Visit me at
: www.bunkepol.blogspot.com
: www.facebook.com/irfanalvira
: irfan_alvira@yahoo.co.id
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak awal kelahirannya, kegiatan berfilsafat sendiri didorong oleh rasa
cinta akan kebijaksanaan. Kata Philosophia sendiri secara harfiah berarti cinta
akan kebijaksanaan, karena kata yunani philo atau kata kerjanya philein adalah
mencintai. Sedangkan sophia adalah kebijaksanaan1. Dalam perspektif pencarian
kebijaksanaan kegiatan manusia untuk condong kepada hal ingin tahu adalah
salah satu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari manusia itu sendiri. Berangkat
dari tujuan rasa ingin tahu tadi, maka perkembangan yang terjadi diharapkan bisa
memberikan hasil untuk berbuat secara lebih tepat dalam beriteraksi dengan
dunia, masyarakat sekitar, dan bahkan antara diri sendiri dengan tuhannya. Maka
ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran
darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan
inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan
demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini
disebut filsafat.
1
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang
sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang
bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka
dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang
ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang
tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Jika ditinjau dari segi historis tentang sejarah perkembangan filsafat
maka Kita bisa membaginya ke dalam empat periode2:
1. Masa Yunani Kuno (Abad 6 SM Akhir Abad 3 SM).
Di masa ini pembahasan akan keingintahuan manusia telah mulai dibahas
secara menyeluruh sehingga memunculkan istilah-istilah dalam aspek
ilmu filsafat seperti aspek Ontology (being, what, who), aspek
Epistemologi (why, how), dan aspek Aksiologi (for what/untuk apa, apa
nilainya). Sedangkan tokoh-tokohnya yg terkenal adalah seperti
Heraklitos dengan teorinya bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan
yang kemudian walaupun teori ini ditentang oleh Parmanides yang
N. Drijarkara SJ., 1978, Percikan Filsafat ( Jakarta: PT. Pembangunan, 1978), 104.
Abdulah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta: Triputra Masa, 1984), 91.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Husserl. Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia
mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat.
Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana
Kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian
terhadap dunia di mana Kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun
tetapi Kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran Kita. Eksistensi kesadaran
adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
dunia yang Kita hayati serta pengalaman Kita yang langsung tentang dunia
tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang
perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya
di Jerman dan Perancis5.
Harold Titus, dkk, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa H.M.
Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 400.
Rashid Rhazin, Memahami Manusia melalui Filsafat http://www.pa-banjarmasin.ptabanjarmasin.go.id/index (28 Oktober 2009)
6
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), 98.
B.
Pengertian Fenomenologi.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari
memperlihatkan8. dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang
artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak, terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala, yaitu suatu hal
yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai
ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Atau Secara harfiah
fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. Dan yang
lebih penting dalam filsafat fenomenologi adalah sebagai sumber berpikir yang
kritis9. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau
apa yang menampakkan diri10.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.
Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas
di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada
dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, 37.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 122.
10
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), 100.
10
12
KBBI Team, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru) (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007),
192.
11
asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar
filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano.
Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris14
(sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya
suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan
ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan
penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat
tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh
langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni.
C.
Intensionalitas
Menurut Husserl prinsip segala prinsip ialah bahwa hanya intuisi
15
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981), 98.
12
16
Herry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 117.
13
17
14
18
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Anggota IKAPI, 1998), cet. 1, 102 103.
19
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman (Jakarta: PT. Gramedia, Anggota IKAPI, 1981),
102.
15
D.
20
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1996), 132.
16
Ada 3 macam reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomen dalam
pendekatan fenomenologi itu, yaitu Reduksi Fenomenologis, Reduksi Eidetis, dan
Reduksi Fenomenologi Transedental.
1. Reduksi Fenomenologis.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap Kita harus obyektif,
terbuka untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Walaupun
demikian, fenomen itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak
disangkal eksistensinya, hanya tidak diperhatikan. Namun obyek yang
diteliti hanya yang sejauh Kita sadari.
Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan (Jakarta: PT. Raja Garfindo
Persada, 2001), 190.
17
22
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar anggota IKAPI, 1998), cet. 1, 102 103.
18
mengenai
kesadaran
sendiri
yang
bersifat
transedental.
agaknya
telah
mampu
mensintetesiskan
sekaligus
19
E.
Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik
secara langsung Kita sadari, maupun yang tidak Kita sadari. Fenomena-fenomena
yang masih panas dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa, salah satunya adalah tentang Global Warming. Adapun fenomena
yang baru saja Kita alami yakni bencana alam, semisal gempa bumi ataupun
tsunami, khususnya di Indonesia Kita dapat melihat fenomena-fenomena alam
yang sering menimpa negeri Kita ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan
dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja meluapnya
lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang Kita
yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan
sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan
hidup.
20
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomenafenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih
aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Karena Kita
harus mulai belajar untuk menyikapi fenomena-kenomena alam bukan saja dari
luarnya, tapi dari fenomena itu sendiri. Biarkan Fenomena yang berbicara pada
Kita.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
21
Fenomenologi
secara
khusus
berbicara
tentang
kesadaran
dan
22
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005.
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Jerman, Jakarta: PT. Gramedia, Anggota
IKAPI, 1981.
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
Collinson, Diane, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT.
Raja Garfindo Persada, 2001.
Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, Cet. 1.
Hamersma, Herry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
23
KBBI Team, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007.
M., Yoyok, edmund-husserl, http://yoyoksiemo.blogspot.com/2007/10/edmundhusserl-1859-1938.html, (23 Oktober 2009).
Pemikiran Islam dan Realitas Masyarakat dalam Jurnal Penelitian Agama,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5, (,1993).
Rhazin,
Rashid,
Memahami
Manusia melalui
Filsafat
http://www.pa-