Anda di halaman 1dari 20

Tugas Makalah Studi Islam Multidisipliner

MAKALAH

STUDI ISLAM DAN PENDEKATAN POSTMODERNISME

Dosen Pengampu

Dr. Erawadi, M.Ag


NIP. 19720326 199803 1002

Ditulis Oleh:

WIRDATUL FUADI
NIM. 205 01 00038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah modern sudah sering kita dengar dan tidak asing lagi, bahkan kita selalu
mengatakan bahwa kita sedang berada di zaman modern, yaitu zaman dimana tingkat
kemajuan itu sudah pada puncaknya. Namun anggapan ini akan berhenti jika
dihadapkan dengan istilah postmodern. Meskipun postmodern ini belum ditemukan
maknanya dengan jelas, sebab orang-orang selau membincangkannya. Ada banyak
para ahli yang selalu membicarakan mengenai postmodern ini.
Tahun 1960 an, bangkitlah suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa
cemas yang dihadapi terhadap janji gerakan modern yang tidak pernah pasti. Gerakan
ini dinamakan dengan postmodernisme. Gerakan ini secara nyata menunjukkan
kepanikan terhadap modernism dengan aksi nyata yaitu di St. Louis, Amerika Serikat
tahun 1972, sederetan bangunan tingkat empat belas dirobohkan. Arsitektur gaya
modern ini sunyi visi, arti, kemanusiaan dan kekayan historis pada masa lampau.
Begitulah kisah seorang arsitektur postmodern Robert Venturi dalam bukunya
Complexity and Cotradiction in Architecthure.
Pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan telah melampaui kebutuhan
manusia. Begitulah kegelisahan yang tak beralasan yang ditumbuhkan oleh kalangan
postmodern. Ketakutan pertumbuhan yang sangat cepat, didukung pula dengan
globalisasi, kapitalisasi, transisi dari masyarakat industrial kepada masyarakat
transformatif mendudukkan ke khawatiran pertumbuhan itu melupakan
kemanfaatannya terhadap manusia yang menciptakannya. Padahal seharusnya proyek
modernitas mampu membebaskan manusia dari ketidak berdayaannya menjadi
kemampuan biasa menghadapi hidup.
Sama halnya dengan postmodernisme yang muncul diakibatkan karena
kegagalan Modernisme dalam mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme,
paham modernisme selama ini telah gagal dalam menepati janjinya untuk membawa
kehidupan manusia menjadi lebih baik dan tidak adanya kekerasan. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi masa modernisme membawa kehancuran bagi
manusia, peperangan terjadi dimana-mana yang hal ini mengakibatkan manusia hidup
dalam menderita. Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu
pengetahuan harus mutlak serta objektif, tidak adanya nilai dari manusia. Di sinilah

2
muncul suatu paham postmodernisme yang merupakan kelanjutan, keterputusan, dan
koreksi dari modernisme untuk memberikan suatu pemikiran baru dan solusi dalam
menjalani kehidupan yang semakin kompleks ini. Bagi postmodernisme ilmu
pengetahuan tidaklah objektif tetapi subjektif dan interpretasi dari manusia itu sendiri,
sehingga kebenarannya adalah relatif.
Dalam penulisan ini penulis akan membahas secara fokus dan rinci terhadap
Studi Islam dan Postmodernisme. Meliputi pengertian modern dan postmodern, para
kritikus postmodern dan pendekatannya,agama dalam kritik postmodern, penulis dan
karya utama tentang Islam dan postmodernis, problem dan propek postmodernisme
dalam studi Islam, Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Postmodernisme dalam
Studi Islam, serta Relevansi Postmodernisme terhadap Ilmu Pengetahuan dan Masa
Kini.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Modern dan Postmodern
1. Pengertian Modern
Modern berasal dari bahasa Latin yaitu Modernus, yang diambil dari asal kata
mado artinya baru saja dan sekarang ini. Secara etimologis dalam kamus
Webter’s, kata “modern” diberi arti:
a. Sebuah proses yang berlangsung beberapa saat lalu hingga saat ini.
b. Memproduksi atau menghasilkan teknik, metode atau ide.
c. Sesuatu yang biasa terjadi atau dapat dikatakan dengan lumrah terjadi.
d. Karakteristik periode masa kini yang selalu berkembang dan dikontraskan
dengan masa lalunya.
e. Suatu pergerakan atau gaya dalam bidang seni yang ditandai dengan
penghancuran nilai-nilai tradisonal.1
Jean Francois Lyotard adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah
postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan pada tahun 1970 dan
terdapat dalam bukunya dengan judul The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge. Jean mengartikan postmodernisme itu sebagai segala kritik atas
pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas
modernisme. Sedangkan menurut Emanuel, postmodernisme adalah seluruh
usaha yang dimaksudkan untuk merevisi kembali paradigma modern. Menurut
Ghazali dan Effendi, postmodernisme bermaksud untuk mengoreksi modernism
yang tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya.2
Postmodernisme adalah sebuah pandangan, kerangka pemikiran, atau aliran
filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara berpikir yang muncul di abad dua
puluh dari para pemikir dunia yang tentu saja keberadaannya sangat
mempengaruhi perkembangan dan kebudayaan manusia. Penerapan
postmodernisme pun telah dilakukan dalam berbagai bidang, seperti: seni,
arsitektur, musik, film, dan teater. Kehadiran aliran ini memiliki tujuan untuk
menjawab dan mengkritisi pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya

1
Faisar Ananda Arfa, Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015), hlm. 222.
2
Johan Setiawan dan Ajat Sudrajat “Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu
Pengetahuan”, Jurnal Filsafat, Vol. 28 No. 1, 2018, hlm. 28.

