Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGANTAR PENDIDIKAN

“Kajian Antropologis Filsafi Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pendidikan


Dosen pengampu : Dr. H. Y. Suyitno, M.Pd.

Disusun oleh :

KELOMPOK 2

Eissa Ainun Najwa (2000275)


Haura Amalia (2001002)
Rifki Fata Ladid (2000944)
Ulinnazry Safira Rahayu (2000695)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pendidikan Indonesia
2021

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kajian
Antropologis Filsafi Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Dr. H. Y. Suyitno, M.Pd. Selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar
Pendidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Filsafat Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Y. Suyitno, M.Pd. Selaku
dosen pengampu mata kuliah Pengantar Pendidikan yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja
sama dalam penyusunan dan pencarian materi sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 10 Mei 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat ..................................................................................... 4
2.2 Filsafat Pendidikan .................................................................................... 4
2.3 Filsafat Idealisme ....................................................................................... 5
2.4 Filsafat Realisme ....................................................................................... 7
2.5 Filsafat Pragmatisme ................................................................................. 8
2.6 Filsafat Eksistensialisme ............................................................................ 11
2.7 Filsafat Pancasila ....................................................................................... 13

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada bab Kajian Antropologis Filsafi Terhadap Hakikat Manusia Dan


Pendidikan dan Pendidikan ini membahas tentang berbagai pemikiran mengapa
manusia itu harus dan dapat dididik serta mampu mendidik. Sebelum
menjelaskan lebih jauh, perlu kita memahami dasar antropologi filsafi yang
bersumber dari filsafat Pancasila, yaitu suatu konsep yang menjadi pedoman
dalam teori serta praktek pendidikan. Bahwa manusia menurut pandangan
Pancasila adalah sebagai hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai makhluk
individual sekaligus sosial. Pandangan ini memiliki konsekuensi menolak
segala teori yang bertentangan dengan konsep Penciptaan atau teori
kreasionisme, yaitu teori evolusionisme pada manusia.
Demikian pula konsep manusia sebagai makhluk individual sekaligus
sosial, adalah sebuah teori yang memadukan potensi manusia yang lebih
lengkap dalam prinsip kehidupan yang harmonis di dalam kehidupan
masyarakat, yaitu menolak teori yng berbasis pada sistem kapitalisme dan juga
menolak teori yang berbasis pada sistem sosialisme materialisme maupun
sosialisme komunisme. Dengan demikian, prinsip yang digunakan dalam
praktek pendidikan nasional adalah mewujudkan masyarakat yang demokratis
berbasis pada nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil
dan beradab dalam bingkai persatuan Indonesia.
Dalam praktek pendidikan para pendidik harus memahami arah
orientasi tujuan pendidikan nasional yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila
yang tidak mengarahkan pada model-model kehidupan individualis-kapitalis
dan juga orientasi kehidupan sosialis - komunis materialis. Uraian pada bab ini
lebih menyoroti persoalan antropologis filsafi manusia, dengan menggunakan
analisis fenomenologis secara luas mendahului penyelidikan tentang sifat- sifat

1
filsafat dari pada persoalan yang dihadapi. Sarjana pendidikan tidak dapat
bersikap skeptis yang prinsipil dalam teori-teori filsafat yang dianutnya, karena
dia harus bertindak. la hanya dapat "berdiam diri" dengan syarat seakan-akan
dalam hal demikian janun bertindak pula bahwa ia rela turut bertanggung
jawab. Itu pula sebabnya maka sifat athetis. Dan sebagai halnya dengan setiap
ilmu yang praktis berhubungan dengan pedagogik berhak menaruh anggapan,
bahwa banyak yang telah diketahui, sehingga tidak perlu baginya menyusun
sendiri suatu metafisika yang lengkap dan menyusun secara khas dari
metafisika ini suatu antropologi lengkap atau suatu etik lengkap, ataupun suatu
ilmu kemasyarakatan (sosiologi) yang khas, dsb.
Pedagogik menganggap filsafat ada dan sama sekali bukan bermaksud
untuk menggantikan kedudukan ilmu yang terakhir ini. Tidak pula pedagogik
itu suatu sistem yang deduktif-spekulatif, yang hanya "harus disalurkan" saja
dari pada dalil dasar filsafat yang diterima secara eksiomatis.

