Anda di halaman 1dari 19

PERSPEKTIF GENDER TAFSIR RIFFAT HASAN DAN AMINA WADUD

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Tafsir Modern dan
Kontemporer yang diampu oleh Bapak Dr. Afifullah, M. Sc.

Oleh:

Kelompok 10

Moh Taufiq 20384011009

Siti Labibah Al-A’la 20384012012

Widayatul Amalia 20384012017

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

MEI 2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillāh kami panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas


nikmat yang diberikan kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah “Pemikiran Tafsir Modern dan Kontemporer”
yang dibina oleh bapak Dr. Afifullah, M.Sc
Selawat dan salam senantiasa tercurah limpahkan atas junjungan
kita Nabi Muhammad saw. serta keluarga, sahabat dan para penerus
risalahnya, yang telah memberikn arahan dan bimbingan menuju jalan
yang lurus dan selaras dengan tuntunan Islam.
Saya menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. oleh karena
itu, kritik dan1saran yang membangun akan memberikan semangat bagi
kami untuk memperbaiki tugas makalah kedepannya. Dengan kerendahan
hati, kami memohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini.
Sebagai makalah sederhana yang saya harapkan kepada seluruh pencinta
ilmu pengetahuan, sudah sepatutnya kita memohon kepada Allah Swt.
semoga Allah Swt. senantiasa selalu memberkati pikiran dan semua
tindakan yang kita lakukan.

Pamekasan, 19 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................3

A. Sketsa Kehidupan Riffat Hasan....................................................................3

B. Perspektif Gender Tafsir Riffat Hasan..........................................................5

C. Sketsa Kehidupan Amina Wadud.................................................................8

D. Perspektif Gender Tafsir Amina Wadud.....................................................10

BAB III..................................................................................................................14

PENUTUP..............................................................................................................14

A. Kesimpulan.................................................................................................14

B. Saran............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam menaruh perhatian yang besar terhadap persoalan-persoalan
perempuan. Buktinya di dalam Al-Qur’an persoalan-persoalan perempuan
dibicarakan di berbagai surat dan ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut
berbagai sisi kehidupan perempuan. Ada surat dan ayat Al-Qur’an yang
berbicara tentang asal kejadian perempuan, hak dan kewajiban perempuan dan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama
atau kemanusiaan. Dalam QS. al-Nisā’ (4): 1, Allah Swt. menegaskan bahwa
perempuan adalah satu unsur di antara dua unsur, laki-laki dan perempuan,
yang mengembangbiakkan manusia. Artinya secara normatif Al-Qur’an
memihak pada kesamaan status antara perempuan dan laki-laki. Namun
secara kontekstual Al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu
laki-laki daripada perempuan. Misalnya dalam surat al-Nisā’ ayat 34 Allah
Swt. menyatakan, lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Akan tetapi,
dengan mengabaikan konteksnya, melalui penafsiran-penafsiran terhadap surat
al-Nisa’ para mufassir justru berusaha memberi status lebih unggul bagi laki-
laki secara normatif. Model penafsiran para mufassir tersebut tentu saja sangat
merisaukan banyak orang terutama kalangan feminis Muslim.1
Sejak sepuluh tahun terakhir kata gender telah memasuki
pembendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan
pembangunan dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir semua uraian
tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan
dikalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan
kata seks (jenis kelamin). Sejarah perbedaan gender (gender differences)
antara manusia jenis laki–laki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan–perbedaan gender
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat

1
Asghar Ali Enginer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha
Assegaf (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1994), 61.
bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran agama maupun
negara.2
Perbedaan–perbedaan gender tersebut kadang kala menimbulkan suatu
ketidakadilan. Ketidakadilan terhadap perempuan sudah sejak lama terjadi.
Mungkin sejalan dengan usia manusia itu sendiri. Memandang rendah
perempuan, menjadikan sebagai pelengkap bagi kehidupan bagi laki–laki
adalah hal yang sudah membiasa dalam kehidupan perempuan. Bahkan dari
waktu ke waktu ketidakadilan tersebut semakin menunjukkan eksistensinya
dalam kehidupan masyarakat, menunggu sentuhan kemanusian untuk
memperbaiki pandangan yang kurang memanusiakan perempuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sketsa kehidupan Amina Wadud?
2. Bagaimana tafsir gender Amina Wadud?
3. Bagaimana sketsa kehidupan Riffat Hasan?
4. Bagaimana tafsir gender Riffat Hasan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sketsa kehidupan Amina Wadud
2. Untuk memahami tafsir gender Amina Wadud
3. Untuk mengetahui sketsa kehidupan Riffat Hasan
4. Untuk memahami tafsir gender Riffat Hasan

