Anda di halaman 1dari 23

1

Brought By: Irfan Alfira


a.k.a
KEPOL

Visit me at

: www.bunkepol.blogspot.com
: www.facebook.com/irfanalvira

E-mail

: irfan_alvira@yahoo.co.id

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasa

cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cinta
akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah
mencintai. Sedangkan sophia adalah kebijaksanaan1. Dalam perspektif pencarian
kebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalah
salah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat
dari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa
memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan
dunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka
ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran
darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan
inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan
demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini
disebut filsafat.
1

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 190.

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang
bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka
dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang
ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang
tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Jika ditinjau dari segi historis tentang sejarah perkembangan filsafat
maka Kita bisa membaginya ke dalam empat periode2:
1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM Akhir Abad 3 SM).
Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas
secara menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek
ilmu filsafat seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek
Epistemologi (why, how), dan aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa
nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya yg terkenal adalah seperti
Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan
yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides yang

N. Drijarkara SJ., 1978, Percikan Filsafat ( Jakarta: PT. Pembangunan, 1978), 104.

berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetap3. Plato (427


347 SM) berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara
mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan ada dua yaitu yang
tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak
kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat kenyataan yang
sesungguhnya. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah
bayangan saja. Akan tetapi hal ini dikritik oleh Aristoteles (384 322
SM) yang juga disebut sebagai Guru Pertama sekaligus murid dari Plato,
yang juga mencoba memecahkan masalah ini, hanya saja Dia berpihak
pada yang berubah. Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk.
Materi merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan
kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai
materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi kursi, lemari dan
sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu
kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan
sebagainya4.

2. Masa Abad Pertengahan (Akhir Abad 3 SM Awal Abad 15 M).


Di masa ini Filsafat Yunani Kuno diambil alih oleh bangsa Mesir yang
mana dipimpin oleh Ratu Cleopatra (69-30 SM). Kemudian 5 abad
kemudian ketika masa kekuasaan Kaisar Justianus di Kerajaan Romawi
Pemikiran Islam dan Realitas Masyarakat dalam Jurnal Penelitian Agama, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, No. 5, (,1993), 7-8.
3

Abdulah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta: Triputra Masa, 1984), 91.

529 M. Filsafat dilarang dan semua bentuk pemikiran dikembalikan ke


Dogma Gereja. Yang pada akhirnya akan memunculkan para ktitikuskritikus yang menolak Dogma-Dogma Gereja ini, yang menganggap
bahwa agama terlalu membatasi pikiran manusia untuk memjadi lebih
maju. Yang mana seiring dengan berjalannya waktu akan memunculkan
aliran-aliran baru seperti aliran Neo-Platonisme ( abad ke 13) yaitu
Platonisme manunggal dengan Dogma Gereja. dengan tokohnya Thomas
Aquines (1225 M 1274 M).

3. Masa Modern (Akhir Abad 15 M Abad 19 M). Di tandai dengan:


a. Gerakan Renaissance (kelahiran kembali) untuk membentuk
mentalitas individual kebebasan, persamaan, emansipasi, serta
otonomi diri.
b. Revolusi Copernicus (1473 M 1543 M) dengan teorinya bahwa
Matahari merupakan pusat alam semesta, serta teori Metode
induktif experimental.
c. Zaman Aufklarung (pencerahan / abad 18 M) Menggunakan akal
budi dengan inti :
1) Ajaran Rasionalisme (Rene Descartes, 1596 M - 1650 M).
2) Ajaran Empirisme (Francis Bacon, 1561 M - 1626 M).
3) Ajaran Kritisisme (Immanuel Kant, 1724 M - 1804 M).
4) Filsafat Pragmatisme (William James, 1842 M - 1910 M).

d. Filsafat Fenomenologi (Edmund Husserl, 1859 M - 1938 M)


dengan teori kebenaran adalah kenyataan benda itu sendiri. Ada
tiga tahap dalam metode fenomenologis yaitu :
1) Reduksi Fenomenologis.
2) Reduksi Eidetis.
3) Reduksi Transendental.
e. Filsafat Eksistensialisme (S. Kierkegaard, 1813 M - 1855 M).

