Disusun oleh:
2020/2021
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan kita dan senantiasa
meridhai amal ibadah kita. Atas izin dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu tanpa ada kurang suatu apapun. Tak lupa
kesejahteraan dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW.
Kami selaku penyusun makalah ini menantikan kritik dan saran yang
membangun dari setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kontradiksi Perekaman Hadis Masa Nabi dan Sahabat?
2. Bagaimana proses pengkodifikasian Hadis pada masa Nabi dan
sahabat?
3. Bagaimana Proses Penulisan Hadis pada Masa Tabi’in?
4. Bagaimana Penulisan Hadis pada Masa Tabi’in al-Tabi’in?
5. Bagaimana Proses Kodifikasi Hadis Secara Resmi ( Umar Ibn Abdul
Aziz)?
C. Tujuan
1. Mengetahui proses Kontradiksi Perekaman Hadis Masa Nabi dan
Sahabat
2. Mengetahui proses pengkodifikasian Hadis pada masa Nabi dan
sahabat
3. Mengetahui Proses Penulisan Hadis pada Masa Tabi’in?\
4. Mengetahui Proses Penulisan Hadis pada Masa Tabi’in al-Tabi’in
5. Mengetahui Proses Kodifikasi Hadis Secara Resmi ( Umar Ibn Abdul
Aziz)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kontradiksi Perekaman Hadis Masa Nabi dan Sahabat
2) Abu Said al-Khudri berkata: ”Kita telah berusaha minta ijin menulis
(hadis) pada Nabi saw, tapi Nabi saw menolaknya. Dalam riwayat lain
beliau berkata; kita telah minta ijin pada Nabi saw. tentang penulisan hadis
dan Nabi tidak memberikan ijin pada kita” (HR. Muslim)
3) Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah beliau berkata, 3) “Kita telah
keluar bersama Rasulullah dan kita menulis hadis-hadisnya. Rasulullah
bertanya, ”Apa yang telah kalian tulis?” Kita menjawab, “Hadis-hadis
yang telah kami dengar darimu ya Rasulallah”. Rasulullah bertanya lagi
“kitab selain kitab Allah?” tidakkah kalian tahu, ummat-ummat sebelum
kalian tidaklah telah sesat kecuali karena telah menulis kitab-kitab
bersama kitab Allah”.
Disisi lain disana terdapat beberapa dalil yang menjadi argumen bagi
pembolehan penululisan hadis diantarannya adalah:
1) Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin al-As r.a. “aku telah
mencatat segala sesuatu yang telah aku dengar dari Rasulullah saw, karena
hendak menghafalnya. Mengetahui hal itu kaum Quraisy melarangku
seraya berkata; apakah kamu menulis segala sesuatu dari Rasulullah,
sementara Rasulullah manusia biasa yang bertutur baik saat marah dan
ridlo. Kemudian aku menghentikan aktifitas penulisan tersebut, dan
menyampaikan hal tersebut ke Rasulullah, maka Rasulullah mengangguk
dan mengarahkan jarinya pada mulutnya dan berkata; “tulislah demi z\at
yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya tidak ada sesuatu yang keluar dari
(mulutku) kecuali ia merupakan kebenaran”.
2) Abu Hurairah ra berkata, “Tiada seorangpun dari para sahabat Nabi saw
yang lebih banyak hadisnya kecuali dari Abdullah bin Amr, dia mencatat
dan aku tidak”.
3) Hadis riwayat Anas bin Malik beliau berkata; Rasulullah pernah barsabda;
“ikatlah ilmu dengan tulisan”.