1.2 Rumusan Masalah

1.1.1 Apa pengertian dari filsafat ?


1.1.2 Bagaimana pengertian filsafat menurut para ahli ?
1.1.3 Apa saja macam – macam filsafat ?
1.1.4 Bagaimana dengan filsafat pendidikan dan implementasinya ?
1.1.5 Bagaimana dengan filsafat idelisme dan implementasinya ?
1.1.6 Bagaimana dengan filsafat realisme dan implementasinya ?
1.1.7 Bagaimana dengan filsafat pragmatisme dan implementasinya ?
1.1.8 Bagaimana dengan filsafat eksistensialisme dan implementasinya ?
1.1.9 Bagaimana dengan filsafat pancasila dan implementasinya ?

2
1.3 Tujuan Penulisan

1.1.10 Mengetahui pengertian dari filsafat.


1.1.11 Mengetahui pengertian filsafat menurut para ahli.
1.1.12 Mengetahui saja macam – macam filsafat.
1.1.13 Memahami tentang filsafat pendidikan dan implementasinya.
1.1.14 Memahami tentang filsafat idelisme dan implementasinya.
1.1.15 Memahami tentang filsafat realisme dan implementasinya.
1.1.16 Memahami tentang filsafat pragmatisme dan implementasinya.
1.1.17 Memahami tentang filsafat eksistensialisme dan implementasinya.
1.1.18 Memahami tentang filsafat pancasila dan implementasinya.

3
BAB II 4
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat


2.1.1 Secara Etimologis

Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu


falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri dari kata
philien yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan.

2.1.2 Menurut Para Ahli

a. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di
dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
b. Plato
Filsafat merupakan pengetahuan yang mencoba untuk mencapai
pengetahuan tentang kebenaran yang asli.
c. Descrates
Filsafat merupakan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, manusia
menjadi pokok penyelidikan.

2.2 Filsafat Pendidikan


2.2.1 Pengertian

a. Al-Syaibani
Filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur dan menjadikan
filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan (Al-Syaibani dalam Jalaluddin & Idi, 2015, hlm. 19).

4
b. John Dewey
Merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental yang
menyangkut daya pikir maupun daya perasaan menuju tabiat manusia (Dewey
dalam Jalaluddin & Idi, 2015, hlm. 20).
c. Randal Curren
Adalah penerapan serangkaian keyakinan-keyakinan filsafat dalam praktik
pendidikan (Curren dalam Chambliss, 2009, hlm. 324).

2.3 Filsafat Idealisme

Idealisme, pada prinsipnya adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan,


pemikiran, akal pikir atau kedirian daripada sabegai suatu penekanan pada
obyek-obyek dan daya-daya material (Knight, 2007). Idealisme terkait dengan
konsep abadi seperti kebenaran, keindahan, kemuliaan. Lebih lanjut, Knight
(2007) menyebutkan bahwa idealisme menganggap bahwa akal pikir adalah
sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkannya.
Sepanjang sejarahnya, edealisme terkait erat dengan agama karena sama-sama
memiliki fokus pada aspek spiritual. Beberapa filsuf idealisme adalah Plato,
Rene Descartes, George Berkeley, Immanuel Kant dan George W. F. Hegel.

