Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH ASWAJA

(AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH)

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD AZHAR
XH

SMA TAKHASSUS AL-QUR’AN

ii
KATA PENGANTAR
iii
Segala puji bagi Allah Swt yang lagi Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “Ke NUan” untuk melaksanakan Punishment, karena tidak mengikuti kegiatan
MAKESTA tahun pelajaran 2022/2023.

Penulis juga menyadari tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, pembuatan makalah ini
tidak mungkin akan terlaksana. Penulis berharap karya ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Penulis menyadari bahwa sepenuhnya masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar penulis dapat memperbaiki karya tulis ini.

DAFTAR ISI

iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii

BAB I PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlussunah wal jamaah.....................................................................................1


B. Sejarah ASWAJA................................................................................................................4
C. Nilai Prinsip ASWAJA........................................................................................................6
A. Sumber Pokok Hukum ASWAJA.......................................................................................10
B. Aqidah ASWAJA................................................................................................................15
C. Fiqh ASWAJA.....................................................................................................................17
D. Tasawuf ASWAJA..............................................................................................................20

BAB II PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................25

v
BAB 1

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Dikutip dari buku Ahlul Sunnah Wal Jamaah, A. Fatuh Syuhud (2018: 2)
dalam kitab Risalatu Ahlissunnah Wal Jamaah Kyai Hasyim Asy’ari
menyatakan bahwa golongan ahlul sunnah waljamaah adalah mereka
yang secara aqidah mengikuti madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan dalam
berfiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab. Madzhab aqidah
yang kemudian dikenal dengan aqidah asy’ariah ini diikuti oleh mayoritas
ulama ahli hadits ternama dan ulama fiqih seperti Al-Baihaqi, Al-
Baiqilani, Al-Qusyaairi, dan lain-lainnya.
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja merupakan singkatan
dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Ada 3 kata yang memiliki istilah tersebut
yaitu Ahl, As-sunnah dan Jamaah.
Ahl secara bahasa berarti keluarga, pengikut atau penduduk.
Sedangkan As-Sunnah secara bahasa bermakna jalan, cara atau
perilaku.
Sedangkan jamaah berarti orang atau sekelompok manusia yang
berkumpul berdasarkan satu tujuan.
Jamaah juga bisa didefinisikan sebagai kaum yang bersepakat dalam
suatu masalah, atau orang-orang yang memelihara kebersamaan dan
kolektivitas dalam mencapai satu tujuan.
Menurut istilah sunnah berarti metode Nabi Muhammad. Sedangkan
menurut jumhur ulama, sunnah adalah sebuah jalan yang ditempuh oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang selamat dari
kesurupan( syubhat). Hal ini berdasarkan hadits bahwa Rasulullah
memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah-sunnah Beliau dan sunah-

1
sunah para Khulafaur Rasyidin. A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah
(ASWAJA)
Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari hadis Imam
Thabrani sebagai berikut :

‫ و‬، ‫ على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬Y‫ وافترقت النصارى‬، ‫افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬
‫ أهل السنة‬:‫ ومن الناجية ؟ قال‬:‫ قيل‬.‫ الناجية منها واحدة والباقون هلكى‬،‫ستفترق أمتي على ثالث وسبعين فرقة‬
‫ ما انا عليه اليوم و أصحابه‬:‫ وما السنة والجماعة؟ قال‬:‫ قيل‬.‫والجماعة‬

“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71  atau 72


golongan, orang Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72
golongan, dan umatku (kaum muslimin) akan bergolong-golong menjadi
73 golongan.  Yang selamat dari padanya satu golongan dan yang lain
celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu?’ Rasulullah
SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan
lagi, ‘apakah assunah wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku
berada di atasnya, hari ini, dan beserta para sahabatku (diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para sahabat).
Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
kitabnya  Ziyadah at-Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :

‫ المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى هللا عليه وسلم وا‬Y‫أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم‬
‫افعيون و ا‬Y‫لخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والش‬
‫لمالكيون والحنبليون‬

“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli


hadis, dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh
dengan sunnah Nabi dan sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka
adalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan : Sungguh kelompok
tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu
madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

2
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah
dinisbatkan pada paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi, yang menentang paham Khawarij dan Jabariyah
(yang cenderung tekstual) dan paham Qadariyah dan Mu’tazilah (yang
cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada
paham Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy,
Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai asas oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu
Hasan Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang
fikih mengikuti salah satu dari fikih 4 (empat) madzhab yaitu madzhab
Syafi’i (Syafi’iyyah).
Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang
tashawwuf, NU mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M)
dan Imam al-Ghazali at-Thusi (w,505 H/ 1111M)
Di dalam kitab Ghunyah Li thalibi thariqil Haq Syekh Abdul Qodir Al
Jaelani, definisi sunnah adalah segala sesuatu yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau.

Dengan begitu, orang yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW


dan sahabat itulah yang disebut Ahlussunnah Wal Jamaah. sedangkan
orang yang menolak ajaran sahabat, tentu tidak masuk kategori
Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sedangkan jamaah secara istilah menurut Syekh Abdul Qodir Al Jaelani


adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat
Rasulullah SAW Pada masa Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang
telah diberi hidayah oleh Allah
SWT.
Pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah menurut Syekh Muhammad Faqih

3
Syekh Muhammad Faqih mengartikan bahwa Jamaah adalah metode
para sahabat. hal ini didasarkan pada hadis nabi ketika menjawab
pertanyaan sahabat tentang akan terjadinya kehancuran umat manusia
akibat adanya perpecahan menjadi 73 golongan, dan yang selamat
hanyalah satu golongan saja yaitu Al-jamaah.

Sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Tirmidzi dan Al Hakim


bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Barangsiapa yang ingin
mendapatkan kehidupan yang damai di surga nanti, hendaklah dirinya
mengikuti Al-jamaah, yaitu kelompok yang menjaga kebersamaan.
Dari semua definisi di atas bisa kita simpulkan bahwa saya Ahlussunnah
Wal Jamaah bukan merupakan aliran baru yang muncul sebagai reaksi
dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang Hakiki,
namun justru merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang telah
digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan Islam yang murni yang langsung
dari Rasulullah SAW, kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Maka
dari itu, tidak ada seorangpun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah
Wal Jamaah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali
ajaran Islam setelah lahirnya beberapa paham dan aliran keagamaan
yang berusaha mengaburkan kemurnian ajaran Rasulullah SAW dan para
sahabatnya.
B. SEJARAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan
respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami
dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara
Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin
Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan
pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama menolak
tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang
terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum
Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa
4
yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”.
Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum
Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij. Sedangkan kubu
kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi
dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu
Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw.
Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem
(rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali
tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat
mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja
yang mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah
dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini. Khalifah Ali
kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman
bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Menyedihkan, Ibnu
Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering
berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. Fanatisme dan
minimnya ilmu telah menyeretnya menjadi manusia picik dan sadis.
Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan
sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati
kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan.
Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia
mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah
karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik
untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun
pengunduran diri Al-Hasan dinamakan“am al-jamaáh” atau tahun
persatuan. Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi
keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak
kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani
Umayah. Perselisihan makin memuncak manakala Muáwiyah mengganti
sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya
Yazid sebagai khalifah selanjutnya.
Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu
Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw
pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat

5
kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian
selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah,
dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua
kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah. Chaos
politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan
kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah
muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan
tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan
tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhirat
oleh Allah SWT. Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi
persoalan akidah.Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara
Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia.
Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabariyah (fatalisme) dan Qodariah
(fre act and fre will). Jabariyah berpendapat, perbuatan manusia
diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang
digerakkan oleh dalang.
Qadariyah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang
menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan
terhadapnya. Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran
Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal
perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut)
pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua
materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau
menduakan Allah. Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan
Khawarij bukan hanya disebabkan oleh persoalan politik yang melanda
umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
dari luar Islam.
Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam
yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi
yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah
bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran. Seperti
yang saya kemukakan di awal tulisan ini, kemunculan istilah Aswaja
merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu.

6
Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-
murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi
setelah tabiín atau murid-murid tabiín) seperti Imam-imam mazhab
empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah
generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf,
sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik
agama ini. Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja diteruskan dan
dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-
generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu
Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi,
Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.
Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti
metodologi para sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat),
keseimbangan antara pengunaan teks suci dan akal.

C. PRINSIP NILAI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


Ada 4 prinsip ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan
Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya :
a ] at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim
kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT :
ً‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدا‬ Yْ ُ‫ لِّتَ ُكون‬Yً‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم ُأ َّمةً َو َسطا‬
ِ َّ‫وا ُشهَدَاء َعلَى الن‬ َ ِ‫َو َك َذل‬
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat
pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran
penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya
Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

b ] at-tawazun  atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam


penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional)
dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT :

7
ِ ‫َاب َو ْال ِمي َزانَ لِيَقُو َم النَّاسُ بِ ْالقِس‬
‫ْط‬ َ ‫ َم َعهُ ُم ْال ِكت‬Y‫ت َوَأن َز ْلنَا‬
ِ ‫لَقَ ْد َأرْ َس ْلنَا ُر ُسلَنَا بِ ْالبَيِّنَا‬

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti


kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab
dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. (QS al-Hadid: 25)

c ] al-i’tidal atau tegak lurus.


Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :

  ‫وا هُ َو َأ ْق َربُ لِلتَّ ْق‬


ْ ُ‫وا ا ْع ِدل‬ ْ ُ‫م َعلَى َأالَّ تَ ْع ِدل‬Yٍ ْ‫م َشنَآنُ قَو‬Yْ ‫وا قَ َّوا ِمينَ هّلِل ِ ُشهَدَاء بِ ْالقِ ْس ِط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك‬
Yْ ُ‫وا ُكون‬
ْ ُ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
َ‫وا هّللا َ ِإ َّن هّللا َ خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬
ْ ُ‫َوى َواتَّق‬

“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi


orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi
saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu
pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah
karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS al-Maidah:8)

d ] tasamuh atau toleransi.
Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki
prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau
membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa
yang diyakini. Firman Allah :

‫فَقُواَل لَهُ قَوْ الً لَّيِّنا ً لَّ َعلَّهُ يَتَ َذ َّك ُر َأوْ يَ ْخ َشى‬

8
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS)
kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-
mudahan ia ingat dan takut.” (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan
Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh
Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini
mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS
kepada Fir’aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih,
lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh
hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim,
juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq
bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai
berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah
apalagi kafir.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash
yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang
memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/ Akhlak

9
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam
penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.kepada Akhlak yang
luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur
atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan
sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok
berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan
menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama
Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap
dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen
bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang
dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah
yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka
mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai
dan diukur dengan norma dan hukum agama.

