Konstruktivisme
Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme
adalah Jean Piaget. Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam
bidang pendidikan dikenal dengan nama kontruktivisme kognitif atau personal
contructivisme.
Jean Piaget menyakini bahwa belajar akan lebih berhasil apabila
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Aliran
konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan
adalah kontruksi (bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan
(realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui
kegiatan seseorang.
Seseorang dapat membentuk skema, kategori, konsep dan struktur
pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses pembentukan ini
berjalan terus menerus dan setiap kali akan mengadakan reorganisasi karena
adanya suatu pemahaman yang baru. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur
kognitif tersendiri yang kemudian dinamakan skema (schema). Skema adalah
suatu struktur mental atau kognitif yang memungkinkan seseorang secara
intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.
Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi
hipotesis, seperti intelektual, kreativitas, kemampuan dan naluri. Skema dapat
terbentuk karena pengalaman, proses penyempurnaan skema melalui proses
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah mengintegrasikan persepsi, konsep,
atau pengalaman baru ke dalam suatu pola yang sudah ada dalam pikiran, atau
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah
membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan baru, atau menyusun
kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat.
Asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa. Dalam
pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang
dipelajari. Hal ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru
dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa.
Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, memecahkan
persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk
membentuk konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik
bukanlah sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan
melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan
tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan
yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap
individu
akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama
tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Teori konstruktivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar, siswa
yang harus mendapat penekanan. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan
pengetahuan, bukan guru atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa
membantu siswa menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena siswa
berpikir dan bukan meniru saja.
Humanistik
Aliran humanistik muncul pada pertengahan abad 20 sebagai reaksi teori
psikodinamika dan behavioristik. Teori psikodinamika yang dipelopori oleh
Sigmund Freud yang berupaya menjelakan hakekat dan perkembangan tingkah
laku kepribadian. Model psikodinamika yang di ajukan Freud disebut dengan
Teori Psikoanalisis (analytic theory).
Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan hasil tenaga yang
beroperasi di dalam pikiran yang sering tanpa disadari oleh individu. Freud
menyakini bahwa tingkah laku manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh
kekuatan psikologi yang tidak disadarinya. Salah satu tokoh aliran humanistik
terkenal adalah Abraham Harold Maslow (1908-1970).
Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima
dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini
adalah teori tentang Hierarchy of Need (Hirarki Kebutuhan). Dalam teori hirarki
kebutuhan, Maslow menyebutkan ada lima jenis kebutuhan dasar manusia secara
berjenjang dan bertingkat mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis)
sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
Pada tingkat paling bawah terletak kebutuhankebutuhan fisiologis
(physiological needs), tingkat kedua terdapat kebutuhan akan rasa aman dan
perlindungan (need for self-security and security), tingkat ketiga mencerminkan
kebutuhan yang digolongkan dalam kelompok kasih sayang (need for love and
belongingness), tingkat keempat mencerminkan kebutuhan atas penghargaan diri
(need for self-system), sedangkan tingkat kelima adalah kebutuhan aktualisasi diri
(need for self actualization).
B. Ideologi pendidikan
Melalui kajian secara historis, perdebatan ideologi pendidikan bermula
dari perdebatan konseptual antara perspektif sistem formal dan pespektif proses
empiris. Perdebatan perspektif yang terjadi sejak tahun 1960-an itu masih
berkecamuk sampai sekarang. Perspektif sistem formal yang menerapkan sistem
filsafat umum ke dalam bidang pendidikan menguasai kajian ideologi pendidikan
sejak 1950-an.
Perspektif itu dimotori oleh Donald Butler melalui bukunya Four
Philosopies and Their Practice in Education and Religion (1951) dan dilanjutkan
oleh Theodore Brameld dengan karyanya Philosophies Education in Cultural
Perspective (1955), Toward a Reconstructed Philosophy of Education (1956), dan
A Reconstructionist View of Education (1961).
Perspektif proses atau problematis dengan metode semantis, rasional dan
empirisnya melakukan penolakan terhadap perspektif sistem formal sejak 1960-
an. Tokoh utama perspektif ini adalah Jonas Scoltis dengan tiga karyanya, yaitu
Philosophy of Education: Four Dimension (1966a), Seeing, Knowing, and
Beliefing: Reading (1966b), dan An Introduction to the Analysis of Education
Concept (1968).