2
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1996), 7.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sketsa Kehidupan Riffat Hasan


Riffat adalah seorang feminis Muslimah yang berasal dari keluarga
sayyid di Lahore, sebuah kota tua di negara Islam Pakistan pada tahun 1943,
meskipun tanggalnya tidak diketahui secara pasti. Keluarganya merupakan
keluarga terkemuka yang sangat dihormati di kota tersebut, bersama lima
saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.
Ayahnya adalah seorang tradisionalis dan patriarkal sejati yang
memiliki keyakinan mengenai peranan seks bahwa yang terbaik bagi gadis-
gadis adalah menikah di bawah usia enam belas tahun dengan seorang pilihan
orang tuanya, inilah yang sangat dibenci oleh Riffat. Sedangkan ibunya tidak
mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional, ia menolak kultur yang
meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Dalam
kehidupan rumah tangga orang tuanya, ibunya tidak tunduk pada ayahnya.
Ibunya lebih memperhatikan anak perempuannya daripada anak laki-lakinya.
Dalam pandangan ibunya, mendidik anak perempuan lebih penting daripada
mendidik anak laki-laki, karena anak perempuan yang lahir dalam masyarakat
Muslim akan selalu menghadapi rintangan yang sangat hebat.3
Benih-benih feminis muncul diperoleh dari ibunya sendiri. Ibunya
memiliki sikap tidak mudah untuk berkompromi dengan budaya tradisional.
Dia menolak kultur dan tradisi yang meneguhkan inferioritas, seperti telah
disebutkan di atas ia mengajarkan pada Riffat. Jika ia dikategorikan dalam
feminisme, ia masuk dalam kaegori feminis radikal. Sikpanya tentu asing
dengan budaya dan kultur setempatnya. Meskipun demikian, ibunya tetap
dihormati orang, sebab merupakan anak perempuan Hakim Ahmad Syuja
seorang penyair yang dermawan dan ilmuwan yang terkemuka pada
zamannya.
Konflik dalam rumah tangga Riffat yang selalu silih berganti membuat
Riffat berpikir bagaimana harus menghadapinya, karena di umur yang cukup
terbilang muda ia tentu akang bingung. Ia pun menjelaskan bahwa ia
3
Mutrofin, “Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hasan,” Teosofi 3, no.
1 (Juni, 2013): 240-241.
merespon konflik-konflik itu secara asketis seperti hal nya para sufi yaitu
dengan menarik dirinya dari dunia luar menuju realitas batin yang transenden.
Ia pun banyak berdoa untuk diberi keyakinan dan kekuatan dalam menghadapi
kenyataan yang ia alami.
Selain ia mengadapi pertarungan ideologi patriarki dan feminis dalam
keluarganya, maka ia juga dihadapi dengan kondisi sosio-kultural pada waktu
itu, yang mana hegemoni dari sistem patriarki dalam masyarakat begitu kuat.
Hal ini tidak lain dari adanya undang-undang serta norma-norma yang berlaku
di masyarakatnya, cenderung mendiskriminasikan serta memarginalkan peran
perempuan. Kepemimpinan dalam sistem masyarakatnya lebih mementingkan
laki-laki dibanding perempuan. Dalam hal ini seolah perempuan itu memang
