Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala


serta shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membimbing umatnya dari kegelapan menuju masa yang terang benderang.
Semua ini tidak lepas dari Rahman dan Rahim serta pertolongan-Nya, sehingga
semua hambatan dan kendala dalam penyusunan makalah ini yaitu makalah kami
yang berjudul “Pengertian Dasar Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’iy serta
cakupannya masing- masing” untuk memenuhi tugas mata kuliah Hikmatut
Tasyri’..

Makalah ini, diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada para


mahasiswa jurusan PAI dalam memahami bagaimana cara kita sebagai kaum
muslimin, mengetahui memahami dan mampu menjelaskan kepada masyarakat
mengenai jawaban dari problema- problema yang berkembang saat ini agar kita
tetap di jalan yang diridhai oleh Allah.

Semoga makalah ini dapat membantu semua teman mahasiswa/i dalam


mempelajari dan memahami mata kuliah Hikmatut Tasyri’ terutama dalam hal
pengertian dasar serta cakupan hikmatut tasyri’ dan hikmatus syar’i yang
sebenarnya dalam Islam dan yang terpenting semoga bermanfaat pula kepada para
pembacanya.

Malang, 9 Februari 2016

Penutup

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
A. Latar Belakang.......................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................3
C. Tujuan Masalah......................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN PENGERTIAN DASAR HIKMATUT TASYRI’ DAN
HIKMATUS SYAR’I SERTA CAKUPAN MASING- MASING.....................................4
A. Pengertian Dasar Hikmatut Tasyri’ Dan Hikmatus Syar’i......................................4
B. Cakupan Hikmatut Tasyri’ Dan Hikmatus Syar’i.................................................20
BAB III PENUTUP..........................................................................................................23
KESIMPULAN............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................24

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam telah datang dengan membawa sinar kebenaran bagi manusia secara
keseluruhan dan memadamkan api kebodohan ditengah-tengah mereka, sehingga
mereka mendapatkan kemenangan setelah terperangkap di dalam kekalahan.
Mereka menjadi kuat setelah mengalami kelemahan, dan menjadi sehat setelah
mengalami sakit selama berabad-abad.
Syariat menurut wahyu Allah yang murni, yang tetap tidak bisa berubah
dan tidak dapat diubah, dengan kata lain syari’at bisa dikatakan sebagai Al-
Thariqho Al-mustaqimah, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang sudah digariskan
pada setiap manusia supaya mereka mengamalkannya sesuai yang sudah

3
ditentukan, baik menyangkut masalah dunia maupun akhirat, baik yang bersifat
ittiqodiyah dan amaliyah ataupun persoalan akhlak. Syari’at itu bersifat tsabit
(tetap) dan tidak boleh berubah sepanjang masa.
Syariah secara harfiah adalah jalan sumber ke mata air, yakni jalan kurus
yang diikuti oleh setiap umat islam. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah,
dan ketentuan Rasulullah SAW, baik berupa larangan mauun perintah, yang
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dasar Hikamtut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’I ?
2. Bagaimana cakupan Hikamtut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’I?

C. Tujuan Masalah
1. Memahami pengertian dasar Hikamtut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’I
2. Memahami cakupan Hikamtut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’I

BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN DASAR HIKMATUT TASYRI’ DAN HIKMATUS SYAR’I
SERTA CAKUPAN MASING- MASING

A. Pengertian Dasar Hikmatut Tasyri’ Dan Hikmatus Syar’i


Hikmatut Tasyri’ berasal dari kata “Hikmah” dan “Tasyri’”. Sedangkan
Hikmatut Syar’i (Syari’ah) berasal dari kata “Hikmah” dan “Syari’ah”.
Sedangkan Imam al-Jurjani rahimahullah dalam kitabnya memberikan
makna al-Hikmah secara bahasa artinya ilmu yang disertai amal (perbuatan). Atau
perkataan yang logis dan bersih dari kesia-siaan. Orang yang ahli ilmu Hikmah
disebut al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama. Yaitu orang-orang
yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan sunnahRasulullah .

4
Para ulama tafsir rahimahumullah juga mempunyai definisi masing-
masing tentang ilmu al-Hikmah. Yang mana antar pendapat tersebut saling
berkaitan dan melengkapi satu sama lain. Imam Mujahid mengartikan al-Hikmah,
"Benar dalam perkataan dan perbuatan". Ibnu Zaid memaknai, "Cendekia dalam
memahami agama." Malik bin Anas mengartikan, "Pengetahuan dan pemahaman
yang dalam terhadap agama Allah, lalu mengikuti ajarannya." Ibnul Qasim
mengatakan, "Memahami ajaran agama Allah lalu mengikutinya dan
mengamalkannya." Imam Ibrahim an-Nakho'i mengartikan, "Memahami apa yang
dikandung al-Qur'an." Imam as-Suddiy mengartikan al-Hikmah dengan an-
Nubuwwah (kenabian). Sekarang marilah kita simak definisi ilmu al¬-Hikmah
secara lengkap. Yang meliputi definisi secara bahasa, istilah syari'at dan pendapat
para ulama tafsir dalam masalah ini. Menurut kamus bahasa Arab, al-Hikmah
mempunyai banyak arti. Di antaranya, kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang
bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan
al--Qur'anulkarim .
Kata tasyri’ sama dengan kata syar’I yaitu masdar dari fi’il tsulasi mazid
sat hurf setimbang ‫ تفعيل‬dengan arti membuat atau menetapkan syari’at. Bila
syari’at itu dikatakan sebagai hukum atau aturan yang ditetapkan Allah yang
menyangkut tindak tanduk manusia, maka tasyri’ dalam hal ini adalah penetapan
hukum dan tata aturan tersebut .1
Syariat secara bahasa berarti al-utbah ( lekuk liku lembah ), maurid al-
ma’i (tempat minum/mencari air) dan jalan yang lurus, sebagaiman firman Allah
SWT dalam Surat al-Jatsiah: 18
        
    

“ Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)


dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui”.

