsafat Pendidikan
3
2. Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai
kebebasan untuk menentukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri
sendiri
3. Friedrich Nietzsche
Menurutnya, manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia
super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri. pemikiran
filsafat Nietzsche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar
untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia
unggul (ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika
mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
4. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua
pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia
sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan
transendensi.
5. Martin Haidegger
Menurut Martin Haidegger bahwa Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia
diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru
mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang
berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
Filsafat Pendidikan
3
2.4 Eksistensialisme Dalam Pendidikan
1. Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-
peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran
manusia. Pengetahuan manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas,
tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di
sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan
untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah
akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku
dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut.
2. Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling
sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-
akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat
akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin
dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus
berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil
tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut
sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi,
tujuan diperoleh dalam situasi.
Filsafat Pendidikan
3
3. Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan
diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik
pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan,
Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali
dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada
masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat
kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan”
manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya,
sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu
tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik
kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang
lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana
individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata
pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah,
sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk
menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah,
filsafat, sastra, dan sebagainya.
Filsafat Pendidikan
3
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan
dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di
dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan
mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik
intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah
sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan
dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam
masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari
harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari
dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora
dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan
instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c. Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan
dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara
pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya.
Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa
menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna
guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan
dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya
akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa.
Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa
akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia,
sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Filsafat Pendidikan
3
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan
ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu
dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian
dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa
sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru
tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d. Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam
semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya.
Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita
harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal
yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan
kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian
bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat
dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif.
Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan
memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan
makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak
orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan
ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif,
sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan
dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama
belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Filsafat Pendidikan
3
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama
sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan.
Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam
kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme.
Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah
merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-
temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan
dirinya.
Filsafat Pendidikan
3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia.
Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Jika
manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. Tujuan
pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-
aturan. Peranan guru adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi
lain guru sebagai motivator dan fasilitator.
Adapun implikasi filsafat eksistensialisme terhadap pendidikan adalah tujuan pendidikan
harus didesain untuk memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua
bentuk kehidupan kepada siswa. Kurikulum yang diutamakan adalah kurikulum liberal akan
tetapi diimbangi dengan materi pendidikan sosial, untuk mengajar respek (rasa hormat)
terhadap kebebasan untuk semua.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan baik dalam penulisan maupun
kata, untuk itu kami tim penulis meminta kritikan dan saran dari pembaca agar tim penulis
dapat membentuk sebuah makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Filsafat Pendidikan
11
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Bernadib, Imam. 1976. Filsafat pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Drijarkasa. 2011. Filsafat manusia.Yogyakarta. kanisius.
Gandhi HW, TW. 2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan.
Jojakarta. Ar-ruzzmedia.
J. Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan mahasiswa). Salatiga.
Widya Sari.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.
http://alfykdr.blogspot.com/2013/07/filsafat-pendidikan-eksistensialisme.html
www.slideshare.net/elcepurwandarie/eksistensialisme
Filsafat Pendidikan
12