Anda di halaman 1dari 15

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Psikologi Pendidikan Reni Susanti., S.Psi., M.Psi., Psikolog.

HAMBATAN DAN KARAKTERISTIK SPECIAL NEED TERHADAP FISIK, EMOSI


DAN MOTORIK

oleh

Anastasya Syukriah 12160123163


Nur Alifah Sadillah 12160123290

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2022
ii

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kami ucapkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
berkah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini
merupakan salah satu tugas mata kuliah Dasar Perkembangan Islam yang diberikan pada
semester III. Makalah ini disusun dari berbagai sumber yang berkaitan dengan Dasar
Perkembangan Islam. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Reni Susanti, S. Psi., M.Psi., Psikolog
selaku dosen pengampu mata kuliah Dasar Perkembangan Islam yang telah memberikan
bimbingan dan saran sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami juga berterimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari
segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada menerima
segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi untuk pembaca khususnya bagi mahasiswa jurusan Psikologi.

Pekanbaru, 27 September 2022


Penyusun

ii
iii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
1.1 LatarBelakang........................................................................................................................1
1.2 RumusanMasalah...................................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...........................................................................................................................2
2.1 Definisi Anak Berkebutuhan Khusus.....................................................................................2
2.2 Jenis-Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus....................................................2
2.3 Model Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus......................................................5
BAB III........................................................................................................................................11
PENUTUP...................................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................11
3.2 Saran....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................12

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Pertumbuhan dan perkembangan anak adalah hal yang paling penting. Mengetahui
dan memahami tumbuh kembang anak tidak hanya melihat dari satu aspek saja, pemberian
nutrisi atau gizi pada anak, tetapi lebih dari itu tumbuh kembang anak juga harus dilihat dari
berbagai aspek, seperti faktor keturunan, kejiwaan, aturan dalam keluarga dan proses
pembelajaran termasuk didalamnya pendidikan keluarga dan agama. Anak berkebutuhan
khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
(Supriyatna. & Suwarni. 2017:1)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena
adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Dalam konteks psikologis,
anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan perilaku, seperti gangguan
pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan kemampuan emosional dan
berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD.
Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan kemampuan
dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan khusus. (Rezieka.
Putro. & Fitri, M. (2021:2-3).

1.2 RumusanMasalah
Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang yang penulis berikan terdapat
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus?
2. Apa saja jenis-jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus?
3. Bagaimana layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari anak berkebutuhan khusus.
2. Mengetahui jenis-jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus.
3. Mengetahui bagaimana layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus.
2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti
disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi
masing-masing istilah adalah sebagai berikut: Disability yaitu keterbatasan atau kurangnya
kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan
aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu.
Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis,
atau struktur anatomi atau fungsinya, biasanya digunakan pada level organ. Handicap yaitu
ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi
atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu (Desiningrum, 2017:2).
Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat.
Anak berkebutuhan khusus memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan
perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Dari sudut kebutuhan Pendidikan, Hallahan
dan Kauffman (dalam shofiah, dkk, 2014:84) memberikan pengertian bahwa siswa
berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus dan pelayanan
terkait, jika mereka menyadari akan potensi penuh kemanusiaan mereka. Anak berkebutuhan
khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan
(barier to learning and development). Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan
yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembang yang dialami oleh masing-
masing anak (Widyorini, et al, 2014:8).
2.2 Jenis-Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
a. Tunanetra
Istilah anak tunanetra secara mendasar dapat diartikan sebagai anak-anak yang
mengalami gangguan pada fungsi penglihatan. Beberapa ahli seperti Djaja Rahardja
dan Sujarwanto serta Gargiulo (dalam Nisa, et al, 2018:34) mendefinisikan
ketunanetraan menjadi 3 kategori yaitu buta total, buta fungsional dan low vision.
Seorang anak dikatakan mengalami kebutaan apabila mereka hanya memiliki sedikit
persepsi tentang rangsangan cahaya yang diterima atau mungkin tidak mampu
mengidentifikasi apapun dengan kemampuan penglihatannya dengan kata lain disebut
dengan buta total. Anak-anak pada kategori ini memanfaatkan indera pendegaran dan
perabanya sebagai alat utama untuk mendapatkan informasi tentang keadaan disekitar.
Seorang anak dikatakan mengalami buta fungsional apabila mereka memiliki sisa
3