Tokoh yang lain pada perspektif proses ini adalah Ricard S. Peters dengan
karya berjudul Etics and Education (1966). Tokoh awal perspektif ini adalah John
S. Brubacher dengan karya berjudul Modern Philosophies of Education (1962)
dan Israel Scheffter dengan karyanya Conditions Knowledge (1965). Karya
tokoh-tokoh itu mengumandangkankajian ideologi pendidikan dengan sandaran
dunia empiris. Dengan kata lain, sandaran ideologi pendidikan bukan menerapkan
filsafat
umum dalam dunia pendidikan sebagaimana anjuran Donald Butler.
Perdebatan perspektif ideologis seperti yang dikemukakan di atas,
berimplikasi terhadap adanya perdebatan pengelompokkan atau
klasifikasi;misalnya pengklasifikasian ideologi pendidikan dikotomis; konvervatif
dan liberal; realistik dan idealistik; trikotomis: tradisional, progresif dan radikal;
konservatif, liberal dan kritis (Christenson et al., 1971), bahkan ada yang lebih
dari tiga kelompok, tetapi 6 kelompok:fundamentalisme, intelektualisme,
konservatisme, libealisme,liberasionisme, dan anarkhisme/radikalisme. (O’Neill,
1981; Freire, dkk., 2003; Giroux & McLaren, 1989).
Di antara yang disebutkan di atas, yang lebih memiliki kemiripan dan
lebih relevan dengan kebutuhan dan realitas perkembangan sampai saat ini
menurut hemat penulis adalah pengklasifikasian dari O’Neill dan Freire; yaitu
kesamaan jumlahdan nama model ideologi pendidikan, yang berjumlah 6 (enam)
model dengan berbagai variannya, yaitu fundamentalisme, intelektualisme,
konservatisme, liberalisme, liberasionisme, dan anarkhisme/radikalisme.
O’Neill (1981) membagiideologi pendidikanmenjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu pertama ideologi konservatif dan liberal. Ideologi konservatif meliputi
ideologi pendidikan fundamentalisme, ideologi pendidikan intelektualisme, dan
ideologi pendidikan konservatisme. Ideologi liberal meliputi ideologi pendidikan
liberalisme, pendidikan liberasionisme, dan ideologi pendidikan anarkisme.
Fundamentalisme meliputi corakcorak konservatisme, yang pada dasarnya
bersifat anti-intelektual. Artinya, mereka ingin meminimalkan pertimbangan-
pertimbangan filosofis dan/atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan
anggapan-anggapannya di atas penerimaan yang relatif tidak kritis terhadap
kebenaran yang diwahyukan ataupun kesepakatan sosial yang sudah mapan (akal
sehat).
Ada dua variasi sudut pandang dalam penerapan ke dalam pendidikan: (a)
ideologi pendidikan fundamentalisme religius, sebagaimana dijumpai dalam
berbagai pendidikan versi Kristen yang lebih fundamentalistis, yang sangat terikat
pada pandangan yang cukup kaku dan harafiah mengenai kenyataan yang
diwahyukan melalui kewenangan/otoritas Alkitabiah. Dalam pendidikan dewasa
ini, fundamentalisme religiusbarangkali paling bisa diamati dalam berbagai
gagasan pendidikan yang dilontarkan dan dijalankanoleh kelompok-kelompok
umat Kristen yang menampilkan kepatuhan ketat terhadap Sabda Allah,
sebagaimana tertuang dalam Alkitab.
Pandangan ideologi pendidikan fundamentalisme akal sehat yang diwakili
oleh tokoh terkemuka seperti Max Raffery (ketua Pengawas Pengajaran Umum di
negara bagian California), dengan penekanan yang kuat terhadap nasionalisme
dan patriotisme. Ideologi pendidikan intelektualisme lahir dari ungkapan-
ungkapan konservatisme politis yang didasari oleh sistem-sistem pemikiran
filosofis atau teologis yang relatif kaku dan fundamentalis otoritarian.
