Anda di halaman 1dari 23

IDENTIFIKASI ANAK-ANAK YANG MEMILIKI GANGGUAN

PRILAKU

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pengembangan
Sosial Emosional AUD

Dosen Pengampu : Muhiyatul Huliyah, S.Sos.I.,M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Wiwin Nurmarhamah ( 191260011)


2. Poppy Syafrina Fitri ( 191260012 )
3. Sri Damayanti ( 191260013 )

PIAUD V A

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN


BANTEN

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu. Sholawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada
junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang akan memberikan syafa’atnya
pada hari kiamat kelak.

Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu selaku Dosen Pengampu Mata


Kuliah Strategi Pengembangan Sosial Emosional AUD, atas arahan yang telah
diberikan kepada penyusun dalam menyusun makalah ini, walaupun masih banyak
kekurangan dalam penulisannya. Makalah ini membahas tentang “ Identifikasi
Anak-Anak Yang Memiliki Gangguan Prilaku “ yang semoga dapat dijadikan
bahan bacaan oleh penyusun khususnya dan oleh pembaca umumnya.

Dalam pembuatan makalah ini tentunya banyak terdapat kekurangan, maka


dari itu kami berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk pembuatan makalah atau pembuatan karya tulis kami yang lain.
Kami berharap pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penulis
dan bagi pembaca. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Serang, 04 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................2


C. Tujuan Makalah ..........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAAN ............................................................................................ 4

A. Identifikasi Anak-Anak Yang Memiliki Gangguan Prilaku ................................. 4

B. Pengertian Gangguan Prilaku ............................................................................... 7

C. Jenis-Jenis Gangguan Prilaku Anak ................................................................... 12

BAB III PENUTUP ..............................................................................................19

A. Kesimpulan ..........................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak dengan gangguan perilaku memiliki karakteristik yang komplek dan


seringkali ciri-ciri perilakunya juga dilakukan oleh anak-anak sebaya lain, seperti
banyak bergerak, mengganggu teman sepermainan, perilaku melawan, dan
adakalanya perilaku menyendiri. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku dapat
ditemukan di berbagai komunitas anak-anak, seperti play group, sekolah dasar, dan
lingkungan bermain.1

Anak dengan gangguan perilaku yang telah terdeteksi biasanya mendapatkan


layanan pendidikan dan penanganan di sekolah luar biasa bagian E (tunalaras), di
sekolah-sekolah khusus, ataupun di sekolah-sekolah inklusi. Namun persoalannya
adalah apabila anak belum terdeteksi memiliki gangguan perilaku dan berada di
sekolah. Dalam hal ini guru berperan sebagai penanggung jawab pendidikan di
sekolah termasuk menentukan metode dan teknik pembelajaran untuk mereka.
Metode dan teknik pembelajaran dihendaknya disesuaikan dengan karakteristik
khusus masing-masing anak. Apalagi untuk anak dengan gangguan perilaku
memiliki sejumlah karakter akan menghambat proses pembelajaran, bila tidak
diperhitungkan dalam pemberian pendidikan dan pembelajaran. Mengetahui
kondisi awal perilaku danak sebelum melakukan pembelajaran akan lebih baik bagi
guru dalam melaksanakan layanan pendidikan bagi anak. Apabila gangguan emosi
dan perilaku pada anak belum terdeteksi dan tidak dispesifikkan menjadi
pertimbangan layanan pendidikan di sekolah dasar, maka proses pendidikan sangat
mungkin tidak sesuai bagi mereka dan bahkan cenderung sulit, baik bagi guru
sebagai pengelola materi maupun bagi siswa. Gangguan perilaku di sekolah lebih
sulit dideteksi dibanding jenis kebutuhan khusus lainnya. Hal itu karena
penyimpangan yang berbeda-beda (Nafsiah Ibrahim & Rohana Aldi, 1996). Selain

1
Aini Mahabbati, JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK) : Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi
dan Perilaku di Sekolah, ( FIP UNY, 2006 ), Vol.2 No.2 Hlm. 1-3

1
itu para guru di sekolah dasar belum memiliki pengetahuan dan keterampilan
dalam proses identifikasi yang akan membedakan gangguan emosi dan perilaku
anak dari perilaku umum masa anak-anak yang tidak termasuk sebagai gangguan
perilaku.

Tidak adanya upaya khusus dari guru di sekolah dasar untuk memperbaiki
gangguan perilaku karena belum ada pengetahuan tentang konsep dan fenomena
anak dengan gangguan emosi dan perilaku serta penanganannya.2 Gangguan
perilaku bila dicermati secara mendalam, akan terlihat perilaku anak memiliki
intensitas dan frekuensi yang berlebih, durasi perilakunya pun bertahan lebih lama
dibandingkan dengan anak normal sebayanya. Namun demikian, diperlukan
pengetahuan dan keterampilan khusus untuk mendukung upaya identifikasi anak
dengan gangguan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh guru-guru dan praktisi
pendidikan di sekolah. Di samping itu, guru selain berperan sebagai pedagog
(pendidik), dalam menghadapi siswa dengan gangguan perilaku juga seharusnya
berperan sebagai diagnostician (penentu karakteristik dan jenis kebutuhan khusus
dan berkemampuan melakukan treatmen) (Triyanto Pristiwaluyo & M. Sodiq AM.,
2005). Keterampilan identifikasi anak dengan gangguan perilaku sangat dibutuhkan
sebagai prasyarat untuk menjadi guru yang mampu menjadi pedagog dan
diagnostician yang baik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas maka dapat dirumuskan :
1. Bagaimana cara identifikasi anak-anak yang memiliki gangguan prilaku
?
2. Apa pengertian gangguan prilaku ?
3. Bagaimana macam-macam gangguan prilaku pada anak ?

