Anda di halaman 1dari 23

KONSEP HAMBATAN EMOSI DAN TINGKAH LAKU

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Pendidikan Anak dengan Hambatan


Emosi dan Tingkah Laku

Dosen Pengampu: Yuni Tanjung Utami, M.Pd

Disusun Oleh

Kelompok 1 :

Syifa Aulia Nur Fadlilah 2287190044


Qurota A’yun Mufidah 2287190050
Wulan Wahyuning Muhtar 2287190057
Fildza Shafa Fatilah 2287190063

PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2020

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT
yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan sehingga
kami semua diberi kesempatan yang luar biasa untuk menyelesaikan makalah
mengenai mata kuliah Pendidikan Anak dengan Hambatan Emosi dan Tingkah
Laku.

Selanjutnya, ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan kepada ibu Yuni
Tanjung Utami, M.Pd yang telah memberikan tugas mengenai Konsep Hambatan
Emosi dan Tingkah Laku sehingga dapat menambah pengetahuan dan informasi
mengenai masalah yang terdapat dalam proses pembelajaran.

Tidak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan


pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai
penulisan makalah kami ini, untuk kemudian kami akan merevisi kembali
pembuatan makalah ini di waktu berikutnya. Semoga dengan tersusunnya
makalah ini, dapat menambah informasi untuk para pembaca.

Serang, 11 Januari 2020

Kelompok 1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
1.1 Latar Belakang..............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................3
1.3 Tujuan............................................................................................................3
1.4 Manfaat.........................................................................................................3

BAB II ISI ..............................................................................................................5


2.1 Definisi dan Konsep Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku........5
2.2 Terminologi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku....................5
2.3 Karakteristik Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku...................5
2.4 Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan.............................
2.5 Dampak Ketunalarasan dalam Kegiatan Belajar........................................................

BAB III PENUTUP................................................................................................9


A. Kesimpulan...................................................................................................9
B. Saran..............................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Di masyarkata kita bayak istilah untuk memberikan label kepada anak


tunalaras. Istilah yang digunakan biasanya tergantung pada sudut pandang
keilmuan yang mereka geluti. Misalnya, guru menyebut anak sulit diatur, anak
sukar, anak nakal. Pedagog menyebutnya anak tunalaras. Sosial Worker
menyebutnya anak gangguan sosial atau anak penyandang masalah sosial.
Psikolog menyebutnya anak terganggu emosi, anak terhambat emosi. Lowyer
menyebutnya anak pranakal, anak nakal, anak pelanggar hukum. Orang tua dan
masyarakat awam menyebutnya anak nakal, anak bandel, anak keras kepala,
anak jahat dan sebagainya.
Dalam literatur asing banyak istilah yang mengupas tentang
pendidikan dan psikoterapi bagi anak yang mengalami gangguan emosi dan
sosial, banyak ditemukan istilah yang bermakna sama dengan istilah anak
tunalaras, seperti: serious emotional disturbance children, emotional conflict
children, emotional disturbance children, emotional handicap children,
emotional impairment children, behavior disorder children, behavior handicap
children, behavior impairment children, severebehavior children, social and
emotional children, dan sebaginya. Istilah-istilah tersebut pada dasarnya sama,
yaitu menunjuk kepada anak yang mengalami penyimpangan prilaku baik pada
taraf berat, sedang, ringan, yang disebabkan oleh gangguan emosi, sosial atau
keduanya.
Maud A.Merril, seorang anak digolongkan tunalaras apabila tingkahlaku
mereka ada kecenderungan-kecenderungan anti social yang memuncak dan
menimbulkan gangguan-gangguan, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil
tindakan dengan jalan menangkap dan mengasingkannya. Ibrahim Husien,
mejelaskan bahwa anak-anak menjadi delinquent apabila tingkahlakunya
menyeret dia ke dalam daerah hukum. Dan menurut Romli Atmasasmita,
delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yeng dilakukan oleh seorang
anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku disuatu
negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan dan ditafsirkan sebagai
perbuatan tercela.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini diantaranya sebagai berikut:
1. Apa definisi dan konsep anak yang mengalami hambatan emosi dan
tingkah laku?
2. Apa terminologi anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku?
3. Apa karakteristik anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku?
4. Bagaimna dampak dari hambatan emosi dan tingkah laku terhadap
perkembangan?
5. Bagaimna dampak dari ketunalarasan dalam kegiatan belajar?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk
menjelaskan materi mengenai:
1. Definisi dan Konsep Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
2. Terminologi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
3. Karakteristik Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
4. Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan
5. Dampak Ketunalarasan dalam Kegiatan Belajar

