Anda di halaman 1dari 9

Tokoh-Tokoh Pendidikan di Indonesia

I. Pendahuluan
Sesuai dengan konsep life long education, akhirnya pendidikan tak akan berhenti selama
manusia masih ada dan masih hidup. Hidup dan kehidupan tak kan dapat terlepas dari
pendidikan. Kegiatan atau proses pendidikan akan terasa amat penting dan sangat dibutuhkan
dalam menghadapi ilmu dan teknologi yang sangat pesat kemajuannya seperti sekarang ini. Hal
tersebut dilakukan agar suatu negara tidak tergilas zaman yang sejatinya sedang berpacu dengan
waktu. Segala upaya pemerintah perlu dilakukan untuk peningkatan mutu pendidikan dan
pembenahan sistem yang telah ada tanpa mengabaikan norma-norma atau aturan-aturan yang
berlaku . Oleh karena itu, negara (Indonesia) selayaknya tetap berkaca pada masa lalu.
Kemajuan apa saja yang positif, tetaplah dipertahankan. Semua itu tidaklah terlepas dari upayaupaya yang pernah dilkukan para tokoh pendidikan sebagai pemancang pilar pendidikan.
Beberapa orang di antara mereka adalah: Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Mochamad
Syafei, RA. Kartini, Dewi Sartika, Rohana Kuddus, dan lain sebaginya.
II. Permasalahan
Pendidikan apa saja yang pernah ditempuh tokoh? Apa saja karier yang pernah digeluti tokoh?
Bagaiman kiprah tokoh dalam organisasi yang pernah didirikan untuk memajukan bidang
pendidikan?
III. Pembahasan
1. RA. Kartini (1879-1904):
Jika diteliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bias
mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang.
Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan.Agar dapat menjalankan
perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis,
Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekalikali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam
perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.

Atas kesadaran tersebut, Kartini berniat melanjutkan sekolah ke Belanda, Aku mau meneruskan
pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar
yang telah kupilih (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Waktu itu, Kartini beranggapan
bahwa Eropa adalah tempat peradaban tertinggi dan paling sempurna di muka bumi.Namun,
rencana itu tak pernah berhasil.Kartini hanya mendapat kesempatan menempuh sekolah guru di
Betawi.Kesempatann ini pun batal dijalaninya karena dia harus menikah dengan R.M.A.A.
Singgih Djojo Adhiningrat.
Walaupun awalnya banyak menentang adat Jawa yang kaku dan kebiasaan bangsawannya
berpoligami, Kartini menerima pernikahan tersebut. Ada sebuah kesadaran di benaknya, dengan
menikah dia akan berkesempatan untuk mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Alasan
ini masuk akal karena suaminya adalah seorang bupati yang berkuasa dan mengizinkan bahkan
mendukungnya untuk mendirikan sekolah. Keputusan yang luar biasa dari seorang pahlawan
sejati.
Pada hari pernikahannya, seorang ustad dari Semarang, Haji Mohammad Sholeh bin Umar,
menghadiahkan beberapa juz al-Quran berbahasa Jawa. Kegelisahan Kartini terhadap agama
Islam pun terjawab.Sebelumnya, dalam kehidupan sehari-harinya Kartini hanya diajarkan
membaca al-Quran tanpa diizinkan untuk mengetahui artinya.
Setelah mempelajari al-Quran, pandangan Kartini terhadap beberapa hal pun berubah.Di
antaranya, pandangannya terhadap peradaban Eropa, , tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan
kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu
menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang
sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban? (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27
Oktober 1902). Pandangan Kartini terhadap poligami pun berganti, jika awalnya menentang,
setelah mengenal ajaran Islam dia menerimanya.
Sayangnya, Haji Mohammad Sholeh meninggal sebelum sempat menyelesaikan seluruh
terjemahan al-Quran untuk Kartini. Kartini pun hanya mempelajari beberapa jus terjemahan
tersebut. Jika saja dia sempat mempelajari keseluruhan Al Quran, tidak mustahil ia akan
menerapkan semua kandungannya. Kartini berani berbeda dengan tradisi adatnya yang mapan,
dia juga memiliki ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Habis
Gelap Terbitlah Terangmina dulumati ila nuur. Kartini menyadari bahwa sumber pendidikan
terbaik justru ada di dekatnya, yaitu Al-Quran, bukan di Eropa.pun terinspirasi dari Surat AlBaqarah ayat 193:
13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada usia yang masih muda, 25 tahun dan dimakamkan di
Rembang. Untuk menghormatinya, Van Deventer, seorang tokoh politik Etis, mendirikan
Yayasan Kartini (1912). Yayasan tersebut bertugas mengelola Sekolah Kartini yang didirikan
di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.