C. Tujuan
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas maka tujuan dari makalah ini adalah
:

2
Ibid.

2
1. Untuk memahami identifikasi anak-anak yang memiliki gangguan
prilaku.
2. Untuk memahami pengertian dari gangguan prilaku.
3. Untuk memahami macam-macam gangguan prilaku pada anak.

3
BAB I

PEMBAHASAN

A. Identifikasi Anak-Anak Yang Memiliki Gangguan Prilaku

Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau


menemukenali. Identifikasi dimaksudkan sebagai suatu usaha orang tua, guru,
maupun tenaga kependidikan lainnya untuk mengetahui apakah seorang anak
mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/tingkah
laku) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya. Sumber informasi dalam proses identifikasi ini adalah orang tua anak,
guru kelas, tokoh masyarakat, institusi yang terkait (puskesmas, posyandu), teman
sebaya (lingkungan sosial), tenaga medis yang membantu kelahiran anak (riwayat
kelahiran), ahli lain yang pernah menangani anak (seperti; psikolog, dll), dan lain
sebagainya.3

Proses mengidentifikasi atau deteksi dini sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam
dunia pendidikan. Menurut Permendikbud No 137 tahun 2014 lampiran II,
Pedoman Deteksi Tumbuh Kembang adalah kegiatan untuk menemukan secara dini
adanya potensi dan hambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia dini.
Hasil deteksi dini ini dapat menjadi rujukan bagi guru untuk menyusun kegiatan
pembelajaran sesuai kebutuhan dan karakteristik setiap anak.4

Apabila proses identifikasi telah selesai dilakukan, kondisi anak dapat


diketahui, apakah pertumbuhan/perkembangannya termasuk normal atau
mengalami gangguan emosi dan perilaku. Menurut Worell & Nelson ( A. Edward
Blackhurst & William H. Berdine, 1981) identifikasi anak dengan gangguan emosi
dan perilaku dilakukan untuk menemukan perilaku yang menjadi problem diri anak
dan lingkungannya, faktor lingkungan yang mempengaruhi munculnya gangguan

3
Aini Mahabbati, “Identifikasi anak dengan gangguan emosi dan perilaku di sekolah dasar”,
(Jurnal Pendidikan Khusus : 2.2, 2006), Hlm.6-7
4
Ega Asnatasia Maharan; Intan Puspitasari, “Deteksi Gangguan Emosi dan Perilaku Distrutif pada
Anak Usia Dini”, (JECCE (Journal of early Childhood Care and Education): 2.1,2019) Hlm.2

4
emosi dan perilaku, dan faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi
perubahan perilaku.

Dalam program pendidikan, kegiatan identifikasi anak dengan


kebutuhan khusus memiliki lima fungsi, yaitu:5

1. Penjaringan (screening), yaitu menandai gejala anak dengan gangguan emosi


dan perilaku di lingkungan kelas atau sekolah dengan menggunakan alat
identifikasi yang telah ditetapkan, sehingga akan dapat dibedakan antara anak
dengan gangguan emosi dan perilaku dengan siswa-siswa normal atau
berkebutuhan khusus lain.
2. Pengalihtanganan (referal), yaitu menetapkan apakah anak cukup ditangani
oleh guru di sekolah saja atau perlu melibatkan pihak atau ahli yang
berkompeten.
3. Klasifikasi, yaitu kegiatan memilah-milah mana anak dengan gangguan emosi
dan perilaku yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang
langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
4. Perencanaan pembelajaran, yaitu penyusunan program pembelajaran yang
diindividualisasikan sesuai dengan setiap jenis dan tingkat anak dengan
gangguan emosi dan perilaku hasil klasifikasi.
5. Pemantauan kemajuan belajar, untuk mengetahui keberhasilan program
pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, serta peninjauan atas kegagalan
program serta beberapa aspek yang berkaitan, seperti diagnosis yang tidak tepat,
atau pelaksanaan program yang perlu diperbaiki.

Secara spesifik gangguan perilaku atau perilaku disruptif antara lain ADHD
(attention deficit/hyperactivity disorder), ODD (oppositional defiant disorder) dan
OCD (obsessive compulsive disorder). Munculnya gangguan perilaku disruptif
merupakan kombinasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial.
Sebagaimana penelitian mengenai pencitraan MRIs menemukan bahwa area otak
yang bertanggungjawab atas pengelolaan reasoning, judgment dan kontrol perilaku

5
Aini Mahabbati, Op.Cit., hlm. 7-8

5
impulsif mempunyai perbedaan antara penderita gangguan perilaku dan tidak.
Pola asuh yang mengandung kekerasan diasosiasikan dengan munculnya gangguan
perilaku pada anak.6

Perilaku disruptif di seting pendidikan berdampak negatif bagi anak dan


anggota sekolah lainnya. Anak yang memunculkan gejala perilaku disruptif akan
dijauhi teman sebayanya. Perilaku disruptif dapat membahayakan diri anak maupun
teman lain secara fisik. Dampak fisik umumnya menjadi dasar pengajuan keluhan
terhadap perilaku anak yang merugikan tersebut. Kemunculan perilaku disruptif
dapat mempengaruhi keberlangsungan proses belajar dan fungsi individu lain di
kelas, seperti teman dan guru. Dampak yang demikian buruk pada keterlibatan di
kelas menjadikan anak ‘tertinggal’ dalam proses belajar, sehingga di akhir tahun
akademik tidak jarang anak memerlukan upaya penanganan yang besar dari staf
sekolah.