Dari versi dua hadis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak
mungkin munculnya kedua versi tersebut dalam satu waktu dan serentak. Dalam
hal ini bahwa kemungkinan munculnya hadis pelarangan pencatatan lebih dahulu
dari pada pembolehan pencatatan. Diperbolehkannya pencatatan hadis itu sendiri
setelah hilangnya sebab-sebab yang berimplikasi pada pelarangan. Para sahabat
pada mulanya selalu bersegera mencatat apa saja yang terjadi dan yang
diajarkan oleh rasulullah dan hal itu diperbolehkannya. Kondisi ini sudah terbiasa
apalagi pada zaman sebelum Islam saja kebiasaan tulis menulis telah ada apalagi
setelah datangnya Islam yang sebagian inti dari ajarannya menyuruh orang
belajar. Larangan penulisan hadis dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa hadis
akan bercampur dengan al-Qur’an yang masih berada dalam tahap proses
penurunan dan akan menyulitkan para sahabat untuk membedakan antara
keduanya. Sedangkan kemampuan dan daya ingat para sahabat berbeda-beda ada
yang kuat, ada yang lemah dan ada kuat sekali. Untuk menghindari kerancuan
dalam proyek penulisan al-Qur’an maka hadis-hadis pertama yang muncul adalah
pelarangan penulisan. Pelarangan ini kalau dicermati sifatnya umum bagi para
sahabat, dan khusus bagi yang mampu menulis dengan baik dan tidak khawatir
terjadi kesalahan yang fatal dalam membedakan antara al-Qur’an dan hadis maka
diperbolehkan menulis keduanya.
Ada juga pendapat yang mengatakan adanya nasakh dan mansukh dalam
kedua versi hadis tersebut. Hadis-hadis yang tentang pelarangan di nasakh oleh
hadis-hadis tentang pembolehan pencatatan. Dalam artian bahwa pelarangan
kodifikasi hadis sebenarnya hanya pada masa pertama-tama Islam, karena
ditakutkan bercampurnya antara al-hadis dan Al-Qur’an. Tetapi, ketika kuantitas
kaum muslimin sudah mulai signifikan dan mereka sudah banyak yang
mendalami isi kandungan Al-Qur’an serta dapat membedakan antara kandungan
al-hadis dan Al-Qur’an (dengan sendirinya ketakutan mereka akan bercampur
aduk antara keduanya hilang), maka dinasakh lah hukum pelarangan tersebut
dan hukum tersebut menjadi boleh.
Sebagian sahabat atas nama pribadi dan secara diam-diam mecatat hadis-
hadis tersebut bahkan menghafalnya. Maka bermuncullah teks-teks (sahaif)
nama-nama dari pengumpulnya. Diantara sahabat yang mencatat naskah atau teks
hadis adalah Abdullah bin Amr bin Al-As yang Sahifahnya dinamakan “al-
sadiqah” dinamakan tersebut karena Abdullah bin Amr bin al-As mendapatkan
hadis yang ia catat langsung dari Nabi saw setelah diberi lisensi penulisan. Beliau
bersabda:“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada
ditanganNya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” Sahifah inilah salah
satu Sahifah yang ditulis pada masa Nabi. Maka sahifah al-Sadiqah inilah salah
satu catatan hadis yang telah ada pada zaman rasulullah.
Pada masa sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-
Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih ada
pembatasan dalam periwayatan. Oleh karena itu para ulama menganggap masa ini
sebagainmasa pembatasan periwayatan.
Sikap Abu Bakar yang sangat berhati hati dalam periwayatan hadis
mengakibatkan hadis yang diriwayatkan pun relative sedikit. padahal Abu Bakar
adalah sahabat yang telah lama bergaul dan sangat akrab dengan Nabi, mulai dari
masa sebelum Nabi hijrah sampai Nabi wafat. Selain faktor kehati-hatian, faktor
lain yang menyebabkan Abu Bakar hanya meriwayatkan hadis sedikit adalah,
pertama, Abu Bakar selalu sibuk ketika menjabat sebagai khalifah. Kedua,
kebutuhan hadis tidak sebanyak pada masa sesudahnya. Ketiga, jarak waktu
antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat
Pada masa khalifah Ali sama dengan masa sebelumnya, yaitu adanya sikap
kehatihatian dari para khalifah dalam periwayatanhadis. Namun situasi umat
Islam yang dihadapi Ali telah berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Ali,
pertentangan politik semakin menajam dikalangan umat muslim, yaitu terjadinya
peperangan antara kelompok pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Dan
kejadian tersebut yang akhirnya membawa dampak negatif dalam bidang
periwayatan hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu
untuk melakukan pemalsuan hadis. Itulah yang menjadikan periwayat hadis tidak
dapat dipercaya riwayatnya secara keseluruhan.
