Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN ANAK


TUNANETRA

“Dampak Ketunaan Anak Dengan Hambatan Penglihatan Terhadap


Perkembangan Sosial dan Kepribadian”

DOSEN PENGAMPU:

Drs. H. Asep Ahmad Sopandi M.Pd

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 7

AULIA SHAFIRA (18003054)

IRFANDI (180030 )

SENTIA FAJRIANTI (18003033)

VIVIN ANDRIANI (18003170)

PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’alamin, puji beserta syukur kepada Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayahnya, kemudian shalawat beriringkan salam tak
lupa kita hadiahkan kepada nabi besar Muhammad SAW. Alhamdulillah kami
dapat menyelesaikan makalah yang mengenai “Dampak Ketunaan Anak Dengan
Hambatan Penglihatan Terhadap Perkembangan Sosial dan Kepribadian” di mata
kuliah Perspektif Penddikan Dan Pembelajaran Anak Tunanetra.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah


Perspektif Penddikan Dan Pembelajaran Anak Tunanetra yang telah memberikan
bimbingan dan ilmu pengetahuan pada mata kuliah ini. Dan kami juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan kritik
beserta saran dan masukannya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tatanan yang telah di tentukan.

Demikianlah yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat dimengerti
bagi pembaca. Dan makalah ini, sekiranya dapat berguna bagi kami dan siapapun
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf bila terdapat kesalahan
penulisan. Dan kami meminta kritik beserta saran yang membangun dari pembaca
demi perbaikan makalah ini.

Padang, Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Faktor Hubungan Ayah-Ibu-Anak ............. Error! Bookmark not defined.

B. Faktor Pemahaman Orang Terhadap Anak dengan Hambatan Penglihatan.6

C. Faktor Komunikasi dengan Teman Sebaya.................................................. 6

D. Faktor Bahasa non- Verbal............................................................................8

E. Sikap yang ditimbulkan Anak Tunanetra......................................................8

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 10

A. Kesimpulan ................................................................................................ 10

B. Saran ........................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuna netra adalah kondisi yang dialami seseorang dimana mereka
mengalami hambatan ketidak fungsian alat penglihatanya yang
disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya secara sempurna
organ penglihatan tersebut (Widdjajatin, A. dan Hitipeuw, I., 1999).
Kaum tuna netra yang tidak memiliki sisa penglihatan sama sekali
biasanya akan mempfungsikan daya pendengarannya untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Mereka lebih peka dan dapat
mengidentifikasi suara orang lain secara baik. Akibat ketunanetraan
secara psikologis akan berdampak pada sikap yang negatif terhadap
dirinya, mengasingkan diri dari lingkungan sosial, rendah diri, merasa
tidak mampu dan tidak berguna dan seterusnya singkatnya tuna netra
yang dialami dirasakan sebagai beban yang berat dan mempengaruhi
seluruh pola dan kegiatan hidupnya, termasuk model beragama yang
dilakukan. Tuna netra yang terjadi sejak lahir secara kondisional mereka
lebih dapat menerima dirinya secara wajar seperti orang pada umumnya,
mereka cenderung bahagia, tidak ada beban, santai dan bahkan ada yang
sangat energik seolah-olah tiada beban dalam hidupnya. Namun bagi
mereka yang mengalami ketunanetraan setelah mereka pernah dapat
melihat, maka ada kecenderungan mereka sangat terganggu
emosionalnya. Mereka merasa bahwa dalam dirinya ada yang kurang,
merasa hidupnya tertekan, kurang dapat menerima dirinya, menyalahkan
terhadap nasibnya dan banyak lagi efekefek psikologis yang dideritanya.
Mereka lebih meratapi hidup sebagaimana cobaan dan tidak sedikit dari
mereka yang frustasi. Tuna netra yang seperti katagori kedua ini yang
akan berbeda dalam hal keberagamaan dan penerimaan diri.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa faktor hubungan ayah-ibu-anak?
2. Apa faktor pemahaman orang terhadap anak dengan hambatan
penglihatan?
3. Apa faktor komunikasi dengan teman sebaya ?
4. Apa saja faktor bahasa non- verbal ?
5. Bagaimana sikap mudah curiga, ketergantungan dan mudah
tersinggung anak tunanetra ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang dapat dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui faktor hubungan ayah-ibu-anak
2. Untuk mengetahui faktor pemahaman orang terhadap anak dengan
hambatan penglihatan/tunanetra
3. Untuk mengetahui faktor komunikasi dengan teman sebaya
4. Untuk mengetahui apa saja faktor bahasa non- verbal
5. Untuk mengetahui bagaimana sikap mudah curiga, ketergantungan
dan mudah tersinggung anak tunanetra/hambatan penglihatan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor Hubungan Ayah-Ibu-Anak

Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan


masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa
kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin
akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh
rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus
yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti
ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat. Pada
umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan
anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap
penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua
tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun.

Sikap orang tua menjadi dasar bagi perkembangan psikis anak,


baik yang menyangkut perkembangan emosi, sosial, atau kepribadian
anak. Secara kodrati orang tua cenderung memiliki sikap kasih sayang,
melindungi, memberi perlindungan memberi nasehat, dan berusaha
melakukan yang terbaik bagi anaknya (Anastasia Widdjajantin (1999)).
Orang tua anak berkelainan yang memiliki wawasan yang cukup tentang
anak berkelainan ini juga akan berpengaruh terhadap sikapnya dengan
anak, pengetahuan yang dimiliki dapat memberikan kesadaran dan
penerimaan yang baik karena apa yang terjadi pada anaknya itu bukan
semata-mata suatu yang jelek tapi semua itu ada hikmah dibaliknya, hal ini
juga akan menambah sikap yang positif. Sedangkan para tunanetra
beranggapan bahwa orang normal memiliki sikap, antara lain :

3
1. Orang awas tidak tahu secara detail mengenai orang tunanetra dan
kemudian mereka akan terheran-heran saat orang tunanetra
menunjukkan kemampuannya
2. Orang awas akan cenderung kasihan pada tunanetra, pada saat yang
sama oranbg tunanetra berpikir bahwa ia memiliki keuatan yang lebih
dari orang awas pada umumnya.

Adapun secara umum sikap orang tua terhadap anaknya yang cacat ada
tiga macam yaitu:

1. Sikap demokratis, yaitu sikap orang tua yang memperlakukan anaknya


seperti anak yang lain, tidak membeda-bedakan karena dia cacat tetapi
sebaliknya selalu menganggap sama, memberi kesempatan yang
seluas-luasnya pada anaknya untuk mengembangkan segala
potensinya, selalu membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi
anaknya.
2. Sikap over protection (perlindungan yang berlebihan). Di satu sisi
dengan kecacatan yang dialami ana terkadang orang tua merasa
kasihan dan sebagainya sehingga selalu melindungi anaknya secara
berlebihan, anak tidak boleh main sendiri karena takut terjadi apa-apa,
tidak boleh mengerjakan kebutuhan sehari-hari karena merasa takut
anaknya nanti tidak mampu dan seterusnya.
3. Sikap penolakan, sikap orang tua yang ketiga ini kebalikan dari yang
kedua. Sikap penolakan berarti orang tua tidak menginginkan
kehadiran anaknya yang cacat sehingga berdampak pada sikap tidak
menerima keadaan anaknya yang cacat, sikap ini biasa dalam bentuk
menyembunyikan agar tidak dilihat orang lain atau mengasingkan
dengan mengirimkan anak ke tempat-tempat panti yang jauh agar tidak
bersama dengan keluarga. Effek dari anak yang dengan perilaku orang
tua yang ketiga ini tuna netra akan menjadi murung minder dan
kuranag percaya diri serta rendah penerimaan dirinya.