1. Identifikasi Sebagai Bagian Dari Pengembangan Program Pendidikan

Program pendidikan untuk anak dengan gangguan emosi dan perilaku tidak
bisa lepas dari upaya pemulihan perilaku. Pemulihan perilaku itu sendiri adalah
usaha untuk membawa keseimbangan hak-hak dan tanggung jawab antara anak
dengan gangguan emosi dan perilaku, teman-temannya di kelas, guru, orang tua,
dan pihak-pihak lain yang berkompeten dalam layanan penanganan dan pendidikan
anak dengan gangguan emosi dan perilaku (Bill Rogers, 2004). Dalam kaitannya
dengan pemulihan perilaku dan pemberian pendidikan anak dengan gangguan
emosi dan perilaku, identifikasi menjadi bagian penting dari pengembangan
program layanan pendidikan. Berikut adalah bagan yang menunjukkan identifikasi
sebagai langkah pertama pengembangan program layanan pendidikan luar biasa
yang dapat diadopsi untuk pengembangan program pendidikan anak dengan
gangguan emosi dan perilaku di sekolah dasar.7

2. Strategi Dan Kerjasama Sekolah Dan Orangtua

6
Ega Asnatasia Maharani, Op. Cit, hal 8-9
7
Aini Mahabbati, Op.Cit hlm. 10

6
Dalam mengatasi gangguan perilaku dapat dilakukan melalui berbagai cara,
baik melalui pemberian model atau keteladanan, berbagai aktivitas untuk mengatasi
gangguan perilaku anak dari cara sederhana hingga kompleks. Sekolah harus
melibatkan orangtua untuk menciptakan lingkungan yang kondusif. Sekolah dapat
melibatkan orangtua sebagai partner dalam berbagai aktivitas. Keterlibatan orang
tua sebagai patner dalam pendidikan anak, meliputi: (a) open house atau meeting
keluarga untuk berbagi dengan orang tua mengenai apa yang dilakukan oleh anak;
(b) rencanakan konferensi secara individu dengan orangtua; (c) Tempelkan
informasi rencana pembelajaran tiap minggu di pintu ruang kelas anak sehingga
orangtua mengikuti perkembangan kurikulum dan program pembelajaran; dan (d)
mengirimkan artikel.8

B. Pengertian Gangguan Prilaku

Istilah Gangguan perilaku atau dalam kategori Quay (bahasa Inggrisya) disebut
Conduct Disorder (Quay, 1964) . Secara historis diadopsi dari variasi beberapa term
antar bangsa, terutama di Eropa. Di Inggris, dengan istilah emotional and
behavioral difficulties (kesulitan emosional dan perilaku) telah secara luas
digunakan di Amerika Serikat, emotional and behavioral disorders (gangguan
emosional / perilaku) atau emotional disturbance (gangguan emosi) dan behavioral
disorders (penyimpangan perilaku) juga digunakan secara luas. Istilah-istilah
tersebut digunakan dalam rangka mengupayakan kebutuhan pelayanan pendidikan
kepada anak dalam menentukan apakah seorang anak berhak untuk mendapatkan
layanan pendidikan khusus atau umum. Di berbagai negara istilah-istilah tersebut
memiliki definisi resmi atau secara hukum untuk menghindari kebingungan atau
konflik dalam menentukan perlakuan kepada anak yang memiliki gangguan
perilaku sesuai dengan karakteristiknya.9 Contohnya seperti di Amerika Serikat,
anak-anak dengan berbagai kesulitan yang karakteristiknya sesuai dengan konsep
dari istilah-istilah yang disebutkan di atas digolongkan kedalam serious emotional

8
Farah Arriani, “Perilaku agresif anak usia dini.” (Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini: 8.2, 2014) hlm
273.
9
Ani Siti Anisah, Gangguan Prilaku Pada Anak Dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Anak
Usia Dini, ( Jakarta, 2017), Vol.2,No.2,Hlm.121

7
disturbance (gangguan emosi yang serius) dalam The Individuals with Disabilities
Education Act (IDEA) (Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang
Cacat) tahun 1990.

berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus atau umum. Di berbagai


negara istilah-istilah tersebut memiliki definisi resmi atau secara hukum untuk
menghindari kebingungan atau konflik dalam menentukan perlakuan kepada anak
yang memiliki gangguan perilaku sesuai dengan karakteristiknya. Contohnya
seperti di Amerika Serikat, anak-anak dengan berbagai kesulitan yang
karakteristiknya sesuai dengan konsep dari istilah-istilah yang disebutkan di atas
digolongkan kedalam serious emotional disturbance (gangguan emosi yang serius)
dalam The Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) (Undang-Undang
bagi Pendidikan Individu Penyandang Cacat) tahun 1990. Di masyarakat kita
banyak istilah dalam menyebut anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku
tergantung dari sudut keilmuan mana istilah itu muncul. Seorang guru biasanya
menyebut anak sulit diatur, anak sukar, anak nakal. Pedagog menyebutnya anak
tunalaras. Sosial Worker menyebutnya anak gangguan sosial atau anak penyandang
masalah sosial. Psikolog menyebutnya anak terganggu emosi, anak terhambat
emosi. Lowyer menyebutnya anak pranakal, anak nakal, anak pelanggar hukum.
Orang tua dan masyarakat awam menyebutnya anak nakal, anak bandel, anak keras
kepala, anak jahat dan sebagainya. Ditinjau secara historis, mulai dari literatur asing
sampai istilah yang digunakan pada masyarakat kita, pada dasarnya penyebutan
istilah itu sama, yaitu menunjuk kepada anak yang mengalami penyimpangan
perilaku baik pada taraf berat, sedang, ringan, yang disebabkan oleh gangguan
emosi, sosial atau keduanya. Dan di Indonesia anak yang mengalami gangguan
emosi dan prilaku ini disebut anak tunalaras. Ada beberapa karakteristik tunalaras
menurut beberapa ahli yang diklasifikasikan sebagai berikut10:

Samuel A. Kirk membuat klasifikasi anak tunalaras melalui proses pengamatan


gejala-gejala tingkah lakunya, secara garis besar ia mengelompokan menjadi tiga
katagori yaitu: Socially maladjusted children yaitu kelompok anak yang tidak dapat

10
Ibid.

8
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kelompok anak ini menunjukkan
tingkahlaku yang tidak sesuai dengan ukuran “cultural permissive” atau norma-
norma masyarakat dan kebudayaan yang berlaku, baik di rumah, sekolah, maupun
masyarakat. Delinquency adalah tingkah laku anak atau remja yang melanggar
norma- norma hukum tertulis atau merupakan salah satu bentuk penyesuaian anak
yang salah, tidak sesuai dengan tuntutan dan harapan lingkungan masyarakat.
Emotionally disturbed children yaitu kelompok anak yang terganggu atau
terhambat perkembangan emosinya, dengan menunjukan adanya gejala ketegangan
atau konflik batin, menunjukan kecemasan, penderita neurotis atau bertingkahlaku
psikotis. Beberapa tingkah laku dari anak ini dapat dikatagorikan sebagai
tingkahlaku socially maladjusted. Apabila tingkah laku tersebut sudah merugikan
dan mengganggu kehidupan orang lain, seperti mencuri, mengganggu ketertiban
dan keamanan masyarakat, dan sebagainya. Menurut Hewitt dan Jenkins,
mengklasifikasikan anak tunalaras (Socially Maldjusted Children) menjadi tiga
kelompok yaitu: Unsocialized Agresive Children, yaitu kelompok anak yang
menunjukan gejala-gejala: tidak menyenangi sikap ototitas, seperti guru, dan polisi.
Kebanyakan anak ini berasal dari keluarga broken home, tidak mendapat kasih
saying dan perhatian dari orang tuanya. Anak kelompok ini kebanyakan lahir di luar
perkawinan. Mereka tidak berkembang super egonya, tidak dapat melakukan
hubungan interpersonal secara positif. Prilaku dan sikap mereka bersifat anti sosial,
sering melakukan kekejaman, kekerasan dan sadis. Sosiallized Agresive Children,
yaitu kelompok anak yang masih mampu melakukan hubungan dan interaksi sosial
pada kelompok yang terbatas, seperti kelompoknya. Pada umumnya berasal dari
keluarga broken home, masa kecil mereka pernah memperoleh kasih sayang, tetapi
masa berikutny diabaikan, sehingga ia masih mampu melakukan hubungan dan
interaksi sosial secara terbatas, tetapi mereka membenci orang-orang yang memiliki
otoritas. Maldjusted Children Kelompok anak ini sering juga disebut anak “over
inhibited”. Dengan karakteristik prilaku, seperti: penakut, pemalu, cemas,
penyendiri, sensitive, sulit melakukan interaksi sosial secara baik dengan teman
temannya, sangat ketergantungan, dan mengalami defresi.

9
Pada umumnya berasal dari keluarga yang mampu, dimana mereka terlalu
diperhatikan dan dimanjakan, sehingga kurang mampu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang menuntut sesuatu dari seperti tanggung jawab sosial,
agama, budaya, dsb. Klasifikasi yang dikemukakan oleh Telford dan Sawrey, anak
tunalaras menjadi tiga kelompok berdasarkan bentuk prilakunya, yaitu11: Anak
Yang Mengalami Kecemasan. Kategori ini dikelompokan berdasarkan berat
ringannya menjadi tiga yaitu: Kecemasan kronis, gejalanya seperti mudah marah
merasak ketakutan yang tidak jelas penyebabnya, gangguan tidur dan selera makan,
sering menangis tanpa sebab, dan merasa lesu serta tidak bergairah; Rasa takut
kronis, dimana perasan takut tersebut tidak diketahui yang menjadi faktor
penyebabnya atau rasa takut irasional. Misalnya pobia sekolah, pobia kematian,
dsb; Obsesi dan komplusi yang sering stereotif atau tidak dapat dikontrol. Komplusi
merupakan pengulangan prilaku atas desakan yang timbul dengan berbagai cara.
Obsesi merupakan suatu keasikan dalam pemikiran/ingatan terhadap suatu obyek
yang sama. Kedua hal tersebut merupakan gejala meningkatnya kecemasan yang
bersifat sementara, misalnya berprilaku yang dilakukan secara berulang-ulang.
Anak yang menutupi diri dari realitas. Berdasarkan bentuk
gangguan/penyimpangan prilaku terdiri dari anak : Skhizoprenia, tipe ini
merupakan bentuk paling umum dari gangguan psikopis fungsional. Ciri- cirinya
seperti disorganisasi, kurang perhatian, reaksi emosional, sering mengalami
halusinasi dan ilusi12; Autisme, yaitu anak yang menutup diri pada tingkat berat,
sehingga mengalami kegagalan dalam melakukan hubungan emosional dan sosial
dengan orang lain. Gejala berupa pengulangan kata-kata (echolalia), kekakuan
dalam mempertahankan sesuatu obyek, pergantian prilaku secara rutin/monoton
dalam ungkapan tertentu. Regresi, yaitu perilaku kembali pada prilaku fase yang
lebih randah dari usianya atau prilaku kekanak-kanakan. Prilaku tersebut terjadi
biasanya apabila mengalami ketegangan/stress. Misalnya mengisap jempol,
mengompol, berbicara seperti bayi. Berhayal dan berfantasi, yaitu prilaku untuk

11
Aini Mahabbati, Jurnal Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Prilaku di Sekolah Dasar.
Jurnal Pendidikan Khusus (JPK) ISSN 1858-0998. Vol.2 No 2, Hlm.98
12
Ibid.