1.4 Manfaat
Sebagai sumber referensi yang dapat digunakan untuk membuat makalah
lainnya, dapat memberikan pemahaman yang luas bagi pembaca serta
diharapkan memberi pemahaman yang mendalam khususnya mahasiswa
Pendidikan Khusus mengenai konsep hambatan emosi dan tingkah laku.

BAB II
ISI

A. Definisi dan Konsep Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
1. Definisi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku
Definisi atau pengertian anak yang mengalami hambatan emosi dan
perilaku masih menjadi perdebatan. Perdebatan mengenai batasan untuk
definisi gangguan emosi dan perilaku muncul karena masing – masing ahli
yang mendefinisikan anak dengan gangguan emosi dan perilaku ini masih
melihat dari kajian ilmunya masing-masing. Faktor yang menyebabkan
ketidaksamaan definisi tunalaras, sebagai berikut :
a. Para ahli dalam melakukan pengkajian ketunalarasan dari sudut
pandang yang berbeda, sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya.
b. Para ahli memiliki dasar dan tujuan yang berbeda dalam merumuskan
definisi.
c. Pengukuran/assessment yang dilakukan berbeda dalam waktu maupun
alat.
d. Jenis, bentuk dan tingkat penyimpangan tingkah laku yang dialami
anak sangat bervariasi.
e. Perkembangan ilmu tentang pendidikan anak tunalaras dan
pendidikannya cukup dinamis.
Hal ini menyebabkan belum adanya definisi anak yang mengalami
hambatan emosi dan perilaku yang dapat diterima secara umum. Berbagai
macam istilah yang dapat digunakan untuk menunjukkan definisi mengenai
gangguan emosi dan perilaku. Berikut definisi anak yang mengalami
hambatan emosi dan perilaku dari pandangan ahli dan menurut undang-
undang dasar :
a. Menurut UU-AS (Rosenberg, 1992) dijelaskan sebagai berikut :
Gangguan emosi adalah suatu kondisi yang menunjukan salah satu atau
lebih gejala- gejala berikut dalam kurun waktu tertentu, pada tingkat
yang tinggi, dan mempengaruhi prestasi belajar. Gejala-gejala tersebut
yaitu
1) Ketidakmampuan belajar yang tidak disebabkan oleh faktor
intelegensi, syaraf, dan kesehatan.
2) Ketidakmampuan bergaul atau berhubungan baik guru maupun teman.
3) Perilaku dan perasaan yang tidak wajar pada situasi normal.
4) Perasaan depresi, sedih dan murung secara terus menerus.
5) Kecenderungan merasa takut atau cemas di dalam menghadapi
masalah pribadi maupun sekolah.
b. Menurut Nelson (1981): Seorang anak dikatakan tunalaras, apabila
tingkah laku mereka menyimpang dari ukuran menurut norma usia dan
jenis kelaminnya, dilakukan dengan frekwensi dan intensitas relatif
tinggi, serta dalam waktu yang relatif lama.
c. Kvaraceus dan Miller (Depdikbud, 1985) Memberikan batasan bahwa :
Anak tunalaras adalah individu yang tingkah lakunya tidak dewasa,
melanggar peraturan yang tertulis atau tidak tertulis dengan frekwensi
yang cukup tinggi.
2. Faktor – Faktor Penyebab Anak Mengalami Hambatan Emosi dan
Perilaku