10
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat
diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus
ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya
lama yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu
bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis
bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah
SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang
jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. KH
Muhyidin Abdusshomad Pengasuh Pesantren Nurul Islam,

D. SUMBER POKOK HUKUM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH


1. Al – Qur’an
Dari 4 sumber, Al-Qur’an jelas merupakan sumber pertama dan yang
paling utama dalam pengambilan hukum Islam. Karena Al-Qur’an adalah
kalamullh (perkataan Allah) yang merupakan petunjuk bagi umat
manusia. Manusia diwajibkan untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an,
sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2 :

َ‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬ َ ‫ذلِكَ ْال ِكت‬


َ ‫َب الَ َري‬

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
Al-Maidah Ayat 44 :

11
َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْنزَ َل هللاُ فَُأوْ لِئكَ هُ ُم ْالكفِرُوْ ن‬

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.
Dalam hal ini, ayat tersebut bersangkutan dengan masalah aqidah.
Kemudian Al-Maidah Ayat 45 :

َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْنزَ َل هللاُ فَُأوْ لِئكَ هُ ُم الظّلِ ُموْ ن‬

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dholim”.
Dalam hal ini ayat tersebut menerangkan urusan yang berkenaan
dengan hak-hak sesama manusia.

Kemudian Al-Maidah Ayat 47 :

Yَ ‫َ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما َأ ْن َز َل هللاُ فَُأوْ لِئ‬


ِ ‫ك هُ ُم ْا‬
‫لفسقُوْ ن‬

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini, ayat tersebut menerangkan urusan yang berkenaan
dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.
2. Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum Islam yaitu sunnah Rasulullah
ٍ SAW. Hal ini karena Rasulullah yang membawa risalah dan yang berhak
menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an pertama kali. Itu sebabnya Al

12
Hadits menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 sebagai berikut :

ِ َّ‫ اِلَ ْيكَ ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن‬Y‫َواَ ْنزَ ْلنَا‬


َ‫اس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan


kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
Kemudian QS al-Hasyr ayat 7 :

ِ ‫ اِ َّن هللاَ َش ِد ْيد ُْال ِعقَا‬,Yَ‫اواتَّقُوْ اهللا‬


‫ب‬ َ ْ‫م ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَو‬Yُ ‫َو َما َءاتَ ُك‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas menerangkan secara jelas bahwa Hadits
Nabi menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an sebagai hukum.

3. Al-Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW. Karena selama masih hidup, Nabi Muhammad
Saw sendirilah yang memegang otoritas tertinggi atas syari’ah. Sehingga
kesepakatan atau ketidak kesepakatan orang lain tidak mempengaruhi
otoritas beliau. Sedangkan setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Terdapat 2 macam Ijma’ :
Ijma’ Bayani (Y‫ي‬Y‫ن‬Y‫ا‬Y‫ي‬Y‫ب‬Y‫ل‬Y‫ ا‬Y‫ع‬Y‫ا‬Y‫م‬Y‫ج‬Y‫ال‬Y‫ا‬ ) yaitu apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang
menunjukan kesepakatannya.

13
Ijma’ Sukuti ( ‫ )االجماع السكوتي‬yaitu apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan
setuju, bukan karena takut atau malu.
Meski demikian dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih pendapat
untuk diikuti. Sebab setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan.
Adapun ijma’ bayani jika sudah disepakati suatu hukum, maka wajib bagi
ummat Islam untuk mengikuti dan menta’atinya.
Karena para Ulama’ Mujtahid itulah orang-orang yang lebih mengerti apa
maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka
itulah yang disebut Ulil Amri Minkum ( Y‫م‬Y‫ك‬Y‫ من‬Y‫ر‬Y‫م‬Y‫ال‬Y‫ا‬Y‫ى‬Y‫ل‬Y‫او‬ ). Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 59 :

‫ياَأيُّهَاالَّ ِذ ْينَ َأ َمنُوْ اَأ ِط ْيعُوْ اهللاَ َوَأ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل َوُأوْ لِى اَْأل ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil
Amri di antara kamu”.
Para Sahabat melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang
tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw. Misalnya pada
zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar bin Khattab jika mereka
sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam.
Adapun beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber
hukum Islam dapat kita lihat dalam Sunan Tirmidzi Juz IV hal 466.
‫ َويَ ُدهللاِ َم َع ْالَ َجما َع ِة‬,‫ضالَ لَ ٍة‬
َ ‫َلى‬ ِ ‫اِ َّن هللاَ الَ يَجْ َم ُع اُ َّم‬
َ ‫تى ع‬

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan


perlindungan Allah beserta orang banyak.”
Selain itu dijelaskan pula dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431
َ ‫اختِالَ فًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِالس ََّوا ِد ْا َأل ْع‬
‫ظ ِم‬ ْ ‫م‬Yُ ُ‫ارَأ ْيت‬
َ ‫ضالَ لَ ٍة فَا ِء َذ‬ ِ ‫اِ َّن اُ َّم‬.
َ ‫تى الَتَجْ تَ ِم ُع عَل َى‬

14
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila
engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada
golongan yang terbanyak”.