1
Hasbi Ash-Shiddiqi,”Filsafat Hukum Islam”,(Jakarta : Bulan Bintang : 1976)

5
Menurut Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-hukum Allah
yang ditetapkan untuk hamba-Nya yang disampaikan melalui para Nabi atau
Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah.

Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatut Syari’ah, ada yang menyebutnya dengan


Filsafat Hukum Islam, yang berasal dari kata “Filsafat”, “Hukum” dan Islam”.

Kata “Filsafat” tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an, kecuali dengan kata
yang memiliki arti yang sama, yakni “Al-Hikmah”, sebagaimana disebutkan
dalam ayat Al-Qur’an Al-Baqarah 269 :

          
       

“Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al


Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan
Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah).”

Al-Jumu’ah ayat 2 :

        


       
    

“ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan
Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”,

Al-Azhab 34 :

          
    

“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.”

6
Hikmatut Tasyri’, hikmah dari hukum- hukum syar’i biasa diartikan
sebagai rahasia, maksud, tujuan, atau faedah dari hukum syar’I, baik yang
menyangkut ibadah, mu’amalah, munakahah, jinayah, dan sebagainya. Diantara
kitab- kitab yang membahas rahasia – rahasia hukum syar’I ini ialah kitab – kitab:

1. Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, hikmah hukum- hukum syar’i dan


filsafahnya, oleh Al- Jarjawi.
2. Asyrorusy Syari’ah Al- Islamiyah, rahsia- rahasia/ (hukum- hukum)
syari’at Islam, oleh Al- Ustad Ibrahim Afsudi.
3. Falsafatusy Syari’ah, Filsafat (hukum- hukum) syariah, oleh Nidlomul
Islam.
4. Maqasidusy Syari’ah, tujuan- tujuan (hukum- hukum) syari’ah oleh Allal
Aflasi.
Dari kitab- kitab diatas, ternyata bahwa dalam menyatakan sesuatu yang
sama telah dipergunakan kata- kata yang berbeda, yaitu hikmah, asror, falsafah
serta maqasidi.
Selanjutnya dalam rangka lebih memahami arti hikmatut Tasyri’, perlu
kita ketahui terlebih dahulu beberapa arti dari hikmah, seperti yang telah
dikemukakan oleh para Ulama’.
Dalam bahasa Indonesia biasanya hikamh diartikan sebagai kebijaksanaan.
Dalam kamus Al-Munjid, hikmah dikatakan :
‫ صواب االمر وسداد –العدل‬: ‫ الفلسفه‬,‫ الكالم الموافق الحق‬: ‫الحكمه‬-
Al – Hikmah jamaknya adalah Al- Hikam, berarti perkataan yang sesuai
ddengan haq (kebenaran), filsafat, benar dan tepatnya sesuatu, adil, ilmu dan hilm
(kelembutan, tidak lekas marah).Lafadz hikmah dalam Al- Qur’an terdapat dalam
dua puluh tempat dan Allah telah mensifati diri-Nya dengan sifat “Al- Hakim,”
sebanyak 97 kali dan kepada kitab suci Al- Qur’an Allah telah mensifatinya
bahwa sebagian besar ayat- ayatnya adalah “muhkamah”, yaitu dalam ayat 7 surat
Al- Imron dan telah mensifati surat-Nya sebagai surat muhkamah dalam ayat 20
surat Muhammad.
1. Arti Hikmah Menurut Ahli Tafsir dan Ahli Tahqiq
Ibnu Katsir dalam rangka mentafsiri ayat 269 Al- Baqarah, yaitu :

7
          
       
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.Dan
barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang
banyak.Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang- orang yang
berakal.
Telah menyebutkan nama beberapa ulama’ beserta pendapat masing-
masing tentang arti hikmah. Ulama’- ulama’ tersebut ialah :

a. Ibnu Abbas ra, Al – Hikmah adalah mengetahui tentang Al- Qur’an


(semua yang berhubungan dengan Al- Qur’an) dan dari riwayat lain beliau
mengatakan, Al- Hikmah adalah Al- Qur’an, artinya tafsirnya.
b. Mujahid, Al- Hikmah adalah ketepatan dalam pembicaraan, juga dikatakan
hikmah bukan kenabian tetapi Al- Ilmu, al-Fiqhu, dan Al-Qur’an.
c. Abul Aliyah, Al- Hikmah adalah khosy-yatullah (takut kepada Allah),
khosy-yatullah adalah puncak dari segala hikmah, seperti yang dikatakan
oleh Ibnu Mas’ud, puncak dari hikmah adalah takut kepada Allah.dalam
riwayat lain, Alul Aliyah mengatakan ‘Al- Hikmah adalah Al- Kitab dan
Al- Fahmu.
d. Ibrohim An-Nakholi, Al-Hikmah adalah Al-Fahmu (kefahaman).
e. Malik, hikmah adalah pengertian yang mendalam terhadap agama Allah
serta rahmat dan fadlol yang telah diberikan Allah pada hati.
f. As- Suddi, Al- hikmah adalah Kenabian, sedangkan kenabian adalah
hikmah yang tertinggi dan kerasulan lebih khusus, seperti tersebut dalam
salah satu hadits :

Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang
diberi harta oleh Allah, kemudian dia menghabiskan hartanya di dalam jalan yang
hak, dan terhadap orang yang telah diberi hikmah oleh Allah, kemudian dia
menghukumu dengan hikmah itu dan juga mengajarkannya.
Abu Haiyam dalam tafsir Al- Bahrul Muhith menyebutkan 29 pendapat
tentang makna hikmah, diantaranya :
‫االصابة فى القول والعمل‬

8
Berlaku sebagai yang seharusnya, baikdalam perkataan maupun dalam
perbuatan. Juga
‫اصالح الين واصلح الدىن‬
Memperbaiki agama (akhirat) dan memperbaiki dunia.
Makna- makna yang jumlahnya 29 itu menurut keterangan Al- Bahrul
Muhith berdekatan satu dengan yang lain, terkecuali makna yang diberikan oleh
As-Suddi. Dia menafsirkan hikmah dengan Kenabian dan pendapat itu dinukilkan
dari Ibnu Abbas menurut riwayat Abu Sholih. Dekat dengan makna ini, makna
yang mengatakan bahwa hikmah itu adalah ilmu ladunni
2. Arti Hikmah Yang Digunakan oleh Ulama’ Fiqh

Dengan memperhatikan arti- arti hikmah diatas, maka dapat mengertilah


kita kalau hikmah diartikan dengan kebijaksanaan dan kalau dihubungkan dengan
“syari’ah” atau “tasyri’” menjadi rahasia- rahasia, tujuan- tujuan serta faedah –
faedah. Pengertian – pengertian inilah yang umumnya difahami dan ternyata
memang hikmah dengan arti rahasia- rahasia dan tujuan- tujuan itulah yang
digunakan oleh ulama’- ulama’ Fiqh sehingga ta’rif hikmah menurut ulama’ Fiqh
ialah :
‫العلل العقلية التى تتنا سب مع االحكام‬
“illat- illat (hikmah- hikmah) yang ditetapkan akal, yang berpadanan
dengan hukum.”
Dengan demikian hikmah disini berarti rahasia- rahasia dan maksud-
maksud serta tujuan- tujuan hukum, seperti jelas tergambar dalam nama kitab
“Asyrorusy Syari’ah” dan kitab “Maqasidusy Syari’ah” yang tersebut diatas.
Juga dengan demikian dapat difahami pula kalau hikmah diartikan sama
dengan filsafat, seperti juga yang jelas tergambar dalam judul kitab “Hikmatut
Tasyri’ wa Falsafatun” dan kitab “Falsafasuty Syari’ah” yang juga sudah disebut
diatas.

Tujuan Mempelajari Hikmatut Tasyri’

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa menggali hikmah- hikmah hukum


syara’ adalah tidak perlu, karena hanya membuang- buang waktu saja. Sebaiknya

9
kita bersikap seperti Umar Ibnu Khottob dikala mencium Hajar Aswad, yaitu
beliau berkata :
“Seandainya saya tidak melihat Rasul SAW mencintaimu, saya tidak akan
menciummu.”
Disini Umar tidak menanyakan sebab atau alasan mengapa Rasul
menciumnya, tetapi beliau menciumnya karena Rasul berbuat demikian. Jadi
dengan demikian sebenarnya kita cukup mengikuti apa saja yang dilakukan oleh
Rasul.
Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa mengetahui hikmah syara’ adalah
perlu sebab yang demikian itu akan menimbulkan kemantapan aqidah dan juga
amal. Nilai pengalaman seseorang muslim akan berbeda satu dengan yang lain,
karena perbedaaan pengertian tentang hikmah atau rahasia- rahasia, faedah serta
tujuan yang terkandung dalam setiap kaidah dan peraturan syari’at yang
diamalkannya.
Mempelajari hikmah atau falsafah- falsafah hukum – hukum syara’ akan
dapat mempertinggi mutu aqidah umat terhadap kebenaran ajaran agamanya dan
dia akan mendapatkan hikmah kebijaksanaan di dalam beragamnya.
Ringkasnya, mempelajari hikmatut tasyri’ adalah perlu, sebab :
1. Untuk lebih memantapkan keimanan, seperti cerita Nabi Ibrahim as yang
tercantum dalam Al-Qur’an, surat Al- Baqarah ayat 260, yaitu :
Juga seperti yang diisyaratkan oleh akhir ayat- ayat :
Al-An’am 151, yang berbunyi : ‫لعلكم تعقلون‬

(agar kamu memahaminya)


Al-An’am 152, yang berbunyi : ‫لعلكم تذكرون‬
(agar kamu ingat)
Al-An’am 152, yang berbunyi : ‫لعلكم تتقون‬
(agar kamu bertaqwa)
2. Untuk mnunjukkan bahwa hukum- hukum agama itu adalah untuk
kemaslahatan, seperti bahwa qishosh itu adalah untuk memelihara
ketrentaman hidup. Al-Baqarah 179 :
        

10
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
3. Untuk menghadapi perkembangan keadaan, sebab dengan mengetahui
hikmah, hukum- hukum masalah- masalah yang akan datang dapat
diqiaskan kepada hukum yang telah ada.
4. Untuk menunjukkan bahwa hukum Islam itu adalah suatu hukum yang
sempurna, karena mempunyai hikmah yang sangat dalam.