4
dalam hal mencari solusi atas beragam permasalahan yang dihadapi manusia hari
ini serta krisis sosial dan kultural yang tak kunjung usai.3
Jadi dapat disimpulkan bahwa postmodernisme adalah suatu ide baru yang
menolak atau pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran
masa sebelumnya yaitu paham modernism yang dianggap telah gagal dan
bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia. Postmodernisme
merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju ide yang
baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

2. Pengertian Postmodernisme
Secara etimologi, postmodern itu terdiri dari dua kata, yaitu “post” dan
“modern”. Kedua kata ini berasal dari bahasa Inggris yaitu “post” artinya sesudah.
Jadi postmodern artinya masa susudah zaman modern atau pasca modern. Maka
paham ini sering di dengar dengan istilah pasca modernism atau postmodernisme.
Sedangkan secara terminologi menurut pendapat Donny Gahral Adian
postmodern adalah wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme.
Sedangkan menurut Giddens, jika postmodern itu benar adanya, maka sebaiknya
diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, dan arsitektur.
Sedangkan postmodernitas diartikan sebagai tatanan sosial baru yang berbeda.4
Di dalam pengertian luas, Aronowitz & Giroux mendefinisikan
postmodernisme sebagai suatu (a) posisi intelektual atau satu bentuk kritik
budaya, sekaligus juga mengandung arti (b) kemunculan serangkaian kondisi
sosial, budaya dan ekonomi tertentu untuk mencirikan abad kapitalisme dan
industrialisasi global. Sebagai ‘posisi intelektual atau kritik budaya,’
postmodernisme secara radikal mempertanyakan logika fondasi yang menjadi batu
pijakan epistimologi modernisme. Sebagai ‘kondisi sosial,’ postmodernisme
mengacu pada perubahan yang semakin radikal di dalam relasi produksi, hakikat
negara-bangsa, perkembangan teknologi baru yang mendefinisikan ulang bidang
komunikasi dan informasi dan mengacu pada perubahan kekuatan-kekuatan yang

3
Iromi Ilham “Paradigma Postmodernisme Solusi Untuk Kehidupan Sosial”, Jurnal Sosiologi USK,
Vol. 12 No. 1, Juni 2018, hlm. 4.
4
Faisar Ananda Arfa, Op. Cit., hlm. 224.

5
bekerja di dalam pertumbuhan globalisasi dan saling bergantungnya bidang
ekonomi, politik dan budaya.5
Ahmad Amir Aziz, mendefenisikan pengertian postmodernisme, yaitu:
a. Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern.
Post berarti sesudah dan modernism yang diartikan sebagai keadaan yang telah
mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan postmodernisme.
b. Postmodernisme dipandang sebagai gerakan inteletual yang mencoba
menggugat bahkan merekonstruksikan pemikiran sebelumnya yang
berkembang dalam berbagai paradigma pemikiran modern.6
Ciri khas postmodernisme adalah ketiadaan titik pusat yang mengontrol segala
sesuatu. Meskipun posmodern dalam masyarakat bermacam-macam bentuknya,
mereka sama-sama sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi
standar umum yang dapat digunakan untuk mengukur, menilai atau mengevaluasi
konsep-konsep dan gaya hidup tertentu. Tidak ada kekuasaan yang absah dan
berlaku untuk semua. Titik pusat sudah bergeser, masyarakat seperti kumpulan
barang- barang yang beraneka ragam. Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya
disatukan secara geografis.7

3. Ciri-Ciri Postmodernisme
Ada beberapa ciri-ciri postmodernisme, yaitu:
a. Terjadinya pemberontakan secara kritis terhadap modernitas, memudarnya
agama yang bersifat transenden kemudian semakin diterimanya pandangan
pluralisme dan relativisme kebenaran.
b. Meledaknya industri media massa, sehingga media massa dijadikan sebagai
perpanjangan sistem indra, organ dan syaraf kita, sehingga menjadikan dunia
menjadi terasa kecil. Lebih dari itu kekuatan media massa menjelma bagaikan
agama sekuler, artinya perilaku orang-orang bukan lagi ditentukan oleh agama
tradisional, tetapi lebih didasari pada telah diatur oleh media massa.
c. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Hal ini mucul diduga sebagai
reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran

5
Mukalam “Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam” Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 2 No. 2,
Desember 2013, hlm. 292.
6
Faisar Ananda Arfa,Op. Cit., hlm. 226.
7
Abdul Mukti Ro’uf “Postmodernisme: Dampak dan Penerapannya pada Studi Islam” Jurnal Studi
Keislaman. Vol. 19 No 1, Juli 2019, hlm.160.