Penyebab ketunalarasan menurut Sutjihati Somantri (2007: 143-147),


meliputi:
a. Kondisi / Keadaan Fisik
Masalah kondisi fisik dalam kaitannya dengan masalah gangguan
emosi dan prilaku, yang merupakan akibat langsung maupun tidak
langsung. Ada ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin
dapat mempengaruhi timbulnya gangguan emosi dan prilaku, atau dengan
kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh terhadap respon emosional
seseorang. Gunzburg (dalam simanjuntak, 1947) menyimpulkan bahwa
disfungsi kelenjar endoktrin merupakan salah satu penyebab timbulnya
kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormone yang
mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus mengalami
gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan
mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan
wataknya.

b. Masalah Perkembangan
Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa, 1985:107) menjelaskan bahwa setiap
memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai
tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi
ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya
proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat
mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi
sehingga inividu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau
masyarakatnya. Sebalikya, apabila individu tidak dapat menyelesaikan
masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah
laku. Konflik emosi ini terutama terjadi pada masa kanak-kanak dan masa
pubertas.
Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah
sikap menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini di akibatkan karena
anak sedang dalam proses memahami dirinya. anak jadi merasa tidak puas
dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-
meledak. Emosi yang kuat sering kali meluap-luap sehingga dapat
menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka sering kali menentang
dan melanggar peraturan baik di rumah maupun di sekolah. Kondisi
seperti ini biasanya terjadi pada masa pubertas.
c. Lingkungan Keluarga
Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak,
keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk
kepribadian anak. Keluarga lah peletak dasar perasaan aman (emotional
security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman
pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang
tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk
perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan perilaku
pada anak.
Aspek yang mempengaruhi masalah gangguan emosi dan perilaku di
lingkungan keluarga.
1) Kasih sayang dan perhatian
Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak
mencarinya di luar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan
membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Mengenai hal ini,
Sofyan
S. Willis (1981) mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk
memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain untuk mendapatkan
perhatian dari orang tua dan masyarakat.

Tak jarang orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan
bahkan perlindungan yang berlebihan (Over Protection). Sikap memanjakan
menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami
kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa,
sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pada
anak.

2) Keharmonisan keluarga
Ketidakharmonisan keluarga dapat disebabkan oleh pecahnya keluarga
atau tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin
dan pendidikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah
tangga yang kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan
yang semestinya.
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington (dalam Kirk dan Gallagher,
1986) menyimpulkan bahwa hampir semua anak yang menghadapi
perceraian orang tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit.

3) Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu
penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui
pada diri anak akan timbul keinginan – keinginan untuk dapat menyamai
temannya yang lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut di dalam
keluarga dapat mendorong anak mencari jalan sendiri yang kadang-kadang
mengarah pada tindakan antisocial.
G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti
kemiskinan atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi
rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan dan
perilaku menyimpang lainnya.

d. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua setelah keluarga.
Sekolah tidak hanya sekedar membekali anak dengan sejumlah ilmu
pengetahuan tetapi sekolah juga membina kepribadian anak. Akan tetapi
sekolah tidak jarang dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan perilaku
pada anak seperti yang dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam
rangka pembinaan anak didik kearah kedewasaan kadang-kadang sekolah
juga penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan
sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan
dan fasilitas penunjang

yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan


anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih
membolos dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada di dalam
kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan
anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati
dan berani melakukan tindakan yang menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya
gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang
dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang
mengakibatkan anak menyalurkan aktifitasnya pada hal-hal yang kurang
baik.

e. Lingkungan Masyarakat
Menurut Bandura (dalam Kirk dan Gallagher, 1986), salah satu hal
yang nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial
adalah keteladanan, yaitu menirukan perilku orang lain.
Disamping pengaruh- pengaruh yang bersifat positif, di dalam
lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan
pengaruh negative yang dapat memicu munculnya perilaku menyimpang.
Sikap masyarakat yang negative ditambah banyaknya hiburan yang tidak
sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya
kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana
tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburan yang tak tersaring oleh
budaya lokal.
Masuknya kebudayaan asing dapat memberi dampak negatif pada
anak. Anak menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara
dipihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber
pada adat istiadat dan agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada
diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut di rumah atau
keluarga bertentangan dengan norma dan kenyataan yang ada dalam
masyarakat.