2.3.1 Hakikat Manusia

Idealisme menganggap adanya Diri Absolut yang merupakan prototype


akal-pikir. Jagat raraya ini dapat direnung-pikirkan dalam cara pandang
makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Makrokosmos
adalah Akal-pikir absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman
sensori dapat direnung-pikirkan sebagai mikrokosmos yang merupakan
bayangan dari apa yang sejatinya ada. Peran diri individu manusia berusaha
semaksimal mungkin mirip dengan Diri Absolut (Tuhan). (Knight, 2007)

5
2.3.2 Idealisme dan pendidikan

Siswa dapat dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik yang berada


dalam proses menjadi lebih mirip dengan Diri Absolut. Siswa ditandai oleh
keinginan untuk sempurna. Di sekolah penganut aliran idealisme, guru
merupakan contoh bagi siswa karena lebih dekat dengan Diri Absolut,
perpustakaan menjadi pusat aktivitas dan dan dalam proses pembelajarannya
tidak tergairahkan dengan kunjungan ke lapangan. Kritik yang muncul terhadap
idealisme ini adalah bahwa pendidikan semacam ini sebagai bentuk
pengalaman menara gading dan merupakan pendukung status quo. (Knight,
2007).
2.3.3 Implikasi Filsafat Idealisme

a. Tujuan pendidikan
Membentuk karakter,dan mengembangkan bakat dan kemampuan dasar
serta kebaikan sosial peserta didik/
b. Peran pendididik
pendidik harus membimbing siswa agar mampu mengembangkan
watak yang terbaik. Ini terkait dengan sikap kesadaran dalam diri siswa.
Socrates, Plato, dan Kant berpendapat bahwa pengetahuan terbaik
adalah pengetahuan yang muncul atau dikeluarkan dari dalam diri siswa
bukan karena dipaksakan (Sadulloh, 2012:101). Di dalam prosesnya
pendidik harus dapat meletakkan dasar yang bisa dilihat oleh peserta didik
sebagai suatu pedoman yang baik. Pendidik perlu memberikan dan
sekaligus menjadi contoh bagi peserta didik.
a. Peran Peserta Didik
memanfaatkan kebebasan yang diberikan untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan dasar atau bakatnya. Kebebasan ini terkait
dengan pandangan bahwa siswa akan lebih optimal apabila dorongan untuk
belajar muncul dari dalam diri sendiri. Meski demikian, di dalam tatanan
kependidikan, terdapat beberapa hal dimana kebebasan pilihan ini tidak

6
bisa diterapkan 100%. Siswa juga harus mematuhi batasan-batasan yang
ada dalam mengikuti proses belajar mengajar.

2.4 Filsafat Realisme

Realisme merupan reaksi terhadap keabstrakan dan kedunia-lainan dari


idealisme. Titik tolaknya adalah bahwa obyek-obyek dan indra muncul dalam
bentuk apa adanya terlepas dari serapan pengetahuan yang dibentuk oleh akal-pikir.
Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri dari dunia fisik dan dunia
rohani (Sadulloh, 2012). Aristoteles (384-322 S.M.) berpendapat bahwa unsur-
unsur pokok dari setiap obyek adalah bentuk dan isinya. Bentuk dapat di analogikan
dengan ida atau gagasan dalam pandangan Plato tentang idealisme, sedangkan
materi adalah unsur material yang membentuk suatu oobyek. Aristoteles percaya
bahwa pemahaman yang lebih baik tentang ide0ide universal dapat diraih mellaui
kajian terhadap hal atau materi. (Knight, 2007)
2.4.1 Hakikat Manusia

Knight (2007) menyebutkan bahwa menurut Realisme, realitas puncak


bukanlah ada dalam akal-pikir seperti yang dianggap oleh penganut idealisme.
Alam semesta adalah dunia fisik di mana manusia tinggal di dalamnya dan
merancang realitas. Alam semesta merupakan sebuah mesin raksasa di mana
manusia bertindak sebagai pengamat dan juga menjadi peserta. Penganut
realisme melihat realitas dalam kaca mata bahwa segala sesuatu adalah nyata
ketika berjalan sesuai dengan hukum alam. Kebenaran adalah segala sesuatu
yang sesuai dengan situasi aktual sebagaimana ditangkap oleh si pengamat.
2.4.2 Realisme Pendidikan