4. Masa Kontemporer (Abad 20 M).


a. Filsafat Analitik (Ludwig Wittgenstein, 1889 M - 1951 M).
b. Filsafat Eksistensialisme (Jean Paul Sarte, 1905 M 1980 M).
Ia menganggap manusia bebas memilih moralitas yang
diinginkan hingga menciptakan eksistensi dirinya. Manusia
melakukan kebaikan, pendidikan bagi keturunannya dan
hidup bermasyarakat.
Ia juga menganggap Tuhan tidak ada dan manusia dapat
memerankan peranan Tuhan (Vincent Martin).
c. Ethics and Limits of Philosophy (Bernard Williams).
Dengan luasnya wacana filsafat dari ranah filsafat kuno hingga
kontemporer, maka penulis berusaha membatasi pokok-pokok bahasannya hanya
dalam ranah filsafat periode masa modern dengan spesifikasi Filsafat
Fenomenologi dengan tokohnya yang terkenal yaitu Edmund Husserl.

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Biografi Edmund Husserl (1859 M - 1938 M).


Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund

Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia
mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat.
Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana
Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian
terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun
tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran
adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia
tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang
perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya
di Jerman dan Perancis5.

Harold Titus, dkk, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa H.M.
Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 400.

Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April


1859 di Prostjov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal
sebagai Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni
positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman
subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan Kita tentang fenomena
obyektif. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf. Karya
filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang muncul setelahnya, antara lain, Edith
Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin
Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lvinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl,
Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886 dia mempelajari
psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887 Husserl
berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia
mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887, lalu
di Gttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari
tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat karena ia keturunan Yahudi - akibat pengaruh dari bekas muridnya, yang juga
anak emasnya, Martin Heidegger6. Husserl meninggal dunia di Freiburg pada
tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumonia7.

Rashid Rhazin, Memahami Manusia melalui Filsafat http://www.pa-banjarmasin.ptabanjarmasin.go.id/index (28 Oktober 2009)
6

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), 98.

B.

Pengertian Fenomenologi.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari

phainesthai / phainomai / phainein

yang artinya menampakkan atau

memperlihatkan8. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang
artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu hal
yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai
ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah
fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang
lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang
kritis9. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau
apa yang menampakkan diri10.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.
Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas
di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada
dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.

Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, 37.

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 122.

10

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), 100.

10

Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk


memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalamanpengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu
teori umum di luar substansi sesungguhnya11.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi
ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaran12, Pertanyaannya adalah
bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena
sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat
pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar
untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme,
Kita akan terjebak pada dikotomi13 (subyek-obyek yang menyesatkan atau
bertentangan satu sama lain).
Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis
(tinggi, berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air
untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman Kita kalau Kita menganut
Yoyok M., edmund-husserl, http://yoyoksiemo.blogspot.com/2007/10/edmund-husserl-18591938.html (23 Oktober 2009).
11

12

Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif


(Yogyakarta: Jalasutra, 2005), 151.
13

KBBI Team, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru) (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007),
192.

11

asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar
filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano.
Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris14
(sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya
suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan
ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan
penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat
tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh
langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni.

C.

Intensionalitas
Menurut Husserl prinsip segala prinsip ialah bahwa hanya intuisi

langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai


sebagai kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya saja apa yang secara langsung
diberikan kepada Kita dalam pengalaman dapat dianggap benar sejauh
diberikan. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi
dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara
langsung kepada Kita sebagai subjek15.
Fenomen merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung
yang memisahkan realitas dari Kita .Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada
realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut
14

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), 957.

15

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), 98.

12

kodratnya bersifat intensionalitas, karena intensionalitas merupakan unsur hakiki


kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen
harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
Maka sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl ialah perhatian
baru untuk intensionalitas kesadaran16. Kesadaran Kita tidak dapat dibayangkan
tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, diandalkan tiga hal, yaitu
bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa
kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas, Kiranya
tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai intensionalitas, karena
kesadaran itu justru adalah intensionalitas itu sendiri. Entah Kita sungguhsungguh melihat suatu pemandangan itu atau tidak, tetapi bila Kita masih
menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka Kita tetap menyadari
sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif. Karena menyadari sesuatu berarti
mengubah sesuatu. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran
itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan
obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama
antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran,
obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang
terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi
selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu Kita tidak

16

Herry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 117.

