Anda di halaman 1dari 23

PEREMPUAN JADI PRESIDEN ATAU

KEPALA NEGARA
Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Masai’lul Fiqiyah

Dosen Pengampu : Dr. Ela Hodijah N, S. Ag., M. Pd. I.

Ade Dadang Sunendang / B.2020.1.1.003

Husnul Anam / B.2020.1.1.043

Putri Diana S / B.2020.1.1.076

Suci Wanti / B.2020.1.1.094


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SEBELAS APRIL


SUMEDANG
Jalan Angkrek Situ No. 19 Sumedang 45323 Jawa Barat

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan khadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan berkat dan hidayah-Nya lah kami dapat inenyelesaikan makalah
Masai’ilul Fiqiyah. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada
junjunan kita semuanya Habibana wa Nabiyana Muhammad Saw.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Ela Hodijah N, S. Ag., M. Pd. I.yang
telah memberikan tugas ini sehingga kami dapat belajar dan mengembangkan
pengetahuan tentang Masai’ul Fiqiyah dengan tema “Presiden Perempuan atau
Kepala Negara”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna oleh karena itu kami sangat menantikan kritik maupun saran yang
membangun demi penyempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Terima kasih

Sumedang, 17 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah..............................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................1

1.3. Tujuan Penelitian..........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3

2.1. Pengertian Kurikulum..................................................................................3

2.2. Perkembangan Kurikulum di Indonesia....................................................3

2.3. Kurikulum SMA IT Insan Sejahtera Sumedang.......................................3

2.4. Penerapan Kurikulum Merdeka di SMA IT Insan Sejahtera Sumedang


3

BAB III PENUTUP.....................................................................................................4

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................5

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Salah satu isu penting dalam kontestasi politik di berbagai negara, tak
terkecuali negeri dengan mayoritas penduduk muslim, adalah mengenai
kepemimpinan perempuan. Dalam realitas sehari-hari maupun kondisi politik
terkini, sudah mulai banyak perempuan dengan jabatan strategis tertentu, baik di
komunitas, organisasi, maupun pemerintahan, mulai skala daerah hingga nasional.
Dalam makalah ini menyuguhkan meteri kepemimpinan perempuan dalam
perspektif Fiqih Islam. Jika membaca sepintas beberapa ayat dan hadis tentang
hal tersebut, terkesan ada kecenderungan seolah Islam memojokkan perempuan
dan mengistimewakan laki-laki. Akan tetapi, jika menyimak secara mendalam
dengan menggunakan metode semantik, semiotika dan hermeneutik secara kritis,
maka justru sebaliknya, Islamlah yang pertama kali menggagas konsep keadilan
jender dalam sejarah, sepanjang kehidupan umat manusia.

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pandangan agama islam mengenai kepemimpinan perempuan?


b. Apa sebabnya Islam melarang perempuan untuk memjadi pemimpin?
c. Apakah bisa perempuan memimpin suatu pemerintahan dalam konteks
Fiqih Islam?
d. Bagaimana pendapat Zumhur Ulama mengenai Perempuan sebagai kepala
pemerintahan?
e. Apakah keefektifan pemimpin perempuan di lembaga legislative?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pandangan agama islam mengenai kepemimpinan


perempuan.

1
b. Untuk mengetahui sebab islam melarang perempuan untuk menjadi
pemimpin.
c. Untuk mengetahui bisa atau tidaknya perempuan memimpin suatu
pemerintahan dalam konteks fiqih islam.
d. Untuk mengetahui pendsapat Zhumur Ulama mengenai Perempuan
sebagai kepala kepmerintahan.
e. Untuk mengetahui keefektifan pemimpin perempuan di lembaga
legislative.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pandangan Agama Islam mengenai kepemimpinan Perempuan

Dalam konteks ajaran Islam, mengenai kepemimpinan perempuan sering


disebut dan didiskusikan sebagai salah satu isu yang menghambat perempuan di
masyarakat. Salah satu hadits yang sering disebut adalah:

‫ِب ِل ٍة ِمَس ِم‬


‫َح َّد َثَنا ُعْثَم اُن ْبُن اَهْلْيَثِم َح َّد َثَنا َع ْو ٌف َعِن اَحْلَس ِن َعْن َأىِب َبْك َر َة َقاَل َلَقْد َنَف َعىِن الَّلُه َك َم ْع ُتَه ا ْن‬
‫ِت‬ ‫ِب‬ ‫ِب‬ ‫ِك‬ ‫ِل َّل ِه‬
‫ َبْع َد َم ا ْد ُت َأْن َأَحْلَق َأْص َح ا اَجْلَم ِل َفُأَقا َل‬، ‫ َأَّياَم اَجْلَم ِل‬- ‫ صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫َرُس و ال‬
‫ َأَّن َأْه َل َفاِر َس َقْد َم َّلُك وا َعَلْيِه ْم ِبْنَت ِكْس َر ى‬- ‫ صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫َمَعُه ْم َقاَل َلَّم ا َبَلَغ َرُس وَل الَّلِه‬

» ‫َقاَل « َلْن ُيْف ِلَح َقْو ٌم َو َّلْو ا َأْم َر ُه ُم اْم َر َأًة‬

Artinya : “Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata:
‘Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang kudengar dari
Rasulullah SAW pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir
membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika
sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra
sebagai pemimpin, beliau bersabda ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada wanita.’’” (HR Al-Bukhari).

Asbabul wurud atau sebab dituturkannya hadits tersebut oleh Abu Bakrah
adalah ketika konflik politik meruncing antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina
Ali bin Abu Thalib, yang menjadi pemicu Perang Jamal pada tahun 36 H. Posisi
politik Abu Bakrah sendiri disebutkan tidak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah,
dan mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi di atas. (Syauqi, 2021)

Penerima periwayatan hadis ini diterima sebagaian besar ulama lebih karena
kredibilitas Imam Bukhari telah teruji. Tapi untuk pemaknaannya sebagai dasar

3
pelarangan kepemimpinan perempuan, nampaknya harus dikaji ulang. Hibah Rauf
Izzat menyatakan bahwa ada beberapa kelompok ulama dalam
memahaminya. Pertama, yang menyatakan bahwa perempuan menurut Islam, tidak
layak untuk memegang jabatan apapun, bahkan untuk mengurus persoalan
apapun. Kedua, yang mengatakan bahwa hadis ini hanya melarang penyerahan
persoalan kepemimpian tinggi (khilafah) kepada perempuan bukan kepemimpinan
dalam persoalan yang lain. Ketiga, yang menolak konsekwensi hukum dari hadis ini.
(Rahima, 2018)1

Para pensyarah hadits menjelaskan peristiwa apa yang menyebabkan Nabi


berujar demikian. Alkisah, negeri Kisra-salah satu bagian dari negeri-negeri Persia-
memiliki seorang raja yang terbunuh, buah dari konflik internal kerajaan. Rupanya,
pembunuh sang raja adalah anak lelakinya sendiri. Intrik demi intrik terjadi dalam
kerajaan, dan singkat cerita diputuskan untuk mengangkat raja dari anak perempuan
sang Kisra.

Sayangnya, anak perempuan Kisra ini kurang sukses memimpin kerajaan.


Banyak diskusi tentang sebabnya, ada yang menyebut inkompetensi, ada juga yang
menyebutkan bahwa kemunduran kerajaan itu adalah akibat Kisra menyobek surat
dakwah dari Nabi, maka ia kualat dengan terjadinya intrik dalam istana, serta
‘terpaksa’ anak perempuannya yang menjadi raja dan doa Nabi mengenai
kemunduran kerajaan pun terkabulkan. Demikian kurang lebih keterangan dalam
Irsyadus Sari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Imam Al-Qasthalani dan Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi karya Imam Al-Mubarakfuri (Syauqi, 2021). 2

Melihat kisah ini, nampaknya hadis ini sama sekali tidak bisa digeneralisasi
untuk melarang kepemimpinan perempuan di manapun dan kapanpun. Hadis ini
khusus mengenai bangsa Persia dan pemimpin perempuan saat itu. Dalam
bahasa Hibah, hadis ini termasuk dalam katagori teks informatif (al-akhbar) dan

1
Hadits-hadits tentang kepemimpinan perempuan, https://swararahima.com/2018/11/21/hadis-hadis-
tentang-kepemimpinan-perempuan/
2
Kepemimpinan Perempuan dalam Kajian Hadits, https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/kepemimpinan-
perempuan-dalam-kajian-hadits-rLKxt

4
pengabaran kemenangan (al-Bisyarah), bukan termasuk dalam katagori teks normatif
yang memiliki konsekwensi hukum syari’at (al-Hukm al-Syar’i).