4. Qiyas
YYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYY
Secara etimologi Qiyas berasal dari kata Qasa ( ‫ س‬Y ‫ا‬YY‫ ) ق‬yang berarti
mengukur. Sedangkan menurut istilah Qiyas ialah menyamakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hukum, karena adanya sebab atau
kesamaan diantara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 yaitu: al-ashlu, al-far’u,
al-hukmu dan as-sabab.
Contoh penggunaan qiyas dalam pengambilan hukum dapat kita lihat
pada perkara zakat. Misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu
hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras
(tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum
gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena
makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai
dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan
zakat.
Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Namun, karena
beras dan gandum itu kedua-duanya sama-sama sebagai makanan
pokok maka semua wajib dizakati. Di sinilah aspek qiyas menjadi
sumber hukum dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman :

‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ يُأوْ لِى اَْأل ْي‬Y‫فَا ْعتَبِرُوْ ا‬

“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang


mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

15
ِ‫ضى ب‬ ِ ‫ال اَ ْق‬
َ َ‫ضا ٌء ؟ ق‬ َ َ‫ض ق‬ َ ‫ضى اِ َذا َع َر‬ ِ ‫ َك ْيفَ تَ ْق‬:‫ لَ َما بَ َعثَهُ النَّبِ ُّى صلى هللا عليه وسلم اِل َى ْاليَ َمنِى قَا َل‬: ‫ع َْن ُم َعا ٍذ قَا َل‬
‫فى ِكتَا‬ ِ َ‫وْ ِل هللاِ َوال‬Y‫نَّ ِة َر ُس‬Y‫ ْد فِى ُس‬Y‫ال فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج‬
َ َ‫ ق‬,ِ‫ب هللاِ ؟ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬
ِ ‫ال فَا ِء ْن لَ ْم ت َِج ْد فِى ِكتَا‬َ َ‫ب هللاِ ق‬ِ ‫َكتَا‬
‫ق‬ َ ‫ال ْا‬
Yَ َّ‫ ُد هللِ الَّ ِذى َوف‬Y‫لح ْم‬ َ َ‫ص ْد َرهُ َوق‬
َ ‫ب َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ Yَ ‫ض َر‬َ َ‫ب هللاِ ؟ قَا َل اَجْ تَ ِه ُد بِ َرْأيِى َوالَ الُوْ قَا َل ف‬
ِ
‫ رواه أحمد وابو داود والترمذى‬.ِ‫ضاهُ َرسُوْ ُل هللا‬ َ ْ‫َرسُوْ َل َرسُوْ ِل هللاِ لِ َما يَر‬

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke


Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila
tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan
menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan
Sunnah Rasulullah saw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau
jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz
menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian
Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada
utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.”
Tentang qiyas ini Imam Syafi’i memperkuatnya dengan firman Allah Swt
dalam Al-Qur’an surat al Maidah ayat 95 :

‫ ْد‬Yَ‫ ِه َذ َواع‬Yِ‫م ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِمدًا فَ َجزَ ا ٌء ِم ْث ُل َما قَت ََل ِمنَ النَّ َع ِم يَحْ ُك ُم ب‬Yُْ‫ص ْي َد َواَ ْنت‬
َّ ‫ياَأيُّهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل‬
‫ٍل ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang


buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti
dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-
Maidah: 95).
Itulah 4 sumber hukum Islam yang digunakan oleh madzhab
Ahlussunnah wal Jama’ah. Para ulama Ahlussunnah akan
mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal dan baru
mempergunakan Ijma’ dan Qiyas jika tidak mendapatkan dalil nash yang
shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah

16
E. AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Aqidah Ahussunnah wal Jama'ah tiada lain adalah aqidah Islam
sendiri, yaitu aqidah yang diyakini Rasulullah saw, para sahabat, dan
ulama Islam penerusnya hingga sekarang yang terhindar dari berbagai
macam bid'ah aqidah yang menyimpang darinya.  Meskipun dalam
lingkungan Ahlussunnah wal Jama'ah terkenal dua ulama yang dijadikan
panutan dalam aqidah, yaitu Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/874-936
M) dan Abu Manshur al-Maturudi (238-333 H/852¬-944 M), bukan berarti
keduanya merupakan penggagas aqidah baru dalam Islam, tetapi
merupakan ulama yang telah berjasa besar menjaga aqidah sesuai
tantangan zamannya. 
Penjelasan seperti ini dapat kita lihat dari keterangan Imam Tajuddin bin
Ali As-Subki (727-771 H/1327-1370 M) sebagai berikut :

