FILSAFAT ISLAM
Kelompok 4
2. Ibaadiyasy Syakuur
3. Indaryani
4. Nurlaila
Jakarta
Tahun 2019
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 14
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat islam, islamic philosophy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak
islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak dan karakter dari filsafat. Filsafat
islam bukan filsafat tentang islam, bukan the philosophy of islam. Dengan demikian
filsafat islam berada dengan menyatakan keberpihakannya dan tidak netral.
Keberpihakannya adalah kepada keselamatan dan kedamaian.
Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala
sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri
adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang
disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-
dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam. Ketika
filsafat islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita adalah beberapa
tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya.
Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat Islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-
benih filsafat Islam dikembangkan. Adapun yang akan dibahas di dalam makalah ini
adalah tokoh filsafat muslim yang bernama, Al-Farabi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi/ riwayat hidup Al-Farabi?
2. Apa saja karya-karya Al-Farabi?
3. Bagaimanakah pemikiran filsafat Al-Farabi?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan
ibn Auzalagh. Ia lahir di Wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota
Atrar/Transoxiana) Turkistan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia dan Ibunya berkebangsaan Turki. Di kalangan orang-orang Latin
Abad Tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan
nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan.
Sejak kecil, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya, antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan
Kurdistan. Munawir Sjadzali mengatakan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh
puluh macam bahasa, tetapi yang dia kuasai secara aktif hanya empat bahasa ialah Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia
Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para
filsuf Yunani; Plato, Aristoteles, dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di
berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah
menulis berbagai tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab
al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan menciptakan berbagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat
pendidikan awal, Al-Farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang
berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhilafan Al-Muta’did tahun
895-902 M, Al-Farabi dan Yuhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-Farabi unggul
dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam
penempatan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekhilafan Al-Muktafi tahun 902-908
M dan awal kekhilafahan Al-Muqtadir pada tahun 908-932 M Al-Farabi dan Ibn Hailan
meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel
dan tinggal di sana selama delapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.
4
membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik dan hubungan
antara rezim yang peling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus,
dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo.
Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup dengan sederhana (zuhud) dan tidak
tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja
sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan
jabatan yang diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Alepoo
dan Damaskus.
Al-Farabi, hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu, sehingga tidak
dekat dengan penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu. Saking gemarnya Al-Farabi
dengan dunia ilmu dan kegemarannya dalam membca dan menulis, ia sering membaca
dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam.
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf islam terbesar, memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu
Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibn Rusyd (520 H/1126 M – 595 H/1198 M)
banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian
mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara
pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain
Aflhatun wa Aristhu. Oemar Amin Husein menyatakan bahwa Ibnu Sina telah membaca
40 kali buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan hampir seuruh isi buku itu
dihafalnya, tetapi belum memahaminya. Ibnu Sina baru memahami filsafat Aristoteles
setelah membaca buku Al-Farabi, Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-
Thobi’ah yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles. Karena
pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan
Aristoteles, ia dijuluki Al-Mu’allim Ats-Tsani (guru kedua) sedangkan Al-Muallim Al-
Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.
5
Al-Farabi juga dikenal sebagai adalah filosof islam pertama yang berupaya
menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik
Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalm konteks
agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah
(Kota atau Negara Utama) yang membahas tentang pencapaian kebahagiaan melalui
kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang peling baik menurut pemahaman
Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
B. Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf islam terbesar memiliki keahlian dalam
banyak bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran,
musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqh, dan manthiq. Oleh karena itu, banyak karya-karya
yang ditinggalkan Al-Farabi, namun karya-karya tersebut tidak banyak diketahui, hal ini
karena karya-karya Al-Farabi hanya berupa risalah-risalah (karangan pendek) dan sedikit
sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan karyanya
telah hilang, dan yang masih dapat dibaca dan dipublikasikan baik yang sampai kepada
kita maupun yang tidak, kurang lebih 30 judul saja. Diantara judul karyanya adalah
sebagai berikut :
6
15. Al-Masa’il Al-Falsafiyah wa Al-Ajwibah Anha;
Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang ditulis Al-Farabi,
terlihat dengan jelas bahwa Al-Farabi adalah sosok filsuf, ilmuwan, dan cedekiawan
kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan dalam. Massignon, ahli ketimuran Prancis
mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filsuf islam yang pertama dan dapat
menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap seperti peranan yang dimiliki Plotinus
bagi dunia Barat.
7
adalah ‘aql murni. Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya
substansiya. Jadi, tuhan adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan Ma’qul (akal, substansi yang berfikir,
dan substansi yang difikirkan) Demikian pula, tuhan itu maha tahu. Ia tidak
membutuhkan sesuatu di luar Dzatnya untuk tahu dan juga memberitahukan untuk di
ketahuinya ,cukup dengan substansi yang di ketahui [ ‘ilm, alim dan ma’lum].