Pernyataan Syekh Ibn Hajar al-‘Asqallani, penulis kitab komentar terkenal


atas kitab Sahih Bukhari, juga sangat memperkuat pandangan pengelompokan
pemahaman hadis di atas. Ibn Hajar menyatakan bahwa hadis di atas merupakan
salah satu hadis yang berkaitan dengan kisah kerajaan Persia. Raja Persia saat itu
telah menyobek surat Nabi, kemudian ia dibunuh oleh anaknya sendiri. Sang anak
kemudian menjadi raja, tetapi kemudian meninggal karena diracun. Kerajaan
kemudian diserahkan kepada anak perempuannya, bernama Bawran binti Syayruyah
bin Kisra, yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia.

Dalam suatu riwayat, Nabi Saw bersabda:

…………………………………………………..

Artinya : “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku melihat kamu


sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak. Para perempuan bertanya:
“Mengapa wahai Rasul?”, Nabi Saw menjawab: “Kamu sering mengumpat dan
melupakan kebaikatan orang, aku sekali-kali tidak melihat orang yang (dikatakan)
sempit akal dan kurang agama, tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki,
selain kamu”. “Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama wahai
Rasul?”, Nabi Saw menjawab: “Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah
dari kesaksian laki-laki?, “Ya”, jawab mereka. “Itulah yang dimaksud sempit akal,
bukankah ketika sedang haid wanita tidak shalat dan tidak puasa?”, “Ya”. jawab
mereka. “Itulah yang dimaksud kurang agama”.

Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam bab haid (no. hadis
304, juz I, halaman 483), sehingga oleh ulama dianggap sahih. Sementara ini, tidak
terdengar ulama yang mengkritisi hadis ini, dari segi periwayatannya. Adapun

5
mengenai pemaknaan hadis, sejak awal sudah terjadi keragaman pandangan, tentang
apa yang dimaksud dengan sempit akal dan kurang agama bagi perempuan. Apakah
ia bersifat general untuk semua (mayoritas) perempuan, dalam semua persoalan
keagamaan dan keduniaan, atau ia bersifat kasuistik dan kondisional, untuk hal-hal
tertentu dan karena sebab-sebab kondisi tertentu?

Banyak orang yang menarik kesimpulan secara sederhana dari hadis ini.
Mereka mengatakan bahwa Islam tidak memperkenankan perempuan untuk menjadi
pemimpin negara, karena Islam menganggap perempuan adalah orang yang sempit
akal dan kurang agama (naqisat al-‘aql wa al-din). Kesimpulan ini sangat sederhana,
sehingga perlu untuk dikaji ulang.

Konsep fikih mengenai kelayakan seseorang (al-ahliyah), baik dalam hal yang
berkaitan akal maupun agama, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Yang ada adalah pembedaan antara anak kecil dengan orang dewasa, atau antara
orang gila dan orang waras. Ketika sudah dewasa dan waras, laki-laki dan perempuan
dianggap memiliki kelayakan penuh (al-ahliyah al-tammah) baik untuk menerima
hak maupun untuk mengemban tanggung jawab dalam segala bidang. Keringanan-
keringanan yang dianugerahkan kepada perempuan dalam beragama, bukan
berangkat dari kesempitan akal mereka, atau label ‘kurang agama’ yang melekat pada
mereka secara inheren, ciptaan atau bawaan. Tetapi merupakan pengaruh kondisi dan
bersifat kasuistik, yang bisa berubah sesuai dinamika masyarakat.

Dalam hadis ini, seperti juga dikatakan oleh Muhammad Sa’id Ramadhan al-
Buthy, pakar fiqh mazhab Syafi’i kontemporer dari Syria, ada keterkaitan antara
pernyataan awal dan penjelasan berikutnya. Kesempitan akal yang dimaksud
hanyalah ‘setengah kesaksian’ perempuan, seperti diungkapkan oleh Nabi saw.
Artinya ia hanya merupakan label untuk suatu kasus, bukan label untuk realitas
ciptaan secara menyeluruh. Seperti ungkapan ‘siswa kurang akal’ yang dinyatakan
terhadap siswa yang tidak bisa menjawab pertanyaan guru. Karena Islam sendiri

6
memberikan banyak hak dan kewajiban kepada perempuan. Periwayatan seorang
perempuan terhadap teks agama (hadis) juga diterima oleh Islam. Adalah suatu hal
yang lucu, kalau perempuan dianggap kurang akal, tetapi ia diterima untuk
meriwayatkan dan menerangkan teks-teks agama.