ِ ‫ َوِإنَّ َما هُ َو ُمقَ ِّر ٌر لِ َم َذا ِه‬.‫ش َم ْذهَبًا‬ ‫ْأ‬


َ‫ص َحاب‬ َ ‫َت َعلَ ْي ِه‬ْ ‫َاض ٌل َع َّما َكان‬ ِ ‫ف ُمن‬ ِ َ‫ب ال َّسل‬ ِ ‫اِ ْعلَ ْم َأ َّن َأبَا ْال َح َس ِن لَ ْم يُ ْب ِد ْع َر يًا َولَ ْم يُ ْن‬
‫ ِه‬Y ِ‫ف نِطَاقًا َوتَ َم َّسكَ ب‬ Yِ ‫ار َأنَّهُ َعقَ َد َعلَى طَ ِر‬
ِ َ‫يق ال َّسل‬ Yُ ‫ فَااْل ِ ْنتِ َس‬.‫ُول هللاِ صلّى هللا عليه وسلّم‬
ِ َ‫اب ِإلَ ْي ِه ِإنَّ َما ه َُو بِا ْعتِب‬ ِ ‫ةُ َرس‬
‫ك َسبِيلَهُ فِي الدَّاَل ِئ ِل يُ َس َّمى َأ ْش َع ِريًّا‬
ُ ِ‫ار ْال ُم ْقتَ ِدى بِ ِه فِي َذلِكَ السَّال‬َ ‫ص‬ َ َ‫ ف‬،‫م ْال ُح َّج َج َو ْالبَ َرا ِهي ِن َعلَ ْي ِه‬Yَ ‫َوَأقَا‬

Artinya, “Ketahuilah, sungguh Abul Hasan Al-Asy'ari tidak


menyampaikan pendapat baru dan membuat mazhab. Ia hanya
menetapkan pendapat-pendapat ulama Salaf dan membela aqidah yang
dipedomani para sahabat Rasulullah saw. Karena itu, penisbatan ajaran
aqidah kepadanya hanyalah karena mempertimbangkan ia telah
berperan mengokohkan kajiannya, memedomaninya, dan menetapkan
hujjah dan argumentasinya, sehingga orang yang mengikutinya dan
menempuh metodenya dalam dalil-dalil aqidah disebut sebagai
golongan Asy'ari (orang yang bermazhab Asya'ri).” As-Subki, Thabaqatus
Syafi'iyyah Al-Kubra, [Darul Ihya`il Kutub Al-'Arabiyah], juz III, halaman
365).

17
Penjelasan serupa dapat disimak pula dari ulama lainnya di antaranya
adalah Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari (1296-1371 H/1879-1952
M), yang mengatakan :

‫اِئ ِل َك‬Y ‫َّس‬َ ‫يح الدَّاَل ِئ ِل َعلَى تِ ْلكَ الر‬ َ ‫ض‬ ِ ْ‫ هللا عنه َوع َْن َساِئ ِر اَأْلِئ َّم ِة بَنَى تَو‬Y‫ُور ْال َماتُ ِري ِديُّ رضي‬ Yِ ‫َوِإ َما ُم ْالهُدَى َأبُو َم ْنص‬
َ‫ذه‬Y ْ Y‫ َعلَى َم‬  ‫ ِة‬Y‫نَّ ِة َو ْال َج َما َع‬Y‫الس‬
ُّ ‫ان اال ْعتِقَا ِد َأ ْه ِل‬
ِ َ‫ب بَي‬ ِ ‫اويُّ فِي ِكتَا‬ ِ ‫َما َج َرى َعلَى َذلِكَ اِإْل َما ُم ْال ُمجْ تَ ِه ِد َأبُو َج ْعفَ ِر الطَّ َح‬
ِ ‫ هللا عنهم ْال َم ْع ُروفُ بِ َعقِي َد ِة الطَّ َح‬Y‫د ب ِْن ْال َح َس ِن رضي‬Yِ ‫ُف َو ُم َح َّم‬
‫اويَّ ِة‬ Yَ ‫ َأبِي َحنِيفَةَ َو َأبِي يُوس‬:‫ب فُقَهَا ِء ْال ِملَّ ِة‬ ِ

Artinya, “Imamul Huda Abu Manshur Al-Maturidi radhiyallahu 'anhu wa


'an sairil aimmah membangun penjelasan dalil-dalil aqidah berdasarkan
risalah-risalah karya Abu Hanifah tersebut, seperti halnya yang dilakukan
Imam Abu Ja'far at-Thahawi dalam kitabnya Bayanul I'tiqad Ahlus
Sunnah wa l Jama'ah 'ala Mazhabi Fuqaha`il Millah: Abi Hanifah wa Abi
Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan radhiyallahu 'anhum yang terkenal
dengan judul 'Aqidatut Thahawiyyah.”( Muhammad Zahid Al-Kautsari,
Al-'Aqidah wa 'Ilmul Kalam, (Beirut, Darul Kutub al-'Ilmiyah: 1425 H/2004
M), halaman 564).
Adapun kitab-kitab risalah karya Abu Hanifah yang menjadi sumber
penjelasan aqidah Abu Manshur Al-Maturidi ada 5, yaitu:
a. Al-Alim wal Muta'allim riwayat Abu Hafsh bin Salim As-Samarqandi;
b. Ar-Risalah ila 'Alimil Bashrah 'Utsman bin Muslim Al-Batti riwayat Abu
Yusuf;
c. Al-Fiqhul Akbar yang terkenal dengan judul Al-Fiqhul Ausath riwayat
Abu Muti'; dan
d. Al-Fiqh al-Akbar riwayat Hammad bin Abi Hanifah; dan
e. Al-Washiyyah riwayat Abu Yusuf.
Uraian seperti ini juga dijelaskan oleh Al-Qadhi Kamaluddin Ahmad Al-
Bayadhi Al-Hanafi, yang menyebut Abu Manshur Al-Maturidi sebagai
Mufasshil li Madzhabil Imam atau ulama yang menjelaskan secara
terperinci pendapat Imam Abu Hanifah. (Ahmad Al-Bayadhi, Isyaratul