10
menututp diri atau “melarikan diri” dari kenyataan yang dihadapinya. Anak yang
mengalami permusuhan. Merupakan tipe anak yang mengalami gangguan emosi
dimana tingkah lakunya bersifat agresif dan destruktif. Ia sering merusak
benda/barang dan menyerang terhadap orang, bahkan hewan. Menurut Quay anak
tunalaras (gangguan emosi dan prilaku) pada anak dikelompokkan menjadi 3
kategori, yitu: Conduct Disorder/Unsocialized Aggression, yaitu kelompok anak
yang tidak mampu untuk mengendalikan diri. Jenis prilaku yang sering nampak
pada anak-anak tersebut seperti berkelahi, pemarah, tidak patuh, merusak
barang/benda orang lain, mencari perhatian, sombong, tidak jujur, bicara kasar, iri
hati, tidak bertanggung jawaab, mudah beralih perhatian, kejam dsb. Socialized
Aggresion, yaitu perilaku agresi yang dilakukan secara kelompok, seperti tawuran,
mencuri secara berkelompok, menjadi anggota suatu gang, bolos, dan keluar rumah
sampai larut malam. Anxiety Withdrawal/Personality Problem, Jenis gangguan
berupa kecemasan, dan kekhawatiran yang tidak jelas, tidak beralasan atau karakter
pribadi yang membatasi diri sehingga menganggu pencapaian hubungan harmonis
dengan orang lain. Perilaku yang menonjol pada kelompok ini seperti: cemas,
pemalu, sedih, mudah tersinggung/sensitive, rendah diri, kurang percaya diri,
mudah bingung, sering menangis tanpa alasan, dan tertutup.
Immaturity/Inadequacy , Yaitu kelompok anak yang menunjukkan sikap dan
perilaku tidak dewasa. Perilaku yang sering nampak diantaranya: kurang dapat
berkonsentrasi, perhatian singkat, sering melamun, gerak motorik kaku, pasif/
kurang inisiatif, mudah dipengaruhi, sering mengalami kegagalan, dan ceroboh
dalam segala hal. Tulisan ini akan menjelaskan satu jenis gangguan perilaku
klasifikasi Quay yang kemudian disebut conduct disorder. The American
Psychiatric Association (APA) (Breeze Rueda dkk, TT) mendefinisikan
seperangkat kriteria untuk mendiagnosis gangguan perilaku seperti: sering
melakukan perkelahian fisik; telah sengaja menghancurkan properti orang lain;
sering bolos dari sekolah, dll.

Gangguan perilaku (CD) didefinisikan sebagai perilaku berulang dan pola


perilaku menetap yang melanggar hak-hak orang lain yang melanggar norma-
norma dan aturan masyarakat.(American Psychiatric Asosiasi, 2000). Gejala-gejala

11
gangguan prilaku menurut APA ada empat kategori utama13: (a) agresi kepada
orang- orang dan hewan, (b) perusakan properti, (c) tipu daya atau pencurian, dan
(d) pelanggaran serius aturan (misalnya, pembolosan, melarikan diri dari rumah).
DSM-IV;APA menyebut gangguan perilaku dengan istilah conduct disorder , yaitu
pola perilaku yang menetap dan berulang, ditunjukkan dengan perilaku yang tidak
sesuai dengan nilai kebenaran yang dianut oleh masyarakat atau tidak sesuai dengan
norma sosial untuk rata-rata seusianya. Namun definisi ini tidak secara jelas
dimaknai demikian karena ada kriteria spesifik yang membuat seseorang bisa
dikatakan mengalami gangguan perilaku. Dalam DSM IV, dikatakan kembali
bahwa seseorang baru dapat dikatakan memenuhi kriteria ini jika ia menunjukkan
3 gejala spesifik selama sekurang-kurangnya 12 bulan dan paling tidak 1 gejala
muncul selama lebih dari 6 bulan terakhir. Gejala tersebut adalah agresi terhadap
orang atau binatang, merusak barang-barang, suka berbohong atau mencuri dan
melanggar aturan. (Kearney, 2003) Dalam Buku Tingkah Laku Abnormal, Linda
De Clerg (1994:167), mengemukakan istilah gangguan perilaku atau conduct
disorder mengacu pada pola prilaku antisosial yang bertahan yang melanggar hak-
hak orang lain dan norma susila.14

C. Jenis – Jenis Gangguan Perilaku Pada Anak


 ( Attention Deficit Hyperactivity disorder )

ADHD adalah gangguan perilaku pada anak yang merujuk pada fungsi
perkembangan saraf dengan gejala berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian
hiperaktivitas dan impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia perkembangan
sehingga berdampak pada prestasi anak di sekolah.15

Ciri gangguan perilaku pada anak Attention Deficit And Hyperactivity


Disorder (ADHD) Diantaranya adalah :