‘Kurang agama’ yang dimaksud dalam hadis juga hanyalah kondisi tidak shalat dan
tidak puasa karena haid, seperti yang dinyatakan oleh Nabi saw sendiri. Artinya,
ungkapan itu hanya merupakan label tentang suatu kondisi, bukan pernyataan
terhadap realitas yang sebenarnya. Karena perempuan memang oleh agama
diperkenankan untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid, bahkan diperintahkan
untuk itu. Adalah suatu hal yang naif, kalau agama memerintahkan suatu perbuatan
kemudian memberikan label ‘kurang agama’ bagi yang melakukannya. Apalagi ada
hadis-hadis lain yang membuka kesempatan bagi perempuan yang haid untuk
melakukan hal-hal positif lain (amal saleh) yang bisa meningkatkan pahala mereka,
melebihi pahala shalat dan puasa. (Rahima, 2018)3

Berdeda halnya dalam al-Qur’an mengenaikepemimpinan yang dipegang oleh


perempuan. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30

…………………………………………………….

Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,


“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana,
sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman,
“Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Ayat tersebut menjelaskan semua manusia itu sama, yaitu menjadi khalifah dan
menciptakan kemaslahatan di muka bumi. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah,

3
Hadits-hadits tentang kepemimpinan perempuan, https://swararahima.com/2018/11/21/hadis-hadis-
tentang-kepemimpinan-perempuan/

7
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya.

Secara tidak langsung Allah tidak melarang seseorang untuk menjadi seorang
pemimpin disuatu pemerintahan termasuk perempuan. Kemudian Allah menyebutkan
kisah keberhasilan kepemimpinan ratu Balqis di dalam al-Qur’an

2.2. Kepemimpinan Perempuan dalam Konteks Fiqih Islam

Beberapa ulama fikih seperti Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa jabatan kehakiman dan termasuk juga kekuasaan pemerintahan
harus diserahkan kepada laki-laki dan tidak boleh diberikan kepada perempuan.
Karena tingkat kecerdasan akal perempuan masih berada di bawah kecerdasan laki-
laki. Selain itu, perempuan dalam posisi tersebut akan berhadapan dengan laki-laki.
Kehadirannya
seperti ini akan membawa kepada fitnah. (Muhammad, 2001: 142). Sementara itu,
Ibnu Rabi’, Imam al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali mensyaratkan bahwa seorang
pemimpin/kepala negara itu harus laki-laki yang merdeka dan dewasa. (Pulungan,
1994: 154- 156). Pendapat mereka agaknya dapat dimaklumi karena kondisi dan
situasi saat itu memandang laki-laki masih lebih terdidik dari perempuan.
Berdasarkan keterangan di atas, sudah dapat diduga bagaimana pendapat para ahli
fikih Islam mengenai posisi perempuan untuk jabatan kepala negara/presiden atau
perdana menteri. Sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para ahli fikih
terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai kepala negara. Syah
Waliyullah ad-Dahlawi—pembaharu Muslim : menyatakan bahwa syarat-syarat
seorang khalifah adalah berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani,
cerdas, mendengar, melihat dan dapat berbicara.Semua ini telah disepakati oleh
seluruh umat manusia di manapun dan kapan pun. (Al-Dahlawi, t.t.: 149).

Sementara itu, Wahbah az- Zuhaili mengatakan bahwa lakilaki sebagai syarat seorang
imam (kepala negara) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama ahli

8
fikih. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “Tidak sah perempuan menduduki
jabatan al-imamah al-uzhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi Muhammad Saw,
Khulafa ar-Rasyidin dan penguasapenguasa sesudahnya juga tidak pernah
mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur (wilayah balad).”

2.3. Pendapat Zumhur Ulama mengenai Kepemimpinan Perempuan

a. Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif M.Quraish Shihab.


Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak,
lebihlebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa
memiliki pasangan dan keluarganya1 didalam Surat an-Nisa ayat 34,
dijelaskan bahwa lelaki sebagai pemimpin dalam keluarga, dengan dua
pertimbangan. Pertama: “karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas
sebahagian yang lain” yakni masing-masing memiliki keistimewaan
keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki lebihmenunjang tugas
kepemimpinan dari pada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Kedua:
“karena mereka (laki-laki)telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Kalimat ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah
menjadi suatu kelaziman bagi lelaki. Ayat ini tidaklah mengenai
kepemimpinan lelaki dalam segala hal(termasuk sosial dan politik) atas
perempuan, melainkan kepemimpinan lelaki atas perempuan dalam rumah
tangga. Artinya, menggunakan ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan
untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat. Melihat konteks dan
munasabah ayat nya yakni mengenai hubungan rumah tangga.
Sedangkan untuk perempuan sebagai pemimpin politik terdapat
indikasi boleh sebagaimana tertera dalam surat at-Taubah ayat 71
………………………….

Artinya:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi Auliya bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh

9
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Berarti seorang perempuan dapat menjadi awliyā` bagi lelaki.
Kemudian ia menyebutkan bahwa arti kata awliyā` adalah pemimpin,
pelindung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Depag menggunakan
kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap bahwa keluasan makna
kata awliyā` tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan. ini
tidaklah dikhususkan untuk lelaki maupun perempuan melainkan memberi
hak untuk kepada para lelaki, dan perempuan secara keseluruhan, untuk
memimpin dalam segala hal yang mempengaruhi kehidupan keduanya.
Alasannya ialah, kepemimpinan adalah suatu posisi dimana pemiliknya harus
memiliki kemampuan intelektual dan logika yang baik. Secara umum ayat di
atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama
antara laki-laki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang
ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan
mencegah yang munkar”. Pengertian kata auliya’ mencakup kerjasama,
bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase
“menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan dan
perbaikan kehidupan, ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka
mukmin yang lain mencegahnya dan ketika mukmin tidak mengerjakan
kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap
mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan
melarang mengerjakan kemunkaran. Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak
tertuju kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya secara bersamaan.
Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yang penting
dia mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin. Al-Qur’an sendiri
adalah yang pertama kali menyebutkan kepemimpinan perempuan melalui
figur Ratu Bilqis dari Saba’. Sebagaimana dalam surat an-Naml ayat 23.

10
Artinya:
Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita 2 yang memerintah mereka,
dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang berpikir lincah, bersikap


hati-hati dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak gegabah dan buru-buru
dalam memutuskan sesuatu, sehingga ketika ditanya tentang singgasananya
yang telah dipindahkan itu, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis, tidak
dengan jawaban vulgar yang dapat menjebak. Bahkan kecerdasan Balqis dan
berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat keindahan istana Sulaiman
yang lantainya dari marmer yang berkilauan laksana air.3 Dalam ketakjuban
itu, Ratu Balqis tidak menyerah begitu saja kepada Sulaiman. Tetapi ia
mengatakan ‚Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap
diriku dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah, tuhan semesta
alam. Demikian al-Qur’an bercerita tentang kepemimpinan seorang
perempuan dengan menceritakan contoh historis Ratu Balqis di negeri Saba’
yang merupakan gambaran perempuan yang mempunyai kecemerlangan
pemikiran. Ketajaman pandangan, kebijaksanan dalam mengambil keputusan,
dan setrategi politik yang baik. ketika ia mendapat surat dari Nabi Sulaiman ia
bermusyawarah dengan para pembesarnya.4 Walaupun Balqis sebagai Ratu
yang kuat dan siap menghadapi perang melawan Sulaiman, namun ia
mempunyai pandangan yang jauh. Ia tidak ingin negerinya hancur dan rakyat
menjadi korbannya. Karena bagaimanapun juga yang namanya peperangan
tetap akan ada korban yang berjatuhan, sebaliknya ia mempunyai intuisi,
bahwa Sulaiman itu seorang Nabi. Ats-Tsa’labi dan lainya menyebutkan,
setelah menikahi Balqis , Sulaiman tetap mengakuinya sebagai Ratu Yaman
dan memulangkanya ke negeri tersebut , Sulaiman mengunjunginya sekali
dalam sebulan, lalu singgah disana selama tiga hari, setelah itu kembali lagi,
Sulaiman memerintahkan para jin untuk membangunkan tiga istana di Yaman;
Ghimdan, Salihin, dan Baitun untuknya.