4
Sommers (1944) yang dikutip oleh Tien Supartinah (1994:25) telah
mengadakan penelitian tentang sikap orang tua terhadap anaknya yang
tuna netra, hasilnya sebagai berikut:

1) 8 orang tua jelas secara terbuka menolak,


2) 9 orang tua menolak anaknya secara teratur
3) 13 orang tua memberi perlindungan yang berlebih-lebihan (over
protection)
4) 4 orang tua menganggap sama dengan anak awas
5) 9 orang tua lainya menerima kecacatan dan berusaha memberikan hal
yang terbaik bagi anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dipahami bahwa pada
prinsipnya sikap orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat
bervariasi hal ini tergantung pada tingkat pendidikan orang tua, agama
atau keimanan, pemahaman terhadap anak berkelainan. Orang tua yang
pendidikanya tinggi lebih memiliki sikap yang terbuka atau demokratis
karena mereka lebih mengerti apa yang seharusnya ia lakukan demi
kebaikan anaknya, bukan malah diasingkan atau terlalu dilindungi karena
hal tersebut akan berakibat kurang baik untuk kedepanya, agama dan
keyakinan juga sangat berpengaruh pada sikap penerimaan atas anaknya
yang berkelainan atau berbeda dari yang lainya. Orang yang imanya kuat
akan menyerahkan seluruh permasalahan hidup yang dialaminya termasuk
karena kecacatan yang dialami anak, bahwa semua itu sudah digariskan
oleh Allah Swt. Sehingga tidak ada rasa malu, menyalahkan yang lain,
namun sebaliknya diterima semua yang terjadi padanya dengan penuh
kesabaran dan lillahi ta’ala. Orang tua anak berkelainan yang memiliki
wawasan yang cukup tentang anak berkelainan ini juga akan berpengaruh
terhadap sikapnya dengan anak, pengetahuan yang dimiliki dapat
memberikan kesadaran dan penerimaan yang baik karena apa yang terjadi
pada anaknya itu bukan semata-mata suatu yang jelek tapi semua itu ada
hikmah dibaliknya, hal ini juga akan menambah sikap yang positif.

5
B. Faktor Pemahaman Orang Terhadap Anak dengan Hambatan
Penglihatan/Tunanetra
Adapun sikap masyarakat dalam memandang tuna netra bersifat
variasi, namun sebagian besar masyarakat lebih memandang positif dan
menerima secara baik. Sebagian juga ada yang berpandangan bahwa tuna
netra sebagai kecacatan yang paling berat oleh masyarakat karena
dianggap sebagai anak yang penuh dengan sifat-sifat negatif, seperti
kesedihan, keputus-asaan, ketidak berdayaan, kelemahan dan
ketergantungan kepada orang lain. Anggapan semacam itu akan
menumbuhkan rasa penolakan, rasa kasihan dan merangsang untuk
memperhatikan kepada masalah anak tuna netra. Anggapan seperti itu juga
akan menimbulkan sikap penolakan terhadap tuna netra, sikap masyarakat
yang demikian juga akan berakibat anak tuna netra merasa kurang percaya
diri, menyendiri, dan isolasi sosial bahkan anggapan masyarakat yang
negatif terhadap anak tuna netra juga bisa timbul karena rasa kasihan.
C. Faktor Komunikasi Dengan Teman Sebaya

Masalah lain dapat timbul pada saat anak tunanetra itu mulai
berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Arena utama untuk
interaksi sosial bagi anak adalah kegiatan bermain, dan kajian yang
dilakukan oleh McGaha & Farran (2001) terhadap sejumlah hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra menghadapi banyak
tantangan dalam interaksi sosial dengan sebayanya yang awas. Agar
efektif dalam interaksi sosial, anak perlu memiliki keterampilan-
keterampilan tertentu, termasuk kemampuan untuk membaca dan
menafsirkan sinyal sosial dari orang lain dan untuk bertindak dengan
tepat dalam merespon sinyal tersebut. Kesulitan yang dihadapi anak
tunanetra untuk dapat mempersepsi isyarat-isyarat komunikasi nonverbal
(yang pada umumnya visual) mengakibatkan anak ini membutuhkan cara
khusus untuk memperoleh keterampilan sosial, seperti keterampilan untuk
mengawali dan mempertahankan interaksi. Tanpa keterampilan ini,