6
sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk
membebaskan manusia, tetapi sebaliknya yang terjadi adalah sebuah
penindasan.
d. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan aspirasi serta
keterkaitan romantisisme masa lau.
e. Semakin menguatnya wilayah perkotaan atau urbanisasi sebagai kebudayaan,
dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran.
f. Semakin terbukanya peluang bagi kelas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas.
g. Bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme sering kali nampak
tidak jelas dalam hal makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut era
postmodernisme.8
Sedangkan Baudrillard menyatakan bahwa kebudayaan dari postmodernisme
itu adalah:
a. Kebudayaan postmodern merupakan kebudayaan uang, excremental culture.
Dimana uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat
postmodern. Fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah
sekedar sebagai alat tukar, namun lebih dari itu seperti dijadikan sebagai
simbol, tanda, dan motif utama.
b. Postmodern ditandai dengan hiper realitas, dimana citra dan fakta bertabrakan
dalam satu ruang kesadaran yang sama.
c. Postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya popular serta
budaya media massa.9

B. Para Kritikus Postmodern Dan Pendekatannya


Ada beberapa tokoh yang bisa disebut mewakili era Postmodernisme.
Pertama, Jean-Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf postmodernisme yang
paling terkenal sekaligus paling penting di antara filsuf-filsuf postmodernisme yang
lainnya. Dua karya yang menjadikannya terkenal baik di Perancis maupun diluar
negeri yaitu The Postmodernisme Condition dan The Differend. Karyanya itu juga

8
Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernism Jean
Boudlirald (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 33-35.
9
Harianto GP “Postmodernisme dan Konsep Kekristenan”, Jurnal Pelita Zaman,VOL. 1 No. 15, 2001,
hlm. 74-79.

7
baik sesuatu ataupun seseorang yang ditolak bersuara terhadap sistem ideologis yang
dominan yang menentukan sesuatu yang dapat diterima dan tidak dapat diterima.
Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari pandangan modernisme
yang sebagai narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan sebagainya kini
menurutnya mengalami permasalahan yang sama seperti abad pertengahan yang
memunculkan istilah religi, nasional kebangsaan, dan kepercayaan terhadap
keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat dipercaya atau kurang tepat
kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap sesuatu ilmu tidak harus langsung
diterima kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih dahulu. Bagi Lyotard,
ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa,
ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang
berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak
mau dibandingkan.
Kedua, Michel Foucault, adalah seorang tokoh postmodernisme yang menolak
keuniversalan pengetahuan. Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan yang ditolak
oleh Foucault yaitu:
1. Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental, atau universal, tetapi khas
untuk setiap waktu dan tempat.
2. Tidak ada pengetahuan yang mampu menangkap katakter objektif dunia, tetapi
pengetahuan itu selalu mengambil perspektif.
3. Pengetahuan tidak dilihat sebagai pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu
terikat dengan rezim-rezim penguasa.
Namun demikian, menurut Foucault, tidak ada perpisahan yang jelas, pasti,
dan final antara pemikiran pencerahan dan pasca-modern, atau antara modern dan
pasca-modern. Paradigma modern, kesadaran, dan objektivitas adalah dua unsur
membentuk rasional otonom, sedangkan bagi Foucault pengetahuan bersifat subjektif.
Ketiga, Jacques Derrida. Membahas filsuf yang satu ini tidak akan lepas dari
buah pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci
postmodernisme. Apa itu dekonstruksi? secara etimologis, dekonstruksi adalah berarti
mengurai, melepaskan, dan membuka.
Derrida menciptakan sebuah pemikiran dekonstruksi, yang merupakan salah
satu kunci pemikiran postmodernisme, yang mencoba memberikan sumbangan
mengenai teori-teori pengetahuan yang dinilai sangat kaku dan kebenarannya tidak
bisa dibantah, yang dalam hal ini pemikiran modernisme. Derrida mencoba untuk
8
meneliti kebenaran terhadap suatu teori pengetahuan yang baginya bisa dibantah
kebenarannya yang dalam arti bisa membuat teori baru asalkan hal tersebut dapat
terbukti kebenarannya dan dipertanggungjawabkan.
Keempat, Jean Baudrillard; pemikirannya memusatkan perhatian kepada
kultur, yang dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana
besar. Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang
semakin berontak seperti yang diperkirakan pemikir Marxis. Dengan demikian, massa
dilihat sebagai lubang hitam yang menyerap semua makna, informasi, komunikasi,
pesan dan sebagainya, menjadi tidak bermakna. Massa menempuh jalan mereka
sendiri, tak mengindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka. Kekacauan,
apatis, dan kelebaman ini merupakan istilah yang tepat untuk melukiskan kejenuhan
massa terhadap tanda media, simulasi, dan hiperrealitas.
Bagi Jean Baudrillard, karya-karyanya mempunyai sumbangan terhadap
pemikiran teori sosial untuk postmodernisme yang baginya bahwa objek konsumsi
merupakan tatanan produksi. Sehingga baginya masyarakat hidup dalam simulasi
yang dicirikan dengan ketidakbermaknaan. Karena manusia kehilangan identitasnya
dan jati dirinya yang banyak terjadi pada masa kontenporer. Tokoh inilah yang
terkenal dengan menyebut dunia postmodernisme sebagai kehidupan yang
hiperealitas.
Kelima, Fedrick Jameson. Ia merupakan salah satu kritikus literatur berhaluan
marxis paling terkemuka. George Ritzer dalam Postmodern Social Theori,
menempatkan Jameson dengan Daniel Bell, kaum feminis dan teoritis multikultur.
Jameson menggunakan pola berfikir Marxis untuk menjelaskan epos historis yang
baru (postmodernisme), yang baginya bukan modification dari kapitalisme, melainkan
ekspansi darinya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa periode historis yang ada
sekarang bukanlah keterputusan, melainkan kelanjutannya.
Menurut Jameson, postmodernisme memiliki dua ciri utama, yaitu pastiche
dan schizofrenia. Jameson mulai dengan menjelaskan bahwa modernisme besar
didasarkan pada gaya yang personal atau pribadi. Subjek individual borjois tidak
hanya merupakan subjek masa lalu, tapi juga mitos subjek yang tidak pernah benar-
benar ada, hanya mistifikasi, kata Jameson, yang tersisa adalah pastiche. Pastiche dari
pastiche, tiruan gaya yang telah mati. Kita telah kehilangan kemampuan
memposisikan ini secara historis. Postmodernisme memiliki konsep waktu yang khas.
Jameson, menjelaskan apa yang ia maksudkan dengan menggunakan teori schizofrena
9
lacan. Schizofrenik adalah pengalaman penanda material yang terpisah, terisolir, dan
gagal membentuk rangkaian yang koheren.10
Kritik postmodern terhadap modern bukan merupakan sebuah gugaan ilmiah
atau secara teoritik, namun lebib bersifat emosional. Hal ini dikarenakan postmodern
tidak membawa konsep yang jelas, hanya sebatas mengkritik konsep lama, namun
tidak memperbaruinya, sebab hanya aspek politik saja yang yang melatar
belakanginya. Yakni perang dunia kedua saat pasukan Adlof Hitler bertekuk lutut
dihadapan sekutu.