Hikmatut Tasyri’ dan Falsafat Tasyri’


Kalau dari pembicaraan di muka ternyata bahwa antara hikmah dan filsafat
dicampuradukkan dan tidak dibedakan, maka pada akhir- akhir ini telah ada usaha
pembahasan secara mendalam dan secara khusus tentang filsafatut Tasyri’ atau
Falsafah Hukum Islam, sehingga karenanya Hikmatut Tasyri’ menjadi hanya
bagian dari Falsafatut Tasyri’. Mungkin penggunaan nama serta penegasan nama
Filsafat Hukum Islam ini ada hubungannya dengan adanya Filsafat Hukum di
dunia Barat, tetapi tentang materinya, persoalan yang dibahasnya adalah bukan
masalah baru, hanya sistimatikanya yang mungkin memang baru.
Di Indonesia, buku pertama yang mengupas Filsafat Hukum Islam adalah
karya Almarhum Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash- Shiddieqi, terbitan Bulan Bintang
tahun 1975/ 1976 dan dengan mempelajari filsafat hukum Islam ini, akan lebih
terungkaplah jiwa syari’at yang terkandung dalam Al- Qur’an dan As- Sunnah,
sebab filsafat hukum Islam akan mempelajari bidang- bidang :
1. Maqasidul Ahkam dan Asrorul Ahkam
2. Ushulul Ahkam/ Mabadiul Ahkam
3. Qawa’idul Ahkam dan Da’imul Ahkam
4. Thowabi’ul Ahkam/ Khuso’isul Ahkam
5. Mahasinul Ahkam (Mazayal Ahkam)
Semua bidang ini dibahas dan dianalisa untuk dapat ditemukan hikmah/
kebijaksanaan hidup yang terkandung didalam norma- norma Islam.
Dengan diketemukannya hikmah/ kebijaksanaan hidup yang terdapat di
dalam hukum Islam ini, maka akan dimengertilaholeh umat seluruh faedah dan

11
manfaat adanya Hukum Islam, sehingga dapat menimbulkan kesadaran hukum,
dan adanya kesadaran hukum ini akan menimbulkan kegairahan melaksanakan
hukum Islam, suatu hukum yang menjadi pedoman hidupnya sehari- sehari.
Menurut Al- Allamah Mustofa Abdur Roziq, bahwa Filsafat Hukum Islam
meliputi bidang- bidang :
1. Ushulul Ahkam
2. Qawa’idul Ahkam
3. Maqasidul Ahkam
Prof. Dr. T. M. Hasbi As-Shiddieqi membagi filsafat Hukum Islam ke
dalam dua bagian, yaitu :
1. Falsafah Tasyri’
2. Falsafah Syari’ah
Falsafah Tasyri’ adalah falsafah yang menerbitkan, mengokohkan dan
memelihara hukum Islam dan termasuk dalam bidang ini ialah :
a. Da’aimul Ahkam
b. Mabadi’ul ahkam
c. Ushulul Ahkam (Mashodirul Ahkam)
d. Maqasidul Ahkam
e. Qawa’idul Ahkam
Falsafah Syari’ah adalah falsafah yang diambil dari materi- materi hukum
Islam, seperti ibadah, muamalah jinayah, uqubah dll. Termasuk dalam
bidang ini adalah :
a. Asrorul Ahkam
b. Khosoisul Ahkam (Mazayal Ahkam)
c. Mahasinul Ahkam
d. Thowabi’ul Ahkam2
Sebagaimana disebutkan diatas , Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I
(Syari’ah) ada yang menyebutnya dengan Filsafat Hukum Islam, yang berasal dari
kata “Filsafat”, “Hukum”, “Islam”.3
1. Pengertian Filsafat
2
Abdul Mudjib,”Hikmatut Tasyri”,(Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang) hal :
1-11
3
M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I : Filsafat Hukum Islam, (Malang : 2016, CV Dream
Litera Buana), halaman 17.

12
Secara haarfiah, kata filsafat berasal dari kata “philo” yang berarti cinta,
dan kata “shopos” yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian filsafat berarti
cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini Asy- Syaibani
mengatakan, bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap
hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya, ia menambahkan bahwa
filsafat dapat pula berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan
akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman- pengalaman manusia.4
Selain itu, terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal
dari kata arab “falsafah” yang berasal dari bahasa Yunani, “Philosophia”:”philos”
berarti cinta, suka (loving), dan “sophia” berarti pengetahuan, hikmah (wisdom).
Jadi “philosophia” berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada
kebenaran. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebenaran itu lazimnya
disebut “failasuf”.5
Sementara itu, A. Hanafi mengatakan bahwa pengertian filsafat telah
mengalami perubahan – perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM),
yang dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan perkataan tersebut, ketika
ditanya seseorang yang bernama Leon mengenai pekerjaannya, mengatakan
bahwa ia seorang filosof dalam arti : a lover of wisdom (pecinta pengetahuan). A.
Hanafi lebih lanjut mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata “philos” yang
berarti cinta dan “shopia” yang berarti pengetahuan.6
Jadi secara bahasa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta
kepada kebenaran.7
Selain memiliki pengertian kebahasan sebagaimana tersebut diatas, filsafat
juga memiliki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan
oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Dalam hubungan ini Perwantana
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pengertian dari segi praktis ini adalah
pengertian yang didasarkan pada segi praktisnya. Dalam pengertian ini,
menurutnya, filsafat berarti ilmu pikiran atau ilmu berfikir. Berfilsafat berarti

4
Ibid, halaman 17- 18.
5
Ibid, halaman 18
6
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : 1997, Logos), halaman 12.
7
M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I : Filsafat Hukum Islam, (Malang : 2016, CV Dream
Litera Buana), halaman 18.