Dalam filsafat realisme, siswa dipandang sebagai organisme hidup yang


dapat menangkap tatanan alam dunia ini melalui pengalaman indrawi. Dunia
adalah sesuatu dan seorang siswa adalah orang yang dapat mengetahui dunia
melalui panca indra mereka. Beberapa penganut realisme memandang siswa

7
sebagai orang yang tunduk pada hukum alam dan karena itu tidak bebas dalam
pilihan-pilihan yang meraka ambil. (Knight, 2007)

2.4.3 Implikasi Filsafat Realisme

Metode pengajaran realisme sangat mementingkan indrawi. Siswa dapt


belajar dengan baik dan maksimal jika mereka dapat merasa, mencium dan
mendengar materi yang diajarkan, serta melihatnya. Penganut aliran ini
menyukai demonstrasi (peragaan materi) di ruang kelas karya wisata dan
penggunaan alat bantu audio-visual.
a. Tujuan pendidikan
Membentuk karakter,dan mengembangkan bakat dan kemampuan dasar
serta kebaikan sosial peserta didik/
b. Peran Pendididik
Menjadi pihak yang menguasai pengetahuan dan memiliki ketrampilan
serta mampu menyajikan dalam bentuk yang menarik kepada siswa.
Pengetahuan baik dan buruk yang disampaikan merupakan bentuk
rangkuman pengalaman pendidik di dalam kehidupannya. Pendidik juga
diharapkan bisa menyelenggarakan proses belajar mengajar yang
mendorong siswa untuk bisa mengoptimalkan kemampuan indrawinya
secara keseluruhan. Artinya metode beragam yang dapat merangsannnggg
nafsu belajar siswa perlu dikuasai.
c. Peran Peserta Didik
Mengembangkan sikap disiplin, baik mental dan moral. Tingkat disiplin
yang tinggi akan membentuk komitmen terhadap pengetahuan yang hendak
dipelajari dan pada akhirnya akan membentuk komitmen mencapai tujuan
yang positif.

2.5 Filsafat Pragmatisme

Pragmatisme merupakan perkembangan dari Realisme yang tumbuh dan


berasimilasi dengan inti permikiran Yunani Kuno dari Heraclitos. Heraclitos

8
berpandangan bahwa sifat utama dari kenyataan hidup adalah perubahan
(Kuswana, 2013). Filsafat-filsafat tradisional cenderung bersifat statis
menerangkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Pragmatisme merupakan aliran
filsafat yang merupakan reaksi filosofis atas fenomena perubahan yang muncul
pada paruh terakhir abad XX. William James dalam Knight (2007) merumuskan
pragmatisme sebagai “sikap memalingkan muka dari segala sesuatu, prinsip-
prinsip, kategori-kategori dan keniscayaan-keniscayaan awal, untuk kemudian
beralih pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-konsekuensi, serta fakta-fakta
baru”.
Pengetahuan menurut penganut pragmatis berakar dari pengalaman (Knight,
2007). Lebih lanjut, manusia mempunyai akal-pikir kejiwaan yang aktif dan
menjelajah bukan sekedar akal-pikir kejiwaan yang pasif dan reseptif. Sebagai
akibatnya, manusia tidaklah begitu saja menerima pengetahuan, ia menciptakan
pengetahuan karena ia berinteraksi dengan lingkungan. Manusia berbuat sesuatu
terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi
tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksionalnya dengan dunia yang mengitari.
2.5.1 Hakikat manusia
Manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran dan
pengetahuan, pada saat bersamaan ia bertanggung jawab atas nilai-nilai. Nilai-
nilai bersifat relatif dan tidak ada prinsip-prinsip absolut yang dapat
disandari.Seseorang seharusnya belajar bagaimana membuat putusan-putusan
moral yang rumit, tidak dengan bersandar pada prinsip-prinsip yang ditentukan
secara kaku, melainkan lebih menentukan rangkaian tindakan cerdas yang
kemungkinan melahirkan hasil-hasil yang terbaik dalam kaca mata manusia
(Knight, 2007).
2.5.2. Pragmatisme dan Pendidikan
Knight (2007) menjelaskan bahwa siswa merupakan subyek yang
memiliki pengalaman, dan dengan pengalamannya tersebut, dia mampu
menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan situasi-situasi problematis.
Pengalaman sekolah adalah sebuah bagian dari hidup, dan bukan sebagai