C. Agama Dalam Kritik Postmodern


Akbar S Ahmed dalam bukunya “Postmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi
Islam” mengingatkan Islam agar berhati-hati dalam pemanfaatan media yang
merupakan ciri pokok postmodernisme. Sedangkan Bambang Sugiharto
mengumpamakan agama era postmodern itu sebagai ibaratkan durian jatuh. Telah
berakhirnya perang dingin dan kacaunya kiblat nilai, menyebabkan agama itu sebagai
primadona baru peradaban yang menjanjikan. Pada kenyataannya postmodern itu
diumpamakan dengan tertimpa durian di atas kepala. Sebab akan terjadi kebingungan
terhadap harapan yang diberikan oleh era postmodern. Di satu sisi, era postmodern
diharapkan tampil membawa kearifan atau pemecahan persoalan, namun disisi lain
postmodern ini tampil sebagai salah satu penyebab persoalan.
Kemudian menurut Bambang Sugiharto juga, bahwa tantangan yang dihadapi
oleh setiap agama pada saat ini sekurang-kurangnya ada tiga yaitu:
1. Dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan
degrasi moralitas, agama ditantang untuk tampil sebagai suatu moral yang autentik.
2. Agama harus dapat menghadapi kecenderungan pluralism, mengelolanya dalam
kerangka teologi baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerja sama plural.
3. Agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan
ketidakadilan.
Sedangkan dalam bidang bangunan, Akbar menyatakan bahwa dalam era
postmodern saat ini bagi orang Amerika, mall merupakan tandingan kontemporer bagi
mesjid. Mall mecerminkan peledakan sifat konsumeris yang menggoda. Mall
dicerminkan sebagai tempat bersenang-senang dan pesonanya menggoda setiap saat.

10
Faisar Ananda Arfa, Op. Cit., 227.

10
Bahkan mall telah tiba di kota-kota muslim, dan berkembang di Saudi Arabia, tanah
suci Islam.

D. Penulis Dan Karya Utama Tentang Islam Dan Posmodernis


Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa karya yang secara eksplisit mengkaji
tema postmodernisme di kalangan pemikir Islam, termasuk diantaranya yaitu:
1. Michael M. J Fisher dan Mehdi Abedi “Debating Muslim: Cultural Dialogues in
Postmodernity and Tradition” pada tahun1990.
2. Akbar S. Ahmed “Postmodernisme and Islam; Predicament and Promise” yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Postmodernisme Bahaya dan
Harapan Bagi Islam” pada tahun 1993.
3. Ernest Gellener “Postmodernisme, reason and religion” pada tahun 1992.
4. Manzoor P “Muslim World Book Review” pada tahun 1990.

Kemudian terdapat beberapa artikel yang memuat tentang Islam dan


postmodernisme, yaitu:
1. Ibrahim M. Abu Rabi “Review Article, Beyond the Postmodern Mind” (The
American Jurnal of Islamic Social Science, 1990).
2. Akbar S. Ahmed “Postmodernist Perceptions of Islam: Observing the Observer”
(Asian Survey, 1991).
3. P. Manzor “Politics without Trut, Metaphysics or Epistemology: Postmodernism
Deconstructed for the Muslim (Muslim Word Book review, 1990).
4. Michael M. J Fisher, “Islam the Odd Civilization out?”.pada tahun 1992.