sudah kodratnya memang harus dipimpin oleh laki-laki dan tidak boleh
sebaliknya.4
Dalam dunia pendidikannya, ia mulai menempuh pendidikan di
usianya yang ke-17 tahun, Riffat berangkat ke Inggris untuk melanjutkan
pendidikannya di St. Mary’s College University of Durham, Inggris. Setelah 3
tahun melaksanakan studinya, Riffat berhasil meraih predikat cumlaude di
bidang sastra Inggris dan filsafat. Kemudian, di usia 24 tahun, Riffat berhasil
meraih gelar doktor filsafat. Setelah 7 tahun berada di Inggris dan sempat
bekerja di Departemen Penerangan Federal sebagai wakil direktur, Riffat pun
akhirnya pindah dan menetap di Amerika Serikat.
Tahun 1974 menjadi titik awal momentum karir Riffat sebagai teolog
feminis. Saat itu, ia menjadi Guru Besar pada Perhimpunan Mahasiswa Islam
(Muslim Student’s Association) cabang Universitas Oklahoma di Stillwater.
Sebagai guru besar, ia diminta untuk menjadi narasumber pada seminar-
seminar tahunan dengan tema perempuan dalam Islam. ia menerima tawaran
tersebut sembari meresolusi problematika pemikiran Islam yang bias gender.
Ketika Riffat mulai mengajar di jurusan agama di sebuah Universitas di
Amerika, ia membawa Al-Qur’an sebagai bahan acuan tanpa mengkhususkan
pada ayat-ayat perempuan, akan tetapi setelah diperhatikan secara teliti ayat-
ayat tersebut, muncul berbagai pertanyaan di benak Riffat, “mengapa ayat-
4
Haikal Fadhil Anam, “Tafsir Feminisme Islam: Kajian Atas Penafsiran Riffan Hasan Terhadap
QS. An-Nisa’ (4); 34,” Maghza 4, no. 2 (2019): 163-164, 10.24090/maghza.v4i2.3071.
ayat tersebut terkesan mendiskriminasikan dan memposisikan perempuan
secara tidak adil?”.
Riffat termasuk salah seorang feminis Muslimah prolifik. Sebagian
besar karyanya diwujudkan dalam bentuk artikel. Dari hasil karya-karya itulah
Riffat kemudian diakui oleh banyak kalangan sebagai pemikir feminis yang
telah memberikan kontribusi besar terhadap garakan feminisme di Pakistan.
Diantara karya-karyanya adalah “The Role and Responssibility of Women in
Legal and Ritual Tradision of Islam” (1980); “Equal Before Allah Woman-
Men Equality in Islamic Tradition” (1987); Feminist Theology and Women in
the Muslim World”; Jihad fi Sabilillah: A Muslim Woman’s Faith Journey
from Struggle to Struggle”; “The Issue of Woman-Men Equality in The Islamic
Tradition”; “Women’s Rights in Islam”; dan “Muslim Woman and Post-
Patriarckal Islam”.
Melihat perjalanan kehidupannya, paling tidak dapat diketahui bahwa
sosok Riffat Hassan telah mengarungi asam-manis kehidupan, mulai dari
internal keluarga dengan konfliknya antara ayahnya dan ibunya sampai pada
realitas masyarakat dan sistem politik negaranya. Tentu latar belakang yang
kompleks tersebut menjadikannya sebagai pemikir yang kreatis dan out of the
box. Pemikiran-pemikirannya progresif khususnya tentang pembelaan dan
perjuangannya untuk kaum perempuan. Maka tidak heran pemikiran-
pemikirannya banyak diminati dan dikagumi sebagai sebuah sumbangan yang
luar biasa dari peradaban kontemporer ini.5