9
persiapan hidup. Cara belajar di sekolah sama dengan cara siswa belajar dalam
aspek-aspek lain kehidupannya.
Lebih lanjut, Knight menyebutkan bahwa guru bukanlah seseorang
yang mengetahui apa yang dibutuhkan para subyek didik di masa depannya,
melainkan memiliki fungsi menanamkan unsur esensial pengetahuan pada diri
siswa. Guru dapat dilihat sebagai pendamping subyek didik dalam pengalaman
pendidikan karena seluruh aktivitas kelas setiap harinya adalah menghadapi
dunia yang berubah. Guru sebagai pendamping yang lebih berpengalaman
merupakan pemandu atau pengarah. Ia adalah orang yang menasihati,
memandu aktivitas-aktivitas subyek didik yang muncul di luar apa yang
sibutuhkan subyek didik, dan ia melaksanakan peran ini dalam konteks
pertimbangan pengalamannya yang lebih luas.
2.5.3. Implikasi Filsafat Pragmatisme
Ruang kelas dipandang sebagai kaca mata sebuah laboratorium ilmiah
di mana ide gagasan siap diuji coba untuk melihat apakah dapat diverifikasi.
Karyawisata dianggap telah memberikan keuntungan belajar melebihi
aktivitas-aktivitas belajar seperti membaca dan pengalaman audio-visual,
karena peserta didik mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk
berpartisipasi dalam interaksi langsung dengan lingkungan. Tujuan sekolah
tidaklah mengharuskan peserta didik menghafal materi pelajaran, melainkan
lebih pada belajar bagaimana cara belajar sehingga mereka bisa beradaptasi
terhadap dunia yang berubah. Kurikulum sekolah kalangan pragmatis lebih
memperhatikan proses daripada muatan materi.
a. Tujuan pendidikan
Membentuk karakter,dan mengembangkan bakat dan kemampuan dasar
serta kebaikan sosial peserta didik/
b. Peran Pendididik
Mengawasi dan membimbing pengalaman belajar yang dilakukan
secara mandiri oleh siswa. Pengawasan ini tidak berarti membatasi, hanya
lebih bersifat mengarahkan saja. Fokus utama adalah tetap pada minat dan

10
kebutuhan peserta didik dalam menimba ilmu (sadulloh, 2012:133). Meski
nampak mudah, terkadang pendidik hanyut pada keinginan untuk
“memaksakan‟ kehendak kepada siswanya. Kondisi seperti ini perlu
diwaspadai karena dapat menurunkan minat belajarnya.
c. Peran Peserta Didik
Bagi peserta didik, dengan bimbingan dan pengawasan terbatas dari
pengajarnya, diharapkan bisa bersikap mandiri dalam memilah pengetahuan
yang bermanfaat untuk dipelajari. Sebagai manusia yang belajar, maka
peserta didik merupakan organisme yang diasumsikan memiliki
kemampuan dan terus bertumbuh. Dengan asumsi ini diharapkan peserta
didik dapat bersikap dewasa. Mereka perlu memahami bahwa proses
pendidikan, meski seberat apapun, merupakan proses penting yang harus
mereka lalui dengan cara terlibat di dalamnya.

