Anda di halaman 1dari 15

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Psikologi Agama Yuliana Intan Lestari,S,Psi., M.A.

TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG

Oleh

Vingky Dinda Anggriani 12160123507


Yasir Rahmad 12160112196
Diah Atika 11960124702

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami
ucapkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta berkah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Psikologi Agama yang diberikan pada
semester ini. Makalah ini disusun dari berbagai sumber. Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yuliana Intan Lestari,S,Psi., M.A. selaku dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Agama yang telah memberikan bimbingan dan saran sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Kami juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
untuk pembaca khususnya bagi mahasiswa jurusan Psikologi.

Pekanbaru, 26 november 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 1
1.3 Tujuan.................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 5

2.1 Aliran Klenik........................................................................................................ 5

2.2 Konversi Agama................................................................................................... 6

2.3 Konflik Agama..................................................................................................... 10

2.4 Aliran Sesat.................................................................................................................. 12

BAB III PENUTUP.................................................................................................... 14

3.1 Simpulan.............................................................................................................. 14

3.2 Saran..................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 15


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan penghayatan
seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin seseorang, karenanya
persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan seseorang terhadap
agamanya.
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi
(pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama. pada diri
seseorang, karenanya in berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang .
Sikap keagamaan sangat dipengaruhi oleh faktor bawam berupa fithrah beragama,
dimana manusia punya naluri untuk hidup berguna, dan faktor luar diri individu, berupa
bimbingan dan pengembangan hidup beragama dari lingkungannya.
Dalam kehidupan di masyarakat, sering ditemui perilaku sikap keagamaan yang
menyimpang, maka dalam makalah ini dengan kajian psikologis, akan dibahas tentang hal
tersebut, berikut dengan penyebabnya, yang diharapkan dari sini dapat digali herbagai
alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan tingkah laku keagamaan
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana sikap kebenar
b. Kasus apa saja yang termasuk prilaku menyimpang?
c. Bagumana Aliran Klenik dalam masyarakat
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui sikap keberagaman b. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk prilaku
menyimpag.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan
kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,
1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan
praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini
melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi
penganut agama masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini umumnya diterima
sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional. Sisi-
sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib ini tentunya tidak memiliki
batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emosional dan cenderung berada
di luar jangkauan nalar. Karena itu tak jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang
dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih
diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
Psikologi agama yang mempelajari hubungan sikap dan tingkah laku manusia
dalam kaitan dengan agama, agaknya dapat melihat penyimpangan tingkah laku
keagamaan sebagai bagian dari gejala kejiwaan. Sebab, sebagai kata Thouless
selanjutnya, sugesti dapat pula dijadikn alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan
keagamaan (Robert Thouless, 1992: 39).
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat Klenik memiliki
karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1. Pelakunya menokohkan diri selaku orang suci dan umumnya tidak memiliki latar
belakang yang jelas (asing).
2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang
berhubungan dengan hal-hal gaib.
3. Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.

Aliran klenik sebagai bagian dari bentuk tingkah laku keagamaan yang menuimpang
akan senantiasa muncul dalam setiap masyarakat, apa pun latar belakang
kepercayaannya. Aliran klenik seperti ini terkadang demikian kuatnya memengaruhi
mereka yang mempercayainya, sehingga mereka senantiasa menolak pengaruh dari luar,
walaupun bermanfaat.
2.2 Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan
berubah agama ataupun masuk agama. Untuk memberikan gambaran yang lebih mengena
tentang maksud kata-kata tersebut perlu dijelaskan melalui uraian yang dilatarbelakangi
oleh pengertian secara etimologis. Dengan pengertian berdasarkan asal kata tergambar
ungkapan kata itu secara jelas.
1. Pengertian Konversi Agama
a. Pengertian konversi agama
Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama
mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendiriaan terhadap
ajaran agama atau masuk ke dalam agama(menjadi paderi).
Konversi agama banyak mengatakan masalah kejiwaan dan pengaruh
lingkungan tempat berada. Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian di
atas memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:
a. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama
dan kepercayaan yang dianutnya.
b. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan
dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
c. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari
suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan
terhadap agama yang dianutnya sendiri.
d. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perunahan itu pun
disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
2. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Berbagai ahli berpendapat bahwa dalam menentukan faktor yang menjadi
pendorong konversi. William James dalam bukunya The varieties of Relogious
experience dan Max Heirich dalam bukunya Changeof Heart banyak menguraikan
faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut.
Dalam buku tersebut diuraikan pendapat dari para ahli yang terlihat dalam disiplin
ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama disebabkan
faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
a. Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi
agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya
konversi itu sendiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan
maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan ataupun bidang kebudayaan
yang lain).
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin.
Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah
kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga terbiasa, misalnya: menghadiri
upacara keagamaan ataupun pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan
baik pada lembaga formal ataupun nonformal.
3. Pengaruh anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat misalnya:
karib, keluarga.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan.
Hubungan yang baik dengan pimpinan agama merupakan salah satu faktor
pendorong konversi agama.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
Perkumpulan yang dimasuki seseorang berdasarkan hobinya dapat pula
menjadi pendorong konversi agama.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin.
Yang dimaksud di sini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan
kekuatan hukum. Masyarakat umumnya cenderung menganut agama yang
dianutnya oleh kepala negara atau Raja mereka.
b. Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya
konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun
ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila memengaruhi seseorang atau kelompok hingga
menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan
keluar yaitu ketenangan batin. Dalam uraian William james yang berhasil meneliti
pengalamaan berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang meguasai pusat
kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam
bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.
2. Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara
mendadak (tanpa suatu proses).
Berdasarkan gejala tersebut maka dengan meminjam istilah yang digunakan
sturbuck ia membagi konversi agama menjadi dua tipe yaitu:
1. Tipe Volitional (perubahan bertahap)
2. Tipe Self-Surrender (perubahan drastis).

3. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut


berdasarkan tinjauan para psikolog adalah berupa pembebasan diri dari
tekanan batin.
Faktor yang melatarbelakanginya timbul dari dalam diri (intern) dan dari
lingkungan (ekstern).
a. Faktor Intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah:
1) Kepribadian
2) Faktor Pembawaan
b. Faktor ekstern (faktor luar diri)
Di antara faktor luar yang memengaruhi terjadinya konversi agama
adalah:
1. Faktor keluarga
2. Lingkungan tempat tinggal
3. Perubahan status
4. Kemiskinan
c. Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi
oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan
argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut memengaruhi konversi
agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang
pengaruh lembaga pendidikan pendidikan terhadap konversi agama,
namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaungan di bawah yayasan
agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.

3. Proses Konversi Agama


Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar.
Proses konversi ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah
gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan
bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
Demikian pula seseorang atau kelompok yang mengalami proses konversi
agama ini. Segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola
tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya (agama), maka
setelah terjadi konversi agama pada dirinya secara spontan pila lama
ditinggalkan sama sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan
lama, seperti: harapan, rasa bahagia, keselamatan dan kemantapan berubah
menjadi berlwanan arah. Timbullah gejala-gejala baru berupa, perasaan serba
tidak lengkap dan tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan
dalam bentuk merenung, timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa
berdosa, cemas terhadap masa depan, dan perasaan susah yang ditimbulkan
oleh kebimbangan.
Sejumlah contoh yang dapat dimasukkan sebagai kasus konversi yang
terjadi di masyarakat dikemukakan sebagai berikut:
a. Perubahan Drastis
b. Pengaruh Lingkungan

