Anda di halaman 1dari 7

RESUMAN MATERI TAFSIR FUQAHA

Dosen Pengampu: Dr. Norhidayat, S.Ag, MA

Nama : Muhammad Rifan Aulia Kelas : 20 B


NIM : 200103020179 Mata Kuliah : Madzahibut Tafsir
Jurusan: Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Dosen Pengampu: Dr. Norhidayat, S.Ag, MA

Pengertian Tafsir Fuqaha


Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-
masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan
pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan
tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur‟an
(ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur‟an. Orang yang pertama berhak
menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.
Setelah ini periode mufassir tabi‟in, kemudian periode mufassir tabi‟it tabi‟in dan
orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (
pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-
cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin. Di masa Rasulullah para
sahabat memahami Al-Qur‟an dengan kepekaan hati kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan
dalam memahami sesuatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah SAW lalu beliau
menjelaskan kepada mereka. Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha dari kalangan
sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafaul Rasyidin. Jika terdapat
persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Qur‟an merupakan
tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara‟nya.
Sejarah Tafsir Fiqhi
Dari berbagai macam atau metode tafsir, salah satu yang paling terkenal adalah tafsir
Al Qurtubi yang dalam kalangan ulama menyebutnya sebagai tafsir fiqhi atau tafsir corak
hukum. Bila ditengok ke belakang, kemunculan tafsir ini bersamaan dengan corak tafsir bil
Ma‟tsur, yaitu sejak zaman Nabi, karena sama-sama dinukil dari Nabi SAW. Pada masa itu,
ketika salah seorang sahabat menemukan kesulitan dalam memahami hukum suatu ayat,
mereka langsung bertanya kepada Nabi. Kejadian seperti ini di satu pihak, dari sisi sumber
disebut sebagai tafsir bi al-Ma‟tsur dan di pihak lain, di sisi muatan disebut sebagai tafsir
fiqhi.
Setelah Nabi SAW meninggal dunia, secara otomatis sandaran untuk menyatakan
berbagai persoalan yang menyangkut pemahaman suatu ayat sudah tidak ada lagi. Sehingga
dituntut kemandirian dalam memahami suatu ayat, maka tidak mengherankan apabila saat itu
muncul berbagai perbedaan pemahaman terhadap suatu ayat di kalangan para sahabat.
Tafsir yang bercorak fiqh seperti ini terus berkembang bersama berkembangnya ijtihad.
Perkembangan ini mendorong munculnya madzhab-madzhab fiqh. Sehingga masa-masa
sesudahnya muncul beberapa tokoh yang mengkhususkan diri pada persoalan-persoalan fiqh
dengan sudut pandang masing-masing.
Sistematika Tafsir Fiqhi
Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika:
a. Mushafi (tahlili) yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-
ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah
dan seterusnya sampai surat an-Nas.
b. Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan kronologis turunnya surat-
surat Al-Qur‟an.
c. Maudhu‟i yaitu menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan topik-topik tertentu dengan
mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian
ditafsirkan.
Al Qurtuby sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya
memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dengan demikian ia
memakai sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Qur‟an sesuai dengan urutan
ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf.
Langkah-Langkah Tafsir Fiqhi
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadis-hadis dengan menyebutkan
sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk
menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing, setelah itu
melakukan tarjih dan mengambil pendapat yang paling benar.
Contoh Tafsir Fiqhi
… (Surat Al Baqarah ayat 43)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menjadi 34
masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan
berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang
mengatakan tidak boleh adalah al Thawri, Malik dan Ashab Al Ra‟yi. Dalam masalah ini al-
Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, menurutnya anak kecil boleh
menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik. Selanjutnya dalam ayat berikut di bawah:

(Surat Al Baqarah ayat 187)