B. Perspektif Gender Tafsir Riffat Hasan


Di dalam menafsirkan Al-Qur’an, Riffat Hasan mempunyai
metodologi tersendiri, yang hal itu berbeda dengan metodologi yang
digunakan oleh penafsir klasik. Para penafsir klasik cendrung menggunakan
metodologi tafsir yang bersifat atomistik-partikular. Seperti metodologi tafsir
tahlili, ijmail, muqaran dan maudhu’i. Berbeda dengan penafsir kontemporer
yang cendrung menggunakan metodologi yang bersifat interdisipliner, seperti
sosial, moral, ekonomi, politik, budaya, gender, feminis, hermeneutika dan
lain sebagainya.

5
Mutrofin, “Kesetaraan Gender,” 241-243.
Dalam hal ini, metodologi yang digunakan oleh Riffat tentu tidak
kosong dari latar belakangnya. Riffat yang mana telah di sebutkan sebelumya
di poin biografi, ia berusaha untuk menggugat sistem patriarki yang telah
mengakar di lingkungan kehidupannya. Salah satu usahanya adalah untuk
menafsirkan ulang Al-Qur’an yang mana selama ini dipandang mengandung
banyak bias-bias patriarki. Dengan ini, untuk melakukan penafsirannya, ia pun
merekontruksi metodologinya. Untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
selama ini mengandung bias-biaspatriarki, ia menawarkan metodenya yaitu
historis-kritis-kontekstual. Aplikasi dari metode ini terdiri dari beberapa cara
sebagai berikut: pertama, memeriksa kebenaran makna kata atau bahasa,
dengan cara menelusuri sejarah akar kata yang sesuai dengan konteks di mana
kata itu dikemukakan. Kedua, melakukan pengujian terhadap produk-produk
tafsir yang telah ada dari sisi konsistensi filosofisnya. Ketiga, menggunakan
prinsip etis yang mendasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan bagian
dari kepercayaan bahwa Tuhan Maha Adil.6
Menurut Riffat Hasan, adanya diskriminasi dan segala macam bentuk
ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan dalam lingkungan umat
Islam berakar dari pemahaman yang ‘keliru’ dan bias patriarkhi terhadap
sumber ajaran Islam, yaitu kitab suci Al-Qur’an. Oleh sebab itu, dia
menyerukan perlunya dilakukan dekonstruksi pemikiran teologis tentang
perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan Hawa sebagai perempuan
pertama.