Tabi’in adalah orang yang pernah berjumpa dengan sahabat Nabi dan dalam
keadaan beriman, serta meninggal dalam keadaan beriman juga. masa ini dikenal
sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis. Ini merupakan sebuah kemudahan
bagi para Tabi’in untuk mempelajari hadis. Metode yang dilakukan para
Tabi’in dalam mengkoleksi dan mencacat hadis adalah melalui pertemuan-
pertemuan (al-talaqqi) dengan para sahabat selanjutnya mereka mencatat apa
yang didapat dari pertemuan tersebut. Seperti yang dilakukan Said bin al-Jabir
yang mencatat hadis-hadis dari talaqqinya bersama Ibn Abbas, Abdurrahman bin
Harmalah hasil dari talaqqinya Said bin al-Musayyab, Hammam bin al-Munabbih
hasil talaqqi dengan Abu Hurairah dan lain-lain. Selain itu Para Tabi’in menerima
hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai bentuk, jika disebutkan ada yang dalam
bentuk catatan atau tulisan dan ada juga yang harus dihafal, di samping itu dalam
bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat, lalu
Tabi’in menyaksikan dan mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada satu hadis
pun yang tercecer apalagi terlupakan. Perihal menulis hadis, disamping
melakukan hafalan secara teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadishadis
yang telah diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau
surat-surat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai gurunya.
Masa tabi’i al-tabi’in dimulai dengan berakhirnya masa tabi’in, tabi’in terakhir
adalah tabi’in yang bertemu dengan sahabat yang meninggal paling akhir. Cara
periwayatan hadis pada masa tabi’i al-tabi’in adalah bi lafdzi, yaitu dengan lafadz.
Karena kodifikasi hadis mulai dilakukan di akhir masa tabi’in. Kodifikasi pada
masa ini telah menggunakan metode yang sistematis, yaitu dengan
mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan, walaupun
dalam penyusunannya masih bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat
dan tabi’in. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik.
Barulah pada awal abad kedua hijriah, dalamkodifikasinya, hadis telah dipisahkan
dari qaul sahabat dan tabi’in
Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga sistem penerimaan dan periwayatan hadis
dengan sistem isnad. Maraknya pemalsuan hadis yang terjadi di akhir masa tabi’in
yang terus berlanjut sampai masa sesudahnya menjadikan para ulama untuk
meneliti keontetikan hadis, cara yang ditempuh para ulama yaitu dengan meneliti
perawi perawinya. Dari penelitian tersebut memunculkan istilah isnad
sebagaimana yang dikenal hingga saat ini. Menurut Abu Zahrah, sanad yang
disampaikan pada masa tabi’in sering menyampaikan sebuah hadis dengan tanpa
menyebut sahabat yang meriwayatkannya.
Kodifikasi hadits selanjutnya digagas oleh Khalifah Umar ibn Abdul ‘Aziz,
seorang khalifah dari Dinasti Umayyah yang memimpin di penghujung abad
pertama Hijriyyah. Dikatakan resmi karena dalam kegiatan penghimpunan hadis
tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara, dan dikatakan massal karena
perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli
hadis pada zamannya. Beliau merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah
bagi penghimpunan hadits Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam
catatan dan hafalan para sahabat dan Tabi’in. hal tersebut dirasa mendesak karena
pada saat itu wilayah islam meluas sampai ke daerah-daerah luar jazirah Arab, di
samping para sahabat sendiri, yang hafalan dan catatan-catatan pribadi mereka
mengenai hadits Nabi merupakan sumber rujukan bagi ahli hadits ketika itu,
sebagian besar telah meninggal dunia karena faktor usia dan akibat banyaknya
peperangan yang terjadi. Dan pada masa itu, yaitu awal pemerintahan ‘Umar ibn
Abdul ‘Aziz, hadits masih belum dibukukan.
