PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mengenai tasir al-Qur’an bagi orang asing (non arab), al-Qur’an harus diperjelaskan
supaya dapat dicerna dan dipahami baik melalui media terjemahan atau penjelasan atau
penafsiran (exegesis). Sementara terjemahan penjelasan atau penafsiran sendiri tergolong dalam
tafsir. Di wilayah Nusantara (Indonesia) khasnya, tidak semua masyarakat Muslim dapat
memahami ayat alQur’an secara langsung, perlu adanya alat bantu, seperti terjemahan atau tafsir.
Jauh-jauh hari, para pemikir Islam Indonesia telah berupaya menerjemahkan dan menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an agar dapat dipahami.
Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara – yufassiru -
tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian.1 Sedangkan Tafsir menurut terminologi (istilah),
sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna’ al-Qaṭān ialah ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-
hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya Berdialog Umat Islam
Nusantara.2
Hal ini penting bagi tiap umat Muslim akan kandungan hukum yang dapat dibezakan
berdasarkan al-Qur’an dan sunnah. Kemudian, pengetahuan yang mendalam terhadap ayat-ayat
hukum pada akhirnya akan melahirkan produk tafsir yang fleksibel (flexible) sesuai dengan
tuntutan zaman dan tidak kaku. Penulis akan mencuba merangkai dan mengungkap ayat-ayat
yang selalu ramai diperbincangkan dan masih memiliki perbedaan sehingga menimbulkan
polemik di masyarakat sehingga dengan tulisan ini masyarakat dapat memahaminya dan tujuan
al-Qur’an diturunkan akan selalu relevan dengan zaman (shalihun likulli zaman) serta menjadi
panduan bagi umat Islam dalam menjalani setiap langkah kehidupan.
1
Rosihan Anwar, Ulum al-Qu’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 209
2
Manna’ al-Qaṭān, Pembahasan Ilmu al-Qur’an , Terj. Halimudin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm.1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian corak tafsir fiqhy ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir fiqhy ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian corak tafsir fiqhy.
2. Mengetahui bagaimana sejarah perkembangan tafsir fiqhy.
BAB II
PEMBAHASAN
3
M. Quraish shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2015), hlm.379.
4
Abdul Wahhab Khalaf , lmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai adDakwah islamiyah,
1972), hlm.1.
Pengelompokan tafsir fiqhy dalam berbagai madzhab berasal dari kajian terhadap
produk-produk tafsir fiqhy yang kemudian ditarik terhadap persoalan madzhab. Seperti yang
dikemukan Farid Essack, bahwa munculnya berbagai kategori semisal tafsir syi’ah, tafsir
muktazilah, tafsir filsafat dan termasuk juga tafsir fiqhy, hal itu menunjukan adanya kesadaran
kelompok tertentu, ideologi tertentu dan horison tertentu dalam tafsir.5
5
Farid Essack, Qur’an: Pluralism and liberation, Terj. Muhammad Ridho dalam Tafsir dan Dinamika
Sosial, (Yogyakarta; Teras, 2010), hlm. 55.
6
Abdul Wahab Khalaf, hlm, 29
penjelasan hukum, pada saat itu ijtihad menjadi epistemologi alternatif untuk memahami
dan mencari kejelasan hukum dalam al-Qur’an.
Perbedaan pemahaman sahabat terhadap ayat-ayat hukum dalam alQur’an adalah
buah dari hasil ijtihad. Seperti perbedaan pemahaman sahabat Umar dan Ali tentang
masalah masa I’ddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, Umar
berpendapat bahwa masa I’ddahnya hanya samapi melahirkan sedangkan menurut Ali
selain melahirkan juga menunggu hingga empat bulan sepuluh hari.7 Perbedaan
pemahaman sahabat tentunya berdasarkan pada dalil-dalil nash al-Qur’an dan hadis
hanya saja ruang ijtihad sahabat diperlukan kala menemukan persoalan yang tidak
menemukan penjelasan dalam nash.
7
Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), hlm. 319.
8
Muhammad Husein Adz-Dzahaby, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar Fikr 1998), hlm. 320.
9
Muhammad Ridho, Tafsir dan Dinamika Sosial, (Yogyakarta: Teras 2010), hlm. 57.
Sedangkan bentuk fanatisme terhadap madzhab menjadi implikasi dari taklid dan
diperkuat juga dengan kehadiran madzhab-madzhab yang berbau politis, jelas tidak akan
menemukan kesamaan dalam sebuah penafsiran seperti halnya syi’ah dan khawarij.
Pertumbuhan taklid dan fanatisme madzhab masa ini bermacam-macam, ada yang
mengkaji ucapan imam madzhabnya sebagaiman mereka mengkaji al-Qur’an, ada yang
mengeluarkan daya kemampuan untuk mendukung imam madzhabnya dan bahkan
berusaha untuk membatalkan pendapat madzhabmadzhab lain sebagai bentuk dari
fanatisme madzhab yang membabi buta.10
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.