Konsep penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan


mendasar untuk dibicarakan lebih dahulu. Sebab, konsep kesetaraan (al-
musawah/equality) atau ketidaksetaraan dapat dilacak akarnya dari konsep
penciptaan perempuan. Asumsi dasar yang menjadi pijakan Riffat adalah
bahwa jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, maka
di kemudian hari mestinya tidak berubah menjadi tidak setara. Jika
kenyataannya kemudian berubah menjadi tidak setara, ini berarti menyalahi
desain yang telah direncanakan dan ditetapkan Allah.7
6
Haikal Fadhil Anam, “Tafsir Feminisme Islam,” 169-170.
7
Sulastri, “orizon Metodologis Historis Kritis Riffat Hasan dalam Memahami Ayat Gender,” Al-
Amin 5, no. 1 (2022): 66-67, org/10.36670/alamin.v2i02.20.
Pada dasarnya, jika diamati, sejumlah ayat terkait penciptaan Hawa
tidak menjelaskan mekanismenya secara utuh. Ayat dalam Q.S. an-Nisa’ ayat
34, Q.S. al-A’raf ayat 189, Q.S. az-Zumār ayat 6, hanya menyebutkan bahwa
Hawa diciptakan dari padanya (nafs wahidah), diciptakan istrinya (zawjaha).
Redaksi tersebut jelas sangat interpretable, meskipun para mufasir sebelumnya
seperti al-Qurtubi, al-Zamakhsyari, al-Alūsi, Jalaluddin al-Sūyuți dan lainnya
memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah adalah
Adam dan zawjaha adalah Hawa.
Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para
mufassir bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi juga
mempertanyakan secara tajam mengapa seakan dipastikan bahwa nafs
wahidah itu Adam dan zawjaha itu Hawa, istrinya. Padahal kata nafs itu
dalam bahasa Arab sesungguhnya netral. Artinya ia bisa menunjuk kepada
laki-laki atau perempuan. Begitu pula kata zawj tidak secara otomatis berarti
istri/perempuan, tetapi juga netral, yaitu pasangan. Dengan mengutip kamus
Taj al-‘Arūs yang dipandang otoritatif, Riffat menyatakan bahwa hanya
masyarakat Hijaz yang menggunakan istilah zawj untuk menunjuk kepada
perempuan, sementara di daerah lain menggunakan zawjah untuk menyatakan
perempuan. Lalu pertanyaannya, mengapa Al-Qur’an yang tidak hanya
diperuntukkan orang Hijaz menggunakan istilah zawj bukan zawjah,
seandainya yang dimaksud benar-benar perempuan?.8
Demikian pula kata ‘Adam’, melalui penelitiannya teks-teks Injil
Genesis 2 bahwa kata Adam adalah istilah Hebraw (Ibrani) dari kata Adamah
artinya tanah yang sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk
manusia. Al-Qur’an menurut Riffat tidak menyatakan bahwa Adam manusia
pertama dan Al-Qur’an tidak pula menyatakan bahwa Adam laki-laki. Adam
adalah kata benda yang secara linguistik memang maskulin, namun bukan
menyangkut jenis kelamin. Riffat juga tidak memastikan bahwa Adam itu
perempuan, tetapi ia menolak dengan tegas jika Adam harus dianggap laki-
laki. Menurut Riffat, term Adam sama dengan al-Basyar, al-Insan, an-Nas
yang menunjukkan arti manusia, bukan pada jenis kelamin. Mungkin saja
8
Sulastri, “orizon Metodologis Historis,” 67-68.
karena Riffat juga penggemar pemikiran Iqbal, ia terpengaruh oleh Iqbal yang
berpendapat bahwa: kata ‘Adam’ dipertahankan dan digunakan lebih sebagai
konsep, ketimbang sebagai nama seorang manusia yang kongkret.
Substansi dan cara penciptaan Adam dan Hawa, menurut Riffat, itu
sama, bukan Adam diciptakan lebih dulu dari tanah, kemudian Hawa dari
tulang rusuk Adam sebagaimana kebanyakan pendapat para mufasir dan
bahkan hampir seluruh umat Islam. Pendapat Riffat Hasan tersebut, sama
halnya dengan penafsiran Jamaluddin al-Qasimi, Muhammad Abdu, al-
Thabattaba’i, dan Rasyid Ridha, bahwa Hawa tercipta dari jenis yang sama,
dan ini berasal dari kata nafs wahidah, yang ditafsirkan dengan satu jenis
(jinsun wāhid). Implikasi dan konsekuensi logis dari penafsiran semacam ini,
Riffat kemudian menolak penciptaan Adam-Hawa secara terpisah. Hawa
bukan tercipta dari tulang rusuk Adam, tetapi keduanya diciptakan secara
bersama-sama. Sedangkan riwayat mengenai hal ini hanyalah cerita-cerita
mitologi dan dongeng-dongeng genesis 2 yang masuk dalam tradisi Islam
melalui hadis. Dalam kajian Ulum al-Qur’an, riwayat-riwayat macam ini
disebut dengan israiliyyat, yaitu cerita yang dinukil dari orang-orang Yahudi