Secara umum, konservatisme filosofis bermaksud mengubah praktik-
praktik politik yang ada, dan menjadikannya lebih sempurna relevan dengan cita-
cita dan gagasan intelektual atau kerohanian ideal, yang pada intinya bersifat
dimutlakkan. Misalnya, konservatisme intelektual yang terpantul dalam tulisan-
tulisan Plato dan Aristoteles dan pemikiran Thomas Aquinas (melandasi
pandangan utama Gereja Katholik Roma).
Dalam pendidikan kontemporer, konservatisme filosofis mengungkapkan
diri, sebagai ideologi pendidikan intelektualisme, yang di dalamnya ada dua
variasi mendasar: (a) intelektualisme filosofis yang intinya sekuler tercermin dari
karya-karya Robert Maynard Hutchins dan M. Adler; (b) intelektualisme teologis,
berorientasi religius seperti tertuang dalam karya-karya filosof Katolik Roma:
William Mc Gucken dan John Donahue (O’Neill, 1981:63) Ideologi pendidikan
konservatisme, padadasarnya mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan
prosesproses budaya yang sudah teruji oleh waktu, disertai dengan rasa hormat
yang mendalam terhadap hukum serta tatanan sosial yang baku, sebagai landasan
bagi perubahan sosial yang konstruktif.
Dalam hal pendidikan, kaum konservatif menganggap bahwa sasaran
utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan struktur dan sistem sosial serta
pola-pola berikut tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua variasi mendasar di
dalam ideologi pendidikan konservatisme: (a) ideologi pendidikan konservatisme
religius, menekankan pelatihan rohani sebagai pusat landasan watak moral yang
tepat; (b) ideologi pendidikan konservatisme sekular, peduli pada perlunya
pelestarian dan penyaluran keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang ada
sebagai sebuah jalan untuk memastikan pertahanan hidup secara sosial sekaligus
keefektifan personal. Saat ini, konservatisme religius paling terwakili dalam
orientasi pendidikan tradisi-tradisi Protestan, seperti Lutheran dan Baptisn;
sedangkan yang sekular diwakili oleh para kritisi yang tajam dari pendukung
progresivisme dan permisivisme pendidikan, seperti pemikiran James Koerner
serta Hyman Rickover ( O’Neill, 1981: 64).
Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki
tatanan sosial yang ada, dengan cara membelajarkan setiap siswa sebagaimana
caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara
efektif. Ideologi pendidikan liberal ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari
yang relatif lunak, yakni liberalisme metodik yang diajukan oleh teoretisi seperti
Maria Montessorimo, ke liberalisme direktif (lebih mengarahkan) yang sarat
dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme non direktif atau
liberalisme laissez faire, yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl
Rogers (O’Neill, 1981:66).
Ideologi pendidikan liberasionisme, menganggap bahwa manusia mesti
mengusahakanpembaruan/perombakan segera dalam ruang lingkup besar atas
tatanan politis yang ada, sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual
serta untuk mempromosikan perwujudan potensi-potensipersonalsepenuhnya.
Ideologipendidikanliberasionisme mencakup spektrum pandangan yang luas, dari
liberasionisme pembaruan yang relatif konservatif, yang tercermin dalam gerakan-
gerakanmenuntuthak-hak warganegara (di AS era 60-an) hingga ke komitmen
yang mendesak dan bernafsu terhadap liberasionisme revolusioner, yang kerapkali
bernuansa Marxis, dengan seruannya agar sistem pendidikan segera mengambil
peran aktif dalam menggulingkantatananpolitik yang ada. Bagi kaum ideologi
pendidikan liberasionisme, sekolah haruslah objektif (rasional-ilmiah), namun
tidak sentralistik.
Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya untuk mengajar
anakanak tentang bagaimana cara berpikir efektif (rasional-ilmiah), melainkan
juga untuk membantu mereka mengenali kebijakan yang sifatnya lebih tinggi
(superior) yang tak terceraikan dari pemecahan-pemecahan masalah secara
intelektual yang paling meyakinkan, sehubungan dengan problem-problem
manusia. Dengan kata lain ideologi pendidikan liberasionisme didirikan di atas
landasan sistem kebenaran yang terbuka, yang pada puncaknya merupakan sebuah
orientasi yang berpusat pada problema sosial. Sekolah memiliki kewajiban moral
untuk mengenali dan mempromosikan program-program sosial yang konstruktif.