Tentang ilmu tuhan , pemikiran al-farabi terpengaruh oleh aristoteles yang
mengatakan bahwa tuhan tidak mengatahui dan pemikiran alam. Pemikiran ini di
kembangkan oleh al-farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mengatahui yang
juz’iyyah (partikular). Maksudnya, pengatahuan tuhan tentang yang rinci tidak sama
dengan pengatahuan manusia. Tuhan sebagai aql hanya dapat menangkap yang kulli (
universal), sedangkan yang untuk juz’i hanya dapat ditangka dengan pancaindra .
oleh karena itu pengatahuanya juz’i tidak secara langsung , melainkan ia sebagai
sebab bagi yang juz’i.
2. Filsafat Kenegaraan
Al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang
memiliki kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini karena manusia tidak
mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dengan
pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu, menurutnya, tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan
hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materi tetapi
juga spiritual, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. Pendapat
Al-Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat itu memperlihatkan pengaruh
keyakinan agamanya sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi Plato dan
Aristoteles sebagai seorang muslim, di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles
yang mengaitkan politik dengan moralitas dan etika.
Menurut Al-Farabi, masyarakat idbagi menjadi dua, ialah :
1) Masyarakat yang sempurna :
a. Masyarakat sempurna besar adalah gabungan banyak bangsa yang
sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama
(PBB/Perserikatan Bangsa-bangsa).
b. Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri atas satu
bangsa yang menghuni di satu wilayah bumi ini (negara nasional)
c. Masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri atas para
penghuni satu kota (negara kota)
2) Masyarakat yang tidak atau belum sempurna adalah penghidupan sosial
tingkat desa, kampung, lorong, dan keluarga. Selanjutnya, diantara tiga bentuk
penghidupan sosial itu, keluarga merupakan masyarakat yang paling tidak
sempurna.
8
Lebih lanjut, pandangan Al-Farabi mengenai kelas sosial sangat tampak bahwa, ia
membagi kelas dalam masyarakat yang satu sama lain berbeda. Pandangan ini
didasari oleh pemikiran filsafatnya bahwa manusia tidak sama satu sama lainnya,
disebabkan banyak faktor, antara lain : faktor iklim dan lingkungan tempat mereka
hidup dan faktor makanan. Faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh dalam
pembentukan watak, pola pikir dan perilaku orientasi atau kecenderungan serta adat
kebiasaan.
3. Filsafat Praktis
Kesatuan antara ilmu-ilmu teoretis metafisika dan psikologi yang telah dibangun
oleh Al-Farabi juga tercermin dalam filsafat ilmu politiknya yang bersama logika,
merupakan fokus utama karya-karya filsafatnya. Sementara bagian lain dari filsafat
Al-Farabi berkarakter Aristotelian, yang dilengkapi dengan unsur-unsur Neoplatonik
seperti yang telah disinggung diatas. Filsafat politik Al-Farabi sangat Platonik dan
mencerminkan citra ideal filsafat politik Plato yang didasarkan pada landasan-
landasan metafisika.
9
Oleh karena itu dua karya utama Al-Farabi dalam filsafat politik (Siyasah
Madaniyyah dan Madinah fadhilah) juga sangat sarat dengan ungkapan-ungkapan
metafisikanya. Meskipun Al-Farabi mencurahkan sebagian perhatiannya pada karya-
karya ini dan karya-karya lainnya tentang filsafat praktis hingga masalah-masalah etis
seperti sifat kebijaksanaan praktis, kebajikan dan pertimbangan moral, perhatian
utamanya tetaplah filsafat politik, khususnya mengenai syarat-syarat negara ideal dan
penguasanya, serta masalah hubungan antata filsafat dan agama dalam negara
semacam itu.
Dalam karyanya, Tahshil Al-Sa-addah, Al-Farabi memperlihatkan keidentikan
real dan konseptual dari gagasan para filsuf, ahli hukum, dan imam, dan mengklaim
bahwa keragaman label religius dan filosofis hanyalah mencerminkan penekanan
yang berbeda atas aspek-aspek tertentu dari realitas yang sama. Ini berarti, dengan
gaya platonik yang bagus bahwa orang tidak berupaya menerapkan kesempurnaan
teoretisnya untuk pencarian praktis dan politik tidak dapat mengklaim dirinya filsuf:
orang semacam itu menurut Al-Farabi hanyalah filsuf yang “sia-sia” atau gagal.
Mengingat perlunya mengomunikasikan filsafat kepada khalayak awam, filsuf
semacam itu sudah selayaknya mempunyai kemampuan-kemampuan terorik, poitik,
dan imajinatif. Dan demikian juga memenuhi syarat-syarat kenabian seperti yang
diuraikan dalam bagian-bagian psikologis karya-karya politik Al-Farabi (Al-Farabi
[1981b]: 89-97, [1969a]: 43-9;bdk.mahdi(1972a):188-92)
Oleh karena itu, kedua risalah politik utama Al Farabi juga menguraikan
keragaman penyimpangan dari keadaan ideal yang mungkin terjadi, mengikuti gaya
pembahasan plato mengenai rezim politik yang baik dan yang jahat dalam republic.