atau Nasrani oleh para sahabat dulu. 9
C. Sketsa Kehidupan Amina Wadud
Amina Wadud memiliki nama panjang Amina Wadud Muhsin. Ia
adalah salah seorang tokoh feminis Muslimah kontroversial yang lahir di
Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25 September 1952. Ayahnya
adalah seorang penganut Methodist dan ibunya keturunan budak Berber, Arab,
dan Afrika pada kurun ke-8 Masehi. Wadud memeluk Islam pada tahun
1972.6 Wadud janda dengan lima anak, dua laki-laki dan tiga perempuan.
Studi perguruan tingginya dimulai di University of Pennsylvania
dalam bidang pendidikan. Wadud meraih gelar sarjana (B.S) pada tahun 1975.
Kemudian Wadud melanjutkan studi pascasarjananya di The University of
Michigan dan meraih gelar magister (M.A.) pada bulan Desember tahun 1982
di bidang Kajian-kajian Timur Dekat (Near Eastern Studies). Dan di
universitas yang sama juga Wadud meraih gelar Doktor (Ph. D) pada bulan
9
Sulastri, “orizon Metodologis Historis,” 68.
Agustus tahun 1988 di bidang Kajian-kajian keislaman dan Bahasa Arab
(Islamic Studiea and Arabic).
Karya pertama Amina yang terkenal adalah “Qur’an and Woman”
karya pertamanya yang di publikasikan pada 1992 berhasil menarik perhatian
para pemerhati Islamic Studies. Di dalamnya terdapat interpretasi Amina
terhadap masalah gender dengan pendekatan hermeneutik. Hal inilah yang
membuatnya ia sering di undang untuk menjadi pembicara tentang masalah
gender. Namun, karya pertamanya tak mampu membendung kegelisahannya
tentang jihadnya sekian realita gender. Keadaan inilah yang menginspirasinya
pada buku keduanya, Inside The Jihad Gender Jihad: Womens Reform's In
Islam.10
Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam menjelaskan bahwa
penelitian Wadud mengenai peran perempuan dalam Al-Qur’an yang
kemudian diterbitkan dalam bukunya berjudul Qur’an and Woman, muncul
dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan pengalaman dan
pergumulan para perempuan Afrika-Amerika dalam memperjuangkan
keadilan gender. Karena selama ini, sistem relasi laki-laki dan perempuan di
masyarakat memang seringkali mencerminkan adanya bias-bias patriarki.
Sebagai impliksinya perempuan kurang mendapat keadilan secara lebih
proporsional.
Di samping berhadapan dengan pengalaman sosial sebagaimana di
atas, ada pengalaman personal yang melingkupinya, di mana Wadud yang
notabene memiliki ras Afro-Amerika sering mendapatkan diskriminasi
sepihak oleh masyarakat di mana ia tinggal, di sisi lain diskriminasi itu sering
ditimpakan kepadanya karena ia adalah perempuan, Muslimah, dan janda.
Magnum opus Wadud tersebut sesungguhnya bentuk kegelisahan
intelektual terkait dengan ketidakadilan gender dalam masyarakatnya. Salah
satu sebabnya adalah pengaruh ideologi-doktrin penafsiran Al-Qur’an yang
dianggap bias patriarki. Dalam buku tersebut Wadud mencoba untuk
melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik
yang syarat dengan bias patriarki. Salah satu asumsi dasar yang dijadikan
10
Mutrofin, “Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hasan,” Teosofi 3,
no. 1 (Juni, 2013): 237-238.
kerangka pemikiran Wadud adalah bahwa Al-Qur’an merupakan sumber nilai
tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki perempuan setara (equal).
Oleh karenanya, perintah atau petunjuk Islam yang termuat dalam Al-Qur’an
harus diinterpretasikan dalam konteks historis yang spesifik. Dengan kata lain,
situasi sosio-historis-kultural atau tempat ketika ayat Al-Qur’an itu diturunkan
harus diperhatikan mufassir ketika hendak menafsirkan Al-Qur'an. Tidak
hanya itu, bahkan latar belakang yang melingkupi seorang mufassir juga perlu
diperhatikan karena sangat mempengaruhi hasil penafsiran terhadap Al-Qu’an
dan itulah yang nantinya dielaborasi lebih lanjut oleh Wadud dalam model
hermeneutikanya, khususnya ketika berbicara mengenai text dan prior text.
Tidak banyak karya Wadud dalam bentuk buku, karena karya tulisnya
lebih banyak berupa artikel lepas di media dan jurnal-jurnal ilmiah. Adapun
karya dalam bentuk buku hanya ada dua, Qur’an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman’s Perspective dan Inside the Gender Jihad:
Women’s Reform in Islam.11

