Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

‘’DEFINISI GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIAONAL (TUNA LARAS)’’

Dosen Pengampuh:

Titin Florentina Purwasetiawatik, M.Psi., Psikolog

Oleh:

KELOMPOK 2

Alya Nadila Aswin (4520091091)

Kristrion Pappang Ma’dika (4522091209)

Michelle Berliani Monica Novelin (4521091136)

Josua Anugrah (4521091131)

Jessica Putri Sugiharto (802021024)

Susi Yakob (4521091099)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BOSOWA
2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah yang penulis bahas yaitu
mengenai “DEFINISI GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIAONAL (TUNA LARAS)”.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat sehat-
Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis berharap makalah
makna ini dapat bermanfaat. Tidak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada ibu ....
selaku dosen pengampuh mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.

Makalah bertema “DEFINISI GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIAONAL (TUNA LARAS)”


ini masih banyak kekurangan dan perlu penyempurnaan. Maka dari itu Penyusun terbuka
terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten penyusun
memohon maaf.

Makassar, 17 Oktober 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG...........................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................3
C. TUJUAN...............................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..................................................................................................................................4
A. DEFINISI GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL/TUNA LARAS....................4
B. PREVALENSI TUNA LARAS............................................................................................4
C. AREA MASALAH DENGAN GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL/TUNA
LARAS.............................................................................................................................................4
D. IDENTIFIKASI TUNA LARAS...........................................................................................4
E. STRATEGI PENDIDIKAN BAGI SEORANG DENGAN TUNA LARAS.........................4
F. PROGRAM INKLUSI.............................................................................................................4
BAB III..................................................................................................................................................5
PENUTUP............................................................................................................................................5
A. KESIMPULAN.....................................................................................................................5
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bukan masalah yang sederhana untuk menentukan Batasan mengenai anak yang
mengalami gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tuna laras.
Hingga kini belum ada suatu definisi yang dapat diterima secara umum serta
memuaskan semua pihak. Kenyataan Batasan atau definisi yang telah dikemukakan
oleh profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda
sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan
progesionalnya. Namun demikian, hampir semua batasan yang dikemukakan oleh
para ahli menganggap bahwa tuna laras menampakkan suatu perilaku penantangan
yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan
dalam belajar di sekolah (Somantri, 2006).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi gangguan perilaku dan emosional/tuna laras ?
2. Prevalensi tuna laras ?
3. Apa area masalah dengan gangguan perilaku dan emosional/tuna laras?
4. Bagaimana mengidentifikasi tuna laras?
5. Bagaimana strategi pendidikan bagi seorang dengan tuna laras?
6. Bagaimana program inklusi tuna laras?

C. TUJUAN
a. Mengetahui definisi dari gangguan perilaku dan emosional/tuna laras
b. Mengetahui prevalensi tuna laras
c. Mengetahui tentang area masalah dengan gangguan perilaku dan
emosional/tuna laras
d. Mengetahui bagaimana mengidentifikasi tuna laras
e. Mengetahui bagaimana strategi bagi seorang dengan tuna laras
f. Mengetahui bagaimana program inklusi bagi tuna laras
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL/TUNA LARAS