13

boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek


dalam kardus.
Pengalaman bukanlah sebuah celah yang mana, dunia hadir terpisah
darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran, yang mana bagi Kita,
sosok yang mengalami. Wujud yang dialami ada di sana dan di sana
sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana
pengalaman sendiri, Lewat intensionalitas, yang melekatkannya17.

Ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl, yakni:

1. Lewat intensionalitas terjadi objektivikasi. Artinya bahwa unsur-unsur


dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu objek, terhimpun pada
suatu objek tertentu.
2. Lewat intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat
objektivikasi tadi, dalam arti bahwa berbagai data yang tampil pada
peristiwa-peristiwa kemudian masih pula dapat dihimpun pada objek
sebagai hasil objektivikasi tersebut.
3. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu objek dengan
segi-segi yang mendampinginya.

17

Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komprehensif)


Yogyakarta: Jalasutra, 2005), 141.

14

4. Intensionalitas mengadakan pula konstitusi18.


Konstitusi merupakan proses munculnya fenomen-fenomen kepada
kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat
korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah
aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran
pada dirinya yang lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam
korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain
daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh
kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami
oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional19.
Sebagai contoh dari konstitusi: Kita melihat suatu gelas, tetapi
sebenarnya yang Kita lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, Kita
melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya. Tetapi
bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek
telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis
dalam kesadaran dan dalam realita. Suatu fenomen tidak pernah merupakan
sesuatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku
bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat
manusia. Sejarah Kita selalu hadir dalam cara Kita menghadapi realitas. Karena
itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai konstitusi genetis.

18

Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Anggota IKAPI, 1998), cet. 1, 102 103.
19

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981),
102.

15

Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi nyata dalam kesadaran,


adalah merupakan suatu aspek historis.

D.

Tiga Jenis Reduksi

Benda-benada tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya.


Apa yang Kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah
hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran
pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan
pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat
pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Dalam usaha untuk melihat hakikat
dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan Reduksi, yaitu penundaan
segala ilmu pengetahuan yang ada tentang objek, sebelum pengamatan intuitif
dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain
yang digunakan Husserl adalah epoche yang artinya sebagai penempatan sesuatu
di antara dua kurung (metode bracketing). Maksudnya adalah melupakan
pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara, dan berusaha melihat objek
secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada
sebelumnya. Dengan kata lain reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman.
Pengalaman adalah tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaran20.

20

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1996), 132.

16

Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam
pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan
Reduksi Fenomenologi Transedental.

1. Reduksi Fenomenologis.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap Kita harus obyektif,
terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Walaupun
demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak
disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang
diteliti hanya yang sejauh Kita sadari.

Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini


adalah21:
a. Dengan mengurung atau bracketing yaitu meminggirkan
keyakinan Kita akan totalitas obyek-obyek dan segala hal yang
Kita terlibat dengannya dari pendirian alamiah ataupun bahkan
pengalaman Kita tentangnya.
b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan
pengurungan.
2. Reduksi Eidetis.
21

Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan (Jakarta: PT. Raja Garfindo
Persada, 2001), 190.

17

Adalah menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang


diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin
menemukan eidos (intisari), atau sampai kepada wesen-nya (hakikat).
Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau, artinya di sini, Kita
melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam
arti umum, misalnya, manusia adalah hakikatnya dapat mati, bukan
suatu inti yang tersembunyi, misalnya, hakikat hidup, bukan pula
hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti, manusia adalah
binatang yang berakal. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur
dasariah, yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki,
lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain
yang disadari22. Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk
mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu
fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu,
dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu
mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau
eksistensial. Dan caranya adalah dengan menunda dalam tanda kurung.
Dengan reduksi eidetis ini, dimana dalam khayalan semua perbedaanperbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal suatu esensi
saja.
3. Reduksi Fenomenologis Transedental.