Kitab hadis yang ditulis Ibn Hazm merupakan kitab hadis pertama, ditulis
berdasarkan perintah kepala negara, namun kitab tersebut tidak mencakup secara
keseluruhan peredaran hadis yang ada di Madinah. Adapun yang membukukan
hadis yang ada di Madinah secara keseluruhan adalah Muhammad ibn Muslim ibn
Shihab al-Zuhri, seorang ulama terkenal di masanya. Setelah generasi Shihab al-
Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm berakhir, muncul generasi selanjutnya yang
kemudian melanjutkan upaya pembukuan. Para ulama yang melanjutkan kegiatan
pembukuan antara lain, di Mekah muncul Abu Muhammad Abd al-Malik ibn Abd
al-Aziz ibn Zuraij al-Bisyri (150 H), di Madinah muncul Muhammad ibn Ishaq
(151 H) dan Malik ibn Annas, di Basrah muncul Said ibn Abi Arabah (156 H),
Rabi’ ibn Shabi’ (160 H), dan Hammad ibn Salamah (167 H), di Kuffah muncul
sofyan al-Sauri (161 H), di Syam muncul Abu Umar al-Auza’i (157 H), di Yaman
muncul Hasyim (173 H) dan Ma’mar ibn Asyid (153 H), di Khurasan muncul
Jarir ibn Abdul Hamid (188 H) dan Ibn al-Mubarak (181 H), di Wasit muncul
Hasyim ibn Basyir (104-173 H), di Ray muncul Jarir ibn Abd al-Hamid (110-188
H), dan di Mesir muncul Abdullah ibn Wahhab (125-197 H).
Nama-nama tersebut adalah ahli hadis yang membukukan hadis pada abad
ke dua hijriah, kemudian mereka mengembangkan pengajaran hadis di kota-kota
dimana mereka berdiam diri, dan tempat itulah yang kemudian menjadi pusat-
pusat pengembangan kajian hadis. Pembukuan hadis terus berlanjut hingga akhir
pemerintahan Bani Umayyah, namun keadaan semakin sempurna ketika Bani
Abbas datang sekitar pertengahan abad ke dua. Dengan munculnya kembali Imam
Malik dengan nya al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan Musnad nya, dan Asar
Imam Muhammad ibn Hasan al-Syabani dengan gerakan penyusunan hadis secara
lengkap, mulai dari hadis Nabi sampai dengan perkataan sahabat dan fatwa
tabi’in.
Dengan usaha para ulama besar abad ke tiga, tersusunlah tiga macam kitab
hadis, yaitu: kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Sunan serta kitab-kitab Musnad.
Sedangkan abad IV-VI merupakan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan,
dan penghimpunan (ashr al-tahdzib wa altartib wa al-istidrak wa al-jam’u).
Dengan karakteristik penulisan hadis berbentuk Mu’jam (Ensiklopedi), Shahih
(himpunan Shahih saja), mustadrak (susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan
antara dua atau beberapa kitab hadis), ikhtishar (resume), istikhraj dan syarah
(ulasan). Pada masa berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya disebut
dengan masa penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (al-Jam’u
wa at-Tanzhim). Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa Tartar pada
tahun 656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke Cairo, Mesir dan
India. Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam
bidang ilmu hadis, seperti al-Barquq. Di samping itu ada juga usaha dari ulama
India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di antaranya Ulumul Hadis
karangan al-Hakim. Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian
hadis sampai abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan
tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya
membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah
terhimpun sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut.
Pertama, sebab-sebab dilarangnya penulisan hadis bukanlah karena disebabkan
ketidaktahuan orang Islam dalam aktivitas tulis menulis pada waktu itu bahkan
mereka telah mengenal tulis menulis sejak dari awal masuknya Islam bahkan
sebelum Islam. Kedua, faktor yang dominan dilarangnya penulisan hadis adalah
ditakutkan bercampurnya antara Al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu
pula agar proyek penulisan Al-Qur’an tidak terganggu oleh penulisan al-hadis.
Ketiga, tidak adanya kontradiksi antara hadis-hadis tentang pelarangan dan
perbolehan penulisan hadis, sebab hadis-hadis tentang pelarangan muncul terlebih
dahulu dan sekirannya sebab-sebab pelarangan sirna muncullah hadis tentang
perbolehan penulisan. Keempat, aktivitas penulisan hadis pada zaman Rasulullah
telah ada dengan dibuktikan adanya catatan-catatan hadis pada sebagian sahabat
yang dikenal dengan ‘as-Sahifah’, akan tetapi aktifitas ini hanya bersifat
individual dan dalam skala kecil, sedangkan aktifitas penulisan dan
pengumpulan hadis dalam skala besar dimulai dari masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz.
http://dyahpuspitasari04.blogspot.com/2016/12/makalah-kasi-hadits.html diakses
pada tanggal 20 Maret 2021 pukul 23:33 wib
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Diroyah/article/download/4680/pdf diakses
pada tanggal 20 Maret 2021 pukul 23:39 wib