2. RA. Dewi Sartika (1884-1947):


Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden
Somanagara.Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda.Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh
oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia
mendapatkan
pengetahuan
mengenai kebudayaan
Sunda,
sementara
wawasan
kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik
di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan
oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan
oleh anak-anak pembantu kepatihan.Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak
rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung.Jiwanya yang telah dewasa
semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya,
Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang
sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya.
Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan
dan khawatir.Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi
Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau memiliki
visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat
itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan.Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya
tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.Oewid.Muridmurid angkatan pertamanya
terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya,

serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909,
bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota
kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh,
tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan
Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan
Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan
Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola
Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di
kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi Sakola Raden Dwi. Atas jasanya
dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cineam.
Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.

3. Rohana Kuddus (1884-1969):


Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada agamanya dan sebagimana kedua
tokoh di tas, ia giat sekali mempelopori emansipasi wanita. Selain sebagai pendidik, ia pun
adalah wartawan wanita pertama Indonesia.
Sebagaiman dikemukakan Djumhur dan Danasuparta dalam Syarifudin, pada tahun 1896v(pada
usia 12 tahun) Rohana telah mengajarkan membaca dan menulis (huruf Arab dan Latin) kepada
teman-teman gadis sekampungnya. Pada tahun 1905 ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota
Gedang. Pada tanggal 11 Februari 1911 ia memimpin Perkumpulan Wanita Minangkabau yang
diberi nama Kabar wanita Karajinan Amai Setia yang kemudian dijadikan nama sekolahnya.
Rohana juga berjuang menerbitkan surat kabar khusus untuk wanita. Pada tanggal 10 Juli 1912
Rohana menjadi pemimpin redaksi surat kabar wanita di kota Padang yang diberi nama
Soenting Melajoe

4. Ki Hajar Dewantara
Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia. Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan
Nasional.Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai
oleh Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun
karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang
untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).
Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda).
Kemudian, ia melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah
itu, dia bekerja sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya sangat tajam dan
patriotik sehingga membangkitkan semangat antipenjajahan.
Selain menjadi wartawan, RM Soerwardi Soeryaningrat juga aktif di organisasi sosial dan
politik. Tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Kemudian, bersama Douwes
Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912)
yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Namun partai ini ditolak oleh pemerintah Belanda.
Kemudian, ia dan kawan-kawannya membentuk Komite Bumipoetra (1913) untuk melancarkan
kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri
Belanda dari penjajahan Prancis. Untuk membiayai pesta tersebut Pemerintah Belanda menarik
uang dari rakyat jajahannya.RM Soewardi Soeryaningrat mengkritik lewat tulisannya Als Ik
Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook
Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Akibat tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Pulau Bangka
oleh Gubernur Jenderal Idenburg tanpa proses pengadilan. Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan
untuk membela Soewardi.Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memberontak
pada pemerinah kolonial.Akibatnya, keduanya pun terkena hukuman buang, Douwes Dekker ke
Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo ke Banda.
Hukuman itu ditolak, mereka meminta untuk dibuang ke Negeri Belanda agar bisa
belajar.Keinginan tersebut diterima dan mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913
sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan kembali ke tanah air pada
1918.
Sekembalinya ke tanah air, bersama rekan-rekannya, RM Soewardi Soeryaningrat mendirikan
Perguruan Nasional Tamansiswa (3 Juli 1922).Perguruan ini mendidik para siswanya untuk
memiliki nasionalisme sehingga mau berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Demi
memuluskan langkahnya-langkahnya, RM Soewardi Soeryaningrat pun berganti nama menjadi

Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang bangsawan yang berasal dari lingkungan Kraton
Yogyakarta dan dengan gelar RM di depan namanya, dia kurang leluasa bergerak.
Aktivitas Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui Ordonasi Sekolah Liar
pada 1932.Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat pun berjuang hingga ordonansi itu
dicabut.Sambil mengelola Tamansiswa, RM Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis.Namun
bukan lagi soal politik, melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan.Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia.
Tahun 1943, ketika Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara bergabung ke Pusat
Tenaga Rakyat (Putera).Di organisasi tersebut, dia menjadi salah seorang pimpinan bersama
Soekarno, Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Setelah Indonesia merdeka, ia pun
dipercaya menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai
aktivitasnya dalam memperjuangkan pendidikan di tanah air sebelum hingga Indonesia merdeka
tersebut, membuatnya dianugerahui gelar doktor kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada
(1957).
Ki Hajar Dewantara meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Kampung
Celeban (Yogyakarta).Kemudian, atas jasa-jasanya, pendiri Taman siswa itu ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional.Ki Hajar Dewantara pun mendapat gelar Bapak Pendidikan
Nasional dan tanggal kelahirannya, 02 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