D. Perspektif Gender Tafsir Amina Wadud


Ketika menafsirkan Al-Qur’an, Amina Wadud memiliki metode
penafsiran tersendiri dengan berlandaskan kerangka pemikiran Fazlur
Rahman, seorang tokoh perintis tafsir kontekstual. Amina Wadud menyatakan
bahwa dalam upaya menjaga relevansinya dengan manusia, Al-Qur’an harus
tetap ditafsirkan secara terus menerus sesuai dengan konteks yang ada. Dalam
kaitannya ini ia menawarkan penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan
konteks hermeneutik, sebagaimana yang digagas oleh Fazlur Rahman.
Gagasan teori pemikiran Amina Wadud dirumuskan pada metode pendekatan
yang disebutnya dengan hermeneutika tauhid, yang berangkat pada asumsi
bahwa laki-laki dan perempuan dalam fitrah penciptaannya sama.12
Pendekatan hermeneutik tauhid yang dirumuskan oleh Amina Wadud
memberikan pengalaman baru bagi penafsir sebelum-sebelumnya. Dimana
untuk memperoleh kesimpulan dalam pembacaan teks, Amina Wadud selalu
menghubungkan tiga aspek utama dengan teks keagamaan antara lain:

11
Mutrofin, “Kesetaraan Gender,” 239-240.
12
Muhammad Amin Fathih dan Fikri Al-Fadani, “Pemikiran Amina Wadud Tentang Pendekatan
Hermeneutika Untuk Gerakan Gender,” Zawiyah 8, no 2 (Desember, 2022): 11-12.
pertama, Dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan. Kedua¸ Bagaimana
komposisi gramatika yang ada dalam ayat tersebut (terkait dengan
pengungkapan dan yang dikatakan). Ketiga, Bagaimana pandangan dunia
terhadap ayat tersebut secara menyeluruh. Menurut Amina Wadud jika
penafsir dalam pembacaan teks dapat menghubungkan ketiga aspek tersebut
menjadi satu kesatuan, maka akan lebih meminimalisir terhadap
kesubjektifitasan para penafsir terhadap ayat yang di tafsirkannya dan lebih
mendekatkan kebenaran dalam memahami pesan yang dimaksud dalam ayat
tersebut).
Selain aspek-aspek yang ada di atas, prior texts (latar belakang,
persepsi dan kondisi) menjadi faktor penting bagi penafsir, terutama dalam
kerangka metode tafsir yang digunakan Amina Wadud. Prior texts memiliki
andil besar dalam memberikan cakupan yang sangat luas bagi penafsiran,
sehingga tidak menimbulkan anggapan bahwa tafsir tertentulah yang lebih
benar dibandingkan tafsir lainnya, karena hal ituakan membatasi lingkup
dalam memahami makna ayat secara luas.13
Akar permasalahan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, menurut
Wadud, adalah dari penciptaan manusia. Pendapat yang berkembang di
masyarakat saat ini adalah bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa asal usul perempuan
berbeda dengan laki-laki. Jika laki-laki diyakini berasal dari sumber yang
pertama kali diciptakan oleh Tuhan yakni tanah (saripati tanah), sedangkan
perempuan tidak. Konsekuensi ini muncul karena perempuan diciptakan dari
sumber yang tidak sempurna pula yaitu bagian dari laki-laki. Dengan kata
lain, penciptaan perempuan sangat tergantung pada penciptaan laki-laki. Jika
laki-laki tidak atau belum diciptakan oleh Tuhan, maka perempuan tidak akan
pernah pula tercipta.
Pendapat seperti yang dijelaskan di atas bukanlah muncul dengan tiba-tiba
atau tanpa dasar sama sekali. Salah satu dasar yang paling kuat yang
dimunculkan oleh pendukung pendapat ini adalah ayat QS. al-Nisa (4): 1.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa awalnya Tuhan menciptakan laki-laki

13
Muhammad Amin Fathih dan Fikri Al-Fadani, “Pemikiran Amina,” 12-13.
dari sumber yang satu, kemudian baru diciptakan perempuan dari sumber
(bagian) dari diri laki-laki.
Secara rinci Wadud membahas ayat tersebut dengan analisis teks
(komposisi bahasa) terlebih dahulu. Dia melakukan analisis secara mendalam
terhadap kata kunci dalam ayat tersebut, terutama nafs dan zawj. Kata nafs
(yang diartikan denga diri), secara konseptual, menurut Wadud, mengandung
makna yang netral, tidak mengacu kepada jenis kelamin. Jadi bisa digunakan
untuk laki-laki atau perempuan. Dia menegaskan bahwa dalam catatan Al-
Qur’an tentang penciptaan, Tuhan tidak pernah merencanakan untuk memulai
penciptaan–Nya berdasarkan jenis kelamin. Pemahaman yang netral
sepertinya telah terabaikan selama ini, sehingga memberikan implikasi yang
tidak setara terhadap asal usul penciptaan laki-laki dan perempuan.14

Kata zawj, bagi Wadud, sangat berperan untuk menggiring


pemahaman mufasir klasik tentang konsep penciptaan yang diskriminatif
terhadap perempuan. Karena itu, dia tertarik untuk menganalisa secara lebih
mendalam. Menurutnya, Al-Qur’an menggunakan kata tersebut adalah untuk
menegaskan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah adalah berpasangan.
Karena itu, esensi dari penciptaan yang berpasangan itu adalah untuk saling
melengkapi. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan
lainnya dan keduanya berdiri atas dasar hubungan tersebut. Seorang laki-laki
baru bisa dikatakan suami jika dikaitkan dengan istri. Keberadaan dari salah
satu anggota pasangan ditentukan oleh anggota pasangan yang lainnya.
Konsep pemikiran yang demikian, menurutnya, melahirkan sebuah
pemahaman bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai sebuah
pasangan merupakan bagian rencana Allah. Dengan kata lain, antara kedua
bagian dalam pasangan tersebut sama pentingnya. Tidak ada pernyatan Al-
Qur’an bahwa bagian pasangan yang satu (dalam hal ini laki-laki) lebih
penting dari pasangan lainya (dalam hal ini perempuan). Hanya saja memang
Al-Qur’an membedakan antara pasangan laki-laki dan perempuan tersebut