13
Rehani, Gangguan Tingkah Laku Pada Anak. Jurnal Al-Ta’lim, (Jakarta, 2012), Jilid 1, Nomor 3
November 2012, hlm. 201-208
14
Ibid.
15
Bestari Nindya Suyanto, Supra Wimbarti e-Journal Gama JPP Vol 5 nomor 1 tahun 2015 hal. 16
program intervensi musik terhadap hiperaktivitas anak (ADHDJ

12
1. Tidak fokus

Anak dengan gangguan hiperaktif tidak Bisa konsentrasi lebih dari lima menit.
Tidak memiliki fokus yang jelas dan Melakukan sesuatu tanpa tujuan dan
Cenderung tidak mampu melakukan sosialisasi. Sulit untuk dikendalikan Anak
hiperaktif memang selalu bergerak. Keinginannya harus segera Dipenuhi. Tidak
bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkah.

2. Sulit untuk di kendalikan

Anak hiperaktif memang selalu bergerak. Keinginannya harus segera


Dipenuhi. Tidak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkah.

3. Impulsif

Melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Selalu

Ingin meraih dan memegang apapun yang ada didepanya. Gangguan perilaku ini
biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dasar atau sebelum mereka berusia 7
tahun.

4. Menentang
Umumnya memiliki sikap penentang atau pembangkang atau juga tidak

Mau dinasehati. Penolakannya ditunjukkan dengan sikap cuek.

5. Destruktif
Destruktif atau merusak barang seperti mainan yang dimainkannya dan

Cenderung menghancurkan sangat besar.

6. Tidak kenal lelah


Sering tidak menunjukkan sikap lelah, hal inilah yang sering kali membuat

Orang tua kewalahan dan tidak sanggup merespon perilakunya

7. Sabar dan usil16

16
Devie Lestari Hayati, Nurliana Cipta Apsari. Jurnal Prosiding Penelitian &

13
Ketika bermain tidak mau menunggu giliran, tetapi langsung merebut. Sering pula
mengusili teman-temannya tanpa alasan yang jelas.

Penangan Anak dengan gangguan Perilaku ADHD

 Penangan gangguan Perilaku ADHD tidak dapat Diberikan langsung pada


segi akademiknya seperti membaca, menulis Dan berhitung. Untuk
mencapai kondisi anak siap belajar maka anak Perlu disiapkan terlebih
dahulu dari segi perilakunya. Hal-hal yang Perlu ditangani terlebih dahulu
dan melalui proses sebagai berikut:
a. Kerjasama antara orangtua dan terapis
Perlakuan orangtua terhadap anak harus sama dengan perlakuan Terapis terhadap
anak (penyamaan persepsi dan pola asuh), Orangtua harus menerapkan disiplin dan
bersikap tegas terhadap Anak, memberikan pemahaman tentang perlakuan orangtua
Yang sekiranya tidak mendukung untuk membentuk perilaku

Adaptif anak, Orangtua harus turut terlibat dalam pembentukan Perilaku adaptif
anak, mengatur dan mengontrol diet anak (menghindari makanan yang
mempengaruhi mood anak seperti Coklat, keju, makanan mengandung gula tinggi,
yang Mengandung pewarna dan pengawet, dan lain sebagainya). Hal Ini harus
dilakukan secara konsisten.

b. Motivasi
Ketika anak menyadari bahwa dirinya mengalami Kesulitan belajar dibandingkan
teman-temannya, merasa tidak Mampu untuk belajar, terapis, guru dan orangtua
harus Memberikan motivasi untuk meningkatkan kepercayaan dirinya,
Memberikan pemahaman apa saja keuntungan yang akan Didapat ketika dia bisa
membaca, misalnya dengan Memberitahukan bahwa dengan membaca bisa
membuat dirinya Tahu banyak hal. Ketika anak memiliki motivasi yang kuat untuk

Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Padajajran Vol 6 No 1 2019 hal 112 PELAYANAN
KHUSUS BAGI ANAK DENGAN ATTENTIONS DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD) DI
SEKOLAH

14
Menguasai sesuatu maka anak akan antusias dan tidak mudah Menyerah ketika
tidak berhasil.

c. Penggunaan Reward
Pemberian reward yang tepat dan segera setiap kali perilaku yang diharapkan
muncul. Setiap perilaku yang mendatangkan reward akan diulang kembali oleh
anak, hal ini dilakukan secara konsisten hingga perilaku itu menetap pada diri anak.
Reward setiap anak berbeda-beda dan sangat individual. Jenis-jenis reward pun bisa
beragam, misalnya pelukan, belaian, pujian, usapan, makanan, minuman dan lain-
lain. Selain sebagai media untuk membentuk perilaku anak, reward ini dapat
menciptakan kedekatan antara anak dengan Orangtua ataupun guru terapis sehingga
anak merasa nyaman dan dapat mengikuti setiap perintah yang di berikan17

 Gangguan perilaku oppositional Defiant disorder ( ODD )

Gangguan perilaku oppositional defiant disorder adalah jenis gangguan yang


ditunjukkan dengan perilaku dan sikap yang tidak mau patuh pada perintah orang
dewasa atau figur otoritas menurut chandler pada tahun (2002) oppositional defiant
disorder adalah gangguan psikiatri yang memiliki dua karakteristik utama dalam
wujud perilakunya yaitu agresivitas dan kecenderungan mengganggu orang lain
atau mengacau disebut juga dengan disruptive behavior hal ini juga diikuti dengan
pola-pola sikap yaitu tidak kooperatif menentang atau membangkang berprasangka
atau menunjukkan sikap permusuhan kepada orang lain atau orang dewasa tapi
perilaku yang muncul tidak termasuk dalam perilaku anti sosial. Faktor utama yang
menyebabkan anak berisiko mengalami gangguan Sikap perilaku menentang ini
ialah tempramen anak dengan cara pengasuhan orang tua terutama dalam masalah
kedisiplinan yang tidak konsisten18