B. Terminologi Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan Perilaku


Di masyarakat kita banyak istilah untuk memberikan label kepada anak
tuna laras. Istilah yang digunakan biasanya tergantung pada sudut pandang
keilmuan

yang mereka geluti, Seperti : Guru pada umumnya, menyebut anak sulit
diatur, anak sukar, anak nakal. Guru PLB (Pedagog), menyebut anak tuna
laras. Ahli social (Social Worker), Menyebut anak gangguan social. Ahli
psikologi (Psikolog), anak terganggu emosi atau anak terhambat emosi.
Ahli hokum (Lowyer), menyebut anak pra-nakal, anak nakal, anak
pelanggar hokum. Orang tua dan masyarakat awam, biasanya menyebut
anak nakal, anak keras kepala, anak jahat, dan sebagainya.
Dalam literature asing (Inggris) yang mengupas tentang pendidikan
dan psikoterapi bagi anak yang gangguan emosi dan social, banyak
ditemukan istilah yang bermakna “sama” dengan istilah anak tuna laras,
diantaranya :
a. Serious Emotional Disturbance Children (Anak yang mengalami
gangguan emosi pada taraf serius).
b. Emotional Conflict Children (Anak yang mengalami konflik emosi).
c. Emotional Distrubance Children (Anak yang terganggu perkembangan
emosi).
d. Emotional Handicap Children ( Anak yang terhambat perkembangan
emosi).
Memperhatikan istilah-istilah di atas, ada beberapa hal yang perlu
dipahami, yaitu :

a. Istilah-istilah tersebut menunjukan makna yang sama. Yaitu adanya


penyimpangan/kelainan/hambatan tingkah laku pada anak.
b. Penyimpangan tingkah laku (ketunalarasan) sebagai dampak
gangguan/hambatan perkembangan pada aspek emosi, sosial, atau
kedua- duanya.
c. Dikatakan ketunalarasan apabila gejala
penyimpangan/kelainan/gangguan pada taraf serius (berat dan sangat
berat).
d. Sudut pandang yang digunakan yaitu dari kacamata Psikologi,
Sosiologis, Pedagogik, dan Hukum.

C. Karakteristik Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan


Perilaku
Anak tunalaras dalam berbagai disiplin ilmu memiliki kesamaan,
terutama pada karakeristiknya. Maka, dapat diketahui sebagai berikut
karakteristik :
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan oleh
intelektual, sensorik atau faktor kesehatan lainnya.
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau mempertahankan
hubungan interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya
maupun guru.
c. Bentuk ketidaktepatan perilaku atau perasaan dalam kondisi normal.
d. Suatu suasana hati yang mendalam dari ketidakbahagiaan atau depresi.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan gejala fisik, sakit atau
ketakutan yang terkait dengan masalah pribadi atau sekolah
(psikosomatis).

D. Dampak Hambatan Emosi dan Perilaku terhadap Perkembangan


1. Perkembangan Kognitif
Dalam berbagai riset IQ, anak tunalaras rata-rata berada pada
rentangan dull normal (sekitar IQ 90), dan hanya sedikit yang berada di
atas normal (cerdas). Salah satu tolok ukur kecerdasan adalah prestasi
belajar. Namun keadaan tersebut tidak dapat diberlakukan pada anak
tunalaras. Misalnya prestasi anak tunalaras rendah, hal itu tidak dapat
dijadikan acuan kecerdasan anak tunalaras sebab prestasi belajar anak
tunalaras seringkali mengalami under achiever (prestasi belajar di bawah
kemampuan yang sebenarnya).

Prestasi anak tunalaras yang rendah di sekolah disebabkan mereka


kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi
yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali
menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah.
Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak
dengan intelegensi rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk
menyamai teman-temannya, padahal pada dasarnya seorang anak tidak
ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan
prestasi belajar. Mengenai hal ini Ny. Singgih Gunarsa (1982)
mengemukakan bahwa kecemasan dirinya berbeda dengan kelompoknya
menimbulkan kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang
seringkali tidak sesuai dengan cara penyesuaian yang wajar.

Moerdiani (1987) menilai bahwa rendahnya prestasi belajar anak


tunalaras di sekolah diduga karena kehilangan minat belajar dan
konsentrasi belajar rendah akibat gangguan emosi. Di samping itu, mereka
pada umumnya membenci sekolah sebab sekolah menuntut anak tunalaras
untuk mentaati peraturan atau norma-norma yang berlaku.

Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam


belajar dapat menyebabkan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada
dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif,
misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas,
dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap
gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk
memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi
serta mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif.

2. Perkembangan Sosial-Emosi
Menurut Sutjihati Somantri (2007: 151) terganggunya perkembangan
emosi merupakan penyebab dari kelainan tingkah laku anak tunalaras. Ciri
yang menonjol pada anak tunalaras adalah kehidupan emosi yang tidak
stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan
pengendalian diri yang kurang sehingga anak tunalaras seringkali menjadi
sangat emosional. Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi akibat
ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Kematangan emosional anak tunalaras ditentukan dari hasil interaksi
dengan lingkungannya, dimana anak belajar tentang bagaimana emosi itu
hadir dan bagaimana cara untuk mengekpresikan emosi- emosi tersebut.
Perkembangan emosi ini berlangsung secara terus menerus sesuai dengan
perkembangan usia.
Menurut Rusli Ibrahim (2005: 51) anak-anak tunalaras terlambat
perkembangan sikap-sikap sosial dan emosionalnya. Sikap-sikap tersebut
dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari dari interaksinya dengan
lingkungan, seperti
:
a. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan pola-pola kelompok yang
lebih luas dan kesadaran sosial mereka sangat rendah.
b. Menuntut perhatian yang terus menerus dari lingkungannya dan
mereka suka bermain sendirian.
c. Dalam kelompok, biasanya selalu mengikuti bukannya memimpin.

Sikap-sikap tersebut di atas bila dibiarkan akan mengakibatkan semakin


berat dalam bersosialisai. Anak tunalaras akan menjadi sulit untuk
beperilaku dewasa, dan akan mengalami kemunduran sikap-sikap sosial
dan emosional. Kondisi emosi anak tunalaras cenderung tidak stabil dan
ketidak stabilan aspek emosi ini dapat dilihat pada tingkah lakunya sehari-
hari. Anak tunalaras sering menampakkan perilaku yang meyimpang,
seperti mudah tersinggung, sedih, acuh tak acuh, keras kepala, merasa
cemas, agresif, menarik diri dari pergaulan dan sebagainya.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami
hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau
lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua
orang. Dalam banyak kejadian ternyata mereka dapat menjalin hubungan
sosial yang sangat erat dengan teman- temannya. Mereka mampu
membentuk suatu kelompok yang kompak dan akrab serta membangun
keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya.
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai
dampak negatif bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya.
Perasaan tidak berguna bagi orang lain, perasaan rendah diri, tidak percaya
diri, perasaan bersalah menyebabkan mereka merasakan adanya jarak
dengan lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami
adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan
merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang mendapatkan perhatian
dan penanganan dengan segera, maka mereka akan semakin terperosok
dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungannya.
Mengenai tekanan batin yang bekepanjangan ini menurut Schoss (Kirk
& Gallagher, 1986) disebabkan oleh hal-hal berikut:
a. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
Anak-anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya
untuk mencoba mengatasi keadaan yang sulit. Ketidakmampuan mereka
untuk mengatasi kesulitan tersebut menjadi tergeneralisasi sehingga ketika
mereka mempunyai perilaku yang baik sekalipun mereka tidakmau
mempergunakannya. Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang
tak terkendali, tidak dapat merespon dengan baik terhadap stimuli sosial
atau peristiwa, cenderung mengurangi usaha yang dilakukan setelah
mengalami kegagalan, dan menunjukkan rasa rendah diri.
b. Keterampilan sosial yang minim (social skill deficiency)
Perkembangan kepribadian yang tertekan akan menimbulkan
kekurangterampilan dalam memperoleh penguatan (reinforcement)
perilaku sosial yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya
interaksi sosial yang positif.

c. Konsekuensi paksaan (coercive consequences)

Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi


paksaan. Jika anak yang sedang cemas menarik diri menerima reaksi
positif dari lingkungannya (simpati, dukungan, jaminan,dll) mereka tetap
gagal mengembangkan perilaku pribadi dan keterampilan sosial yang
mengarah kepada perilaku yang efektif.
Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat mempengaruhi
lingkungan mereka, mengajar dan menguatkan keterampilan sosial
antarpribadi yang lebih efektif, serta menghindarkan mereka dari
ketergantungan dan penguatan ketakberdayaan. Bahwa perilaku
menyimpang pada anak tunalaras merugikan lingkungannya kiranya sudah
jelas dan seringkali orang tua maupun guru merasa kehabisan akal
menghadapi anak dengan gangguan perilaku seperti ini.