2.6 Filsafat Eksistensialisme


Menurut Knight (2007), filsafat eksistensialisme sangat memperhatikan
emosi-emosi manusia. Eksistensialisme berkaitan dengan watak manusia.
Individualisme adalah pilar utama eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan
reaksi terhadap dehumanisasi industrialisme modern dan merupakan pemberontak
terhadap masyarakat yang telah terampas individualitasnya.
Eksistensi individu adalah titik bidik pandangan eksistensialisme terhadap
realitas. Berbeda dengan pragmatisme yang mendasarkan relativisme dan
humanisme pada otoritas masayarakat, esistensialisme menekankan pada peran
individu. Filsafat sebelumnya berhubungan dengan pengembangan sistem
pemikiran untuk menidentifikasi dan memehami apa yang umum pada semua
realitas, keberadaan manusia, dan nilai, sementara eksistensialisme membarikan
individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan mereka pribadi.
2.6.1 Hakikat Manusia
Manusia dengan kesadaran akalnya berada, secara totalitas dan selalu
terkait dengan kemanusiaan, suatu arti yang diberikan manusia dalam

11
menentukan perbuatannya sendiri. Manusia lebih dulu ada dan kemudian baru
merumuskan esensinya (Kuswana, 2013). Ia akan dihadapkan pada persolan
seperti “Siapa saya?” dalam sebuah dunia yang tidak memberikan jawaban-
jawaban. Manusia akan sampai pada kesadaran bahwa ia adalah apa yang ia
pilih untuk ada. Manusia dihadapkan pada keharusan mutlak untuk membuat
pilihan-pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum alam telah
berubah selama beberapa abad berjalan setelah manusia menempeli alam
dengan beragam makna. (Knight, 2007)
2.6.2 Eksistensialisme dan Pendidikan
Kalangan eksistensialisme menganggap bahwa pendidikan sebenarnya
merupakan propaganda yang membahayakan karena menyiapkan peserta didik
untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga penggerak dalam
mesin teknologi industrial dan birokrasi modern (Knight, 2007).
Menurut Knight (2007), peran guru lebih sebagai seseorang yang
berkemauan membantu para subyek didik mengeksplorasi jawaban-jawaban
yang mungkin. Guru memperhatikan keunikan individulitas masing-masing
subyek didik. Guru merupakan fasilitator yang mau menghargai aspek
emosional dan irasional dan mau berupaya serius mengarahkan subyek didik ke
pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
2.6.3 Implikasi Filsafat Eksistensialisme
Menurut eksistensialisme, kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang
memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian
mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri (Sadulloh,
2012). Lebih lanjut, Sadulloh (2012) menyebutkan bahwa dalam
eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting
daripada yang lainnya. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu
untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja
bisa sejarah, filsafat, sastra dan sebagainya.
a. Tujuan pendidikan

12
Membentuk karakter,dan mengembangkan bakat dan kemampuan dasar
serta kebaikan sosial peserta didik/
b. Peran Pendididik
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik. Kebebasan
akademik dapat diartikan sebagai kebebasan yang dimiliki oleh civitas
academika dalam menjalankan kegiatan ilmiah berupa penulisan hasil studi,
penelitian, dan diskusi yang memenuhi kriteria keilmuan. Kebebasan
akademik merupakan kesempatan bagai akademisi baik secara sendiri atau
bersama-sama,berikhtiar mengembangkan ilmu pengetahuan serta menguji
pendapat, pandangan dan penemuan secarailmiah (Supriyoko, 1988)
c. Peran Peserta Didik
Diharapkan dapat membangun komitmen positif bagi pengembangan
diri pribadi mereka. Kesempatan yang diberikan oleh pendidik dalam
mempertanyakan setiap masalah yang belum jelas secara akademik, peserta
didik dituntut untuk kritis dan senantiasa menggali setiap alternatif solusi
dari masalah yang dihadapi. Peserta harus aktif, sikap pasif akan membuat
mereka tertinggal karena pendidik telah mengasumsikan bahwa kebebasan
sudah diberikan.