13
berfikir. Namun, menurutnya tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat
adalah berfikir secara mendalam dan sungguh- sungguh. Orang yang berfikir
hanya sepintas saja tanpa mendalam serta tanpa sasaran yang ingin dicari yakni
hakekat segala sesuatu, tidak disebut berfikir filosofis, dan orang yang demikian
itu tidak dapat disebut “filosof”. Filosof hanyalah orang yang memikirkan hakikat
segala sesuatu dengan sungguh- sungguh dan mendalam.8
Pengertian filsafat dari segi istilah ini selanjutnya mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Plato (427- 347 SM), sebagai filosof abad
klasik, dalam bukunya “Euthydemus” sebagai mana dikutip A. Hanafi,
mengatakan bahwa filsafat hanya mempertanyakan soal- soal kerohanian dan
penuh ideal serta sama dengan pengetahuan (wisdom). Sementara itu, Aristoteles
(384-332 SM) yang juga termasuk salah seorang filosof Yunani Kuno mengatakan
bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan kadang- kadang
disamakan dengan pengertian tentang wujud (ontologi).9
Selanjutnya di abad modern pengertian filsafat mengalami perkembangan.
Herbert (w. 84 M), misalnya mendefinisikan filsafat sebagai satu pekerjaan yang
timbul dari pemikiran. Ia membagi fikiran menjadi tiga bagian, yaitu logika,
metafisika, dan estetika (termasuk didalamnya etika). Sedangkan Comte (w. 857
M) dan Spencer (w. 903) memandang filsafat sebagai penggabungan dan
penggolongan dari berbagai macam ilmu dalam suatu pandangan menuju ke arah
yang yang bersifat material semata (terbatas pada ilmu- ilmu alam). Dari semua
pendapat tersebut intinya adalah bahwa filsafat merupakan kegiatan berfikir untuk
mencari kebenaran mengenai segala sesuatu yang ada baik abstrak maupun
konkret.10
Pendapat lain yaitu yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya,
filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam
rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendapat ini memperlihatkan adanya tiga pokok dalam filsafat. Pertama, adanya
unsur berfikir yang dalam hal ini menggunakan akal. Dengan demikian, filsafat
adalah kegiatan berfikir. Kedua, adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui

8
Ibid, halaman 18-19.
9
Ibid, halaman 19.
10
Ibid.

14
berfikir tersebut, yaitu mencari hakikat atau inti mengenai sesuatu. Ketiga, adanya
unsur ciri yang terdapat dalam berfikir tersebut, yaitu mendalam artinya berfikir
sungguh- sungguh, serius, dan tidak berhenti berfikir sebelum dapat dipecahkan,
sistematis artinya filsafat menggunakan aturan- aturan tertentu yang secara khusus
dijelaskan dalam ilmu mantik (logika), radikal yaitu menukik sampai pada akar
atau inti permasalahan, dan yang terakhir adalah universal dalam arti pemikiran
tersebut tidak dikhususkan untuk sesuatu kelompok atau teritorial tertentu.
Dengan kata lain, pikiran tersebut menembus batas- batas etnis, geografis,
kultural, dan sebagainya.11 (Abudin Nata, 1997: 2-4).
Di lain pihak Harun Nasution memberikan definisi filsafat,
.‫ الحكمة – اتأنيق فى المسائل العلمية و التفنين فيها – علم الشيأ بمبادئها – و عللها االولى‬: ‫الفسفة‬
Artinya : “Filsafat adalah :
a) Pengetahuan tentang hikmah
b) Pengetahuan tentang prinsip atau dasar- dasar
c) Mencari kebenaran
d) Membahas dasar dasar dari apa yang dibahas
Jadi, menurutnya intisari dari filsafat adalah : “Berfikir menurut tata tertib
(logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan
sedalam – dalamnya, sehingga sampai ke dasar- dasar persoalnnya”.12
Jadi filsafat adalah berfikir secara mandalam, sistematis, radikal, dan
universal dalam rangka mencari hakikat atau inti mengenai sesuatu.13
Apabila istilah filsafat merupakan ekuivalensi terhadap istilah “hikmah”,
maka filsafat mempunyai arti sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Sina
dalam Risalah at-Thobiiyyah (Hasbi, 1990:21)14 berikut ini :
‫الحكمة استكمال النفس االنسنية بتص{{وراألمور والتقص{{ديق بالحق{{ائق النظري{{ة والعملي{{ة على ق{{در‬
‫الطاقةاالنسنية‬
“Hikmah (filsaat) adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan
dapat menggambarkan segala urusan, dan membenarkan segala hakikat, baik
yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia”.
11
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : 1997, Logos), halaman 2-4.
12
M. Hasbi Ash Shidieqi, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : 1990, Bulan Bintang), halaman 3.
13
M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I : Filsafat Hukum Islam, (Malang : 2016, CV Dream
Litera Buana), halaman 21
14
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam Filsafat Hukum Keluarga dalam Islam, (Malang, 2007, UIN Malang
Press), halaman 3.