E. Problem Dan Prospek Posmodernisme Dalam Studi Islam


Tawhid: Its Implications for Thought and Life,1982 oleh Ismail Raji al-Faruqi.
Reaksi radikal ilmuwan Barat mengkristal dan muncul akibat dominasi gereja yang
kaku dan dogmatis. Sejalan hal itu, hampir seribu tahun ilmu pengetahuan Barat tidak
berkembang, tegas al-Faruqi. Dengan cara itulah ilmuwan Barat mengaku bebas
melakukan eksperesi di bidang logika, fisika, seni, filsafat, bahasa, teknologi,
kepercayaan, ideologi, serta tindakan. Cara pandang seperti itulah, menurut Hujjatul
Islam Imam Al-Ghazali, tidak ada bedanya dengan kehidupan binatang sebab mereka
hanya puas dengan kehidupan dan kebutuhan biologis.

11
Sehubungan dengan hal tersebut, Allah telah member peringatan dalam surah
Al-A’raf: 179. Dalam ayat ini, menjelaskan bahwa mereka yang mempelajari ayat-
ayat Allah tapi mereka jauh dari petunjuk-Nya. Maka mereka itu umpama binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Untuk mensukseskan agendanya, para pemikir Barat dan muridnya bergerak
untuk melancarkan aksinya di dunia Muslim. Proyek pertama yang dilakukan tidak
lagi menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah negara-negara Muslim, tapi mereka
mendirikan kajian-kajian keislaman (Islamic Studies) sesuai dengan framework dan
pandangan hidup (worldwive).
Setelah sukses dengan agenda pertama, mereka lalu memberikan beasiswa
besar-besaran kepada calon murid untuk studi strata dua (S2) dan strata tiga (S3) di
tempat mereka. Menjelang membuat tesis dan disertasi, mereka diarahkan oleh para
gurunya (orientalis) untuk mengikuti jejak mereka dalam memahami Islam.
Kemudian setelah murid itu kembali dalam mencari ilmu di negeri kampong masing-
masing, aliansi merusak Islam tak berhenti di situ saja. Para alumni didikan orientalis
itu diminta dan didorong mendirikan lembaga penelitian, pesantren, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), penerbitan dan lainnya, untuk melanjutkan dan menyebarkan ilmu
yang selama ini mereka peroleh kepada masyarakat Muslim.
Oleh karena itu jika postmodern berdampak positif bagi Islam, tidak
bertentangan dengan syariat Islam. Sebab Islam tidak monoton ia berkembang
menurut zamannya. Tetapi dengan berjalannya ia punya panduan (pegangan) yaitu
Al-Qur’an dan Hadis.

F. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Postmodernisme dalam Studi Islam


Menurut Akbar dalam bukunya “Postmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi
Islam”, menyampaikan bahwa: media merupakan ciri pokok postmodernisme dan ia
mendefenisikan peradaban global yang dominan pada zaman kita. Luasnya jangkauan
postmodernisme merupakan harapan kemenduaan dan tantangannya tidak mungkin
dipahami tanpa memahami media.
Sifat-sifat media dan karakteristik pokoknya:
1. Media tidak sentra dan tidak ingat teman.
2. Media memerhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis.
3. Media merupakan pengabdian diri dan sangat bersifat sumbang.
4. Massa media telah membukakan kematian.
12
5. Pada dasarnya media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum.
6. Media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi,sehingga fiksi lebih
enak dilihat dan didengar.
7. Media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan
spiritual.
8. Media kuat karena teknologi tinggi, tetapi tetap lemah karena antropologi
kultural.
Bambang Sugiharto, menyatakan contoh konkret kecenderungan dasar umum
postmodernisme dalam perspektif studi agama, merupakan:
1. Konstruksi semiotis dan ideologis dari kecenderungan menganggap segala klaim
tentang “realitas” (diri subjek, sejarah, budaya, Allah, dan sebagainya).
2. Skeptis terhadap segala bentuk keyakinann tentang “substansi” objektif (meski
tidak selalu menentang konsep tentang universalitas).
3. Pluralisme sebagai upaya mengungkap realitas.
4. Melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas,
misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan lain-lain.
5. Penghargaan terhadap segala hal “lain” (otherness), yang lebih luas, yang selama
ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, seperti kaum
perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan
pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita.
Bertitik tolak dari beberapa uraian di atas, jadi dapat dipahami bahwa
postmodernisme itu berdampak pada harapan dan bahaya,artinya jika sesuatu yang
berdampak positif bagi studi Islam dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama
yang kita anut, maka akan dapat kita ambil sebagai suatu harapan untuk kemajuan
Studi Islam. Namun jika berdampak bahaya dan mengandung nilai-nilai negative serta
bertentangan dengan konsep nilai-nilai yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis
maka kita juga harus menolaknya sebagai suatu yang membahayakan. Islam bukanlah
agama yang monoton terhadap perkembangan, is akan selalu berkembang menurut
zaman.
Artinya membicarakan postmodernisme itu sama halnya terjebak dalam
sebuah permainan ketidakpastian. Namun demikian, banyak para ahli yang
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan postmodern itu sendiri. Maka tidak
heran jika terdapat banyak perbedaan pendapat dalam mendefenisikan makna

13
postmodern. Namun disisi lain tidak semua ilmuwan menerima kehadiran
postmodern.
Untuk lebih mendekati makna postmodern, maka makna yang paling aman
adalah bahwa postmodern merupakan fase lanjutan dari modernisme.postmodernisme
mencoba untuk melakukan subversi atas pemikiran modern yang dianggap tidak
sesuai lagi. Maka hal yang perlu adalah untuk mempresentasikan postmodern dengan
cara yang positif, seperti keberagaman, kebebasan meneliti dan kemungkinan untuk
memahami satu sama lain. Kemudian postmodern tidak perlu dipahami sebagai
kesombongan intelektual, dan diskusi akademik yang jauh dari kehidupan nyata,
namun sebagai fase historis manusia yang belum ada sebelumnya dan fase
mendekatkan beragam orang dan kultur.