Sekolah mesti berusaha memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang
didukung oleh analisis objektif terhadap fakta-fakta yang ada (O’Neill, 1981:66).
Anarkisme yang bersudut pandang pembela
penghapusan/pemusnahan/pelenyapan seluruh kekangan terlembaga atas
kebebasan manusia. Penghapusan kekangan ini diyakini sebagai jalan untuk
menyediakan peluang penuh atas potensi-potensi manusia yang dibebaskan.
Dalam pendidikan, sikap anarkis paling terwakili dalam tulisan-tulisan
tokoh terkenal Ivan Illich dan Paul Goodman (O’Neill, 2002:113). Sudut pandang
ini meliputi wilayah pandangan yang cukup luas, dari anarkisme taktis, yang ingin
melebur sekolah demi mendramatisasikan kebutuhan akan adanya sistem sosial
yang baru hingga ke anarkis utopis yang membayangkan terciptanya sebuah
masyarakat bebas tak terbatas dari seluruh kekangan kelembagaan apapun. Kaum
yang berideologi pendidikan anarkisme, sebagaimana yang liberalis dan
liberasionis, pada umumnya menaati sebuah sistem penyelidikan eksperimental
yang terbuka (ilmiah-rasional). Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme
lebih menekankan pada kebutuhan untuk meminimalkan dan/atau melenyapkan
batasan-batasan terlembaga atas perilaku personal, dan berusaha sejauh mungkin
membebaskan masyarakat dari lembaga-lembaga (deinstitusionalisasi
masyarakat).
Sejalan dengan itu, diyakini bahwa pendekatan terbaik terhadap
pendidikan adalah yang mengusahakan untuk mempercepat pembaharuan-
pembaharuan humanistis yang segera dan berskala besar di dalam masyarakat,
dengan cara menghapuskan sistem sekolah secara keseluruhan (O’Neill, 1981:67)
C. Paradigma pendidikan
Banyak orang sudah mengetahui bahwa potensi otak manusia memang
luar biasa. Namun sayang, potensi itu hanya sebatas potensi. Kebanyakan orang
belum mampu menangkap dan memanfaatkan potensi keajaiban otak. Sebagian
besar metode pembelajaran guru kita dan suasana di sekolah tampaknya justru
menghambat alih-alih mendorong potensi otak. Itulah sebabnya pengajaran di
sekolah harus memiliki proses kreatif. Para profesional pendidikan harus
mengubah paradigma dan visi pendidikan kita.
Paradigma dan visi pendidikan yang sesuai dengan tantangan masa kini
akan menjadi pertimbangan UNESCO dalam World Education Forum dalam
persiapan pendidikan manusia abad ke-21. Pendidikan harus mengubah
paradigma dari mengajar (teaching) menjadi belajar (learning). Dengan perubahan
tersebut, proses pendidikan menjadi “suatu proses dimana guru dan siswa belajar
bersama”. Guru juga terlibat dalam proses pembelajaran. Sehingga lingkungan
sekolah, mengutip Ivan Illich, menjadi masyarakat belajar.
Dalam paradigma ini, siswa tidak lagi disebut sebagai pembelajar (siswa)
tetapi sebagai pembelajar (learners). Paradigma pendidikan versi UNESCO jelas
didasarkan pada paradigma belajar, bukan lagi pada pengajaran. Keempat
paradigma pendidikan tersebut disebut sebagai pilar manusia abad 21,
menghadapi pengetahuan dan kehidupan yang selalu berubah.
Pertama: belajar berpikir (learn to think). Artinya pendidikan berorientasi
pada pengetahuan yang logis dan rasional sehingga siswa berani mengemukakan
pendapatnya dan membaca secara kritis dan antusias. Pembelajaran terus menerus
yang berlangsung sepanjang hidup adalah belajar berpikir. Pembelajaran "burung
beo" itu sendiri tidak memiliki tempat di era globalisasi. Dalam pengertian ini,
penguasaan bahasa digital harus dikuasai oleh anak-anak kita, karena dengan
begitu mereka dapat memasuki dunia tanpa batas. Oleh karena itu, konsep belajar
dan belajar harus diubah, dan pintu menuju teknologi pembelajaran modern harus
dibuka, meskipun tetap diperlukan. Pendidikan pribadi orang tua, guru, dan
lembaga sosial lainnya dalam rangka membentuk moralitas manusia di abad ke-
21.