2.7 Filsafat Pancasila


Pancasila merupakan landasan hidup bangsa Indonesia yang didalamnya
terkandung falsafah utama yang menegaskan bagaimana kita sebagai bangsa harus
bertindak/bersikap. Meskipun memiliki lima sila yang disajikan terpisah, akan
tetapi kelima sila tersebut tidak berdiri sendiri (Kaelan, 2004:62). Sebaliknya,
lima sila ini merupakan rancangan hirarkis yang disusun sedemikian rupa untuk
menggambarkan hakikat satu kesatuan filsafat yang memiliki dasar ontologis,
epistemologis, dan aksiologis tersendiri sehingga berbeda dari aliran filsafat lain.
Pancasila merupakan ciri khas dan menjadi jati diri Bangsa Indonesia.

13
Dasar ontologis di dalam Pancasila terkandung pada pemahaman bahwa
manusia itu memiliki hakikat mutlak. Dasar antropoligis dari Pancasila adalah
keberadaan manusia sebagai mahluk pelaku utama. Di samping itu, filsafat.
Pancasila memaknai manusia sebagai yang bersifat kodrati sebagai mahluk
sosial dan individu. Sedangkan dasar epistemologisnya adalah bahwa manusia
memiliki potensi untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran serta
memanfaatkannya bagi kesejahteraan bersama sesuai dengan prinsip aksiologis
yang diusungnya. Nilai dan etika yang terkandung di dalam setiap sila nya
merupakan dasar aksiologis yang menjadi penuntun bagi Bangsa Indonesia untuk
bersikap (Sadulloh, 2012:189).
2.7.1 Hakikat Manusia
Pancasila memandang manusia sebagai bagian utama atau inti di dalam
setiap silanya. Kaelan (2004:58) menyatakan bahwa Pancasila mengandung
pemahaman hakikat manusia yang monopluralis. Monopluralis memiliki tiga
unsur; susunan kodrat (jasmani dan rohani), sifat kodrat (individu-mahluk
sosial), dan kedudukan kodrat (pribadi mandiri, mahluk Tuhan). Ketiga unsur
tersebut dikatakan memiliki fungsi mandiri akan tetapi saling berhubungan
satu sama lain. Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan saling
mengisi.
2.7.2 Pancasila dan Pendidikan
Pancasila secara tegas dinyatakan sebagai dasar bagi pendidikan di
Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Pasal tersebut juga menegaskan
bahwa UUD 1945 juga menjadi dasar pengembangan pendidikan di Indonesia
yang dilandaskan pada nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap
terhadap kebutuhan perkembangan jaman. Meski dicanangkan sejak jaman
kemerdekaan, akan tetapi esensi dari Pancasila dan UUD 1945 ternyata masih
relevan dengan kondisi saat ini karena telah mengadopsi pengertian yang sesuai
dengan perkembangan jaman.

14
Apabila ditinjau dari sisi metafisik dan aksiologis, tujuan pendidikan
nasional Indonesia adalah menciptakan manusia yang beriman kepada Tuhan,
yang mendasarkan setiap tindakannya berdasarkan kepentingan hidup bersama
agar mampu mempertahankan nilai-nilai persatuan bangsa yang dilandaskan
pada sistem demokrasi yang berkeadilan sosial. Sekali lgi dalam prinsip ini
terkandung hak manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesama.
Tinjauan dari sisi epistemologis memperlihatkan bahwa tujuan
pendidikan nasional Indonesia adalah membangun bangsa yang
berpengetahuan (mampu mencari dan mengembangkan), trampil dalam
memanfaatkannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan seimbang
(antara rohani dan jasmani) serta menghasilkan manusia Indonesia
yang berpengalaman dan memiliki kebijaksanaan ketika memanfaatkan
pengetahuan yang sudah dimilikinya untuk kesejahteraan bersama.
2.7.3 Implikasi Filsafat Pancasila
a. Tujuan pendidikan
Membentuk karakter,dan mengembangkan bakat dan kemampuan dasar
serta kebaikan sosial peserta didik/
b. Peran Pendididik
Pendidik harus memiliki kesabaran, mampu bersikap fleksibel, kreatif,
cerdas, dan memiliki sudut pandang luas. Pendidik harus menghindari
bentuk pengajaran yang bersifat memaksakan kehendak atau pemikirannya,
sebaliknya dia harus mampu menciptakan situasi yang mendorong anak
didik untuk termotivasi. Hubungan saling membutuhkan dan saling
menguntungkan akan menjadi dasar yang positif bagi proses belajar
mengajar. Sikap pendidik yang demokratis dan terbuka ini hendaknya
diimbangi juga oleh peran peserta didik yang aktif.
c. Peran Peserta Didik
Peserta didik diberi kesempatan seluas-luasnya untuk dapat belajar dan
mengembangkan potensi dan diri.