G. Relevansi Discourse Postmodernisme Bagi Ilmu Pengetahuan


Bagi pemikiran postmodernisme, mereka tidak memandang ilmu pengetahuan
modern sebagai universalisme. Karena postmodernisme menolak penjelasan yang
berifat universal, harmonis, atau bahkan konsisten. Kaum postmodernisme
menggantikan hal tersebut kepada yang partikular dan lokal, lalu menyingkirkan hal
yang bersifat universal. Watak yang menonjol dari era postmodernisme ini
mengangkat konsep pluralisme, penekanan kepada konsepsi empiris dalam arti
penekanan pada nilai individualitas dari manusia sebagai sang otonom.
Ciri-ciri dari postmodernisme melingkupi hal-hal secara konseptual discourse
ide yang meliputi:
1. Ide yang menghendaki penghargaan besar terhadap alam ini sebagai kritik atas
gerakan modernisme yang mengeksploitasi alam.
2. Ide yang menekankan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dengan segala
konsep dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi
modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan.
3. Ide besar untuk mengurangi kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitalisme,
dan teknologi yang muncul dari perkembangan modernisme. Dengan alasan bahwa
semua itu telah melahirkan konstruksi manusia sebagai obyek yang mati dalam
realitas kehidupannya. Sehingga menjauhkan manusia dari humanismenya itu
sendiri.

14
4. Ide pentingnya inklusivitas dalam menerima tantangan agama lain atas agama
dominant sehingga terbuka munculnya ruang dialogis. Ini muncul sebagai akibat
menjamurnya dan tumbuhkembangnya realitas modernis yang menempatkan
ideologi sebagai alat pembenar masing-masing.
5. Sikap yang cenderung permisive dan menerima terhadap ideologi dan juga agama
lain dengan berbagai penafsiran.
6. Secara kasuistik munculnya ide pergeseran dominasi kulit putih di dunia barat.
7. Merupakan ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong kebangkitan golongan
tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang
tersisihkan.
8. Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal
dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh
manusia secara menyeluruh.11
Ciri yang paling dominan dari pemikiran postmodernisme diatas mengacu
kepada ide dasar yang ingin mengurangi kekaguman serta memberi kritik terhadap
suatu ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diartikan ia menunjukkan adanya pergeseran
yang cukup signifikan atas era modernitas ke era postmodernisme. Cukup jelas bagi
gerakan postmodernisme bahwa memahami fenomena modern yang bernama
pengetahuan, khususnya menyangkut pengetahuan sosial. Ia mempertanyakan tentang
”apa itu pengetahuan yang benar” secara genealogis dan arkeologis. Dapat diartikan
dengan melacak bagaimana pengetahuan itu mengembangkan diri selama ini.
Misalnya konseptual tentang ”kegilaan”, ”seksualitas”, manusia”, ”gender” dan lain
sebagainya yang biasa dianggap ”natural” itu sebenarnya adalah situs-situs produksi
dari ilmu pengetahuan.

H. Relevansi Postmodernisme Bagi Kehidupan Masa Kini


Jika diamati dengan saksama, banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa
yang ditawarkan oleh pasca-modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan
pasca-postmodernisme, kenyataannya dia ada dan keberadaannya harus diakui. Soal
membawa manfaat atau tidaknya, kita tidak bisa menilai secara langsung dengan satu
sisi saja, karena selalu ada dua sisi yaitu apakah baik atau buruk. Kita bisa memeriksa

11
Muhlisin, “Postmodernisme dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern”, Jurnal Okkara, Vol. 1.
No 1, 2000, hlm. 6-7.