10
Adz-Dzahaby, hlm.321
tetapi haditsnya aẖad. Dengan demikian, tidak dapat diposisikan sebagai ziyadah, karena
perbedaan status wurud.11
Pendiri madzhab ini, Imam Abu H̲anifah juga berpendapat bahwa hukumannya
hanya dijilid dengan tanpa diasingkan. Pendapat yang bercorak H̲anafiyah seperti itu
lantas disanggah oleh Fakhruddin al-Razi yang bermadzhab Syafi`i dalam al-Tafsir al-
Kabir dengan menandaskan adanya tambahan hukuman pengasingan. Menurutnya, berita
adanya pengasingan yang berasal dari hadits aẖad tidak menghilangkan kewajiban
hukuman cambuk sebagaimana ditunjukkan oleh redaksi al-Qur’an.
Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-
qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
11
Abu Bakar Aẖmad bin Ali al-Razi al-Jashshash, Aẖkam alQur’an, jilid 3, 41-49. Musaid Muslim
Abdillah Ali Ja’far, Atsar al-Tathawwur al-Fikri, hlm.234
12
Abu Bakar Aẖmad bin Ali al-Razi al-Jashshash, Aẖkam al-Qur’an, jilid 3, hlm.234
13
Abu al-Faraj Jamaluddin ‘Abdirraẖman bin ‘Ali bin Muẖammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi, Zad al-Maisir fi
Ilm al-Tafsir, hlm. 319.
Perbedaan yang timbul di antara dua pandangan di atas diakibatkan oleh adanya
dua perspektif yang berbeda. Jumhur ulama (H̲anabilah, Malikiyah dan Syafi`iyah)
memahami bahwa diperkenankan adanya pen-takhsish-an redaksi `am dengan khabar
waẖid atau qiyas dalam ayat ke 101 dari surat al-Nisa`. Takhshish berupa pengecualian
dalam kemaksiatan merupakan qiyas yang diberlakukan pada redaksi `am dalam ayat
tersebut.
Dengan pola pikir ini, maka dispensasi qashar hanya diberlakukan pada musafir
selain dalam rangka kemaksiatan. Sedangkan ulama H̲anafiyah memahami bahwa tidak
adanya takhsish dengan dalil yang zhanni, seperti khabar waẖid atau qiyas. Pen-
takhshish-an pada ayat al-Qur’an hanya dapat dilakukan dengan dengan dalil yang qath`i
pula, yakni al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian tafsir fiqhy adalah tafsir yang yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam al-
Qur’an, yang di dalamnya menonjolkan fanatisme madzhab satu sisi dan sisi lain melemahkan madzhab
yang lain. Corak tafsir ini muncul akibat berkembangnya ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-madzhab
fiqih. Pada awal terbentuknya corak tafsir ini sikap fanatisme dan klaim kebenaran atas produk tafsir
belum kelihatan.
Sikap toleran terhadap perbedaan penafsiran ayat ahkam masih terpelihara, bahkan dalam upaya
menafsirkan paraimam tidak segan-segan mengunakan referensi pada imam yang lain, contoh: Imam
Syafi’i pernah mengatakan : “Dalam bidang ilmu fiqh, Abu Hanifahadalah ahlinya “. Dia pernah berkata
kepada Imam Hanbali, “ Apabila kamumenemukan hadits shahih maka beritahulah aku”. Dia juga
pernah berkata: “Apabila disebutkan hadits maka Imam Malik bagaikan bintang yang sangat terang”.
Namun setelah para Imam tiada,sikap taklid dan fanatisme madzhab melanda para pengikutnya. Pengikut
pada masing-masing madzhab selalu berusaha membuktikan kebenaran penafsirannya sesuai
dengan pendapat madzhabnya serta berupaya melegitimasi kebenaran madzhabnya dengan ayat-ayat al-
Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf Abdul Wahhab , lmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Majlis al-A’la wa al-Indunisai adDakwah
islamiyah, 1972).
al-Qaṭān Manna’, Pembahasan Ilmu al-Qur’an , Terj. Halimudin, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1995).
Essack Farid, Qur’an: Pluralism and liberation, Terj. Muhammad Ridho dalam Tafsir dan
Dinamika Sosial, (Yogyakarta; Teras, 2010).
Adz-Dzahaby
Abu Bakar Aẖmad bin Ali al-Razi al-Jashshash, Aẖkam alQur’an, jilid 3
Abu al-Faraj Jamaluddin ‘Abdirraẖman bin ‘Ali bin Muẖammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi,
Zad al-Maisir fi Ilm al-Tafsir.