15
Selanjutnya Ibnu Sina membagi hikmah dengan dua bagian, yaitu
nadhoriyah (teoritik) dan amaliah (empirik). Hikmah nadhoriyah disyaratkan
untuk diketahui dan dimengerti walaupun tanpa adanya praktek amaliah, baik
berkaitan dengan alam kebendaan yang berubah- ubah (hikmah tabi’iyah).
Sedangkan hikmah amaliah disyaratkan tidak hanya dimengerti, tetapi juga perlu
diamalkan dalam kehidupan sehari- hari, baik yang berkaitan dengan etika
pergaulan, untuk menciptakan kemaslahatan umat (hikmah madaniah), etika
terhadap sesama keluarga (hikmah manziliyah) dan etika diri untuk memelihara
kehormatan dari jiwa yang kotor (hikmah khulqiyah).15
Hikmah :
1) Hikmah Nadhoriyah (teoritik) :
a. Hikmah ilahiyyah (kekal), contoh : Allah Esa
b. Hikmah tabi’iyah (dapat berubah), contoh : manusia, berkembang, dari
anak, remaja, dewasa, tua
c. Hikmah riyadhiyyah (masih dapat berubah), contoh matahari terbit
2) Hikmah Amaliah (empirik) :
a. Hikmah Madaniah, berkaitan dengan etika pergaulan, untuk
menciptakan kemaslahatan umat, menjadi peradaban (civilization)
b. Hikmah badaniyah, berkaitan dengan kemaslahatan badan (diri)
c. Hikmah Manziliyah, berkaitan dengan etika terhadap sesama keluarga
d. Hikmah khulqiyah, berkaitan dengan etika diri untuk memelihara
kehormatan dari jiwa yang kotor16 (Mukhlis, Kuliah 2001).
2. Pengertian Hukum
Hukum secara sederhana segera terlitas dalam pikiran kita sebagai
peraturan- peraturan, atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam masyarakat atau yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa.17 (Daud, 2001: 43)
Al- hukm dalam bahasa Arab, yang dalam bahasa Indonesia disebut
“hukum”, memiliki pengertian norma, kaidah, tolak ukur, patokan, pedoman yang

15
Mukhlis Usman, Filsafat Hukum Islam: Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, (Malang: 1995, LBB YANS
PRESS), halaman 1-2.
16
Mukhlis Usman, Kuliah Hikmatut Tasyri’ PAI Fakultas Tarbiyah, (Malang: 2001, STAIN), halaman 1-2.
17
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam Filsafat Hukum Keluarga dalam Islam, (Malang, 2007, UIN Malang
Press), halaman 5.

16
dipergunakan untuk menilai tingkah laku manusia atau benda. Hubungan antara
kata “hukum” dan “hukm” dalam pengertian norma tersebut sangat erat sekali,
sebab setiap peraturan, ataupun macam dan sumbernya mengandung norma atau
kaidah sebagai intinya. Maka dalam ilmu hukum Islam disebut “hukm”. Itulah
sebabnya maka dalam percakapan sehari- hari orang berbincang tentang hukum
suatu benda atau perbuatan, yang dimaksud adalah patokan, tolak ukur, ukuran
atau kaidah mengenai perbuatan atau benda itu. 18
Hukum dalam kaitannya dengan hukum syari’at menurut ahli ushul fiqh
adalah “titah (khitbah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf, yang mengandung keharusan, atau boleh memilih, atau wadha’ (yang
mengandung ketentuan tentang adanya atau tidak adanya suatu hukum)”.19
Pengertian hukum syari’at menurut ahli ushul berbeda dengan pengertian
ahli fiqh (fuqaha’). Menurut ahli fiqh hukum syari’at adalah “efek yang
dikehendaki oleh titah Allah SWT pada perbuatan, seperti wujud, nadb, kurhah,
kurmah dan ibadah.”(Zainal Abidin, 1975: 24) seperti khithab Allah “aqimu al-
shalah” (dirikanlah shalat), dalam ayat 110 Surat Al- Baqarah, menurut ahli ushul
yang disebut hukum syari’at adalah kitab yang mewajibkan shalat, menurut para
ahli fiqh hukum syari’at adalah kewajiban melaksanakan shalat. Pada hakekatnya
kedua pendapat itu sama maksudnya, hanya titik pandang mereka yang berbeda.
Ahli ushul melihat dari segi teori, ahli fiqh melihat dari segi praktik.20
Adapun dalam pembagian hukum syari’at, pada pokoknya hukum syari’at
dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. sebagian
ulama membagi menjadi tiga, yaitu dengan menambah hukum takhyiri. Sedang
yang membagi dua, hukum takhyiri dimasukkan dalam hukum taklifi.21
Jadi hukum (Syari’at) adalah peraturan- peraturan, atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, sebagai titah (khitbah)
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung
keharusan, atau boleh memilih, atau wadha’(yang mengandung ketentuan tentang
adanya atau tidak adanya suatu hukum) yang berwujud sesuai efek yang

18
Ibid, halaman 5-6.
19
Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh, (Jakarta, 1975, Bulan Bintang), halaman 21.
20
M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I : Filsafat Hukum Islam, (Malang : 2016, CV Dream
Litera Buana), halaman 28.
21
Ibid, halaman 29.

17
dikehendaki oleh titah Allah SWT pada perbuatan, seperti wujub, nadb, kurhah,
hurmah, dan ibahah.”

3. Pengertian Islam
Islam dalam arti etimologi mempunyai beberapa pengertian. Bagi At-
Tobarah memandang arti Islam dengan,
.1‫الخلوص والطاهر من أفات الظهرية والبطنية‬
“Bebas dan bersih dari penyakit lahir dan batin”
2. Damai dan tenteram (‫)الصلح و األمن‬
3. Taat dan patuh (‫)الطاعة والإلذعان‬
Sedangkan bagi Sidi Gazalba, Islam berarti assalam, assalamah, yang
berarti,
‫الصفى والسالمة من عيب الظاهروالباطن‬
“Bersih dan selamat dari cacat lahir dan batin”, Assilmu “perdamaian”
dan As-Salamu “penyerahan diri”
Dalam Al-Qur’an, term Islam dapat berarti kebalikan dari syirik (QS. Al-
An’am: 14). Kebalikan dari kufur (QS. Al- Imran:80) ikhlas kepada Allah (QS.
An- Nisa’:12) dan tunduk dan patuh kepada Allah (QS. Az-Zumar: 54).22
Abudin Nata berpendapat, dari segi bahasa, Islam berasal dari bahasa Arab
“salima” yang kemudian dibentuk menjadi “aslama”. Dari kata inilah kemudian
dibentuk menjadi kata “Islam”. Dengan demikian, Islam dari segi bahasa adalah
bentuk ism mashdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa, atau
memelihara diri dalam keadaan selamat. Pengertian tersebut memperlihatkan
bahwa Islam berkaitan dengan sikap berserah diri kepada Allah SWT. Dalam
upaya memperoleh keridhoan-Nya. Seseorang yang bersikap sebagaimana yang
dimaksud oleh perkataan Islam tersebut disebut “Muslim”, yaitu orang yang telah
menyatakan dirinya untuk taat, berserah diri, patuh, dan tunduk ikhlas kepada
Allah SWT.23
Sedangkan arti Islam dalam terminologinya adalah sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syekh Mahmud Syaitu dalam “Islam Aqidah wa Syariah” nya.