penglihatan untuk mengidentifikasi cahaya disekitar. Anak-anak pada kategori ini


masih mampu mengidentifikasi stimulus cahaya di lingkungan sekitar. Beberapa dari
mereka masih mampu mengidentifikasi pantulan cahaya dari benda-benda disekitar,
sehingga dengan adanya sisa penglihatan ini dapat memudahkan mereka untuk belajar
orientasi mobilitas. Sedangkan anak dikatakan low vision apabila mereka masih
memiliki sisa penglihatan untuk berorientasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan,
anak-anak low vision masih mampu mengidentifikasi huruf dan angka dengan kata
lain dapat digunakan untuk membaca meskipun membutuhkan bantuan kaca
pembesar. Pada kategori ini, anak yang mengalami low vision masih mampu
mengidentifikasi wajah seseorang dengan kemampuan penglihatannya meskipun pada
jarak yang sangat dekat. Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan
penglihatan :
1. Tidak mampu melihat,
2. Tidakmampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
3. Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
4. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
5. Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
6. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
7. Mata bergoyang terus.

Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6 gejala di atas, maka
anak termasuk tunanetra (Dermawan, 2013:890).

b. Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai gangguan pendengaran, dimana anak yang
mengalami ketunarungguan adalah mengalami permasalahan pada hilangnya atau
berkurangnya kemampuan pendengaran. Andreas Dwijosumarto (dalam Soematri,
2018:36) menyatakan bahwa anak yang dapat dikatakan tunarungu jika mereka tidak
mampu atau kurang mampu mendengar. Menurutnya, tunarungu dapat dibedakan menjadi
dua kategori yaitu tuli dan kurang dengar. Tuli merupakan suatu kondisi dimana
seseorang benar-benar tidak dapat mendengar dikarekan hilangnya fungsi dengan pada
telinganya. Sedangkan kurang dengar merupakan kondisi dimana seseorang mengalami
kerusakan pada organ pendengarannya tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar
meskipun dengan atau tanpa bantu dengar (Nisa, et al, 2018:36).
Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
4

1. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB),


2. Gangguan pendengaran ringan(41- 55dB),
3. Gangguan pendengaran sedang(56- 70dB),
4. Gangguan pendengaran berat(71- 90dB),
5. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki


hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara
berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah
dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap
negara. Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan pendengaran
(Dermawan,2013:889) :
1. Tidak mampu mendengar,
2. Terlambat perkembangan bahasa,
3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
4. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
5. Ucapan kata tidak jelas,
6. Kualitas suara aneh/monoton,
7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
8. Banyak perhatian terhadap getaran,
9. Keluar nanah dari kedua telinga,
10. Terdapat kelainan organis telinga.
Nilai standarnya 7.

c. Tunadaksa
Dalam konteks pendidikan khusus di Indonesia, tunadaksa dapat diartikan sebagai
gangguan motorik. Pada konteks lain dapat kita temui penggunaan istilah lain dalam
menyebut anak tunadaksa misalnya anak dengan hambatan gerak. Utamanya, anak
tunadaksa adalah anak yang mengalami gangguan fungsi gerak yang disebabkan oleh
permasalahan pada organ gerak tubuh. Somantri (dalam Nisa, et al, 2018:37) menjelaskan
bahwa tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu yang disebabkan karena
bentuk abnormal atau organ tulang, otot, dan sendi tidak dapat berfungsi dengan baik.
Berikut identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak tubuh
(Dermawan, 2013:890) :
5

1. Anggota gerak tubuh kaku atau lemah/lumpuh,


2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
3. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil
dari biasa,
4. Terdapat cacat pada alat gerak,
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak
normal,
7. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Nilai standarnya 5.
2.3 Model Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
1) Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2) Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
3) Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4) Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam
beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)’
5) Pusat Diagnostik-Prescriptif
6) Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi
anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa).
7) Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
8) Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9) Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
Samuel A. Kirk (1986) membuat gradasi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus bergradasi dari model segregasi ke model mainstreaming bentuk-bentuk layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
1. Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari
sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem
segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara
khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata
lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan
6

khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar
Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar
Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua.
Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya
kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu
pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan
menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya,
untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi
mobilitas. Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, binapersepsi bunyi; anak
tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk
mendukung fungsi fisiknya. Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan
sistem segregasi, yaitu:

a) Sekolah Luar Biasa (SLB)


Bentuk SekolahLuar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk
SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari
tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit
sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam
bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja),
sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB
untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut
ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya
lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain, ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB
yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk
anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra,
tunarungu, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut
sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.

b) Sekolah Luar Biasa Berasrama


Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa
yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal
diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan
7

sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat
lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama dengan bentuk
SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu,
SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak
tunalaras, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran
antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan
tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan
pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah,
karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.