6
anak tunanetra sering kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan
menjadi terpencil dalam kelompoknya.Kekelis & Sacks dan Preisler
(McGaha & Farran, 2001) melaporkan bahwa anak-anak awas pada
mulanya berminat untuk berinteraksi dengan anak tunanetra, tetapi
lama kelamaan kehilangan minatnya ituketika isyarat mereka tidak
memperoleh respon yang diharapkan. Selain dari itu, di kalangan
sebayanya, anak tunanetra memerlukan waktu untuk dapat diterima
karena penerimaan sosial sering didasarkanatas kesamaan. Anak
cenderung mengalami penolakan sosial bila mereka dipersepsi sebagai
berbeda dari teman-teman sebayanya (Asher et al. - dalam Burton, 1986).
Mungkin karena faktor-faktor tersebut di ataslah maka McGaha dan
Farran (2001) menemukan bahwa anak tunanetra lebih sering
melakukan kegiatan bermain ataupun lingkungannya, dan mengarahkan
kegiatan bermainnya ke tubuhnya sendiri. Kegiatan bermain
manipulatif dan penggunaan barang mainan secara fungsional juga
kurang sering terlihat pada anak tunanetra meskipun banyak dari
kegiatan bermain anak prasekolah melibatkan obyek-obyek yang dapat
berfungsi sebagai titik rujukan bersama. Sebagai alternatif dari
bermain dengan obyek adalah pretend play, tetapi anak tunanetra juga
ditemukan kurang sering dan kurang berhasil melakukan bermain
simbolik atau bermain peran. Selain dari itu, anak tunanetra cenderung
mengarahkan kegiatan bermainnya lebih banyak kepada orang dewasa
daripada kepada teman sebayanya (McGaha & Farran, 2001). Anak
tunanetra memilih untuk berinteraksi dengan orang dewasa karena
interaksi ini mungkin lebih bermakna dan menstimulasi daripada
interaksi dengan teman sebayanya, dan orang dewasa dapat
mengkompensasi keterbatasan keterampilan sosial anak tunanetra itu,
misalnya dengan mensubstitusi isyarat visual dengan isyarat verbal atau
taktual (tindakan menyentuh dan menggarap, biasanya dengan tangan).

7
D. Faktor Bahasa non Verbal
1. Body Language
Keterampilan bahasa tubuh (body language) anak tunanetra
mungkin berbeda dengan anak pada umumnya, dikarenakan
kebanyakan bahasa tubuh diperoleh melalui proses peniruan secara
visual. Sehingga hambatan dalam penglihatan yang dimiliki anak
tunanetra mempengaruhi proses penguasaan keterampilan bahasa
tubuh. Adapun kesulitan-kesulitan yang dialami anak tunanetra
terhadap keterampilan bahasa tubuh yaitu tidak bisa melakukan
gerakan badan dan ekspresi wajah yang sesuai dengan dialog
percakapan. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan lah melalui
pembelajaran drama modern, dikarenakan dalam drama modern anak
dituntut untuk menguasai bahasa tubuh sesuai dengan tokoh yang
diperankan dalam naskah, sehingga secara tidak langsung anak belajar
mengenai bahasa tubuh (body language).
2. Perilaku stereotipik
Disebut juga dengan (Blindism) yaitu gerakan- gerakan yang
dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari. Gerakan-gerakan ini sangat
tidak enak untuk dipandang, misalnya selalu menggeleng-gelengkan
kepala tanpa sebab, menggoyangkan badan dan sebagainya. Semua
gerakan ini tidak terkontrol oleh tunanetra, sehingga orang lain akan
pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.