22

Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar anggota IKAPI, 1998), cet. 1, 102 103.

18

Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala


sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara
dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala tersebut dapat
memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam reduksi yang ketiga ini
sudah bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus
pengarahan intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran,
yakni

mengenai

kesadaran

sendiri

yang

bersifat

transedental.

Fenomenologi harus menganalisis dan menggambarkan cara berjalannya


kesadaran transedental23.

Yang menarik dan sangat penting dari metode fenomenologi Edmund


Husserl ini adalah bahwa setiap orang jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan
sebelum mendialogkan masalah yang dihadapi dengan secermat-cermatnya.
Dalam metode bracketing dengan berbagai reduksi-reduksi yang Husserl
ungkapkan, bukti-bukti nyata belumlah dipandang cukup untuk menetapkan
sebuah eksistensi atau kebenaran. Kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan
bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan kepada berbagai pengalaman supraempiris lewat intuisi yang bersifat apriori.
Husserl

agaknya

telah

mampu

mensintetesiskan

sekaligus

mengapresiasikan kedua aliran filsafat yang sangat bertolak belakang, yaitu


idealisme dan naturalisme. Ini dapat dilihat, di satu pihak Ia menafikan sama
sekali eksistensi objek pengalaman dunia nyata, dan di pihak lain ia juga tidak
menerima bahwa eksistensi kebenaran itu di luar jangkauan akal manusia. Dengan
23

N. Drijarkara, S.J, Percikkan Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan, 1978), 124.

19

demikian dapat dikatakan bahwa kebenaran transedental sebagai kebenaran


tertinggi.
Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan yang
mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan
sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran,
justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang
murni.

E.

Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik

secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-fenomena
yang masih panas dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa, salah satunya adalah tentang Global Warming. Adapun fenomena
yang baru saja Kita alami yakni bencana alam, semisal gempa bumi ataupun
tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat fenomena-fenomena alam
yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan
dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja meluapnya
lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang Kita
yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan
sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan
hidup.

20

Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomenafenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih
aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Karena Kita
harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-kenomena alam bukan saja dari
luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. Biarkan Fenomena yang berbicara pada
Kita.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun


masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang
bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
kalimat Nach den sachen selbst (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa
adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu
menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada
benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu
sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita
itulah yang disebut fenomena.

21

Fenomenologi

secara

khusus

berbicara

tentang

kesadaran

dan

strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena


kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya,
dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan
filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi
lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl
kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain, M. Scheler dan MerleauPonty. Fenomenologi mengatakan bahwa Kita harus memperkenalkan gejalagejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan
argumen-argumen, konsep-konsep, dan teori umum. Setiap benda mempunyai
hakekat-hakekatnya dan hakekat ini berbicara kepada Kita kalau Kita
membuka diri untuknya. Kita harus mengabstrahir dari semua hal yang tidak
hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal
yang ingin Kita selidiki, mulai berbicara. Dan bahasa ini akan dapat dimengerti
berkat intuisi Kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan
manfaatnya untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan
etika.

22

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, Anggota
IKAPI, 1981.
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
Collinson, Diane, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT.
Raja Garfindo Persada, 2001.
Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, Cet. 1.
Hamersma, Herry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

23

KBBI Team, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007.
M., Yoyok, edmund-husserl, http://yoyoksiemo.blogspot.com/2007/10/edmundhusserl-1859-1938.html, (23 Oktober 2009).
Pemikiran Islam dan Realitas Masyarakat dalam Jurnal Penelitian Agama,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5, (,1993).
Rhazin,

Rashid,

Memahami

Manusia melalui

Filsafat

http://www.pa-

banjarmasin.pta-banjarmasin.go.id/index, (28 Oktober 2009).


Siddik, Abdulah, Islam dan Filsafat, Jakarta: Triputra Masa, 1984.
Siswanto, Joko, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Anggota IKAPI, 1998, cet. 1.
SJ., N. Drijarkara, Percikkan Filsafat, Jakarta: PT. Pembangunan 1978.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Titus, Harold, dkk, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat),
alih bahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.

Anda mungkin juga menyukai