3. Perolehan Bahasa Anak yang Mengalami Hambatan Emosi dan


Perilaku
Pemerolehan bahasa dan komunikasi anak tunalaras yaitu bergaul dan
berhubungan sosial baik hanya dengan teman sebaya yang menuruti
kehendaknya. Tapi dengan orang dewasa sulit. Komunikasi dengan orang
lain cenderung menggunakan bahasa yang kasar. Anak tunalaras
mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain.
Ketidakmampuan anak tunalaras dalam melalui interaksi sosial yang baik
dengan lingkungannya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang
tidak/kurang menyenangkan. Salah satu dampak serius yang mereka alami
adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan
merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang mendapatkan perhatian
dan penanganan dengan segera, maka mereka akan semakin terperosok
dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya akan
semakin bertambah lebar. Hambatan yang dialami oleh anak tunalaras
dalam berbahasa memiliki pengaruh yang cukup luas, terutama dalam
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, sebab dalam
berkomunikasi terlebih dahulu harus memiliki keterampilan berbahasa
yang cukup, yaitu terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Hambatan berbahasa diwarnai banyak faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya: “faktor pengajar, faktor pengajar dan faktor sistem”
(Tarigan:1987). Faktor yang mengakibatkan lemahnya kemampuan
berbahasa pada anak tunalaras, Anderson S. Lynch dalam Nursaid
(1992:6), mengemukakan:

a. Faktor lingkungan, misalnya keakuratan penyimak mendengarkan


bunyi- bunyi bahasa atau ujaran-ujaran.
b. Tingkat kesukaran kata, frase, dan kalimat-kalimat yang digunakan
pengajar.
c. Kondisi kejiwaan penyimak, misalnya tidak memiliki waktu yang
memadai untuk melakukan kegiatan menyimak atau terburu-buru.
d. Kecenderungan isi pesan yang mempengaruhi sikap penyimak.
e. Faktor ekstra linguistic, misalnya kemampuan penyimak untuk
mendayagunakan isyarat-isyarat lingkungan tempat berlangsungnya
proses menyimak untuk menyusun pemahamannya.

Hallahan dan Kaufman (1977) mengemukakan bahwa “anak tunalaras


banyak mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti
membaca”. Menurut Badudu (1990) “Pengajaran tidak ditekankan pada
segi keterampilan berbahasa, tetapi lebih banyak pada pengetahuan
bahasa”. Dan hasil penelitian Pratomo, (1995) menyimpulkan bahwa
“pendekatan komunikatif mampu membantu siswa untuk memiliki
keterampilan berbahasa baik lisan maupun tulisan”.

Pengalaman berinteraksi agar peserta didik dapat menggunakan bahasa


secara komunikatif dalam berbagai aktivitas telah direncanakan secara
bervariasi melalui berbagai rangsangan, seperti tave recorder, rangsangan
gambar, bahan bacaan penggunaan lingkungan sekitar yang relevan
dengan tema dan kebutuhan

berkomunikasi. Dalam merencanakan evaluasi pembelajaran guru tidak


hanya merencanakan alat evaluasi untuk mengukur hasil belajar semata,
tetapi telah berusaha memahami bagaimana rumusan evaluasi yang dapat
dilaksanakan selama proses pembelajaran. Dalam perencanaan evaluasi
pembelajaran, guru menggunakan istilah asesmen, karena asesmen lebih
luas cakupannya daripada evaluasi.