Tunalaras adalah seseorang yang mengalami hambatan untuk
mengendalikan emosi serta kontrol sosial. Orang atau anak tunalaras
cenderung menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan
norma atau aturan di sekitarnya.
Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan atau hambatan
emosi dan berkelainan tingkah laku, sehingga kurang dapat menyesuaikan
diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Tingkah laku anak tunalaras kadang- kadang tidak mencerminkan
kedewasaan dan suka menarik diri dari lingkungan, sehingga merugikan
dirinya sendiri dan orang lain dan bahkan kadang merugikan di segi
pendidikannya. Anak tunalaras juga sering disebut anak tunasosial karena
tingkah laku anak tunalaras menunjukkan penentangan terhadap norma-
norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri , menganggu dan
menyakiti orang lain.
Menurut peraturan pemerintah No. 2 tahun 1989 tentang pendidikan
nasional, dan PP. No. 71 tahun 1991 tentang pendidikan luar biasa, yang
menyatakan bahwa “tuna laras merupakan gangguan atau kelainan tingkah
laku sehingga kurang dapat mennyesuaikan diri dengan baik terhadap
lingkungan keluarga, sekolah, dan Masyarakat
Anak anak tunalaras selalu ingin suasana yang bebas dan tidak terkekang,
maka anak anak tersebut sering tidak mentaati peraturan yang ada di
sekolah. Biasanya mereka sering dating terlembat, tidak mengerjakan tugas
dan sering berkata kasar. Anak anak yang mengalami tunalaras ini apabila
marah sulit untuk diredahkan
B. PREVALENSI TUNA LARAS
Menurut data World Health Organitation (WHO), bahwa sebanyak 25%
anak usia prasekolah (Preschool) mengalami masalah otak Termasuk
gangguan motorik halus (Balitbang, 2019). Adapun data yang dirilis Dinas
Kesehatan Republik Indonesia sebanyak 16% atau sekitar 0,4 juta balita di
indonesia mengalami gangguan dalam perkembangan motorik halus dan
kasar, gangguan pendengaran, kecerdasan kurang dan keterlambatan bicara.
Data dari peneliti Kay-Lambkin dkk. secara global dilaporkan anak yang
mengalami gangguan berupa kecemasan sekitar 9%, mudah emosi 11-15%,
gangguan perilaku9-15% (Risnawati, 2018).
Dari data tersebut, artikel ini membahas mengenal sangguan emosi yaitu
perilaku agresif dan kehidupan sosial anak tunalaras. Gangguan emosional
dan tingkah laku yang dialami anak dengan perilaku agresit seperti merusak,
bertindak melanggar etika, membangkang, emosional, dan tindakan agresit
lainnya yang merugikan. Hal tersebut menjadi pertimbangan pentingnya
perhatian dan kesadaran para orang tua.
Menurut Kauffman J. M dan Hallahan D. P (1982) menyebutkan prevalensi
anak tunalaras berjumlah 2% dari anak usia sekolah, sehingga di Indonesia
anak tunalaras diperkirakan berjumlah 1.775.000 orang. Berdasarkan data
Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
DEPDIKNAS. Th 2006, total 1.775.000 anak itu baru tertampung 788 orang
yang tersebar di 13 SLB/E se-Indonesia. Ini menandakan bahwa Pendidikan
Luar Sekolah untuk anak tunalaras masih dianggap hutan belantara.