c) Kelas jauh/Kelas Kunjung


Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh
dari SLB atau SDLB. P enyelenggaraan kelas jauh/k elas kunjung
merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta
pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan
sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di
kotalkabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini
diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas. Dalam
penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya.
Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di
dekatnya. Mereka berfungsi sebagaiguru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan
administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.

d) Sekolah Dasar Luar Biasa


Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak b e r k e b u t u h a n
k h u s u s , p e m e r i n t a h m u l a i P e l i t a I I menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan
yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, dan tunadaksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah,
guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita,
guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga
8

kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan


kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech
therapist, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di
SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan
belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan
masingmasing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi.
Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga
diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra
memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak
tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsibunyi
dan irama; anak tudagrahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak
tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik. Lama
pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk
tingka dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama 6
tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun. Sejalan dengan perbaikan sistem
perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam
pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
(a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6
tahun
(b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3
tahun
(c) Sekolah Menengah Luar Biasa (SNILB) minimal 3 tahun. Selain itu, pada
pasal 6 PP No. 72 tahun 1991 juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman
Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga
tahun.

2. Bentuk Layanan PendidikanTerpadu atau Terintegrasi


Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan
demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama
dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut
juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak
9

berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal.


Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam
rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagaian, jumlah anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa
keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini
untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru hams
melayani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesulitan yang dialami
oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing
Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala
sekolah, atau anakberkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi
sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas
khusus. Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
a) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh
karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas
atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan
petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di
kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan
penuh. Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi
sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau
orangtua anak berkebutuhan khusus. Seagai konsultasn, guru pembimbing
khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun
permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru
pembimbing khusus, Pendekatan, metode, cara penilaian yang
digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada
sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan
dengan ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran
meriggambar, matematika, menulis, membaca perlu disesuaikan dengan
kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa
asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan
10

wicara anak.

b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus


Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas
biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan
khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus
tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus
(GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan
yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus
dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan
bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan
khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas.
Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c) Bentuk Kelas Khusus


Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti
pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus
pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu.
Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokali bangunan atau
keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru
pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus.
Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah
pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB.
Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya
anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untk kegiatan yang bersifat
non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu
jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
11

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak berkebutuhan
khusus memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan
kelainan yang dialami anak. Terdapat beberapa jenis anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu
tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Dari beberapa jenis anak berkebutuhan khusus, terdapat
beberapa hal yang dapat mengidentifikasi anak mengalami hambatan.
Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan
perkembangannya, baik itu disebabkan karena kurang atau terlalu berlebihnya potensi yan
dimiliki sang anak. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu bentuk layanan
pendidikan segregasi dan bentuk layanan Pendidikan terpadu atau terintegrasi. Yang mana
beberapa peneliti juga mengungkapkan bahwa pendidikan yang tepat untuk anak
berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku.
3.2 Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,Kami mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif untuk memperbaikinya makalah berikutnya. Semoga dengan
makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan kita.
12

DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, O. (2013). Strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus di slb. Psympathic:
Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2), 886-897.
Desiningrum, D. R. (2017). Psikologi anak berkebutuhan khusus.
Fauzan, H. N., Francisca, L., Asrini, V. I., Fitria, I., & Firdaus, A. A. (2021). Sejarah Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Menuju Inklusi. PENSA, 3(3), 496-505.
Nisa, K., Mambela, S., & Badiah, L. I. (2018). Karakteristik dan kebutuhan anak berkebutuhan
khusus. Jurnal Abadimas Adi Buana, 2(1), 33-40.
Rezieka, D. G., Putro, K. Z., &Fitri, M. (2021). Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus Dan
Klasifikasi Abk. Bunayya: Jurnal Pendidikan Anak, 7(2), 40-53.
Supriyatna, T., &Suwarni, S. (2017). Perancangan Dan ImplementasiSistemInformasiPemantauan
Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus Pada Sekolah LuarBiasa Abdi Pratama. Jurnal
Teknologi Informasi, 3(2), 17.
Vivikshofiah.,dkk. 2014. Psikologi Pendidikan. Pekanbaru: Al-Mujtahadah Press.
Widiastuti, N. L. G. K. (2019). Model Layanan Pendidikan Bagi Anak BerkebutuhanKhusus Yang
MengalamiKecacatanFisik. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 5(1), 46-54.
Widyorini, E., Roswita, M. Y., Sumijati, S. R. I., Eriany, P., Primastuti, E., & Judiati, E. A. (2014).
Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.

Anda mungkin juga menyukai