14
Irsyadunnas, “Tafsir Ayat-Ayat Gender Ala Amina Wadud Perspektif Hermeneutika Gadamer,”
Musawa 14, n0. 2 (Juli, 2015): 131-133.
secara biologis semata-mata adalah untuk menjalankan fungsi masing-masing
sebagai unsur pasangan yang saling melengkapi.15

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan adanya sedikit penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Riffat adalah seorang feminis Muslimah yang berasal dari keluarga
sayyid di Lahore, sebuah kota tua di negara Islam Pakistan pada
tahun 1943, meskipun tanggalnya tidak diketahui secara pasti.
15
Irsyadunnas, “Tafsir Ayat-Ayat Gender,” 133.
Keluarganya merupakan keluarga terkemuka yang sangat dihormati
di kota tersebut, bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara
perempuan.
2. Metodologi yang digunakan oleh Riffat tentu tidak kosong dari latar
belakangnya. Riffat yang mana telah di sebutkan sebelumya di poin
biografi, ia berusaha untuk menggugat sistem patriarki yang telah
mengakar di lingkungan kehidupannya. Salah satu usahanya adalah
untuk menafsirkan ulang Al-Qur’an yang mana selama ini dipandang
mengandung banyak bias-bias patriarki.
3. Amina Wadud memiliki nama panjang Amina Wadud Muhsin. Ia
adalah salah seorang tokoh feminis Muslimah kontroversial yang
lahir di Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25 September
1952. Ayahnya adalah seorang penganut Methodist dan ibunya
keturunan budak Berber, Arab, dan Afrika pada kurun ke-8 Masehi.
Wadud memeluk Islam pada tahun 1972.6 Wadud janda dengan lima
anak, dua laki-laki dan tiga perempuan.
4. Amina Wadud memiliki metode penafsiran tersendiri dengan
berlandaskan kerangka pemikiran Fazlur Rahman, seorang tokoh
perintis tafsir kontekstual. Amina Wadud menyatakan bahwa dalam
upaya menjaga relevansinya dengan manusia, Al-Qur’an harus tetap
ditafsirkan secara terus menerus sesuai dengan konteks yang ada.
Dalam kaitannya ini ia menawarkan penafsiran Al-Qur’an dengan
pendekatan konteks hermeneutik, sebagaimana yang digagas oleh
Fazlur Rahman. Gagasan teori pemikiran Amina Wadud dirumuskan
pada metode pendekatan yang disebutnya dengan hermeneutika
tauhid, yang berangkat pada asumsi bahwa laki-laki dan perempuan
dalam fitrah penciptaannya sama.

B. Saran
Dengan adanya sedikit penjelasan di atas, kami mengharap kepada
seluruh pembaca yang budiman untuk membaca dengan seksama dan
memahami secara betul. Selain itu pemakalah yang statusnya juga manusia
tidak akan luput dari kesalahan. Jika terdapat banyak kesalahan kami mohon
maaf dan kami dengan senang hati menerima masukan dan kritik konstruktif
sebagai pembelajaran bagi kami untuk lebih baik lagi dalam pembuatan
makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Enginer, Asghar. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA


Yayasan Prakarsa, 1994.
Anam, Haikal Fadhil. 2019. “Tafsir Feminisme Islam: Kajian Atas Penafsiran
Riffan Hasan Terhadap QS. An-Nisa’ (4); 34.” Maghza 4 (2). Doi:
10.24090/maghza.v4i2.3071.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,1996.
Fathih, Muhammad Amin dan Fikri Al-Fadani. 2022. “Pemikiran Amina Wadud
Tentang Pendekatan Hermeneutika Untuk Gerakan Gender.” 8 (2).
Irsyadunnas. 2015.“Tafsir Ayat-Ayat Gender Ala Amina Wadud Perspektif
Hermeneutika Gadamer.” Musawa 14 (2).
Mutrofin. 2013. “Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat
Hasan.” Teosofi 3 (1).
Sulastri. 2022. “Horizon Metodologis Historis Kritis Riffat Hasan dalam
Memahami Ayat Gender.” Al-Amin 5 (1). Doi:
org/10.36670/alamin.v2i02.20.

Anda mungkin juga menyukai