Kedua, belajar melakukan (learn to do/live). Abad ke-21 membutuhkan
orang yang tidak hanya berpikir, tetapi juga orang yang berpikir. Orang yang
melakukan ini adalah orang yang ingin meningkatkan kualitas hidupnya. Ini
memungkinkan dia untuk menciptakan produk baru dan meningkatkan
kualitasnya. Tanpa tindakan, pikiran atau konsep tidak memiliki arti. Aspek yang
ingin dicapai dalam visi ini adalah kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah sehari-hari. Dengan kata lain, pelatihan bertujuan untuk memecahkan
suatu masalah.
Ketiga, belajar hidup bersama (learn to live together). Pendidikan di sini
bertujuan untuk membentuk siswa yang sadar bahwa kita hidup di dunia global
dengan banyak orang dari latar belakang bahasa, suku, agama, dan budaya yang
berbeda. Di sini, pendidikan tentang nilai-nilai perdamaian, penghormatan
terhadap hak asasi manusia, perlindungan lingkungan dan toleransi menjadi aspek
utama yang diserap ke dalam kesadaran siswa.
Keempat, learn to be (belajar menjadi diri sendiri). Pendidikan ini sangat
penting mengingat masyarakat modern saat ini sedang mengalami krisis
kepribadian. Saat ini orang lebih melihat diri mereka sebagai apa yang Anda
miliki, apa yang Anda kenakan, apa yang Anda makan, apa yang Anda kendarai,
dll. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya menitikberatkan pada bagaimana
peserta didik dapat tumbuh dan berkembang di masa depan sebagai pribadi yang
mandiri, harga dirinya sendiri, dan bukan hanya dirinya sendiri (materi dan posisi
politik).
Ketika paradigma pendidikan di atas diputuskan, maka diperoleh kata
kunci berupa “belajar untuk belajar” (learn to learn). Pendidikan ini tidak hanya
berpedoman pada nilai akademik yang memenuhi aspek kognitif, tetapi juga
bagaimana siswa dapat belajar tentang lingkungan, pengalaman dan kehebatan
orang lain, kekayaan dan keluasan ruang alam, sehingga mampu berkreasi. Sikap
dan keterampilan berpikir imajinatif.
D. Teori Pendidikan
Definisi teori ras adalah teori yang digunakan di dalamnya belajar
mengajar Aplikasi dari teori belajar yang terkenal adalah Teori John Dewey
adalah teori “learning by doing”. Teori belajar ini merupakan bagian dari
pedagogi. Maksud saya sebelumnya Dalam membahas suatu teori belajar, perlu
diuraikan pengertian dari teori tersebut Pendidikan.
Menurut Moore (1974), istilah teori mengacu pada perusahaan
menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi, bagaimana hal itu terjadi. Juga teori
adalah upaya untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin telah terjadi masa depan
Wawasan ini menunjukkan bahwa teori fungsional adalah membuat prediksi Teori
juga diartikan sebagai kebalikan dari praktik.
Teori pendidikan adalah seperangkat penjelasan rasional yang dibahas
secara sistematis tentang aspek yang paling penting dari sistem pendidikan.
Mudyahardjo (2002) menyatakan bahwa teori pendidikan adalah Pandangan atau
pendapat tentang pelatihan yang disajikan dalam sistem konseptual. Pendidikan
sebagai suatu sistem adalah penting kelompok tertentu dengan setidaknya satu
hubungan khusus bertukar dan mengumpulkan informasi. Sagala (2006:4),
mengatakan bahwa pedagogi adalah sistem konseptual terintegrasi yang
menjelaskan dan memprediksi acara pelatihan.
Ada teori pendidikan yang memainkan perannya sebagai penerimaan
pemikiran pedagogis dan memainkan peran. Pendidikan dihasilkan dari kondisi
kehidupan nyata individu yang belajar dan lingkungan belajar, pendidikan
memiliki arti normatif.