11
Kalimat ‫ َو ُأوِتَیْت ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء‬dia dianugerahi segala sesuatu bukan dalam
pengertian umum, tetapi dianugerahi segala sesuatu yang dapat menjadikan
kekuasaanya langgeng, kuat dan besar, misalnya tanah yang subur, penduduk
yang taat, kekuatan bersenjata yang tangguh, serta pemerintahan yang stabil.6
Termasuk kebijaksanaanya dalam mengambil keputusan dalam setiap
permasalahan, diantaranya, saat mendapat surat ancaman dari Nabi Sulaiman,
Ratu Balqis tidak langsung mengambil keputusan sendiri. Tetapi, ia membuka
dialog dan meminta pendapat dan pertimbangan dari pembesar-pembesar
kerajaan, meskipun pembesar-pembesar itu ada di bawah kekuasaannya dan
sudah pasti akan taat kepadanya. Namun, ratu balqis melakukan Istisyarah ,
meminta pendapat atau pertimbangan.
Kemudian diperkuat dengan munculnya tokoh-tokoh perempuan yang
masuk dalam kancah politik diantaranya adalah Aisyah, ini merupakan bukti
bahwa ruang hak-hak perempuan tidak terbatas pada pekerjan domestik saja.
Aisy’ah membuka tabir bahwa perempuan harus bangkit, yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk ikut berjihat dan berperang. Keterlibatan Aisyiah
bersama para sahabat dalam kepemimpinanya dalam berperang menunjukkan
bahwa beliau bersama para pengikutnya menganut paham perempuan boleh
terlibat dalam politik praktis. Hal ini menjadi alasan melegitimasi bahwa
perempuan boleh memimpin. Disamping itu ada beberapa perempuan kuat
yang mampu membantu pasukan Islam dalam peperangan dengan tentara
Romawi. Bahkan diceritakan mampu membunuh tentara romawi sebanyak
sembilan orang, perempuan itu bernama Asma’ Binti Yazid bin Sakan.
Kepemimpinan Islam merupakan sistem kepemimpinan yang menitik
beratkan pada esensi substansial ke-Islaman. Kepemimpinan Islam menurut
M. Quraish Shihab tidak terletak pada kemasan semata, akan tetapi secara
praktek justru tidak memperlihatkan esensi ke-Islaman maka hal tersebut
dikatakan bukan kepemimpinan Islam. Akan tetapi, jika secara praktek telah
mengimplementasikan ruh-ruh Islam maka dapat dikatakan sebagai bentuk
kepemimpinan Islam walaupun tidak terbungkus dengan kemasan Islami,

12
bahkan pelaku bukan Muslim sekalipun. Kepemimpinan dalam pandangan
Islam sering di istilahkan dengan beberapa istilah, yaitu imamah, khilafah,
ulul amri, amir, wali dan ra’in. Berdasarkan content analysis tentang keyword
tentang istilah pemimpin dalam Islam, maka dapat dismpulkan bahwa
pemimpin Islam yang Ideal hendaknya memiliki karakter ideal dalam
memimpin sebuah kegiatan organisasional, baik dalam konstelasi politik,
hukum, ekonomi dan bisnis bahkan tata negara maupun pemerintahan.
Karakter Ideal yang disarikan dalam Tafsir al-Mishbah meliputi aspek adil,
memegang hukum Allah S.W.T., toleransi, memiliki pengetahuan, sehat
jasmani dan rohani, mempunyai pandangan kedepan (visioner), mempunyai
keberanian dan kekuatan, mempunyai kemampuan dan wibawa. Prinsipnya,
adalah setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi
pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis
kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal
dan sah-sah saja.

2.4. Keefektifan kepemimpinan perempuan di lembaga legislative

13
BAB III PENUTUP

14
DAFTAR PUSTAKA

(Syauqi, 2021)

Puji dan syukur saya


panjatkan khadirat
Allah SWT, Tuhan
Yang
Maha Esa karena
dengan berkat dan
15
hidayah-Nya lah
kami dapat
menyelesaikan
makalah Mini
Riset. Kami
mengucapkan
terimakasih

16
kepada :
Puji dan syukur saya
panjatkan khadirat
Allah SWT, Tuhan
Yang
Maha Esa karena
dengan berkat dan

17
hidayah-Nya lah
kami dapat
menyelesaikan
makalah Mini
Riset. Kami
mengucapkan
terimakasih

18
kepada :

19

Anda mungkin juga menyukai