15
dan menjelaskan apa yang telah diterangkan diatas. Tentunya, pormodernisme telah
menambah perbendaraan kita mengenai ilmu pengetahuan. Maka dari itu, pada bagian
ini, akan mencoba untuk menganalisis secara kritis apa saja prinsip-prinsip yang
ditawarkan oleh aliran postmodernisme tersebut.
Pandangan postmodernisme yang kelanjutan dari modernisme muncul karena
menentang pendapat dari modernisme yang mereka anggap memiliki kelemahan,
bukan berarti bahwa postmodernisme terlepas dari adanya kelemahan. Tampak
penjelasan diatas dapat peneliti sebutkan bahwa aliran postmodernisme ini muak dan
lelah akan metanarasi dari era modern, mereka beralasan bahwa metanarasi itu bisa
mengarahkan kita pada marginalisasi cerita-cerita kecil baik dari kehidupan kita yang
nyata di kehidupan sehari-hari maupun secara tradisi, kepercayaan masyarakat dan
komunitas setempat. Paham Postmodernisme ini ingin menghilangkan pendasaran
umum dan ingin melihat cerita-cerita yang kecil. Cerita cerita kecil seperti
Desentralisasi, Pertarungan Etnis, Dekonstruksi, SubKultur, Nihilisme, Budaya
Rendah, Anarki, Pasca-Industri, Paradigma, Kekuatan Bersama, Sekte-sekte,
Delegitimasi, Dekonsensus, Liberalisme, dan Diskontinuitas yang merupakan
kebalikan atau antithesis dari paham modernisme.
Hal itu karena kurang masuk akal sebab untuk menilai atau menangkap suatu
cerita (kerangka) dasar diperlukan suatu dasar pijakan. Karena hal ini tanpa adanya
kerangka atau dasar pijakan tersebut kita tidak bisa bicara apa-apa. Selain itu kita
tidak hanya berpegang pada cerita-cerita lokal atau keyakinan setempat, sangat
sulitlah untuk mengambil keputusan dan yang terjadi adalah siapa yang kuat, itulah
yang akan menjadi pemenang.
Dengan kata lain hal itu sudah terbukti bahwa jika kita menengok proses
peradilan hukum di Indonesia yang sering kali orang kecil menjadi korban hanya
karena buta hukum dan hukum itu ditafsirkan sesuai dengan keinginan pihak tertentu
yang tentunya mempunyai suatu power. Pada titik ini juga dikhawatirkan akan terjadi
kontradiksi. Manusia yang tidak memiliki kekuatan apapun atau istilah kata sebagai
rakyat jelata dihadapan hukum akan mengalami kekalahan, dibandingkan dengan
seseorang yang paham hukum dan memiliki kekuatan hukum.
Karena apabila pasca-modernisme menyangkal prinsip-prinsip (metanarasi),
maka dengan sendirinya akan muncul prinsip-prinsip baru (narasi-narasi kecil) karena
menyangkal prinsip berarti juga berprinsip dan itulah kontradiksinya, seperti pernah
dialami oleh kaum skeptif itu sendiri mereka yakin bahwa pernyataan itu harusnya
16
benar, padahal dengan pernyataan tersebut berarti pernyataan kaum spektif bahwa
semua kenyakinan kita perlu diragukan juga tidak benar dan karena itu, jangan
berkeyakinan seperti itu.
Jika hal itu terjadi mengenai tidak menyakini suatu pernyataan, maka kembali
kepada kaum spektif yang setiap pernyataannya tidak harus ditanggapi dengan
kebenaran. Perkataan kaum spektif bisa dibantahkan bahkan mereka setiap
pendapatnya tidak dipercaya. Lalu apa yang harus dilakukan, maka yang dilakukan
perlu adanya dekonstruksi mengenai kebenaran. Tetapi tidak semua dihilangkan
bahkan dihapuskan. Tetapi jika ada kesalahan dan kurang tepat maka bisa diperbaiki.
Dekonstruksi tidak semua narasi-narasi besar dilakukan, tetapi narasi yang dimana
pantas untuk di dekonstruksikan. Cerita-cerita besar itu sangat diperlukan, dan cerita
besar itu cenderung menjadi sebuah ideologi, itulah sebenarnya yang harus
diwaspadai. Karena banyak cerita-cerita besar atau paham-paham besar dapat
membawa penderitaan bagi umat manusia, misalnya sebagai contoh kita sebut saja
paham komunisme. Paham komunisme ini bisa membawa penderitaan kepada umat
manusia yang mengikuti ketentuannya. Walaupun tujuannya segala sesuatu milik
bersama, tidak memiliki secara individu, tetapi paham ini dalam penerapannya
menggunakan pemaksaan dan kekerasan kepada para pengikutnya agar mengikuti dan
mentaati paham ini. Dan juga tidak jarang bahwa ideologi-ideologi religius justru
membawa kesengsaraan dan membelenggu umat manusia. Maka, di sinilah perlu
adanya dekonstruksi cerita besar sehingga diharapkan tidak menyeleweng dari
misinya yang sejak lama dibawanya.
Pertanyaannya mengapa ideologi perlu didekonstruksikan, sebab ia
menyangkal hal cerita kecil, ideologi itu bersifat mutlak. Benar berarti sesuai dengan
ideologi, yang sesuai disikat abis, dengan kebenaran ideologi tertentu, tidak segan-
segan seseorang akan memusnakannya. Padahal sesuatu hal bagi postmodernisme
tidak mutlak, mereka percaya bahwa kebenaran bersifat relatif. Disesuaikan dengan
segala aspek pengliatan, bukan hanya terfokus pada sisi tertentu saja. Jadi, menurut
peneliti maka dekonstruksi sangat dibutuhkan dan perlu, tetapi untuk itu haruslah jeli
dan butuh pemikiran yang cerdas untuk mengawasi dan mengkritisi cerita atau narasi
mana yang perlu direvisi atau didekonstruksi. Pascamodernisme menjadi kurang
cerdas jika kita menganggap semua cerita besar itu perlu didekonstruksikan.
Sayangnya pascamodernisme tidak mampu melakukan hal seperti itu. Dekonstruksi
yang sebenarnya, kata Frans Magniz-Suseno, adalah menganalisis dengan teliti. Di
17
sini cerita atau narasi yang besar itu benar, cerita tentang harkat martabat
kemanusiaan cerita bahwa situasi apapun tak pernah boleh untuk di pakai semata-
mata sebagai sebuah sarana, cerita hak-hak asasi manusia, justru malah akan bertahan.
Dengan melihat sisi negatif dari paham postmodernisme itu, maka apakah
dengan demikian postmodernisme harus di hapus atau dibuang. Tentu sisi positifnya
tetap ada, ia telah mengingatkan kepada kita bahwasanya dalam diri kita harus
waspada terhadap teori atau cerita atau narasi besar jangan sampai mereka
berkembang menjadi sebuah ideologi. Jangan sampai ideologi tersebut berlindung
dibalik teori-teori besar tersebut. Tetapi kenyataannya bahwa dibalik itu semua ia
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Paham
postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dapat dipercaya asal ia tidak
memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip orang lain. Karena
segala sesuatu itu perlu diteliti atau bahkan dikoreksi dan dipertanyakan apakah ia
benar berjuang demi menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih
benar.
Selain pada itu, yang perlu kita kembangkan dan kita tegakan dari paham
postmodernisme adalah sikap saling menghargai manusia sebagai individu-individu
dengan segala keunikan dan keberagamanya yang meliputi kelemahan dan kelebihan
adalah suatu nilai lebih dan unik, hal itu membedakan kepada yang lainnya. Bukan
kita untuk mempermasalahkan keberagaman itu tetapi bagaimana hal itu menjadi
suatu kegembiraan dan kekhasan terhadap apa yang dimiliki. Dengan menyadari hal
tersebut lah, posrmodernisme memberikan suatu hak untuk menyuarakan pendapatnya
dan ia terus menjalankan sifat emansipatorisnya. Jadi dengan demikian kita harus
memegang kedua-duanya, yang universal dan yang lokal, menghargai cerita atau teori
atau narasi besar yang memang memperjuangkan martabat manusia dan juga harus
menghargai cerita-cerita kecil seperti pluralisme dalam keanekaragaman itu sebagai
anda penghargaan manusia-manusia individu asal memperkembangkan individu
tersebut, dengan demikian kehidupan kita menjadi tercerahkan.12