E. Sikap yang ditimbulkan Anak Tunanetra


1. Sikap mudah curiga
Keterbatasan akan rangsang pengihatan yang diterima anak
tunanetra akan menyebabkan anak tunanetra kurang mampu dalam
berorientasi dengan lingkungannya. Akibatnya kemampuan
mobilitasnya terganggu. Pengalaman sehari-hari menunjukkan kepada

8
anak tunanetra, bahwa tidak mudah baginya untuk menemukan sesuatu
benda yang dicarinya.
Anak tunanetra sering bertabrakan dengan orang lain, kakinya
terperosok dalam lubang dan pengalaman lain yang menimbulkan rasa
sakit, kecewa dan rasa tidak senang dalam hati. Namun ia tidak tahu
kepada siapa perasaan yang tidak menyenangkan ini akan ditumpahkan
atau diluapkan. Perasaan – perasaan tersebut mendorong dirinya untuk
selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sikap yang selalu hati-
hati inilah yang akhirnya dapat menimbulkan sikap mudah curiga
terhadap orang lain.
2. Sikap ketergantungan
Sikap ketergantungan adalah sikap tunanetra yang lainnya. Mereka
tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri. Mereka cenderung untuk
mngharapkan uluran tangan dari orang lain. Hal ini terjadi karena dua
sebab, sebab petama yaitu datang dari diri tunanetra dan sebab kedua
datang dari luar diri tunanetra.
Dilihat dari dalam diri tunanetra, mereka tidak mau berusaha
sepenuh hati untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Dan bila
dilihat dari luar diri tunanetra adalah karena tunanetra menganggap
bahwa ada rasa kasih sayang dan perlindungan yang berlebihan dari
orang lain disekitarnya. Akibatnya, tunanetra tidak pernah berbuat
sesuatu, segala keperluannya telah disiapkan orang lain.
3. Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung ini timbul karena pengalaman sehari-
hari yang selalu menyebabkan kecewa, curiga pada orang lain.
Akibatnya anak tunanetra menjadi emosional, sehingga segala senda
gurau, tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak sengaja
dari orang lain dapat menyinggung perasaanya.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa anak dengan gangguan penglihatan
berupa tunanetra banya sekali rintangan dan tantangan yang dihadapi, baik
dari dirinya sendiri maupun orang-orang sekitar nya (masyarakat dan
teman sebaya). Oleh karena itu, anak tunanetra banyak mengalami
gangguan psikologis pada dirinya sendiri yang diakibatkan faktor
lingkungan nya.

B. Saran
Dari makalah yang kami tulis ini, berdasarkan materi sebagai calon
pendidik anak berkebutuhan khusus kita dapat mengetahui faktor
psikologis apa yang menyebabkan anak tunanetra tidak timbul rasa
percaya diri nya dan yang telah dituliskan didalam makalah. Diharapkan
kita dapat mendidik berdasarkan pengetahuan yang telah kita miliki.

10
DAFTAR PUSTAKA

Azis, A. (2004). Identifikasi Kehidupan Keberagamaan Umat Islam di


Kabupaten Kapuas Pulau Pisau dan Gunung Mas Kalimantan Tengah.
Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Himmah, Vol.V, edisi,
Mei-Agustus. Depdikbud. (1995).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka. Ma'arif. Syafi'i.


(1997). Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Ummat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Mulyanto, Sumardi, dkk (1982).

Identifikasi kehidupan Keberagaman Umat Islam di Kab.Kapuas Kalteng.


Jurnal ilmiah. Himmah Vol. V. edisi 1 MeiAgustus. Tien Supartinah.
(1995) Psikologi Anak Luar Biasa.

Surakarta: UNS Press. Widdjadjantin, A. (1999) Ortopedagogik Tuna


Netra, Jakarta: Depdikbud. Widdjajatin, A. dan Hitipeuw, I., (1999).
Ortopedagogik Tuna Netra I, Jakarta: Depdikbud

11

Anda mungkin juga menyukai