Al Farabi mengklarifikasi penyimpangan dari kesempurnaan politik ideal menjadi
tiga kategori umum: kota Jahiliyah, kota Fasik, dan kota Sesat. Yang masing masing
mempunyai beberapa tipe berlainan. Kota Jahiliyah secara umum gagal memahami
hakikat kemanusiaan, kedudukannya dalam kosmos, dan karena itu, juga tujuan
alamiahnya. Karena ketidaktahuan mereka pada tujuan kemanusiaan, mereka
menggantikan tujuan yang benar yang ditunjukuan oleh Fisafat dengan sejumlah
tujuan lain yang salah. Al Farabi memilah-milah kota jahiliyah sebagai berikut :
1. Kota Kebutuhan Dasar, yang penduduknya mencari nafkah untuk sekedar
bertahan hidup sebagai tujuan mereka.
2. Kota Jahat, yang penduduknya hanya menumpuk numpuk kekayaan.
3. Kota Rendah, yang ada hanya semata mata demi kepuasan nafsu
penduduknya.
4. Kota Timokratik Kehormatan, yang tujuannya adalah mengejar kehormatan
dan popularitas belaka.
5. Kota Despotik, yang didlamnya kekuasaan dan dominasi atas orang lain
menjadi tujuan utama.
6. Kota Demokratik, yang didlamnya tidak ada tujuan tunggal yang memotivasi,
tetapi masing-masing warga berusaha yang dianggapnya terbaik.
10
Pemahaman filsafat praktis Al Farabi dapat terlihat ketika ia membandingkan
antar kota fasik, kota jahat, dan kota sesat. Negara fasik dan kota sesat adalah kota
kota yang warganya sekarang atau dahulu mempunyai beberapa pengetahuan
mengenai tujuan kemanusiaan yang benar, tetapi gagal mengikuti pengtahuan
tersebut. Kota Jahat adalah kota yang warganya secara sengaja meninggalkan tujuan
yang baik demi tijuan yag lain, sedangkan kota yang sesat adalah kota yang
pemimppinnya secara pribadi mempunya pengetahuan yang benar tentnang tujuan
semestinya yang harus diikuti oelh kota ini, tetapi pemimpin itu menipu warganya
dengan dengan mengemukakan citra-citra dan gambaran-gambaran enyesatkan dari
tujuan tersebut ( Al-Farabi[1964];74-108; Mahdi dan Lerner [1963]:35-56;[1985]:
228-59).
Realitas historis masuknya filsafat ke dalam bahasa arab dari dan budaya asing,
masuknya bahasa Yunani kuno dan munculnya akibat kebutuhan untuk menciptakan
kosakata filsafat dalam menjadi isu yang penting sekali bagi para filsuf Arab awal,
termasuk dan rnurid Al-Farabi sendri. Di samping itu, fokus kebahasaan dari sebagian
besar logika Aristotelian menciptakan konflik teritonal dengan para praktisi ilmu tata
bahasa Arab asli setempat yang melihat bahwa minat para filsuf pada logika Yunani
tidak lain hanyalah mempakan upaya untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan
Yunani. Karya-karya logika dan kebahasaan Al-Farabi menggambarkan salah satu
usaha sistematis untuk menyelaraskan pendekatan-pendekatan yang saling
berlawanan dalam studi bahasa.
Oleh karena itu, Al-Farabi meletakkannya dalam suatu bagian karyanya yang
terkenal Ihsha Al- ’Ulum, “seni (logika) ini analc g dengan seni tata bahasa, dalam
pengertian bahwa hubungan logika dengan intelek dan intelijibel- intelijibel (hal-hal
yang dapat dipikirkan dan dipahami oleh akal) adalah seperti hubungan seni tata
11
bahasa dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan. Maksudnya, baggi setiap kaidah
mengungkapkan yang diberikan oleh ilmu tata bahasa kepada kita, terdapat suatu
(kaidah) intelijibel sepadan yang diberikan oleh ilmu logika kepada kita (Al-
Farabi[1968b]:68).
Benar apa yang dikatakan Al-Farabi bahwa “ untuk menjadi filsuf yang betul-
betul sempurna, seseorang harus memiliki ilmu-ilmu teoretis dan daya untuk
menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas
mereka”.
12
BAB III
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa Al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa
wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang
kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Menurutnya teori tentang tuhan itu esa
adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansiya. Jadi, tuhan adalah ‘Aql, ‘Aqil,
dan Ma’qul (akal, substansi yang berfikir, dan substansi yang difikirkan) Demikian pula, tuhan
itu maha tahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu di luar Dzatnya untuk tahu dan juga
memberitahukan untuk di ketahuinya ,cukup dengan substansi yang di ketahui dan pemikiran al-
farabi terpengaruh oleh aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan tidak mengatahui dan
pemikiran alam. Pemikiran ini di kembangkan oleh al-farabi dengan mengatakan bahwa Tuhan
tidak mengatahui yang juz’iyyah. Dan juga menurut Al-Farabi berpendapat bahwa manusia
adalah makhluk sosial, makhluk yang memiliki kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal
ini karena manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau
kerja sama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu, menurutnya, tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup
yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materi tetapi juga spiritual, tidak
saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.
13
DAFTAR PUSTAKA
14