12
Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 358.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jean Francois Lyotard adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah
postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan pada tahun 1970 dan
terdapat dalam bukunya dengan judul The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge. Jean mengartikan postmodernisme itu sebagai segala kritik atas
pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas
modernisme. Sedangkan menurut Emanuel, postmodernisme adalah seluruh usaha
yang dimaksudkan untuk merevisi kembali paradigma modern. Menurut Ghazali dan
Effendi, postmodernisme bermaksud untuk mengoreksi modernism yang tidak
terkendali yang telah muncul sebelumnya.
Kritik postmodern terhadap modern bukan merupakan sebuah gugaan ilmiah
atau secara teoritik, namun lebib bersifat emosional. Hal ini dikarenakan postmodern
tidak membawa konsep yang jelas, hanya sebatas mengkritik konsep lama, namun
tidak memperbaruinya, sebab hanya aspek politik saja yang yang melatar
belakanginya. Yakni perang dunia kedua saat pasukan Adlof Hitler bertekuk lutut
dihadapan sekutu.
Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain Jean-Francois Lyotard, Michael
Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan Fedrick Jameson. Sedangkan penulis
tentang Islam dan postmodernisme adalah Michael M. J Fisher, Akbar S. Ahmed,
Ernest Gellener, Manzoor P, Ibrahim M. Abu Rabi.
Jika postmodern berdampak positif bagi Islam, tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Sebab Islam tidak monoton ia berkembang menurut zamannya. Tetapi
dengan berjalannya ia punya panduan (pegangan) yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Selain
pada itu, yang perlu kita kembangkan dan kita tegakan dari paham postmodernisme
adalah sikap saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala
keunikan dan keberagamanya yang meliputi kelemahan dan kelebihan adalah suatu
nilai lebih dan unik, hal itu membedakan kepada yang lainnya. Bukan kita untuk
mempermasalahkan keberagaman itu tetapi bagaimana hal itu menjadi suatu
kegembiraan dan kekhasan terhadap apa yang dimiliki. Dengan menyadari hal
tersebut lah, posrmodernisme memberikan suatu hak untuk menyuarakan pendapatnya
dan ia terus menjalankan sifat emansipatorisnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aginta Hidayat, Medhy, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran


Postmodernism Jean Boudlirald, Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

Ananda Arfa, Faisar, Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2015.

Harianto GP “Postmodernisme dan Konsep Kekristenan”, Jurnal Pelita Zaman,VOL. 1 No.


15, 2001.

Ilham, Iromi “Paradigma Postmodernisme Solusi Untuk Kehidupan Sosial”, Jurnal Sosiologi
USK, Vol. 12 No. 1, Juni 2018.

Maksum, Ali, Pengantar Filsafat, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

Muhlisin, “Postmodernisme dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern”, Jurnal Okkara,
Vol. 1. No 1, 2000.

Mukalam “Postmodernisme dan Filsafat Pendidikan Islam” Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 2
No. 2, Desember 2013.

Mukti Ro’uf, Abdul “Postmodernisme: Dampak dan Penerapannya pada Studi Islam” Jurnal
Studi Keislaman. Vol. 19 No 1, Juli 2019.

Setiawan, Johan & Ajat Sudrajat “Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap
Ilmu Pengetahuan”, Jurnal Filsafat, Vol. 28 No. 1, 2018.

20

Anda mungkin juga menyukai