C. AREA MASALAH DENGAN GANGGUAN PERILAKU DAN EMOSIONAL/TUNA


LARAS
1. Kondisi/keadaan fisik
Gunzburg (dalam Simanjuntak, 1947) menjelaskan bahwa gangguan pada
kelenjar endoktrin bisa menjadi faktor penyebab munculnya perilaku kriminal.
Kelenjar endoktrin bertanggung jawab atas pelepasan hormon yang memengaruhi
energi seseorang. Jika gangguan ini berlanjut, dapat menyebabkan masalah dalam
perkembangan fisik dan mental individu, yang pada gilirannya memengaruhi
pembentukan karakter mereka.
Kondisi fisik juga dapat berupa kelainan atau cacat pada tubuh atau indera yang
dapat memengaruhi perilaku seseorang. Kompleksitas masalah ini semakin
bertambah dengan sikap atau perlakuan negatif dari lingkungan sekitarnya.
Akibatnya, seseorang mungkin mengalami perasaan rendah diri, merasa tidak
berdaya, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna. Hal ini dapat menyebabkan
kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial atau sebaliknya, mengungkapkan
perilaku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya dalam upaya mencari
simpati dari lingkungan sekitarnya.
2. Masalah Perkembangan
Dalam menjalani setiap tahap perkembangan individu, sulit untuk menghindari
berbagai bentuk konflik. Erikson (dalam Singgih D.Gunarsa, 1985:107) menjelaskan
bahwa ketika individu memasuki tahap perkembangan baru, mereka dihadapkan
pada beragam tantangan emosional atau krisis. Biasanya, anak-anak mampu
mengatasi krisis emosional ini jika mereka mengalami pertumbuhan kemampuan
baru sebagai bagian dari proses kematangan yang terjadi selama perkembangan
tersebut. Sebaliknya, jika individu gagal mengatasi tantangan tersebut, hal ini dapat
menghasilkan gangguan emosional dan perilaku. Konflik emosional ini cenderung
terjadi terutama selama masa kanak-kanak dan pubertas. Terdapat beberapa kondisi
aspek perkembangan anak tunalaras, antara lain:
a. Perkembangan Kognitif Anak Tunalaras
Anak tunalaras memiliki tingkat kecerdasan yang sama dengan anak-anak
biasa. Penurunan kinerja di sekolah terjadi karena mereka kehilangan minat dan
konsentrasi dalam belajar akibat masalah gangguan emosional yang mereka
alami. Keberhasilan mereka di sekolah sering kali disalahartikan sebagai
rendahnya tingkat kecerdasan.
b. Perkembangan Kepribadian Anak Tunalaras
Kepribadian akan membentuk peran dan status seseorang dalam berbagai
kelompok, dan akan memengaruhi kesadaran individu terhadap dirinya sendiri
sebagai bagian dari kepribadiannya. Oleh karena itu, kepribadian dapat menjadi
penyebab perilaku yang tidak sesuai norma. Manifestasi kepribadian yang dapat
diamati muncul dalam interaksi individu dengan lingkungan mereka, dan pada
dasarnya, interaksi ini merupakan cara individu memenuhi kebutuhannya. Konflik
psikologis dapat timbul ketika usaha memenuhi kebutuhan individu bertentangan
dengan norma sosial yang berlaku.
c. Perkembangan Emosi Anak Tunalaras
Gangguan dalam perkembangan emosi adalah akar penyebab dari perilaku
yang tidak sesuai pada anak-anak tunalaras. Hal yang mencolok pada anak-anak
ini adalah ketidakstabilan emosi, kesulitan dalam mengekspresikan emosi
dengan benar, dan kurangnya kontrol diri, yang seringkali membuat mereka
sangat emosional. Gangguan dalam kehidupan emosi ini muncul sebagai hasil
dari kesulitan anak dalam melewati tahapan-tahapan perkembangan.

d. Perkembangan Sosial Anak Tunalaras


Sebagai makhluk sosial, manusia merasa perlu untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Ketika lingkungan memberikan pengalaman positif, ini
mendorong perkembangan rasa kepercayaan yang secara perlahan berkembang
menjadi kepercayaan yang lebih luas. Kesulitan anak tunalaras dalam
berinteraksi secara sosial dengan lingkungannya disebabkan oleh pengalaman-
pengalaman yang kurang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, saat anak memasuki tahap perkembangan
baru, mereka dihadapkan pada tantangan yang timbul dari lingkungan mereka
untuk menyesuaikan ego mereka.
Dengan demikian, ketika mencapai tahap perkembangan baru, anak
menghadapi krisis emosional. Jika ego mereka mampu mengatasi krisis ini,
maka ego mereka akan berkembang dan anak akan mampu berinteraksi secara
positif dengan lingkungan sosial dan masyarakatnya.