22
Mukhlis Usman, Filsafat Hukum Islam: Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, (Malang: 1995, LBB YANS
PRESS), halaman 4.
23
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : 1997, Logos), halaman 11.

18
‫اإلسالم هو دين هللا الذى اوصى بتعاليمه فى أص{{وله و ش{رئعه إلى الن{{بى محم{{د ص{{لى هللا علي{{ه و‬
‫سلم و كلفة بتبلغه للناس كافة ودعوتهم إليه‬
“Islam adalah agama Allah yang berisi pokok- pokok dan peraturan-
peraturan bagi seluruh manusia yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dan
dibebankannya untuk menyampaikan dan mengajak mereka memeluknya.”24
Walaupun kata “Islam” tersebut mengandung kemungkinan arti yang
bermacam- macam, tetapi pada hakikatnya kesemua pengertian yang dikandung
oleh kata “Islam” tersebut, menunjukkan kepada pengertian umum yang mendasar
serta lengkap, dan mengarah kepada tujuan yang satu, yaitu menyerahkan diri
kepada Tuhan, dengan dan dalam segala bentuk realisasinya. Dengan demikian,
kalau dirangkumkan pengertian Islam tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut,
“Menempuh jalan keselamatan, dengan jalan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Tuhan, dan melaksanakan dengan penuh kepatuhan dan ketaatan akan
segala ketentuan- ketentuan dan aturan- aturan yang ditetapkan oleh-Nya, untuk
mencapai kesejahteraan dan kesentausaan hidup dengan penuh keamanan dan
kedamaian.25
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut
Syar’I (Syari’ah) ada yang menyebutnya dengan Filsafat Hukum Islam yang
berasal dari kata “Filsafat”, “Hukum” dan “Islam”.
Hikmatut (Filsafat) Tasyri’ adalah filsafat yang memancarkan,
menguatkan dan memelihara hukum Islam. Dan inti dari Hikmatut (Filsafat)
Tasyri’ adalah membicarakan hakekat dan tujuan penetapan hukum Islam.26
Sementara itu, Mukhlis (Kuliah, 2001) berpendapat bahwa Hikmatut
Tasyri’ adalah proses penetapan hukum, dengan memberikan orientasi makna
yang lebih dalam (dibalik itu/ totalitas) terhadap ushul fiqh dan qawaidul fiqihnya.
Sedangkan Hikmatut (Filsafat) Syar’I (Syari’ah) adalah filsafat yang diungkapkan
dari materi hukum Islam, seperti ibadah, mu’amalah, jinayah, uqubah, dsb. Dan
membicarakan hakikat rahasia, kelebihan, kebaikan, keindahan, dan kemaslahatan
hukum Islam dibandingkan dengan hukum yang lain.27
24
Mukhlis Usman, Filsafat Hukum Islam: Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus Syar’i, (Malang: 1995, LBB YANS
PRESS), halaman 5
25
Kopertais, Filsafat Pendidikan Islam, 1984, halaman 37-38
26
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam Filsafat Hukum Keluarga dalam Islam, (Malang, 2007, UIN Malang
Press), halaman 11.
27
Ibid, halaman 12.

19
Senada dengan itu, Mukhlis (Kuliah, 2001) berpendapat bahwa Hikmatut
Syari’ (Syariah) adalah lebih dekat kepada materi- materi fiqihnya, seperti
hikmah haji, hikmah sholat, thoharah, dll.
Jadi pengertian Hukum Islam adalah berfikir secara mendalam, sistematis,
radikal, dan universal dalam rangka mencari hakekat atau inti dari peraturan-
peraturan, atau sperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam
masyarakat, sebagai titah (khitbab) Allah yang berhubungan dengan perbuatan
perbuatan orang mukallaf, yang mengandung keharusan, atau boleh memilih,
atau wadha’ (yang mengandung ketentuan tentang adanya atau tidak adanya
suatu hukum) yang berwujud sesuai efek yang dikehendaki oleh (khitbah) Allah
SWT pada perbuatan, seperti wujud, nadb, kurhah, kurmah, dan ibadah” dalam
rangka mencapai keislaman yang sempurna.28

B. Cakupan Hikmatut Tasyri’ Dan Hikmatus Syar’i


Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatut Syari’ah, termasuk kelompok ilmu-ilmu
fiqh. Diungkapkan dalam Al-Qur’an :

         


      
      


“ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
engapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)
Dari ayat tersebut diungkapkan, bagaimana pentingnya ahli fiqh (faqih),
sebagai orang-orang yang dalam pengetahuanya tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya. Harun nasution (Mukhlis, kuliah 2001)
mengungkapkan, bahwa dalam Islam itu mengenal lima aspek, yaitu :
1. Aspek Religia
28
M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I : Filsafat Hukum Islam, (Malang : 2016, CV Dream
Litera Buana), halaman 36-37.