Urutan tindakan disebabkan oleh kondisi nyata dan orang-orang yang
belajar dan fokus pada pencapaian individu yang diharapkan. Teori pendidikan
dibagi menjadi empat bagian, pendidikan klasik, pelatihan pribadi, teknologi
pendidikan dan pelatihan interaktif. Keempat teori pendidikan tersebut
menghasilkan perencanaan kurikulum sendiri atau yang lain yang menciptakan
masyarakat yang serupa dengan sengaja Nana S. Sukmadinata (1997)
mengemukakan 4 (empat) teori pedagogik, yaitu:
1. Pendidikan klasik
Teori Pedagogi klasik didasarkan pada filsafat klasik seperti Pluralisme,
esensialisme dan eksistensialisme dan pandangan bahwa pendidikan berfungsi
sebagai upaya untuk memelihara dan melestarikan warisan budaya. Teori ini
menekankan pada peran konten pendidikan bukan proses.
Dalam praktiknya, guru memainkan peran yang lebih besar dan dominan.
Siswa berperan pasif sebagai penerima Informasi. Pendidikan harus
mengembangkan kesempatan siswa berdasarkan kebutuhan dan minat siswa.
Dalam hal ini para peserta siswa menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan
para guru saja di tempat kedua, yang lebih merupakan panduan, motivator,
moderator dan pendamping mahasiswa.
Teori pembentukan kepribadian menjadi sumber perkembangan model
Kurikulum Humanistik. Tujuannya adalah untuk memperluas kesadaran diri dan
mengurangi keterasingan-keterasingan dari lingkungan dan proses realisasi diri.
Kurikulum humanistik merupakan respon terhadap pertumbuhan pendidikan
menekankan aspek intelektual (kurikulum akademik).
Teknologi pendidikan adalah sebuah konsep pendidikan yang ada
kesamaan dengan pelatihan roller klasik pelatihan transfer informasi. Tapi
sementara itu, keduanya berbeda. Lebih dalam teknologi pendidikan fokusnya
adalah pada pembentukan dan pengelolaan keahlian atau keterampilan praktis,
bukan konservasi dan pemeliharaan budaya kuno. Dalam teori pedagogi ini, isi
pelatihan dipilih oleh sekelompok ahli spesialisasi berupa pengetahuan dan
keterampilan objektif yang mengarah pada keterampilan profesional.
Peserta didik berusaha keras untuk menguasai sejumlah besar materi dan
Jalankan model secara efisien dan tanpa refleksi. Keterampilan barunya segera
digunakan di masyarakat. Guru bertindak sebagai pemimpin siswa, lebih banyak
tugas manajemen pasokan dan pendalaman material.
Pendidikan interaktif merupakan konsep pendidikan yang titik tolak
pemikiran manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dan bekerja sama
dengan orang lain. Pendidikan sebagai cara hidup juga berorientasi pada pekerjaan
sama dan interaksi. Fokusnya adalah pada pelatihan interaktif, yakni Interaksi dua
arah dari guru ke siswa. Selain itu, ada juga interaksi dalam pedagogi, yakni
antara siswa dengan bahan pelajaran, antara pikiran manusia dan lingkungan.
Interaksi berlangsung melalui berbagai dialog.
Dalam pendidikan, pembelajaran interaktif lebih dari sekedar mempelajari
fakta. Siswa akan memahami fakta-fakta ini secara pengalaman dan juga
memberikan interpretasi yang komprehensif untuk memahami dalam konteks
kehidupan. Filosofi yang mendasari pendidikan interaktif, yaitu filsafat
rekonstruksi sosial.
E. Inovasi Pendidikan
1. Pengertian Inovasi Pendidikan
Menurut S. Wojowasito dan Santoso S. Hamijoyo yang dikutip oleh Udin
Syaefudin Sa’ud dalam bukunya Inovasi Pendidikan mengatakan bahwa kata
Innovation (bahasa Inggris) sering diterjemahkan segala hal yang baru atau
pembaharuan, tetapi ada yang menjadikan kata Innovation menjadi kata Indonesia
yaitu Inovasi. Inovasi kadang-kadang juga dipakai untuk menyatakan penemuan,
karena hal yang baru itu hasil penemuan.