3. Lingkungan Keluarga:
a. Kasih sayang dan perhatian
Adanya banyak faktor dalam lingkungan keluarga yang berhubungan dengan
masalah gangguan emosi dan perilaku, berikut ini akan dipertimbangkan
beberapa aspek, antara lain:
Kasih sayang dan perhatian dari orang tua dan anggota keluarga sangat
penting bagi anak. Ketika mereka kurang mendapatkan kasih sayang dan
perhatian dari orang tua, anak mungkin mencari hal ini di luar rumah, bergabung
dengan teman-temannya, dan membentuk kelompok anak yang merasa memiliki
kebutuhan serupa. Dalam konteks ini, Sofyan S. Willis (1981) menjelaskan
bahwa kelompok ini membantu memenuhi kebutuhan seperti perhatian dari
orang tua dan masyarakat.
Selain itu, terkadang, sebaliknya, beberapa orang tua memberikan terlalu
banyak kasih sayang, perhatian, bahkan perlindungan berlebihan
(overprotection). Memanjakan anak dapat mengakibatkan anak menjadi terlalu
bergantung, sehingga jika mereka menghadapi kegagalan dalam mencoba
sesuatu, mereka cenderung mudah menyerah dan merasa kecewa, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan kurangnya rasa percaya diri pada anak.
b. Keharmonisan keluarga
Banyak tindakan kenakalan atau gangguan perilaku dilakukan oleh anak-anak
yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis. Ketidakharmonisan
ini bisa disebabkan oleh perpisahan keluarga atau ketidaksetujuan antara orang
tua dalam menerapkan disiplin dan pendidikan pada anak. Kondisi keluarga yang
bercerai atau kehidupan rumah tangga yang bergejolak mengakibatkan anak-
anak menerima panduan yang kurang sesuai. Berdasarkan hasil penelitiannya,
Hetherington (dalam Kirk & Gallagher, 1986) menyimpulkan bahwa hampir
semua anak yang mengalami perceraian orang tua mengalami masa transisi
yang sangat sulit.
c. Kondisi ekonomi
Kelemahan ekonomi keluarga juga bisa menjadi salah satu faktor yang
mengakibatkan ketidakpuasan dalam memenuhi kebutuhan anak. Ini disebabkan
oleh fakta bahwa anak-anak sering memiliki keinginan untuk sejajar dengan
teman-temannya dalam hal berpakaian, hiburan, dan lainnya. Ketidakmampuan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat mendorong anak-anak
mencari solusi sendiri, yang terkadang mengarah pada perilaku antisosial. G. W.
Bawengan (1977) mengungkapkan bahwa kondisi seperti kemiskinan atau
pengangguran dapat memberikan insentif tambahan untuk melakukan tindakan
seperti pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya.

4. Lingkungan Sekolah
Gangguan perilaku yang muncul di lingkungan sekolah dapat disebabkan oleh
faktor-faktor seperti perilaku guru yang bertindak sebagai pelaksana pendidikan dan
fasilitas yang diperlukan oleh siswa. Ketika seorang guru bersikap otoriter, ini dapat
membuat siswa merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Sebagai
akibatnya, siswa lebih cenderung untuk membolos dan berkeliaran saat mereka
seharusnya berada di dalam kelas. Di sisi lain, jika seorang guru bersikap terlalu
lemah dan tidak memberlakukan disiplin pada siswanya, ini bisa menyebabkan
perilaku sembrono dan penyalahgunaan aturan oleh siswa, yang pada akhirnya bisa
mengarah pada tindakan-tindakan yang melawan norma-norma yang berlaku.

5. Lingkungan Masyarakat
Pengaruh masuknya unsur budaya asing yang tidak selaras dengan tradisi yang
dipegang oleh masyarakat, terutama ketika diterima dengan baik oleh kalangan
remaja, dapat menimbulkan konflik yang bersifat negatif. Di satu sisi, remaja
mungkin melihat budaya asing ini sebagai hal yang benar, sedangkan di sisi lain,
masyarakat masih tetap berpegang pada norma-norma yang berakar pada adat
istiadat dan agama.
Selain itu, konflik juga bisa muncul dalam diri anak itu sendiri karena norma yang
diterapkan di dalam rumah atau keluarga bertentangan dengan norma dan realitas
yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, seorang anak mungkin diajarkan dalam
keluarganya untuk berperilaku sopan dan menghormati orang lain, tetapi dia
menemui kenyataan yang berbeda dalam masyarakat di mana tindakan kekerasan
dan kurangnya saling menghormati lebih umum terjadi.

D. IDENTIFIKASI TUNA LARAS


Identifikasi yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1986), berdasarkan
dimensi tingkah laku anak tuna laras adalah sebagai berikut.