 Ciri-ciri anak dengan ODD

17
Wiwin Narti Jurnal Nur El-Islam, Volume 4, Nomor 1, April 2017 PENANGANAN KESULITAN
BELAJAR ANAK DENGAN ADHD hal 83
18
Yulia Hairina, Dkk. PARENT MANAGEMENT TRAINING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN
SOSIAL ANAK YANG MENGALAMI OPPOSITIONAL DEFIANT DISORDER Jurnal Intervensi Psikologi,
Vol 2, No. 2, Desember 2020

15
Anak-anak dengan gangguan sikap menentang atau Oppositional Deviant
Disorder (ODD) ini biasanya menunjukkan perilaku negatif dan menyimpang
seperti keras kepala dan melawan arah-arahan orang lain. Mereka tidak
menginginkan adanya kompromi, memberi atau tidak mau melakukan negosiasi.
Dan anak-anak ini juga biasanya mengabaikan aturan, senang mendebat atau
mengabaikan kesalahan atas perilaku yang dibuatnya. Sikap permusuhan ini
diarahkan ada orang dewasa atau teman sebaya yang ditunjukkan dengan agresi
verbal atau secara sengaja membuat jengkel orang lain (Sumiati, 2006:46). Menurut
Wenar (1994:136), pada gangguan ODD sering kali terjadi keadaan tumpah tindih
dengan gangguan perilaku lain yang saling beriringan dengan gejala psikologis lain,
terutama agresivitas maupun antisosial dan conduct disorder. ODD memiliki
beberapa karakteristik yang mencolok dibandingkan dengan conduct disorder
menurut Sachchar dan Wachmuth (Wenar, 1994:136). Berdasarkan DSM dan
PPDGJ III, gangguan perilaku ini menyebabkan berbagai masalah yang signifikan
secara klinis didalam lingkungan sosial. Anak anak ini seringkali mengalami
pertengkaran dan konflik dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya (Sumiati,
2006:46). Anak dengan ODD berarti memiliki permasalahan dengan social skill
(kendal, 2003 dalam Hersen 2006:288), permasalahan tersebut akan dibedakan
antara permasalahan kemunduran kognitif dan distorsi kognitif yang ada. Bahkan
seringkali dalam penelitian mengenai sikap menentang ini tumpang tindih dengan
istilah anak dengan permasalahan sosial atau social impairmentt (Hersen,
2006:286). Kemampuan yang diharapkan bagi anak dengan sikap menentang
adalah memiliki toleransi, adaptasi dan kemampuan pemecahan masalah (Greene
& Ablon, 2005 Greence & Doyle, 1999, dalam Hersen, 2006:287). Karena
kemampuan yang berhubungan dengan kapasitas anak dalam menjalin hubungan
dalam suatu perubahan lingkungan atau memiliki standar dalam diri mereka
mengenai perilaku yang tepat (Hersen, 2006:287). Adanya kemampuan yang
berkurang dalam kapasitasnya untuk merespon orang dewasa secara adaptif dan
dengan kesopanan (Greene & Ablon dalam Hersen, 2006:287). Hal ini disebabkan
karena mereka merasa hanya perlu merespon secara dengan reaksi emosional tanpa
adanya pemahaman atas konsekuensi perilaku yang salah. Anak dengan ODD

16
memiliki kegagalan dalam melakukan kategori strategi perilaku, dan kekuatan
dalam merespon secara verbal yang seharusnya diarahkan pada ketepatan dalam
perilaku selanjutnya. Mereka memiliki label emosi tertentu sehingga adanya rasa
frustrasi yang membuatnya kesulitan dalam mengidentifikasi secara tepat dalam
strategi perilaku yang seharusnya dimunculkan. Anak memiliki keterbatasan dalam
mengkomunikasikan perasaannya dan kebutuhannya sehingga interaksi yang
nampak menjadi sulit, serta adanya kesulitan dalam pemecahan masalah, sehingga
akan nampak ketika anak tersebut harus memutuskan situasi mana untuk
memunculkan perilaku yang tepat (Hersen, 2006:287). 19

Ciri-ciri perilaku anak dengan kriteria Oppositional Defiant Disorder (ODD), yaitu:

a. Sering atau mudah marah;

b. Sering menentang atau menolak untuk menuruti permintaan atau peraturan orang
dewasa;

c. Sering secara terbuka menentang atau menolak mematuhi peraturan atau


Permintaan orang dewasa

d. Melakukan hal-hal yang sengaja mengganggu orang lain.

e. Sering menyalahkan orang lain karena kesalahan atau kenakalan dirinya sendiri.

f. Mudah terganggu dengan orang lain atau sensitif.

g. Sering kesal dan marah.

h. Sering dendam atau dengki.20

 Penanganan Anak dengan Gangguan Perilaku Oppositional Defiant


Disorder (ODD)

5
JSH Jurnal Sosial Humaniora, Vol 8 No.1, Juni 2015 Social Skill Training Sebagai Intervensi pada
Anak DENGAN GANGGUAN SIKAP MENENTANG ( ODD )
20
Endah Sri Wahyuni, 2019 , ‘’ HUBUNGAN ANTARA GANGGUAN PERILAKU
MENENTANG DENGAN PERILAKU BELAJAR PADA SISWA
SEKOLAH” Skripsi. Semarang, Universitas Negeri Semarang.