Lebih lanjut Oller (1979) dalam Halimah (2002:176), mengemukakan


bahwa “evaluasi dalam berkomunikasi hendaknya lebih ditekankan pada
kemampuan menghasilkan dan memahami informasi, bukan semata-mata
pada ketepatan bahasa yang dipergunakan dan apabila terjadi kesalahan
berbahasa baru diperhitungkan apabila mengganggu kelancaran
berkomunikasi”. Agar anak tunalaras memiliki keterampilan berbahasa
sebagaimana layaknya anak pada umumnya, hendaknya dalam
pembelajaran bahasa Indonesia mengembangkan pendekatan komunikatif
dan menyediakan sarana yang memadai untuk kegiatan pembelajaran.

4. Dampak Ketunalarasan dalam Kegiatan Belajar


Sebagaimana kelompok khusus anak luar biasa, anak tunalaras
memiliki karakteristik tersendiri dalam belajarnya, yang relatif berbeda
dengan kelompok anak luar biasa yang lain ataupun anak normal.
Perbedaan karakteristik tersebut muncul sebagai akibat dari ketunalarasan
yang disandangnya. Diketahui bahwa ketidakmatangan sosial dan atau
emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan prilaku dan pribadinya,
termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum dikatakan bahwa proses
belajar akan berlangsung secara optimal, bila salah satu diantaranya ada
kesiapan psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena
ketidakmatangan dalam aspek sosial dan atau emosional jelas akan
menghambat kesiapan psikologisnya, sehingga optimalisasi proses
belajarnya juga akan terhambat.
Karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda,
bahkan sulit dibedakan dengan kelompok anak tunagrahita dan anak
berkesulitan belajar, yang membedakan hanyalah bahwa pada anak
tunalaras frekuensi lebih tinggi dan selalu tertuju pada perilaku-perilaku
maladaptive. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa anak tunalaras
pada umumnya memiliki IQ yang rendah, prestasi rendah,dan juga berasal
dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga banyak mengalami
kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca dan
matematika, serta perilakunya tidak memenuhi harapan sesuai dengan usia
dan kemampuannya (Hallahan dan Kaufman, 1977 ; Chary, 1966 ;
Kvaraceus,1961 ; Scarpitti, 1964).
Terlepas dari kajian Cruickshank diatas, berikut ini merupakan ciri-ciri
menonjol yang sering dijumpai pada anak tunalaras dalam belajarnya :

a. Daya konsentrasi terbatas


b. Kurang mampu belajar dari pengalaman
c. Kurang motivasi
d. Kurang disiplin
e. Kurang memiliki motif berprestasi
f. Kurang memiliki sikap kerjasama dan toleransi
g. Sensitif terhadap hal-hal yang dianggap merugikan dirinya.
h. Kurang memiliki kesabaran

i. Kurang mampu berfikir secara komperehensif dan kemampuan


analisisnya rendah.
j. Memiliki cara-cara tersendiri dalam mengolah dan memahami
informasi.
k. Cepat melakukan imitasi dan identifikasi terhadap hal-hal diluar
dirinya yang dianggap menarik.
l. Sugestible, mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh lingkungan
m. Cenderung mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan
n. Cenderung tunduk pada guru tertentu yang memiliki kelebihan sesuai
dengan interesnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tunalaras merupakan gangguan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Sebab sesorang mengalami hambatan sosial emosi dan tingkah laku
yaitu kondidi fisik, masalah perkembangan, lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan masyarakat. Karakteristik anak tunalaras relatif berbeda
dengan anak berkebutuhan khusus lainnya ataupun anak normal pada umumnya.
Perbedaan karakteristik tersebut muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang
disandangnya. Ketidakmatangan emosi dan sosial selalu berdampak pada
keseluruhan perilaku dan pribadinya, termasuk dalam belajarnya
DAFTAR PUSTAKA

Triyanto Pristiwaluyo & M. Sodiq AM. (2005). Pendidikan Anak Gangguan


Emosi. Depdiknas Dikti.
Sunardi. (1996). Ortopedagogik Anak Tunalaras I, Depdiknas Dikti.
Nafsiah Ibrahim, Rohana Aldy. (1996). Etiologi dan Terapi Anak Tunalaras,
Depdiknas Dikti

Anda mungkin juga menyukai