Kata penemuan juga sering digunakan untuk menterjemahkan kata dari
bahasa Inggris Discovery dan Invention. Ada juga yang mengkaitkan antara
pengertian Inovasi dan Modernisasi, karena keduanya membicarakan usaha
pembaharuan, untuk memperluas wawasan serta memperjelas pengertian Inovasi
Pendidikan, maka perlu dibicarakan dulu tentang pengertian Discovery, Invention,
dan Innovation sebelum membicarakan tentang pengertian Inovasi Pendidikan.
Discovery, Invention, dan Innovation dapat diartikan dalam bahasa
Indonesia “penemuan”, maksudnya ketiga kata tersebut mengandung arti
ditemukannya sesuatu yang baru, baik sebenarnya barang itu sendiri sudah ada
lama kemudian baru diketahui atau memang benar-benar baru dalam arti
sebelumnya tidak ada. Demikian pula mungkin hal yang baru itu diadakan dengan
maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Faktor eksternal yang mempunyai
pengaruh dalam proses inovasi pendidian ialah orang tua. Orang tua murid ikut
mempunyai peranan dalam menunjang kelancaran proses inovasi pendidikan, baik
ia sebagai penujang secara moral membantu dan mendorong kegatan siswa untuk
melakukan kegiatan belajar sesuai dengan yang diharapkan sekolah, maupun
sebagai penunjang pengadaan dana.
Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah diatur dengan aturan yang
dibuat oleh pemerintah. Inovasi pendidikan adalah suatu perubahan yang baru,
dan kualitatif berbeda dari hal (yang ada sebelumnya), serta sengaja diusahakan
untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam
pendidikan.
Dari definisi tersebut dapat dijabarkan beberapa istilah yang menjadi kunci
pengertian inovasi pendidikan, sebagai berikut.
a. Baru, dalam inovasi dapat diartikan apa saja yang belum dipahami,
diterima atau dilaksanakan oleh penerima inovasi, meskipun mungkin
bukan baru lagi bagi orang lain. Akan tetapi, yang lebih penting dari
sifatnya yang baru ialah sifat kualitatif berbeda dari sebelumnya.
b. Kualitatif, berarti inovasi itu memungkinkan adanya reorganisasi atau
pengaturan kembali unsur-unsur dalam pendidikan. Jadi, bukan semata-
mata penjumlahan atau penambahan unsur-unsur setiap komponen.
Tindakan menambah anggaran belanja supaya lebih banyak mengadakan
murid, guru, kelas, dan sebagainya, meskipun perlu dan penting, bukan
merupakan tindakan inovasi. Akan tetapi, tindakan mengatur kembali jenis
dan pengelompokan pelajaran, waktu, ruang kelas, cara-cara
menyampaikan pelajaran, sehingga dengan tenaga, alat, uang, dan waktu
yang sama dapat menjangkau sasaran siswa yang lebih banyak dan dicapai
kualitas yang lebih tinggi adalah tindakan inovasi.
c. Hal, yang dimaksud dalam definisi tadi banyak sekali, meliputi semua
komponen dan aspek dalam subsistem pendidikan. Hal-hal yang
diperbaharui pada hakikatnya adalah ide atau rangkaian ide. Termasuk hal
yang diperbaharui ialah buah pikiran, metode, dan teknik bekerja,
mengatur, menddik, perbuatan, peraturan, norma, barang, dan alat.
d. Kesengajaan, merupakan unsur perkembangan baru dalam pemikiran para
pendidik dewasa ini. Pembatasan arti secara fungsional ini lebih banyak
mengutarakan harapan kalangan pendidik agar kita kembali pada
pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching), dan menghindarkan
diri dari pembaharuan perkakas (gadgeteering).
e. Meningkatkan kemampuan, mengandung arti bahwa tujuan utama inovasi
adalah kemampuan sumber-sumber tenaga, uang, dan sarana, termasuk
struktur dan prosedur organisasi.
f. Tujuan, yang direncanakan harus dirinci dengan jelas tentang sasaran dan
hasil-hasil yang ingin dicapai, yang sedapat mungkin dapat diukur untuk
mengetahui perbedaan antara keadaan sesudah dan sebelum inovasi
dilaksanakan.
Dari uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
inovasi di bidang pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan dengan tujuan
untuk memperoleh hal yang lebih baik dalam bidang pendidikan.