17
Penanganan anak dengan ODD sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar
dapat mencegah masalah di masa mendatang. Penangan Pada gangguan ODD ini
lakukan sesuai dengan gejala, usia, kesehatan anak, dan tingkat keparahan yang
dialami. Berikut ini adalah cara yang harus dilakukan dalam menangani anak yang
mengalami gangguan perilaku oppositional Defiant disorder ( ODD)

1. Terapi Perilaku Kognitif

Terapi ini dilakukan untuk membantu anak pengidap ODD memecahkan masalah
dan berkomunikasi dengan lebih baik. Anak juga akan diajarkan bagaimana cara
untuk mengendalikan impuls dan kemarahan.

2. Terapi Keluarga

Terapi dilakukan dengan cara meningkatkan keterampilan komunikasi dan interaksi


keluarga. Memiliki anak dengan ODD tentunya sangat sulit bagi orangtua. Kondisi
ini juga dapat menyebabkan masalah untuk saudara kandung, sehingga orangtua
dan saudara kandung membutuhkan dukungan dan pengertian.

3. Terapi Kelompok Sebaya

Terapi kelompok sebaya dilakukan agar anak belajar keterampilan sosial yang lebih
baik dengan teman sebayanya.

18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau
menemukenali. Identifikasi dimaksudkan sebagai suatu usaha orang tua, guru,
maupun tenaga kependidikan lainnya untuk mengetahui apakah seorang anak
mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/tingkah
laku) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya. Sumber informasi dalam proses identifikasi ini adalah orang tua anak,
guru kelas, tokoh masyarakat, institusi yang terkait (puskesmas, posyandu), teman
sebaya (lingkungan sosial), tenaga medis yang membantu kelahiran anak (riwayat
kelahiran), ahli lain yang pernah menangani anak (seperti; psikolog, dll), dan lain
sebagainya.
Dalam program pendidikan, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan
khusus memiliki lima fungsi, yaitu: Penjaringan (screening), Pengalihtanganan
(referal), Klasifikasi, Perencanaan pembelajaran, dan Pemantauan kemajuan
belajar. Istilah Gangguan perilaku atau dalam kategori Quay (bahasa Inggrisya)
disebut Conduct Disorder (Quay, 1964) . Secara historis diadopsi dari variasi
beberapa term antar bangsa, terutama di Eropa. Di Inggris, dengan istilah emotional
and behavioral difficulties (kesulitan emosional dan perilaku) telah secara luas
digunakan di Amerika Serikat, emotional and behavioral disorders (gangguan
emosional / perilaku) atau emotional disturbance (gangguan emosi) dan behavioral
disorders (penyimpangan perilaku) juga digunakan secara luas. Istilah-istilah
tersebut digunakan dalam rangka mengupayakan kebutuhan pelayanan pendidikan
kepada anak dalam menentukan apakah seorang anak berhak untuk mendapatkan
layanan pendidikan khusus atau umum.

19
DAFTAR PUSTAKA
Arriani, Farah. 2014 “Perilaku agresif anak usia dini.” (Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini: 8.2. hlm 273.
Asnatasia Maharan, Ega, dkk. 2019. “Deteksi Gangguan Emosi dan Perilaku
Distrutif pada Anak Usia Dini”, (JECCE (Journal of early Childhood Care
and Education): 2.1. Hlm.2
Hairina, Yulia. Dkk. 2020. PARENT MANAGEMENT TRAINING UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK YANG MENGALAMI
OPPOSITIONAL DEFIANT DISORDER Jurnal Intervensi Psikologi, Vol 2,
No. 2, Desember
Lestari Hayati, Devie. dkk. Jurnal Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Padajajran Vol 6 No 1 2019 hal 112 PELAYANAN
KHUSUS BAGI ANAK DENGAN ATTENTIONS DEFICIT
HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD) DI SEKOLAH
Mahabbati, Aini. 2006. JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK) : Identifikasi
Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku di Sekolah. FIP UNY. Vol.2
No.2 Hlm. 1-3
Nindya Suyanto, Bestari. 2015. Supra Wimbarti e-Journal Gama JPP Vol 5 nomor
1 hal. 16 program intervensi musik terhadap hiperaktivitas anak (ADHDJ
Narti, Wiwin. 2017. Jurnal Nur El-Islam, Volume 4, Nomor 1, April
PENANGANAN KESULITAN BELAJAR ANAK DENGAN ADHD hal 83
Rehani, Gangguan Tingkah Laku Pada Anak. Jurnal Al-Ta’lim, (Jakarta, 2012),
Jilid 1, Nomor 3 November. hlm. 201-208
Siti Anisah, Ani. 2017. Gangguan Prilaku Pada Anak Dan Implikasinya Terhadap
Perkembangan Anak Usia Dini, ( Jakarta, 2017), Vol.2,No.2,Hlm.121
JSH Jurnal Sosial Humaniora, Vol 8 No.1, Juni 2015 Social Skill Training Sebagai
Intervensi pada Anak DENGAN GANGGUAN SIKAP MENENTANG (
ODD )
Sri Wahyuni, Endah. 2019 , ‘’ HUBUNGAN ANTARA GANGGUAN PERILAKU
MENENTANG DENGAN PERILAKU BELAJAR PADA SISWA
SEKOLAH” Skripsi. Semarang, Universitas Negeri Semarang.

20

Anda mungkin juga menyukai