20
2. Aspek Hukum (syariat)
3. Aspek Mistisme (tasawuf)
4. Aspek filsafat
5. Aspek pembaharuan (ajaran Islam punya daya antisipatif dan daya adaptif,
sehingga menjadi budaya yang Islami)
Sedangkan obyek studi fiqh menurut Muklis (kuliah 2001) mencakup,
1. Ushul Fiqh
2. Qawaid fiqih
3. Thoharoh
4. Munakahat
5. Ibadah
6. Muamalah
7. Qodhoyqh (hukum)
8. Siyasah/Khilafah (Pemerintahan)
9. Jinayah,dst
Mengingat hal tersebut dan melihat perkembangan tasyri’, maka studi
fiqih menurut Muklis (kuliah 2001) melalui proses perkembangannya, yaitu :
1. Ilmu Tarikh Tasyri’
Dalam perkembanagn sejarah Tasyri’, ada dua golongan besar sebagai
embrio lahirnya hukum-hukum Tasyri’ setelah Al-Qur’an dan as-Sunah, yaitu (1)
Ahlu al-Madinah/Ahlu al-Hijaz yang terkenal dengan ahlu al-Hadits; dan (2) Ahlu
al-Iraq, yang terkenal dengan ahlu al-Ra’yu (pemaksimalan akal).baru setelah itu,
berkembang dan munculah ilmu Muqoronatul Madzhabib.
2. Ilmu Muqoronatul Madzahib
Dalam masa berkembangnya madzhab-madzhab ini, munculah empat
madzhab dan tokohnya yang trekenal, yaitu
a. Madzhab hanafi (Hanafiyah) dengan tokonya Imam Hanafi
b. Madzhab Maliki (Malikiyah) dengan tokohnya Imam Maliki
c. Madzhab Syafi’i (Syafi’iyah) dengan tokohnya Imam Syafi’i
d. Madzhab Hambali (Hanabillah) dengan tokohnya Imam hambali

Madzhab Maliki (Malikiyah) dengan tokohnya Imam Maliki dan Madzhab


Hambali (Hanabillah) dengan tokohnya Imam hambali dikenal dengan ahlu al-

21
Hadits. Sedangkan Madzhab Hanafi (Hanafiyah) dengan tokohnya Imam Hanafi
dikenal dengan ahlu al-Ra’yu. Sementara itu, Madzhab Syafi’i (Syafi’iyah)
dengan tokohnya Imam Syafi’i dikenal dengan Mutawasith baina huma
(Moderat). Setelah masa itulah, berkembangnya ilmu Hikmatut Tasyri’ wa
Hikmatut syari’ah.
Cakupan/ruang lingkup Hikmatut Tasyri’(Dahlan, 2007 : 11/Muklis,
kuliah 2001):
1. Da’aimul Ahkam/Asasut Tasyri’ : (Pemikiran dasar Syariat Islam/Hukum
Islam)
2. Mabadilul Ahkam : (Prinsip-prinsip Syariat Islam/ Hukum Islam)
3. Mashadirul Ahkam/Ushulul Ahkam : (Sumber-sumber Syari’at Islam/
Hukum Islam)
4. Maqasidul Ahkam : (Tujuan Syariat Islam/ Hukum Islam)
5. Qawaidul Ahkam : (Kaidah-kaidah Syari’at Islam/ Hukum islam)
Cakupan/ ruang lingkup Hikmatut Syari’ah (Dahlan, 2007 :
12/Muklis, kuliah 2001):
1. Khasaisul Ahkam : (Karasteristik Syari’at Islam/Hukum islam)
2. Thawabiul Ahkam : (Watak dan Karakter Syari’at islam/Hukum Islam)
3. Mahasinul ahkam : (Keistimewaan Syariat Islam/Hukum islam)
4. Asrarul Ahkam : (Rahasia-rahasia Syari’at islam/hukum islam)29

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Sebenarnya dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwasanya agama islam
memberlakukan sebuah syari’at Karen asetiap syari;at hukumny ada hikmahnya
atau manfaatnya, dimana setiap hikmah tersebut bertujuan untuk mempermudah

29
Fahim Tharaba,”Hikmatut Tasyri’wa Hikmatus Syar’i”, (Malang : Dream Litera Buana : 2016)
hal : 37-40

22
kehidupan umat manusia di muka bumi, supaya mereka mau tolong menolong dan
bantu – membantu dengan cara demikian.
Kehidupan masyarakat menjadi teratur, pertalian yang satu dengan yang
lain menjadi teguh diamping itu Allah telah menjadikan manusia masing – masing
asaling membutuhkan satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Tharaba, M. Fahim, 2016, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatut Syar’I : Filsafat Hukum


Islam, CV Dream Litera Buana, Malang.
Usman, Mukhlis, 1995, Filsafat Hukum Islam: Hikmatut Tasyri’ dan Hikmatus
Syar’i, LBB YANS PRESS, Malang.
Kopertais, 1984, Filsafat Pendidikan Islam,

23
Tamrin, Dahlan, 2007, Filsafat Hukum Islam Filsafat Hukum Keluarga dalam
Islam, UIN Malang Press, Malang.
Nata, Abudin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Logos, Jakarta.
Ahmad, Zainal Abidin, Ushul Fiqh, 1975, Bulan Bintang, Jakarta.
Usman,Mukhlis, 2001, Kuliah Hikmatut Tasyri’ PAI Fakultas Tarbiyah, STAIN,
Malang.
Ash Shidieqi, M. Hasbi, 1990, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Mudjib,Abdul, Hikmatut Tasyri, UIN PRESS, Malang.

24

Anda mungkin juga menyukai