5. Prof. Dr. Slamet Imam Santoso


Prof. Dr. Slamet Imam Santoso dilahirkan di Wonosobo, 7 September 1907. Wafat di Jakarta, 9
Novenber 2004. Beliau beragama Islam. Isterinya bernama Suprapti Sutejo. Pendidikan yang
pernah ditempuh adalah ELS Magelang 1912 1917, HIS Magelang 1918 1920, Mulo
Magelang 1920 1923, MAS-B Yogyakarta 1923 1926, Indische Atrs Stovia 1926 1932, dan
Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum 1932 1934.
Kariernya adalah Pendiri Fakultas Psikologi UI, PR Bidang Akademisi UI, Guru Besar Fak.
Kedokteran UI dan Fak. Psikologi UI, Dosen Lemhanas, Dewan Kurator Universitas Mertju
Buana.
Karya-karya yang ditulisnya antara lain: Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, The Social
Background for Psychology in Indonesia, Psychiatry dan Masyarakat Kesejahteraan Jiwa:
School Health in The Communnity, Sekolah sebagai Sumber Penyakit atau Sumber
Kesejahteraan, Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan
Keilmuan, Dasar-Dasar Pendidikan.

6. Bu Kasur
Bu Kasur bernama asli Sandiah. Beliau Lahir di Jakarta, 16 Januari 1926. Wafat di Jakarta, 22
Oktober 2002 dan dikebumikan di Kaliori, Purwokerto, Jawa Tengah (23 Oktober 2002).
Suaminya bernama Suryono (Pak Kasur). Pendidikanyang pernah ditempuhnya adalah Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs MULO 1930. Kariernya adalah sebagai pencipta lagu anak-anak,
pendiri dan pengasuh TK Mini Pak Kasur (1965), pengasuh dan pembawa acara anak di radio
dan televisi. Penghargaan yang pernah diperolehnya antara lain: Bintang Budaya Para Dharma
(1992), penghargaan dari Presiden dalam rangka Hari Anak Nasional (1988), Centro Culture
Italiano Premio Adelaide Ristori Anno II (1976).
7. Kiai Hasyim Asyari
Kiai Hasyim Asyari Lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 (24
Dzulkaidah 1287 H). Meninggal pada tanggal 25 Juli 1947. Ayah dan Ibunya bernama Kiai
Asyari dan Halimah. Pendidikan yang ditempuhnya adalah: Pesantren Gedang, Pesantren
Keras, selatan Jombang, Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Pesantren Wonokoyo (Probolinggo),
Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Trenggilis (Semarang).
Karier yang pernah dijalani adalah sebagai Pendiri Pesantren Tebuireng (1899), salah satu
Pendiri Nahdhatul Ulama, 31 Januari 1926), dan Tokoh Pembaharuan Pesantren.
Adapun penghargaan yang diterimanya antara lain: Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK
Pesiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964).

8. Dr. Soetomo
Dr. Soetomo berama Asli Soebroto. Lahir di Desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888 dan wafat
di Surabaya, 30 Mei 1938. Pendidikan yang dijalaninya: STOVIA tahun 1911.
Kariernya antara lain sebagai Dokter di Tuban, Semarang, Lubuk Pakam, dan Malang, Wartawan
dan memimpin beberapa surat Kabar.
Adapun organisasi yang diikutinya adalah: Pendiri dan Ketua Budi Utomo, 20 Mei 1908, Budi
Utomo bergerak di bidang politik tahun 1919, Pendiri Indische Studie Club (ISC) tahun 1924,
ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI (1931), Pendiri dan Ketua Patai
Indonesi Raya (Parindra) yang merupakan Penggabungan Budi Utomo dan PBI.

9. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama kecil
Muhammad Darwis. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan KH. Abu
Bakar (seorang ulam dan khatib terkemuka mesjid besar Kesultanan Yogyakarta dan Nyai Abu
Bakar (putri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga. Dalam silsilah,
disebutkan bahwa beliau masih keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim.
Sebagai seorang anak ulama, KH. Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis
sudah belajar agama dan bahasa Arab kepada sang ayah. Setelah belajar agama di kampungnya,
beliau melanjutkan sekolah ke Mekah setelah sang xayah menyuruh menunaikan rukun Islam
kelima tahun 1883.

Islam Yang Rasional


Saat berangkat ke Mekah untuk menuaikan haji, Muhammad Darwis masih berumur 15 tahun.
Beliau sempat bermukim di Mekah selama lima tahun untuk memperdalam ilmu agama seperti
qiraat, tauhid, tafsir, fikih, ilmu mantiq dan ilmu falak. Setelah kembali dari Mekah pada tahun
1902, beliau berganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan.
Satu tahun kemudian, beliau berkesempatan untuk memperdalam ilmu agama lagi di Mekah.Dari
sini, beliau banyak belajar mengenal pemikiran para pembaharu Islam. Antara lain Ibnu
Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Perjalanan K.H. Ahmad Dahlan membuka cakrawala pendidikan (Islam) di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari modernisasi Islam yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad
Abduh pada abad sebelumnya di Eropa.
Jamaluddin Al-Afghani, seorang intelektual muslim yang sempat mengenyam kesempatan
berbagai ilmu dalam organisasi Freemasonry, bertujuan untuk mengadaptasikan Islam dengan
masa modern. Caranya, memperkaya Islam dengan berbagai penemuan yang berkaitan dengan
rasionalitas yang diandalkan pengetahuan Eropa.
Jamaluddin Al-Afghani menerbitkan jurnal Al-Urwatul Wutsqa pada 1884. Al-Urwatul
Wutsqa sendiri misalnya mendukung teori evolusi (tetapi tidak untuk manusia) yang tidak
hanya membuat dunia Barat membuka mata tentang Islam (Islam tidak kolot, tertutup, dan
menampik ilmu pengetahuan), tetapi juga membuat dunia Islam yang selama ini cukup banyak
berkutat dengan penekanan rasio atas aturan-aturan yang diciptakan belakangan setelah era Nabi
Muhammad saw.
Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh kompatriot Jamaluddin Al-Afghani,
kemudian menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir.Majalah Al-Manarmenjabarkan ide-ide
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.Melalui publikasi majalah ini, gerakan Islam
modern berpengaruh pada gerakan Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20, termasuk
Indonesia.

Islam Modern di Indonesia


Di Indonesia, gerakan Islam modern menghasilkan organisasi Sarekat Islam (berdiri 1911, yang
merupakan kelanjutan SDI yang terbentuk pada 1905). Sarekat Islam adalah organisasi massa
Islam modern pertama di Indonesia. Organisasi ini sempat mengganti nama sebagai Partai
Sarekat Islam (PSI) demi penekanannya atas politik.
Pada 1929, partai ini berubah menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Selain Sarekat
Islam, muncul pula organisasi Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan pada 1912.
Berbeda dengan Sarekat Islam, Muhammadiyah tidak melibatkan diri dalam politik.Organisasi
ini menekankan upaya dakwah memerangi TBC (Takhayul, Bidah, Khurafat).Dakwah inilah
yang mengimbangi pendidikan modern ala barat. .
Pendidikan Islam Modern ala Muhammadiyah
Dalam dakwah Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengajak umat Islam menggunakan rasio
dengan tetap berpegang teguh pada Alquran dan hadis.Ahmad Dahlan dalam hal ini mampu
melawan sistem politik adu domba ala Belanda yang hendak memisahkan umat Islam menjadi
dua bagian besar, Islam politik dan Islam agama.
Ahmad Dahlan bahkan juga melawan praktik-praktik bidah yang merajalela di Jawa. Orang Jawa
yang suka dengan mistisisme mencampurkan Islam dengan takhayul, misalnya dengan
menceritakan kisah Walisongo yang banyak kepalsuannya. Ahmad Dahlan juga menciptakan
buku-buku praktis.
IV. Penutup
Dengan ditampilkannya beberapa tokoh dalam pendidikan, kita dapat mengetahui bagaimana
para tokoh berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa, salah satunya dengan mendirikan
sekolah-sekolah di berbgai penjuru tanah air.
Daftar Pustaka
Syarifudin, Tatang. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama RI.
http:// www.wikimu.com/news/opiniaspx.

Anda mungkin juga menyukai