Al Qurtubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahasan ke 12, ia mendiskusikan


makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut
tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam
madzhabnya.
Bila dicermati dari beberapa contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa
Al Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini
masuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut
juga terlihat bahwa Al Qurtubi yang bermadzhab Maliki juga ternyata tidak sepenuhnya
berpegang teguh dengan pendapat imam madzhabnya.
Kelebihan Tafsir Fiqhi
Kendatipun peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam melakukan penafsiran al-
Qur‟an lewat pendekatan fiqhi sangatlah besar, namun penafsiran lewat pendekatan ini
memiliki bebarapa kelebihan, diantaranya :
1. Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari‟at yang
terdapat dalam al-Qur‟an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa
sesungguhnya al-Qur‟an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat
transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-
aspek syri‟ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syri‟ah atau hukum bukan
semata-mata merupakan produk fuqaha‟ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-
nash al-Qur‟an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia
baik individu maupun sosial.
2. Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah
manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub
di dalam al-Qur‟an setelah terjebak ke dalam perbedaan mazhabi dogmatis serius
yang bersifat teoritis.
3. Tafsir al-Qur‟an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya
perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetap memberikan sumbangsih
pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan
baik individu maupun sosial tetap harus tunduk kepada al-Musyarri‟ al-
Awwal (Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudia kepada pembawa wahyu dan
risalah yang kemudian dikenal sebagai al-musyarri‟ ats-Tsany ba‟da
Allah (Rasulullah Saw) melalui Sunnah beliau demi kemaslahatan manusia baik di
dunia maupun di akhirat.
4. Tafsir fiqhy berusaha untuk membumikan al-Qur‟an lewat pemahaman lewat ayat-
ayat qauliyah kepada ayat-ayat kauniyyah guna meberikan penyadaran,
pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan kehidupan manusia.
5. Tafsir fiqhy kendatipun bergam tetap memberikan kekayaan bagi khazanah
intelektual muslim dunia, sebab tanpa adanya penafsiran al-Qur‟an dalam bentuk ini,
maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar
hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
Kekurangan Tafsir Fiqhi
Hasil olah fikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk
kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia
adalah makhluk yang lemah bisa benar dan biasa salah. Demikian juga adanya dengan
penafsiran al-Qur‟an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan
saripatih dari perkataan Yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia,
maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Qur‟an melalui
pendekatan fiqhi adalah :
1. Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik mazhaby sehingga memunculkan sikap
ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan
keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap ini terwariskan kepada berpulu-puluh
generasi hingga saat ini.
2. Tafsir fiqhi melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur‟an (penafsiran
parsial) padahal al-Qur‟an meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan
praktek yang membutuhkan pemhaman dan penafsiran secara universal.
Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur‟an dengan menghubungkannya pada
konteks sosial tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum-hukum yang
terdapat di dalam al-Qur‟an (rahmatan li al-‟alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan
yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga
dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-Qur‟an yang sesuai dengan kebutuhan
zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan
berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis madzhaby.
Pertanyaan-Pertanyaan:
1. Ahmad Zaki Munawwar
Apa alasan dari adanya beberapa pihak yang keberatan dengan adanya tafsir corak
fiqhi ini?
Seperti yang sudah kami jelaskan bahwa Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatik
mazhaby sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran
terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya. Sikap
ini terwariskan kepada berpulu-puluh generasi hingga saat ini. Tafsir fiqhi melakukan
reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur‟an (penafsiran parsial) padahal al-Qur‟an
meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem, teori dan praktek yang membutuhkan
pemhaman dan penafsiran secara universal.
2. Aisyah
Apakah tafsir fiqhi ini banyak dijadikan rujukan pada tafsir-tafsir yang lain dan apa
contohnya? Dan bagaimana status kehujjahan tafsir fiqhi ini?