1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku, memperlihatkan ciri-ciri:suka


berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak
milik sendiri atau milik orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja
sama, tidak mau memperhatikan,memecah belah, ribut, tidak bisa diam, menolak
arahan, cepat marah,menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, pembohong, tidak dapat dipercaya, suka berbicara kotor, cemburu, suka
bersoal jawab, tak sanggup berdikari, mencuri, mengejek, menyangkal berbuat salah,
egois, dan mudah terpengaruh untuk berbuat salah.

2.Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri dengan ciri-ciri yaituketakutan,
kaku, pemalu, segan, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih,terganggu, rendah
diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang,sering menangis, pendiam,
suka berahasia.

3. Anak yang kurang dewasa dengan ciri-ciri, yaitu pelamun, kaku, berangan-angan,
pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan, dan kotor.

4. Anak yang agresif bersosialisasi dengan ciri-ciri, yaitu mempunyaikomplotan jahat,


mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap temannakal, berkelompok dengan
geng, suka di luar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.

Sedangkan menurut Anita karakteristik anak tunalaras yaitu:

1). Sulit berkomunikasi

2). Senang menirukan tanpa memilah baik dan buruknya

3). Kesulitan dalam belajarnya

4). Berperilaku gugup


5). Sulit berhenti berbicara

6). Beberapa memiliki kelainan dalam fisiknya

7). Memiliki rasa iri yang tinggi terhadap orang lain

8). Emosional

9). Senang melanggar peraturan

10). Memiliki sensifitas yang cukup tinggi

11). Kesulitan dalam calistung

12). Mood yang mudah berubah-ubah

13). Melakukan hal sesuai dengan kebiasaannya

14). Berprasangka berlebihan terhadap orang lain

14). Menyakiti diri sendiri atau orang lain

15). Cenderung introvert


E. STRATEGI PENDIDIKAN BAGI SEORANG DENGAN TUNA LARAS
1.Mengurangi atau Menghilangkan Kondisi yang Tidak Menguntungkan yang
Menimbulkan atau Menambah Adanya Gangguan Perilaku.
Adapun kondisi yang tidak menguntungkan itu adalah sebagai berikut :
a. Lingkungan fisik yang kurang memenuhi persyaratan, seperti bangunansekolah
dan fasilitas yang tidak memadai, seperti ukuran kelas yang kecildan sanitasi
yang buruk. Tidak jarang hal ini akan menjadikan anakmerasa bosan dan tidak
betah berada di sekolah.
b. Disiplin sekolah yang kaku dan tidak konsisten, seperti peraturan sekolahyang
memberi hukuman tanpa memperhatikan berat dan ringannya pelanggaran siswa.
Keadaan ini akan membuat anak merasa tidak puasterhadap sekolah.
c. Guru yang tidak simpatik sehingga situasi belajar tidak menarik.Akibatnya, murid
sering membolos berkeliaran di luar sekolah pada jamjam belajar, kadang-kadang
digunakan untuk merokok, tawuran, danlain-lain.
d. Kurikulum yang digunakan tidak berdasarkan kebutuhan anak.Akibatnya, anak
harus mengikuti kurikulum bagi semua anak walaupunhal itu tidak sesuai dengan
bakatnya.
e.Metode dan teknik mengajar yang kurang mengaktifkan anak dapatmengakibatkan
anak bosan dan merasah lelah.

2. Menentukan Model-Model dan Teknik Pendekatan


Model PendekatanKauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model
pendekatan kepadaanak tuna laras sebagai berikut :
1) Model biogenetik
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilakudisebabkan
oleh kecacatan genetik atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan
pada pengobatan, diet, olahraga, operasi,atau mengubah lingkungan.
2)Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsi bahwa gangguan emosi merupakanindikasi
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan,dan mungkin
berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di
rumah. Oleh karena itu, penanganannyatidak hanya ditujukan kepada anak, tetapi
pada lingkungan tempatanak belajar dan tinggal.
3) Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang ataugangguan
emosi disebabkan oleh gangguan atau hambatan yangterjadi dalam proses
perkembangan kepribadian karena berbaga faktor sehingga kemampuan yang
diharapkan sesuai dengan usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya
konflik batin yang tidakteratasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi gangguan
perilaku itu dapatdiadakan pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan
usaha membantu anak dalam mengekspresikan dan mengendalikan
perasaannya.
4)Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kehidupan ini terjadi karena adanyainteraksi
antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilakuterjadi karena adanya
disfungsi antara anak dengan lingkungannya.Oleh karena itu, model ini
menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi
yang baik antara anak tentang lingkungannya, misalnya dengan mengubah
persepsi orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan
lingkungannya.