18
Maram min 'Ibaratil Imam, [Karachi: Zamzam Publisher, 1425 H/2004 M],
halaman 23).
Dari keterangan ini menjadi jelas, aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
merupakan aqidah Islam sendiri yang diwarisi dari ulama, para sahabat,
dan Rasulullah saw. Demikian pula Abul Hasan Al-Asyari dan Abu
Manshur Al-Maturidi bukan merupakan orang yang membuat ajaran baru
dalam aqidah Islam, tapi justru dua ulama yang berjasa besar menjaga
aqidah Islam sesuai tantangan zamannya saat itu. Wallahu a'lam.

F. FIQH AHLUSSUNAH WAL JAMAAH


Hukum syariat islam bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah yang
mana keduanya turun beangsur-angsur berdasarkan kebutuhan
masyarakat ketika itu. Ketika Rasulullah masih hidup jika ada
permasalahan agama bisa langsung diselesaikan dihadapan Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, banyak terdapat permasalahan yang belum
dijelaskan secara tegas dalam al-Quran dan al-Sunnah, untuk
memecahkan persoalan tersebut perlulah dilakukan ijtihad
untuk istimbath hukum. Orang yang mampu berijtihad biasa
disebut mujtahid, seorang yang mampu berijtihad secara mandiri dan
mampu mempolakan pemahaman (manhaji) tersendiriterhadap sumber
pokok islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah disebut mujtahid muthlaq
mustaqil. Pola pemahaman ajaran islam dengan melalui ijtihad para
mujtahid lazim disebut madzhab.pola pemahaman dengan metode,
prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak
mampu melaksanakan ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan
syarat-syarat yang dimiliki. Orang yang mengikuti hasil ijtihad para
mujtahid muthlaq disebut bermadzhab atau taqlid. Dengan sistem
bermadzhab ini ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan
dan diamalkan dengan mudah oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam bidang fiqih dan amaliyah faham Aswaja mengikutipola
bermadzhab dengan mengikuti salah satu madzhab fiqih yang di
deklarasikan oleh para ulama’ yang mencapai tingkatan mujtahid

19
mutlaq. Beberapa madzhab fiqih yang pernah eksis dan diikuti oleh
kaum muslim Aswaja ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali,
Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ibn Jarir, Dawud al-Zahiri, al-Laits
bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain. Akan tetapi seiring
perkembangan zaman, dari sekian banyak madzhab fiqih hanya empat
yang tetap eksis digunakan oleh aliran Aswaja, yaitu madzhab Imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Alasan kenapa empat madzhab ini
yang tetap dipilih oleh Aswaja yaitu: Kualitas pribadi dan keilmuan
mereka sudah masyhur.
Keempat Imam Madzhab tersebut merupakan Mujtahid Muthlaq
Mustaqil, yaitu Imam mujtahid yang mampu secara mandiri
menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan
proses istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan.
Para Imam tersebut mempunyai murid yang secara konsisten mengajar
dan mengembangkan madzhabnya yang didukung dengan buku induk
yang masih terjamin keasliana.
Keempat Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan
intelektual diantara mereka.

Berikut penjelasan singkat mengenai empat madzhab tersebut :


1.Hanafiyah
Madzhab Hanafi didirikan oleh al-Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin
Tsabit al-Kufi.  Beliau lahir pada tahun 80 H, dan wafat pada 150 H di
Baghdad. Abu Hanifah berdarah Persia. Imam Hanifah digelari al-Imam
al-A’zham (Imam Agung), Beliau menjadi tokoh panutan di Iraq.
Menganut aliran ahl al-ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya.
Diantara manhaj istinbathnya yang terkenal adalah Istihsan. Fiqih Abu
hanifah yang menjadi rujukan Madzhab Hanafiyah ditulis oleh dua orang
murid utamanya, yitu Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin
Hasan al-Syaibani. Pada mulanya madzhab ini diikuti oleh kaum muslim
yang tinggal di Irak, daerah tempat kelahiran Imam Abu Hnifah. Setelah
muridnya, Abu Yusuf menjabat sebagai hakim agung pada masa Daulah

20
Abasiyyah, madzhab Hanafi menjadi populer di negara-negara Persia,
Mesir, Syam, dan Maroko. Dewasa ini, madzhab Hanafi diikuti oleh kaum
Muslim di negara-negara Asia Tengah, yang dalam refrensi klasik
dikenal dengan negri sebrang Sungai Jihun (Sungai Amu Daria dan Sir
Daria), negara Pakistan, Afganistan, India, Banglades, Turki, Albania,
Bosnia dan lain-lain. Dalam bidang teologi mayoritas pengikut madzhab
Hanafi mengikuti madzhab al-Maturidi.