Iya tafsir fiqhi ini banyak dijadikan rujukan pada tafsir-tafsir lain. Contohnya adalah
tafsir al-Mishbah karya M.Quraish Shihab, ketika menafsirkan ayat-ayat hukum
beliau banyak mengambil rujukan dari tafsir al-Qurthubi yang mana tafsir al-Qurthubi
adalah tafssir yang bercorak fiqhi. Adapun status kehujjahan tafsir fiqhi ini saya kira
tergantung diri kita pribadi, karena tafsir fiqhi ini terkadang cenderung terjebak pada
fanatik madzhaby, maka pasti setiap orang yang merasa madzhabnya paling benar
maka ia akan menyalahkan madzhab yang lain, maka ikutilah yang sesuai menurut
ajaran kita.
3. Sebutkan contoh nyata penafsiran dengan corak fiqhi yang diambil dari kitab tafsir
fuqaha beserta nama kitab dan pengarangnya!
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu
Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang alim yang mumpuni dari
kalangan Maliki. Di dalam tafsirnya ini, al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada
ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan al-Qur‟an secara menyeluruh. Metode
tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat),
mengemukakan ragam qira‟at dan i‟rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib,
menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph
khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari
para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum.
Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu „Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya
Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan
masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia
tidak fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu” (Al-
Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini,
sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang
akan makan siang hari di bulan Ramadhan karena lupa dan mengutip pendapat Imam
Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha. Ia mengatakan, “Menurut
pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan
karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa
makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya. Dan puasanya tetap
sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika
seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang
demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib
mengqadhanya,”.
Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain.
Misalnya, ia menyanggah kaum Mu‟tazilah, Qadariyah, Syi‟ah Rafidhah, para filosof
dan kaum sufi yang ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan
didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di
serang oleh Ibn al-„Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar
dan keras terhadap ulama. Kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan
dan terhormat.
Notulensi:
Ada beberapa hal yang perlu diluruskan mengenai pembahasan ini. Tafsir fuqaha ada
jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yang ada di zaman Nabi Muhammad SAW adalah
tafsir fiqhi. Di zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada penafsiran fuqaha karena pada saat
itu tidak ada yang mampu memikul gelar fuqaha kecuali Rasulullah SAW sendiri.
Perkembangan tafsir fiqih Berjaya pada periode ijtihad dan taqlid. Pada zaman 4
imam madzhab tafsir fuqaha ini menjadi sangat berkembang. Dan pada zaman ini pula terjadi
kesenjangan dalam artian saling serang menyerang pendapat atau argumentasi. Contohnya
kasus Al-Jasshash yang mengkritik Imam Syafi‟I dengan kata-kata yang keras. Dapat
diketahui tafsir fiqih ini banyak menjadi rujukan bagi tafsir-tafsir lain. Contohnya Tafsir Al-
Mishbah ketika menafsirkan ayat-ayat hukum, maka M.Quraish Shihab merujuk kepada
Tafsir al-Qurthuby, Namun tidak seluruh ayat ada penafsirannya dalam al-Qurthuby.
Adapun beberapa nama-nama kitab tafsir fiqhi adalah sebagai berikut:
1. Tafsir fiqhi mazhab hanafi
Ahkam al-Qur‟an karya Ali al-Qumi (350 H), Ahkam al-Qur‟an karya al-Jassas (370
H), Takhlis Ahkam al-Qur‟an karya Ibn Siraj al-Qunawi (770 H) dan at-Tafsirat al-
Ahmadiyyah fi Bayan al-Ayat ash-Shar‟iyyah karya Ahmad bin Abu Sa‟id al-Hanafi
(1130 H).
2. Tafsir fiqhi mazhab maliki
Ahkam al-Qur‟an karya Ismail bin Ishaq al-Maliki (282 H), Ahkam al-Qur‟an karya
Abu Bakar bin Muhammad al-Baghdadi (305 H), Ahkam al-Qur‟an karya Ibnu al-
„Arabi (543 H) dan al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an karya al-Qurtubi (671 H).
3. Tafsir fiqhi mazhab syafi‟i
Ahkam al-Qur‟an karya Imam Syafi‟i (204 H), Ahkam al-Qur‟an karya Ibrahim bin
Khalid al-Baghdadi (240 H), al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-„Aziz karya
Shihabuddin as-Samin (756 H), al-Iklil fi Istibat al-Tanzil karya Jalaluddin as-Suyuti
(911 H) dan Hidayah al-Hayran fi Ba‟di Ahkam Tata‟llaq bi al-Qur‟an karya
Abdullah bin Muhammad at-Tablawi (1027 H).
4. Tafsir fiqhi mazhab hanbali
Ahkam al-Qur‟an karya Abu Ya‟la Muhammad bin al-Farra‟ (458 H) dan Ihkam al-
Ra‟i fi Ahkam al-Ay karya Shamsuddin Muhammad bin Abdurrahman al-Hanbali
(776 H).

Anda mungkin juga menyukai