F. PROGRAM INKLUSI
Pendidikan inklusi adalah salah satu model pendidikan yang disarankan untuk
berbagai tipe anak berkebutuhan khusus tidak terkecuali anak tunalaras. Pendidikan
inklusi memiliki konsep keterbukaan terhadap perbedaan karakter peserta didik dan
berusaha mengakomodasi agar perbedaan karakter tersebut tidak mengganggu
pelaksanaan pendidikan baik itu bagi anak tunalaras maupun peserta didik lain.
Adanya usaha saling memahami perbedaan antar peserta didik dan upaya untuk
memperlakukan perbedaan antar peserta didik secara semestinya memberi nilai plus
bagi pendidikan inklusi. Pelaksanaan pendidikan inklusi untuk mengakomodasi anak
berkebutuhan khusus yang salah satunya adalah anak tunalaras telah diatur
sedemikian rupa.

Kebijakan Pendidikan inklusif ditulis dalam peraturan perundang undangan, yairu


UUD 1945 Passal 28H ayat 2 “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat guna mencapai
persamaan dan keadilan. Pemerintah juga dalam hal ini telah mengeluarakan
kebijakan tentang Pendidikan inklusi bagi para siswa/I yang berkebutuhan khsusu
yang diatur ddalam UU no 20 tahun2003 tentang system Pendidikan Nasional Bab IV
pasal 5 ayat 2,3, dan 4 serta Pasal 32 yang menyebutkan bahwa Pendidikan khsus
merupakan Pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan (fisik,emosional, mental,
intelektual, dan atau sosial)atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa
yang diselenggarakan secara inklusi, baik pada tingkat dasar maupun menengah

Adapun kegiiatan penyaringan terhadap anak anak berkebutuhan khusus menurut


Kauffman (2008) :
1. Asesmen akademik
2. Asesmen sensori dan motoric
3. Asesmen psikologis, emosi, dan sosial
Kegiatan asesmen ini juga bisa dilakukan oleh guru, orang tua siswa, dan tenaga
professional
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Upaya keluarga dalam mengembangkan regulasi emosi adalah salah satu aspek
terpenting dari perkembangan emosi tunalaras. Regulasi emosi berkaitan dengan
dengan kemampuan seseorang untuk menyandari kuatnya emosi yang
dirasakannya, kemudian mengatur emosi yang dirasakan berdasarkan proses
biologis, fisiologis, dan psikologis dengan tujuan akhir membentuk perilaku yang
tepat.
Anak tunalaras secara umum dikatakan sebagai anak yang mengalami gangguan
emosi dan penyimpangan tingkah laku. Akibat perbuatannya dapat merugikan diri
sendiri dan lingkungan sekitarnya sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan
baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Husna, L. I., Burhanuddin, I., Atmaja, L. W. S., & Putri, D. A. (2023). Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah Inklusi: Strategi Pembelajaran Bagi Anak Penyandang Tunalaras. Jurnal
Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi, 22(1), 1-10.

Mahabbati, A. (2010). Pendidikan inklusif untuk anak dengan gangguan emosi dan perilaku
(tunalaras). JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 7(2).

Kristiana, I. F., & Widayanti, C. G. Buku Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.

Latifah, N. BAB VI. STRATEGI PEMBELAJARAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS,


165.

Nur’aeni (2019). Buku ajar: psikologi pendidikan anak berkebutuhan khusus. UM Purwokerto
Press

Anda mungkin juga menyukai