2.3 Konflik Agama


Akhir-akhir ini telah terjadi sejumlah kasus yang cukup mencemaskan. Rosita s.
Noer mengemukakan, bahwa selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini, kerusuhan
sosial semakin menjadi gejala umum bagi perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Penyebab awal yang tampak di permukaan dari kasus-kasus tersebut, adalah marahnya
massa hingga terjadi kerusuhan. Sementara, penyebab yang menjadi faktor tersembunyi,
umumnya dikaitkan dengan masalah-masalah hubungan sosial (Rosita S. Noer, 2003:3-4)
Agama sebagai keyakinan memang menyangkut kehidupan batin seseorang (liner
life) yang berhubungan dengan sistem nilai. Nilai adalah sesuatu yang dianggap benar
dan diikuti. Nilai merupakan realitas abstrak, yang dirasakan dalam diri masing-masing
sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip, yang menjadi pedoman dalam hidup
Adapun sistem nilai yang dianggap paling tinggi adalah nilai-nilai agama yang ajarannya
bersumber dari Tuhan. Maka tak mengherankan bila agama sering dijadikan “alat
pemicu” yang paling potensial untuk melahirkan suatu konflik.
1. Pengetahuan Agama yang Dangkal
Secara psikologis, masyarakat awam cenderung mendahulukan emosi
ketimbang nalar. Kondisi yang demikian itu, memberi peluang bagi masuknya
pengaruh-pengaruh negatif dari luar yang mengatasnamakan agama. Apabila
pengaruh tersebut dapat menimbulkan respons emosional, maka konflik dapat
dimunculkan. Tegasnya, mereka yang awam akan berpeluang untuk diadu domba.
2. Fanatisme
Agama sebagai keyakinan pada hakikatnya merupakan pilihan pribadi dari
pemeluknya. Pilihan itu tentunya didasarkan pada penilaian, bahwa agama yang
dianutnya adalah yang terbaik. Makanya ia berusaha untuk mengamalkan ajaran
agamanya semaksimal mungkin, dengan menempatkan dirinya sebagai penganut
yang taat. Menjadi penganut yang taat, merupakan perintah agama. Sejatinya
pemeluk agama harus berbuat demekian.
3. Agama sebagai Doktrin
Pemahaman ajaran agama yang dipersempit ini cenderung menjadikan
pemeluknya menggunakan penilai hitam-putih, yang menjurus pda munculnya
kelompok-kelompok ekstrem dalam bentuk gerakan sempalan yang ekslusif.
4. Simbol-Simbol
Dalam kajian antarpologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu
yang bersifat adikodrati (supernatural), ajaran, penyampaian ajaran, lakon ritual,
orang-orang suci, tempat-tempat suci dan benda-benda suci. Walaupun agama
bermacam-macam, namun komponen itu didapati disemua agama, dengan demikian,
selain merupakan keyakinan, agama juga mengandung simbol-simbol yang oleh
penganutnya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan.
5. Tokoh Agama
Tokoh agama menempati fungsi dan memiliki peran sentral dalam
masyarakatnya. Sebagai tokoh, ia dianggap menempati kedudukan yang tinggi dan
dihormati oleh masyarakat pendukungnya. Dalam posisi seperti itu, maka perkataan
yang berkaitan dengan masalah agama dinilai sebagai fatwa yang harus ditaati.
Karena itu tokoh agama lazimnya menempati kedudukan sebagai pemimpin
karismatis.
6. Sejarah
Sejarah sebagai kejadian dan peristiwa masa lalu, sebenarnya menyangkut
berbagai aspek kehidupan. Sejarah dapat menyangkut aspek politik, hukum, budaya,
sosial, ekonomi, ideologi, iptek dan sebagainya. Namun demikian, dalam
perkembangan dan penyebarannya, agama juga memiliki sejarah sebagai babakan
masa lalunya.
7. Berebut Surga
Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi setelah
berakhirnya kehidupan duniawi. Konsep agama, khususnya agama samawi,
menggambarkan kehidupan akhirat itu dalam dua versi. Pertama, versi yang
berkaitan dengan perilaku yang bertentangan dengan nilai ajaran. Para pelaku
digolongkan sebagai “pendosa” yang dijanjikan sebagai penghuni neraka. Secara
umum, neraka digambarkan sebagai tempat “penyiksaan” dan hukuman bagi para
pendosa. Pendek kata, neraka identik dengan azab.
2.4 Aliran Sesat
Kata “sesat” dalam bahasa Arab berasal dari kata dlallâ dlalâlah. Sebuah
kelompok, aliran, individu atau ajaran agama dianggap “sesat” dan menyempal ketika ia
menyimpang dari ajaran dasar, akidah, ibadah, amalan, dan pendirian mayoritas umat.
Dalam al-Qur'an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat. Atas dasar
itu, aliran sesat bisa didefinisikan sebagai sebuah aliran, kelompok, individu atau ajaran
agama yang menyimpang dan menyempal dari ajaran dasar agama, akidah, ibadah,
amalan, dan pendirian mayoritas umat agama tertentu dan berakibat pada penodaan dan
penyelewengan terhadap ajaran agama tersebut.