2.Malikiyah
Madzhab maliki dinisbatkan kepada pendirinya, yaitu al-Imam Malik bin
al-Ashbahi. Beliau lahir pada tahun 93 H, dan wafat pada 173 H di
madinah. Imam Malik dikenal sebagai “Imam Dar al-Hijrah”. Imam Malik
adalah seorang ahli hadits sangat terkenal, sehingga kitab
monumentalnya yang berjudul al-Muwatha’ dinilai sebagai kitab hadits
hukum yang paling shahih sebelum adanya kitab Shahih Bukhari dan
Muslim. Imam Malik juga mempunyai manhaj istinbath yang
berpengaruh sampai sekarang, Kitabnya berjudul al-Mahlahah al-
Mursalah dan ‘Amal al-Ahl al-Madinah. Madzhab ini diikuti mayoritas
kaum Muslim di negara-negara Afrika seperti Libia, Tunisia, Maroko,
Aljazair, Sudan, Mesir dan lain-lain. Dalam bidang teologi seluruh
Madzhab Maliki mengikuti faham al-Asyari, tanpa terkecuali.
Berdasarkan penelitian al-Imam Tajuddin al-Subki.
3.Syafi’iyah
Madzhab ini didirikan oleh al-Imam Abu ‘Abdillah muhammad bin Idris
al-Syafi’i. Lahir pada 150 H di Gaza, dan wafat pada tahun 204 H di
Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang
memadukan antara Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra’yi. Karena cukup lama
menjadi murid Imam Maliki dan Imam Muhammad bin Hasan (Murid
besar Imam hanafi) di Baghdad. Metodologi istinbathnya ditulis menjadi
buku pertama dalam bidang Ushul al-Fiqh yang berjudul al-
Risalah. Pendapat Imam Syafi’i ada dua macam, yang disampaikan

21
selama di Baghdad disebut al-Qoul al-Qadim (pendapat lama), dan yang
disampaikan di mesir disebut al-qaul al-Jadid (pendapat baru). Madzhab
Syafi’i diakui sebagai madzhab fiqih terbesar jumlah pengikutnya
diseluruh dunia, yang diikuti oleh mayoritas kaum muslim Asia
Tenggara, seperti Indonesia, India bagian selatan seperti daerah Kirala
dan Kalkutta, mayoritas negara syam seperti Siria, Yordania, Lebanon,
Palestina, sebagian besar penduduk Yaman, mayoritas penduduk
Kurdistan, kaum Sunni Iran, mayoritas penduduk mesir dan lain-lain.
Dalam bidang teologi mayoritas pengikut madzhab Syafi’i mengikuti al-
Asyari, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Imam Tajuddin al-Subki.
4.Hambali
Imam Ahmad ibn Hambal, biasa disebut Imam Hambali, lahir pada tahun
164 H, di Baghdad. Imam Hambali terkenal sebagai tokoh Ahl al-
Hadits. Beliau merupakan murid Imam Syafi’i selama di Baghdad, dan
sangat menghormati Imam Syafi’i. Imam Hambali mewariskan sebuah
kitab hadist yang terkait dengan hukum Islam berjudul Musnad
Ahmad. Madzhab ini paling sedikit pengikutnya, karena tersebarnya
madzhab ini berjalan setelah madzhab-madzhab lain tersosialisasi dan
mengakar di tengah masyarakat. Madzhab ini diikuti oleh mayoritas
penduduk Najd dan sebagian kecil penduduk Mesir dan Syam. Dalam
bidang teologi mayoritas ulama’ Hambali mengikuti aliran al-Asyari.

G. TASAWUF AHLUSSUNAH WAL JAMAAH


Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip untuk dijadikan
pedoman bagi kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan fiqih,
dimana Aswaja mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga
demikian adanya.
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk beribadah, tetapi bukan
berarti meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat memang wajib
diutamakan ketimbang kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga
tidak boleh disepelekan. Dalam emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti
seimbang dan proporsional.

22
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah mencapai derajat
Makrifat namun meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia bukan
termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan
kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang bertasawuf tanpa
mempelajari fikih telah merusak imannya, sedangkan orang yang
memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya
sendiri. Hanya orang yang memadukan keduanyalah yang akan
menemukan kebenaran.”
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu memahami dan menghayati
pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad
selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para
sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’insampai
pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan
(suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat
dari kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-
zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari
perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka.  Kehidupan sosial,
yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan sesama
manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia
dengan manusia lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para
pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah
syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima
jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti
praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq”
atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti).
Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang
moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah

23
sebagaimana sudah dicontohkan al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, juga
Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
1. Abdl Qadir al-Jailani
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil (disebut juga Jailan dan
Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul Khair Fatimah bint al-
Syekh Abdullah Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw., melalui
cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya berkata, “Anakku, Abdul
Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku
itu tak pernah mau diberi makan.”
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi meninggalkan kota kelahirannya
menuju Baghdad. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa
orang ulama, antara lain Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al
Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu pada
ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan
juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Selanjutnya, pada
tahun 521 H/1127 M, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan
menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat. Tidak butuh
waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun,
beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir
Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pendiri Tarekat Qodiriyah,
sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tarekat ini terus
berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan
Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat tersebut, namun
pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman,
Turki, Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim al-Junaid bin Muhammad bin
al-Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi al-Baghdadi. Beliau
dilahirkan di kota Baghdad tanpa diketahui secara pasti tahun
kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang pecah belah, sementar
Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi

24
(w.235 H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi
gurunya. Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua puluh tahun bela
telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua kalangan menerima madzhab
yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai penyandang gelar
“Syekh al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan Pemimpin
kaum sufi).
Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip Dr. K.H Saefuddin
Chalim, mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang
mengantarkan al-Junaid menjadi satu-satunya figur yang berhak
menyandang gelar tersebut sehingga diakui sebagai acuan dan standar
dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.
Konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah. Penguasaan al-Junaid
terhadap al-Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif terhadapnya
dalam membangun madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan
shahih. Beribadah tanpa adanya pengetahuan yang memadai dianggap
bisa membawa seseorang ke dalam kesesatan. Oleh karenanya, al-
Junaid begitu mengedepankan ilmu agama sebagai pegangan kaum sufi
dalam menempuh jalan suluk.
konsistensi terhadap syari’ah. Para ulama mengakui bahwa belum
pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid dalam bidang
tasawuf yang bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang jika
seorang sufi keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup
baginya.
Kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun madzhabnya di atas
fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal Jama’ah.
Ajaran tasawuf yang moderat. Ajaran tasawuf yang moderat merupakan
ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Junaid memandang bahwa
orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi melakukan ibadah
saja, sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan
kemanfaatan kepada manusia. Pandangan tasawuf yang demikian
mematahkan tasawuf ekstrem yang beranggapan bahwa jika seseorang
sudah sampai pada derajat makrifatatau wali, maka pengamalan
terhadap ajaran-ajaran agama tidak diperlukan lagi baginya.
25
3. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di kota
Thus (daerah Khurasan) tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-
Ghazali karena berasal dari desa Ghazalah, atau ada yang menganggap
bahwa sebutan al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja sebagai
pemintal tenun wol. Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi
dengan belajar ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain dan dari
satu guru ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad bin Muhammad
al-Radzikani al-Thusi, Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj,
Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdllah al-Juwaini yang merupakan
ulama terkemuka Madzhab Syafi’i.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi mengembangkan tasawuf kepada
dasar aslinya seperti yang diamalkan oleh para sahabat Rasulullah Saw.
Ia telah menulis puluhan kitab, dan yang paling terkenal adalah Ihya
Ulumiddin (Menghidupkan kembali ajaran Islam). Melalui kitab tersebut
al-Ghazali memberikan pegangan dan pedoman perkembangan tasawuf
Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam mengembangkan paham
positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dan Junaid al-
Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang
selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran
kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah
ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara
individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan
pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat
dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan
ketertundukan.

26
 BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

27
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
28
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

29
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
30
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

31
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
32
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

33
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
34
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

35
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
36
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

37
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
38
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

39
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
40
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

41
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
42
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

43
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
44
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

45
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
46
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

47
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
48
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

49
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
50
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

51
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
52
sahabatnya.
BAB III
KESIMPULAN
1. Nahdlatul Ulama sebagai
Jamiyyah Diniyyah
Islamiyyah berakidah Islam
menurut faham Ahlussunnah
wal Jama ’ah.
2. Faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem
nilai yang mendasari
semua prilaku dan keputusan
yang berlaku di NU. Oleh
karena itu, paham

53
ahlussunah waljama’ah
(aswaja) tidak hanya
dijadikan landasan dalam
kehidupan keagamaan NU,
namun merupakan landasan
moral dalam
kehidupan sosial politik.
3. Antara Aswaja dengan NU
adalah satu-kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan.
4. Pada hakikatnya,Ahlus
sunnah wal Jama’ah, adalah
ajaran Islam yangmurni
sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah
SAW. Bersama para
54
sahabatnya
Bab II
Penutup

1. Kesimpulan
 

Kosep Aswaja ada 4 yaitu, Tawassuth (mengambil jalan tengah), Tasamuh


(toleran),Tawazun (Keseimbangan), dan Amar Maruf Nahi Mungkar.
Aqidah, fiqih, dan Aklak merupakan pokok ajaran Aswaja..
Walisongo merupakan salah satu tokoh penyebar Aswaja..

55
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/penjelasan-aqidah-islam-aqidah-
ahlussunnah-wal-jamaah-zKKq3
https://www.google.com/search?
q=fiqh+aswaja&rlz=1C1CHWL_enID1040ID1040&oq=FIQH+AS&aqs=chr
ome.1.69i57j0i512l2j46i512j46i10i512j0i10i512l5.5820j0j15&sourceid=c
hrome&ie=UTF-8
https://www.google.com/search?
q=aqidah+aswaja&rlz=1C1CHWL_enID1040ID1040&ei=FoIAZKK8N7yV3
LUPzMCe0AY&oq=AQIDAH+ASWAJA&gs_lcp=Cgxnd3Mtd2l6LXNlcnAQ
ARgAMgUIABCABDIFCAAQgAQyBQgAEIAEMgUIABCABDIFCAAQgAQyB
ggAEBYQHjIGCAAQFhAeMgYIABAWEB4yBggAEBYQHjIGCAAQFhAeOhY
IABDqAhC0AhCKAxC3AxDUAxDlAhgBOg0IABCPARDqAhC0A
google.com/search?
q=sejarah+aswaja&rlz=1C1CHWL_enID1040ID1040&ei=OoIAZKnnNPSe
mgfM5rjQDw&oq=SEJARAH+ASWAJA&gs_lcp=Cgxnd3Mtd2l6LXNlcnAQ
ARgAMgQI

56

Anda mungkin juga menyukai