15
BAB III 16
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filsafat idealisme menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang
nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkannya. Idealisme
menganggap adanya Diri Absolut yang merupakan prototype akal-pikir. Jagat
raraya ini dapat direnung-pikirkan dalam cara pandang makrokosmos dan
mikrokosmos . Makrokosmos adalah Akal-pikir absolut, sementara bumi dan
pengalaman-pengalaman sensori dapat direnung-pikirkan sebagai mikrokosmos
yang merupakan bayangan dari apa yang sejatinya ada. Hubungan Idealisme dan
Pendidikan ialah siswa dapat dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik yang
berada dalam proses menjadi lebih mirip dengan Diri Absolut. Kritik yang muncul
terhadap idealisme ini adalah bahwa pendidikan semacam ini sebagai bentuk
pengalaman menara gading dan merupakan pendukung status quo.
Peran pendididik pendidik harus membimbing siswa agar mampu
mengembangkan watak yang terbaik. Socrates, Plato, dan Kant berpendapat
bahwa pengetahuan terbaik adalah pengetahuan yang muncul atau dikeluarkan dari
dalam diri siswa bukan karena dipaksakan. Di dalam prosesnya pendidik harus
dapat meletakkan dasar yang bisa dilihat oleh peserta didik sebagai suatu pedoman
yang baik. Peran Peserta Didik memanfaatkan kebebasan yang diberikan untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar atau bakatnya. Siswa juga
harus mematuhi batasan-batasan yang ada dalam mengikuti proses belajar
mengajar.
Titik tolak filsafat realisme adalah bahwa obyek-obyek dan indra muncul
dalam bentuk apa adanya terlepas dari serapan pengetahuan yang dibentuk oleh
akal-pikir. Bentuk dapat di analogikan dengan ida atau gagasan dalam pandangan
Plato tentang idealisme, sedangkan materi adalah unsur material yang membentuk
suatu oobyek. Aristoteles percaya bahwa pemahaman yang lebih baik tentang ide -
ide universal dapat diraih mellaui kajian terhadap hal atau materi. Knight

16
menyebutkan bahwa menurut Realisme, realitas puncak bukanlah ada dalam akal-
pikir seperti yang dianggap oleh penganut idealisme. Kebenaran adalah segala
sesuatu yang sesuai dengan situasi aktual sebagaimana ditangkap oleh pengamat.
Filsafat Pragmatisme merupakan perkembangan dari Realisme yang tumbuh
dan berasimilasi dengan inti permikiran Yunani Kuno dari
Heraclitos. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang merupakan reaksi filosofis
atas fenomena perubahan yang muncul pada paruh terakhir abad XX. Lebih
lanjut, manusia mempunyai akal-pikir kejiwaan yang aktif dan menjelajah bukan
sekedar akal-pikir kejiwaan yang pasif dan reseptif. Ia belajar dari pengalaman
transaksionalnya dengan dunia yang mengitari.

17
DAFTAR PUSTAKA

Suyitno, Y. 2021. Pengatar Pendidikan. Bandung : Fakultas Ilmu Pendidikan


Departemen Pedagogik.

Nurihsan, Juntika. 2014. “Kajian Filsafat Terhadap Hakikat Manusia Dan Pendidikan”.
Diakses dari https://www.academia.edu/6717961/KAJIAN_FILSAFATTERH
ADAP_HAKIKAT_MANUSIA_DAN_PENDIDIKAN. Pada 16 Februari
2021

18

Anda mungkin juga menyukai