Menurut sosiolog dan peneliti LIPI, Fachri Ali, munculnya aliran yang dinilai
sesat, secara spekulatif, dapat dinilai sebagai bagian dari usaha orang atau kelompok
tertentu untuk mendapatkan sesuatu yang spesifik sesuai dengan kepentingan yang telah
mereka agendakan. Dalam konteks ini, lanjut Ali, timbul keanehan ketika agama tidak
lagi mampu menyediakan ruang privat bagi kalangan awam. Mereka mencari bilik-bilik
sendiri dan menemukannya dalam unit-unit kecil yang saat ini marak. Selain itu, agama
formalistik kadang-kadang membuat orang merasa jauh dengan pemimpinnya.
Dalam amatan Yudi Latif, era reformasi yang mengenalkan ruang terbuka secara
tiba-tiba membuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk tampil berbeda.
Sebelumnya, di Orde Baru, multikulturalisme, pluralitas agama, adat atau kebiasaan,
benar-benar ditekan jika tidak masuk dalam kerangka yang sudah dibuat.8 Lanjut Latif,
tatkala kelompok yang besar mengalami krisis kepercayaan, maka muncul
kelompokkelompok perlawanan, sikap radikalisme, dan berbagai ekspresi keberagamaan
yang biasanya agak menyempal dari ekspresi keberagamaan mainstream.
Di Indonesia, gejala berlapis ini memunculkan global paradox akibat
penyeragaman atas agama. Bukankah ketidakpuasan adalah gejala biasa dalam era
postmodernisme? Ketidakpuasan memunculkan tekanan, yang dalam kasus ini membuka
ruang untuk memunculkan kelompok dengan identitas berbeda yang dinilai sebagai aliran
sesat. Mereka butuh stabilitas dan tokoh yang bisa memberikan kepastian, inspirasi, dan
karisma. Dan semua ini didapat dari kelompok-kelompok yang memang dekat dengan
mereka, dan bukan dari kelompok besar yang sangat formal.
Identifikasi Karakter Sesat dan Latar Munculnya
Isu sesat dan menyesatkan dalam beragama nampaknya selalu menarik perhatian
publik negeri ini di tengah kompleksitas permasalahan kehidupan. Kehadiran aliran
tersebut umumnya disambut dengan penolakan keras, meski sebagian ada yang
membiarkan dan toleran. Aliran yang disebut sesat atau sempalan bukan hanya ada pada
ajaran Islam tetapi juga ada pada semua agama di dunia. Fenomena sempalan dalam
beragama di atas bisa diperdebatkan tergantung perspektif apa yang digunakan untuk
mendiskusikannya.
Perlu ditegaskan kembali bahwa persoalan aliran yang dianggap sesat sebenarnya
selalu ada pada semua agama. Dalam lingkup kekristenan, hal semacam itu juga terjadi.
Tunjuk misal dalam sejarah agama Kristen, selama 2000 tahun belakangan tidak pernah
sunyi dari aliran sesat atau “sempalan”. Disebut “sempalan” atau “sekte” dalam ajaran
Kristen karena dianggap menyimpang dari ajaran dasar, akidah, ibadah, amalan, atau
pendirian mayoritas umat Kristen. Dalam perspektif sosiologi agama, fenomena aliran
sesat adalah sesuatu yang sangat lumrah. Agama sebagai sebuah keyakinan yang juga
merupakan ilmu pengetahuan cenderung dan bisa saja mengalami deviasi terutama bagi
mereka yang memahaminya sepotong-sepotong. Sementara dalam kacamata psikologi
agama, manusia sebenarnya berada pada level-level yang berbeda seiring dan sesuai
dengan tingkat pemahaman dan Intellectual Quetion (IQ) pemilik keyakinan tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan penghayatan
seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin seseorang,
karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan
seseorang terhadap agamanya.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada
tingkat fikir seseorang sehingga akan mendatangkan kepercayaan atau keyakinan baru
kepada yang bersangkutan baik indivual maupun kelompok).
Individu yang tidak menyimpang tersebut adalah atas dasar pembentukan
kepribadian, perumusan sikap dan keserasian hubungan sosial at sur perbuatan dalam
upaya memenuhi ketaatan kepada Yang transpersonal atau supranatural.
Terdapat beberapa perilaku menyimpang tersebut antara lain
1. Aliran klenik
2. Konversi agama
3.Konflik agama
4.Aliran sesat

3.2 Saran
Dari pembahasan materi yang telah disampaikan, diharapkan bagi penulis dan pembaca
untuk lebih memahami Tingkah Laku Keagamaan Yang Menyimpang. diharapkan
semoga bisa mengaplikasikan dalam aktivitas belajar mengajar. Untuk penulis
selanjutnya, diharapkan tulisan ini mampu menjadi bahan acuan agar diteliti lebih dalam
lagi sehingga kita memiliki pengetahuan yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin. (2015). Psikologi Agama. Jakarta:Raja Grafindo Persada.


Mahfud. (2007). aliran sesat, toleransi agama, dan pribumisasi islam humanis. Ulumuna,
Volume XI Nomor 2 Desember 2007

Anda mungkin juga menyukai